IRISLonceng sekolah bergema, menandakan waktu belajar di seolha hari itu telah usai.dari tiap sudut terlihat anak-anak Sekolah Dasar yang hendak merencanakan sesuatu setelah jam pulang sekolah. Lalu terucap dari bibi seorang anak SD kelas enam yang kering dan penuh dengan peluh.“Hari ini matahari tidak begitu bersahabat?"Sampai terdengar suatu suara dari jauh memanggil-manggil nama Iris. Ia adalah Sari teman satu kelas Iris yang hobinya hanya berdandan ketika di kelas.“hai Ris, sendirian saja kita pulang bareng yuk?”“tidak”.“Sekarang aku dijemput oleh Ayahku. Ayolah, matahari sudah semakin tinggi kau tidak takut kulitmu menjadi hitam?”“Sudahlah, kau saja yang duluan pulang. Aku sudah terbiasa berjalan kaki dengan ditemani matahari”.“mmhhh… ya sudah aku tidak memaksa.oke hati-hati di jalan.”
Matahari Jakarta menyengat dengan teriknya. Ubun-ubun Iris bagai terbakar dan peluh mengalir di lehernya.. namun, ia melangkah tenang menyusuri pinggir jalan raya yang ramai itu menuju rumahnya yang hanya dua ratus meter lagi di depannya. Setiap hari ia lebih suka berjalan kaki seperti itu daripada diantar-jemput oleh ayah atauibunya. Terik Jakarta seakan telah menjadi sahabatnya.Di pintu depan rumahnya, Kornel, ayahnya telah menunggunya dengan senyum lebar.“Kalau tadi bapak jemput,’kan tidak perlu berpanas-panasan seperti itu.”Iris menyunggingkan senyumnya yang manis sambil mencium kedua pipi ayahnya yang sengaja membungkuk.“Tidak apa-apa ,Pak. Biar lebih sehat!”Kornel memegang bahu kanan Iris dan membimbingnya masuk. “Ganti baju dulu, cuci tangan dan kaki. Bapak sengaja menunggumu.”“Bapak belum makan?”“Biar sama-sama saja dengan kamu.”Iris bergegas ke kamarnya setelah mengambil baju ia berbegs pula ke kamar mandi.Dari sana ia keluar dengan wajah segar.“Sebelum pergi kerja tadi, ibumu sengaja memasak makanan kesukaanmu. Sop buntut.”“ibu hari ini masuk sore?” “Ya sehabis tugas nanti ia langsung ke rumah Tante Dina menghadiri malam perpisahan dengan tante yang akan ikut suaminya ke korea.”“Jam berapa ibu pulang?” “Katanya sekitar pukul delapan.”Keduanya kemudian menyantap makanan yang terhidang di depan mereka. Bu Siti, pembantu mereka terdengar berteriak-teriak mengejar Koko, kelinci piaraan yangkeluar dari kandangnya.Rumah yang terletak tidak jauh dari Blok M di Jakarta selatan itu tampak tenang dan teduh. Rumah yang lumayan besarnya itu hanya mereka berempat yang menghuninya. Kornel, istrinya, Iris dan Bu siti. Kornel sebagai anak tunggal menerima rumah itu sebagai warisan dari ayahnya yang pernah menjadi diplomat di sebuah negara Eropa.“kalau tidak waktu cuti begini, bapa tidak akan pernah manakn siang bersama kamu.”“Biasanya bapak makan siang dengan siapa?”“Dengan siapa saja,pokoknya teman-teman sekantor.” Bu Siti yang telah berhasil menangkap Koko dan memasukannya kembali ke kandang, menjenguk ke kamar makan. “Ada yang kurang, Pak?”“Tidak, “sahut KornelBu Siti kembali ke belakang.makan siang itu terasa istimewa buat Kornel dan Iris.Selesai makan, Kornel mengajak putrinya keruang tengah. “Kamu tidak tertarik untuk melihat pameran kedirgantaraan di Kemayoran?”“Apa perlu,Pak?“Tentu saja. Kita kan negara yang telah diperhitungkan dalam bidang kedirgantaraan.”Iris diam. Tampaknya ada sesuatu yang ingin diucapkannya. Kornel menyadari itu.“Kalau kamu tertarik sebentar lagi kita bisa pergi.”“Ah,tidak,ah. Mendingan di rumah membaca buku.”Kornel segera dapat membaca apa yangtersimpan di benak iris. Pasti ada kritik lagi, pikirnya. Gadis berusia dua belas tahun ini memang gudang kriti. Kadang-kadang Kornelterpojok dan tidak dapat membantah argumentasi Iris. Murid kelas enam ini memang kaya dengan pikiran-pikiran yang mengejutkan. Terkadang kritiknya memang naif, tetapi tidak jarang ia melepaskan peluru-peluru tajam yang kebenarannya tidak dapat dibantah. Siang itu tampaknya ia telah ssiap dengan serangan baru. Kornel berjaga-jaga.Untuk anak seusianya, Iris memang terlalu serius. Berita –berita politik dalam dan luar negeri di majalah dan surat kabar sering dilahapnya dengan rakus, walaupun ia tidak mengerti sepenuhnya apa yang dibacanya itu. Rubrik kolom di berbagai majalah dan artikel surat kabar juga menjadi santapannya sehari-hari. Majalah anak-anak dan remaja justru tidak menarik hatinya. Tidak mengasah pikiran, katanya.Wajar ia sering menundukkan ibunya dalam perdebatan,karena ibunya tidak menguasai masalah yang mereka perbincangkan. Padahal ibunya bekerja sebagai penyiar di sebuah radio swasta. Buat Iris, ibunya yang bekerja di media harus lebih tahu banyak tentang berbagai persoalan. Karena itulah Iris lebih dekat dengan Kornel, redaktur sebuah majalah ilmiah populer, yang selalu melayani pertanyaan, perdebatan, dan kritiknya dengan sabar. Jauh di dasar hatinya, sang ayah sebenarnya bangga sekali dengan sikap kritis anaknya.Pak, bapak sering bilang orang yang pintar itu banyak, tapi orang yang berwatak it sedikit.” Iris membuka dialog seperti yang sering dilakukannya pada malam hari dengan ayahnya. “Betul.”“Kalau begitu kita mulai dari mana? Pintar dulu atau berwatak dulu?”“Sebaiknya kedua-duanya sekaligus. Ya, kalau bias.” “Kalau harus memilih satu, bapak memilih yang mana?” Kornel terdorong ke pojok. Ia menatap mata Iris yang bening dan bersih. Iris menatapnya dan serius dan menunggu jawaban serius pula. Kornel mencoba bersikap netral.“kalau bapak, sih memilih kedua-duanya sekaligus. Belajar menjadi menjadi orang yang berwatak sekaligus dan belajar menjadi orang pintar.”“Apa mungkin?”“Tentu saja mungkin. Mengapa tidak?”Iris diam. Jelas ia tidak bisa menerima pendapat itu. Bapak mencoba berdiplomasi, pikirnya.“Bapak yakin, ilmu bisa membuat orang lebih beradab?”Wah apa-apaan ini. Pertanyaan itu memendam kemarahan. “Maksudmu?”“Dengan semakin banyak memiliki ilmu, orang akan semakin menghargai peraturan, semakin mengenal etiket, sopan santun, serta semakin berwatak?”“tidak otomatis memang. Tetapi, kebanyakan begitu.”Iris tertawa, ia nampak senang. Pintu telah terbuka untuk dimasuki. “Karena itulah Pak, Iris tidak tertarik dengan pameran yang bapa sebutkan tadi. Pameran yang seharusnya Iris saksikan sekarang ini bukanlah pameran seperti itu, tetapi pameran mematuhi undang-undang, mematuhi peraturan, pameran sopan santun, dan pameran watak.
Korel merasa tergores dengan pikiran itu. Iris telah melangkah terlalu jauh ke dunia yang belum menjadi miliknya. Dunia itu milik orang dewasa.“Iris setiap hari berjalan ke sekolah. Setiap hari iris menyaksikan apa yang dipamerkan di jalan raya itu. Iris setiap hari membaca koran dan majalah. ‘Kan katanya membaca mencerdaskan orang. Iris tidak tahu apakah Iris sudah cerdasa atau belum. Tetapi, Iris rasa kok kita harus belajar tinggi-tinggi, sedangkan yang rendah saja belum tentu kita ketahui.”Kornel tertawa. Ia telah menangkap kemana arah yang dituju anaknya.“Ah, bapak mengerti sekarang. Iris kecewa rupanya. Bapak tahu apa yang Iris maksudkan dengan tinggi-tinggi dan rendah itu. Menurut bapak yang rendah itu sebenarnya sudah kita ketahui,Cuma kesadaran kitalah yang kurang untuk melakukannya. Jadi ini semata-mata soal kesadaran. Tidak ada hubungannya dengan ilmu yang tinggi-tinggi itu.”Iris jelas menagkap maksud ayahnya. Karena itu ia segera ingin menjawab, tetapi Kornel buru-buru mencegahnya.“Semua orang tahu, Ris, menggosok gigi sebelum tidur sangat dianjurkan untuk kesehatan. Tetapi, apakah semua orang melakukannya?’kan tidak. Mereka bahkan langsung melompat ke tempat tidur tanpa cuci kaki. Jadi ini semata-mata soal tahu dan soal mau. Tahu saja tapi tidak mau melakukannya, siapa yang melarang?”“Kalau itu peraturan dan bukan anjuran?” tanya Iris ketus.“Nah, itu soal lain lagi,” sahut Kornel ketus pula.“Buat Iris, yang membuat peraturan harus menindak yang melanggar peraturan itu.”“Memang, sekarang juga’ kan begitu.”Di luar dugaan Kornel, Iris tertawa. Tawa itu memperlihatkan kemenangan.“Bapak defensif,” katanya tenangKornel terpengaruh. Baru dua bulan lalu Iris bertanya kepadanya apa yang dimaksud dengan obsesi, primordial, dan dikotomi. Kini Iris menggunakan salah satu kata keren itu, defensif. Karena itu Kornel turut tertawa.“Bukan main,” katanya menggelengkan kepala.“Kalau ilmu yang rendah –rendah itu tidak kita laksanakan karena kurangnya kesadaran, bapak ikut bertanggung jawab. Yang buas dan liar di jalan raya itu dan yang setiap hari diberitahukan koran tu’ kan orang generasi bapak, “lanjut Iris masih dengan tertawa.Kornel mengangguk-angguk.“Ibu sering bilang, bapak jujur. Bapak tidak pernah membiayai keluarga dengan uang panas itu. Gaji bapak cukup kalau kita mau hidup sederhana. Karena itu kita tidak bisa ganti mobil, walaupun mobil bapak dan ibu sudah butu. Lalu ibu ikut membantu bapak dengan bekerja sebagai penyiar. Gaji ibu itulah yang disimpan sebagai tabungan untuk biaya sekolah Iris nanti. Betapa mulianya ibu dan bapak.”Siapa yang tidak tersentuh mendengar kata-kata begitu. Kornel juga. Ia menatap dengan bangga kepada anaknya. Iris dididik dengan penuh kejujuran. Agama menjadi penyangga utamanya. Cintailah Tuhan dan hayatilah kehadiran-Nya. Cintailah Dia melebihi cinta kepada diri sendiri. Yang lurus dan yang bengkok di bentangkan didepan Iris. Gerbang cakrawala perlahan-lahan di buka untuknya. Karena itu Iris telah menemukan dirinya dalam usia semuda itu. Kornel dan istrinya telah menyaksikan sebagian dari jerih payah mereka.“Bapak.”“Ya.”“Boleh sekali lagi Iris mengatakan sesuatu sebelum diskusi ini kita hentikan?”“Mengapa tidak?”“Bapak tidak bertanggung jawab kalau uang panas menjadi modal untuk menghidupi keluarga. Bapak memang tidak melakukannya, tetapi masih banyak orang lain yang hidup dengan uang panas itu. Mula-mula alasan mereka untuk menghidupi keluarga, tetapi mereka lama-lama memburunya untuk menumpuk kekayaan. Sebenarnya uang itu lebih tepat disebut uang haram, bukan uang panas. Berita-berita koran yang mungkin buat bapak berita biasa, buat Iris merupakan berita luar biasa. Bapak mungkin menganggapnya wajar, tetapi Iris menganggapnya tidak wajar. Bapak mau defensif lagi?”Kornel menggeleng. Tudingan itu dianggapnya sangat kena. Remaja masa kini yang di matanya tampak santai, tidak acuh, dan ingin mereguk kesenangan hari ini sepuas-puasnya, ternyata menyodorkan figur yang lain dari barisan mereka. Hanya Iriskah yang lain? Masih banyakkah anak seperti itu di antarara mereka? Kornel tidak tahu. Karena itu tiba-tiba ia meragukan asumsi-asumsi yang selama ini terdengar terlalu teoritis. Iris telah merobek-robek teori itu.“Pak,” suara Iris lirih.Kornel menatap anaknya.“Masih bolehkah Iris membaca koran dan majalah yang bapak bawa pulang? Atau barangkali lebih tepat kalau Iris berlangganan majalah remaja saja?”“Tidak, sahut Kornel tegas. Kau boleh membaca apa saja selam bacaan itu baik untukmu. Cuma satu pesan bapak. Jangan kau paksa dirimu untuk mengetahui sesuatu yang kau anggap belum layakkau ketahui. Iris boleh membaca koran dan majalah yang bapak bawa, tetapi juga sebaiknya membaca buku-buku yang dianjurkan ibu atau guru. Mungkin nanti Iris bisa lebih tenang dalam belajar, lebih tenang berfikir, lebih bisa memahami sesuatu, dan lebih bisa memberi penilaian dengan tepat. Senyum anak-anak yang putih dari cela kembali memancar di wajah Iris. Ia memahami, betul-betul memahami maksud ayahnya. Ayahnya menginginkan ia menjadi anak yang baik. Hanya saja pengertian kata baik itulah barangkali yang harus mereka seragamkan dalam satu bahasa. Ayah dan anak itu saling menatap dengan penuh pengertian.“Pak,” suara Iris memecah keheningan di ruang tengah itu. “Kita belum sembahyang lohor.”Keduanya kemudian meninggalkan ruangan itu untuk memuji-Nya.
ANALISIS BENTUK PRAGMATIK WACANA TULISAN CERPEN “IRIS” KARYA SORI SIREGARWACANA TULISAN BENTUK PRAGMATIK PENJELASAN1. “Hari ini matahari tidak begitu bersahabat?” Lokusi Memberikan informasi. 2. “hai Ris, sendirian saja kita pulang bareng yuk?”“tidak”.
Maksim Kuantitas Pengujar memberikan jawaban yang secukupnya.
3. “Sekarang aku dijemput oleh Ayahku. Ayolah, matahari sudah semakin tinggi kau tidak takut kulitmu menjadi hitam?”“Sudahlah, kau saja yang duluan pulang. Aku sudah terbiasa berjalan kaki dengan ditemani matahari”. Pelanggaran Maksim Kedermawanan Memberikan sesuatu yang berlebihan. 4. “Bapak belum makan?”“Biar sama-sama saja dengan kamu.” Pelanggaran Maksim Percakapan Berlebihan dalam menyampaikan suatu jawaban. 5. “ibu hari ini masuk sore?” “Ya sehabis tugas nanti ia langsung ke rumah Tante Dina menghadiri malam perpisahan dengan tante yang akan ikut suaminya ke korea.” Pelanggaran Maksim kuantitas Berlebihan dalam menyampaikan suatu jawaban.6. “Jam berapa ibu pulang?” “Katanya sekitar pukul delapan.” Maksim kualitas Memberikan jawaban yang sesuai dengan fakta.7. “Biasanya bapak makan siang dengan siapa?”“Dengan siapa saja,pokoknya teman-teman sekantor.” Maksim Kuantitas Memberikan jawaban yang secukupnya.8. “Kamu tidak tertarik untuk melihat pameran kedirgantaraan di Kemayoran?”“Apa perlu,Pak? Pelanggaran maksim kesopanan Si lawan bicara tidak memberikan jawaban yang sesuai dengan maksud si pengujar.9. “Kalau kamu tertarik sebentar lagi kita bisa pergi.”“Ah,tidak,ah. Mendingan di rumah membaca buku.” Pelanggaran Maksim percakapan Si lawan bicara memberikan jawaban yang terlalu berlebihan.10. “Kalau begitu kita mulai dari mana? Pintar dulu atau berwatak dulu?”“Sebaiknya kedua-duanya sekaligus. Ya, kalau bisa.” Pelanggaran Maksim Kuantitas Lawan bicara tidak memberikan jawaban yang sesuai.11. “Apa mungkin?”“Tentu saja mungkin. Mengapa tidak?” Maksim Kuantitas Menjawab pertanyaan dengan secukupnya.12. “Bapak yakin, ilmu bisa membuat orang lebih beradab?”Wah apa-apaan ini. Pertanyaan itu memendam kemarahan. “Maksudmu?” Pelanggaran Maksim Kuantitas Jawaban si lawan bicara tidak sesuai dengan pertanyaan si pengujar.13. “Kalau itu peraturan dan bukan anjuran?” tanya Iris ketus.“Nah, itu soal lain lagi,” sahut Kornel ketus pula. Pelanggaran Maksim Kuantitas Tidak ada jawaban yang sesuai dari si lawan bicara.14. “Boleh sekali lagi Iris mengatakan sesuatu sebelum diskusi ini kita hentikan?”“Mengapa tidak?” Maksim kedermawanan Memberikan suatu kesempatan si pengujar untuk menawarkan diri.
KESIMPULANDari hasil analisis verpen “Iris”,dapat dismpulkan bahwa sebagian besar bentuk pragmatik yang ada adalah maksim kesepakatan dan maksim kuantitas. Karena keseluruhan cerpen tersebut adalah dialog sehari0hari dari seorang ayah kepada anaknya. Gaya penulisan Sori Siregar yang lebih realistis dalam cerpen ini ,memungkinkan suatu percakapan yang sesuai dengan aturan-arturan dalam pragmatik.
Jumat, 04 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar