Powered By Blogger

magelang

magelang
jalan-jalan truz

Selasa, 23 Februari 2010

tugas sosling

Ragam bahasa baku itu merupakan ragam bahasa yang standar, bersifat formal. Tuntutan untuk menggunakan ragam bahasa seperti ini biasa ditemukan dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat formal, dalam tulisan-tulisan ilmiah (makalah, skripsi, tesis, disertasi), percakapan dengan pihak yang berstatus akademis yang lebih tinggi, dan sebagainya.
Semula, saya berpikir bahwa ragam bahasa baku itu hanya ada satu. Namun, berdasarkan pengamatan (harus saya akui, ini masih berupa sekilas, belum mendalam) sejauh ini, ragam bahasa baku itu tidak melulu dikaitkan dengan kebakuan kosakata, sebagaimana bisa dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan yang ditetapkan dalam Ejaan yang Disempurnakan.
Kalau kita berpegangan pada KBBI dan pedoman EYD, kita tidak akan memandang judul-judul berita pada surat kabar sebagai judul yang sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Atau ketika kita melihat bahasa pada dunia periklanan. Dijamin kita akan langsung mengecap bahasa yang digunakan tidak baku. Tapi itu kalau kita memakai sudut pandang preskriptif.
Sebaliknya, ketika kita melihat secara deskriptif, kita akan menyadari bahwa sejumlah ragam bahasa yang kita lihat berbeda dari apa yang standar, sebenarnya tidak melulu menjadi ragam bahasa tak resmi.
Kamus Linguistik (2001: 184) mendefinisikan ragam resmi (baku) itu sebagai
ragam bahasa yang dipakai bila kawan bicara adalah orang yang dihormati oleh pembicara, atau bila topik pembicaraan bersifat resmi (mis. surat-menyurat dinas, perundang-undangan, karangan teknis), atau bila pembicaraan dilakukan di depan umum.
Berangkat dari definisi tersebut, coba kita cermati apa yang terjadi pada surat kabar dan dunia periklanan.
1. Apakah surat kabar dan iklan hanya akan ditujukan dan dilihat oleh orang-orang yang biasa-biasa saja, dalam arti tidak ditujukan kepada orang yang jelas lebih dihormati.
2. Apakah surat kabar dan iklan tidak disodorkan kepada umum?
Jawaban dari kedua kasus di atas sudah jelas tidak. Ya, surat kabar tentu saja dinikmati oleh siapa pun yang memang berniat membacanya. Apalagi yang kedua. Siapa saja pasti tergoda untuk membaca iklan yang dipampangkan di pinggir-pinggir jalan, apalagi bila disajikan dengan sangat menarik.
Faktanya, ragam bahasa yang digunakan hampir kebanyakan tidak menggunakan ragam baku. Sehingga definisi ragam baku yang disebutkan terakhir, yaitu “bila pembicaraan dilakukan di depan umum” kini boleh dibilang sudah bergeser.
Meski demikian, timbul pula pemikiran baru dalam benak saya. Bahwa ragam bahasa baku itu tampaknya berlaku bagi kalangan tertentu yang menjadi bahasa sasaran kelompok terkait. Dengan demikian, bagi kalangan A, berlakulah ragam bahasa A.
Bagi dunia periklanan, misalnya, ragam bahasa yang dianggap baku ialah bahasa yang lebih bersifat menjual; selama bersifat menjual, bakulah bahasa mereka meskipun kalau ditilik secara preskriptif pastilah tidak tepat. Atau bagi kalangan penerbitan, gaya selingkung mereka merupakan standar kebakuan yang tidak boleh tidak diikuti oleh para editornya karena dengan demikian mereka menjaga konsistensinya, terlepas dari perkembangan kebakuan yang dirumuskan oleh pihak Pusat Bahasa. Demikian pula, bagi kalangan anak muda, bahasa gaul menjadi ragam bahasa baku mereka sendiri.
Akhirnya, definisi ragam bahasa baku itu, menurut hemat saya, hanya relevan sampai kepada “ragam bahasa yang dipakai bila kawan bicara adalah orang yang dihormati oleh pembicara, atau bila topik pembicaraan bersifat resmi (mis. surat-menyurat dinas, perundang-undangan, karangan teknis)”.
BAB II
RAGAM DAN LARAS BAHASA

1. Ragam Dan Laras Bahasa
Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara (Bachman, 1990). Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik (mempunyai prestise tinggi), yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan teknis, perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat menyurat resmi (seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.
Menurut Dendy Sugono (1999 : 9), bahwa sehubungan dengan pemakaian bahasa Indonesia, timbul dua masalah pokok, yaitu masalah penggunaan bahasa baku dan tak baku. Dalam situasi remi, seperti di sekolah, di kantor, atau di dalam pertemuan resmi digunakan bahasa baku. Sebaliknya dalam situasi tak resmi, seperti di rumah, di taman, di pasar, kita tidak dituntut menggunakan bahasa baku.
Ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa, yaitu (1) ragam bahasa lisan, (2) ragam bahasa tulis. Bahasa yang dihasilkan melalui alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar dinamakan ragam bahasa lisan, sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya, dinamakan ragam bahasa tulis. Jadi dalam ragam bahasa lisan, kita berurusan dengan lafal, dalam ragam bahasa tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan). Selain itu aspek tata bahasa dan kosa kata dalam kedua jenis ragam itu memiliki hubungan yang erat. Ragam bahasa tulis yang unsur dasarnya huruf, melambangkan ragam bahasa lisan. Oleh karena itu, sering timbul kesan bahwa ragam bahasa lisan dan tulis itu sama. Padahal, kedua jenis ragam bahasa itu berkembang menjdi sistem bahasa yang memiliki seperangkat kaidah yang tidak identik benar, meskipun ada pula kesamaannya. Meskipun ada keberimpitan aspek tata bahasa dan kosa kata, masing-masing memiliki seperangkat kaidah yang berbeda satu dari yang lain.

1.1 Ragam Bahasa
Di dalam bahasa Indonesia disamping dikenal kosa kata baku Indonesia dikenal pula kosa kata bahasa Indonesia ragam baku, yang alih-alih disebut sebagai kosa kata baku bahasa Indonesia baku. Kosa kata baasa Indonesia ragam baku atau kosa kata bahasa Indonesia baku adalah kosa kata baku bahasa Indonesia, yang memiliki ciri kaidah bahasa Indonesia ragam baku, yang dijadikan tolok ukur yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan penutur bahasa Indonesia, bukan otoritas lembaga atau instansi di dalam menggunakan bahasa Indonesia ragam baku. Jadi, kosa kata itu digunakan di dalam ragam baku bukan ragam santai atau ragam akrab. Walaupun demikian, tidak tertutup kemungkinan digunakannya kosa kata ragam baku di dalam pemakian ragam-ragam yang lain asal tidak mengganggu makna dan rasa bahasa ragam yang bersangkutan.
Suatu ragam bahasa, terutama ragam bahasa jurnalistik dan hukum, tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan bentuk kosakata ragam bahasa baku agar dapat menjadi anutan bagi masyarakat pengguna bahasa Indonesia. Dalam pada itu perlu yang perlu diperhatikan ialah kaidah tentang norma yang berlaku yang berkaitan dengan latar belakang pembicaraan (situasi pembicaraan), pelaku bicara, dan topik pembicaraan (Fishman ed., 1968; Spradley, 1980).
Menurut Felicia (2001 : 8), ragam bahasa dibagi berdasarkan :
1. Media pengantarnya atau sarananya, yang terdiri atas :
a. Ragam lisan.
b. Ragam tulis.
Ragam lisan adalah bahasa yang diujarkan oleh pemakai bahasa. Kita dapat menemukan ragam lisan yang standar, misalnya pada saat orang berpidato atau memberi sambutan, dalam situasi perkuliahan, ceramah; dan ragam lisan yang nonstandar, misalnya dalam percakapan antarteman, di pasar, atau dalam kesempatan nonformal lainnya.
Ragam tulis adalah bahasa yang ditulis atau yang tercetak. Ragam tulis pun dapat berupa ragam tulis yang standar maupun nonstandar. Ragam tulis yang standar kita temukan dalam buku-buku pelajaran, teks, majalah, surat kabar, poster, iklan. Kita juga dapat menemukan ragam tulis nonstandar dalam majalah remaja, iklan, atau poster.

2. Berdasarkan situasi dan pemakaian
Ragam bahasa baku dapat berupa : (1) ragam bahasa baku tulis dan (2) ragam bahasa baku lisan. Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang diungkapkannya tidak ditunjang oleh situasi pemakaian, sedangkan ragam bahasa baku lisan makna kalimat yang diungkapkannya ditunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan unsur kalimat. Oleh karena itu, dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis diperlukan kecermatan dan ketepatan di dalam pemilihan kata, penerapan kaidah ejaan, struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta kelengkapan unsur-unsur bahasa di dalam struktur kalimat.
Ragam bahasa baku lisan didukung oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan kalimat. Namun, hal itu tidak mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun demikian, ketepatan dalam pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan unsur-unsur di dalam kelengkapan unsur-unsur di dalam struktur kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam ragam baku lisan karena situasi dan kondisi pembicaraan menjadi pendukung di dalam memahami makna gagasan yang disampaikan secara lisan.
Pembicaraan lisan dalam situasi formal berbeda tuntutan kaidah kebakuannya dengan pembicaraan lisan dalam situasi tidak formal atau santai. Jika ragam bahasa lisan dituliskan, ragam bahasa itu tidak dapat disebut sebagai ragam tulis, tetapi tetap disebut sebagai ragam lisan, hanya saja diwujudkan dalam bentuk tulis. Oleh karena itu, bahasa yang dilihat dari ciri-cirinya tidak menunjukkan ciri-ciri ragam tulis, walaupun direalisasikan dalam bentuk tulis, ragam bahasa serupa itu tidak dapat dikatakan sebagai ragam tulis. Kedua ragam itu masing-masing, ragam tulis dan ragam lisan memiliki ciri kebakuan yang berbeda.
Contoh perbedaan ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis (berdasarkan tata bahasa dan kosa kata) :
1. Tata Bahasa
(Bentuk kata, Tata Bahasa, Struktur Kalimat, Kosa Kata)
a. Ragam bahasa lisan :
- Nia sedang baca surat kabar
- Ari mau nulis surat
- Tapi kau tak boleh nolak lamaran itu.
- Mereka tinggal di Menteng.
- Jalan layang itu untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
- Saya akan tanyakan soal itu
.
b. Ragam bahasa Tulis :
- Nia sedangmembaca surat kabar
- Ari mau menulis surat
- Namun, engkau tidak boleh menolak lamaran itu.
- Mereka bertempat tinggal di Menteng
- Jalan layang itu dibangun untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
- Akan saya tanyakan soal itu.

2. Kosa kata
Contoh ragam lisan dan tulis berdasarkan kosa kata :
a. Ragam Lisan
- Ariani bilang kalau kita harus belajar
- Kita harus bikin karya tulis
- Rasanya masih terlalu pagi buat saya, Pak
b. Ragam Tulis
- Ariani mengatakan bahwa kita harus belajar
- Kita harus membuat karya tulis.
- Rasanya masih terlalu muda bagi saya, Pak.
Istilah lain yang digunakan selain ragam bahasa baku adalah ragam bahasa standar, semi standar dan nonstandar.
a. ragam standar,
b. ragam nonstandar,
c. ragam semi standar.
Bahasa ragam standar memiliki sifat kemantapan berupa kaidah dan aturan tetap. Akan tetapi, kemantapan itu tidak bersifat kaku. Ragam standar tetap luwes sehingga memungkinkan perubahan di bidang kosakata, peristilahan, serta mengizinkan perkembangan berbagai jenis laras yang diperlukan dalam kehidupan modem (Alwi, 1998: 14).
Pembedaan antara ragam standar, nonstandar, dan semi standar dilakukan berdasarkan :
a. topik yang sedang dibahas,
b. hubungan antarpembicara,
c. medium yang digunakan,
d. lingkungan, atau
e. situasi saat pembicaraan terjadi
Ciri yang membedakan antara ragam standar, semi standar dan nonstandar :
• penggunaan kata sapaan dan kata ganti,
• penggunaan kata tertentu,
• penggunaan imbuhan,
• penggunaan kata sambung (konjungsi), dan
• penggunaan fungsi yang lengkap.
Penggunaan kata sapaan dan kata ganti merupakan ciri pembeda ragam standar dan ragam nonstandar yang sangat menonjol. Kepada orang yang kita hormati, kita akan cenderung menyapa dengan menggunakan kata Bapak, Ibu, Saudara, Anda. Jika kita menyebut diri kita, dalam ragam standar kita akan menggunakan kata saya atau aku. Dalam ragam nonstandar, kita akan menggunakan kata gue.
Penggunaan kata tertentu merupakan ciri lain yang sangat menandai perbedaan ragam standar dan ragam nonstandar. Dalam ragam standar, digunakan kata-kata yang merupakan bentuk baku atau istilah dan bidang ilmu tertentu. Penggunaan imbuhan adalah ciri lain. Dalam ragam standar kita harus menggunakan imbuhan secara jelas dan teliti.
Penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan (preposisi) merupakan ciri pembeda lain. Dalam ragam nonstandar, sering kali kata sambung dan kata depan dihilangkan. Kadang kala, kenyataan ini mengganggu kejelasan kalimat.
Contoh : (1) Ibu mengatakan, kita akan pergi besok
(1a) Ibu mengatakan bahwa kita akan pergi besok
Pada contoh (1) merupakan ragam semi standar dan diperbaiki contoh (1a) yang merupakan ragam standar.
Contoh : (2) Mereka bekerja keras menyelesaikan pekerjaan itu.
(2a) Mereka bekerja keras untuk menyelesaikan pekerjaan itu.
Kalimat (1) kehilangan kata sambung (bahwa), sedangkan kalimat (2) kehilangan kata depan (untuk). Dalam laras jurnalistik kedua kata ini sering dihilangkan. Hal ini menunjukkan bahwa laras jurnalistik termasuk ragam semi standar.
Kelengkapan fungsi merupakan ciri terakhir yang membedakan ragam standar dan nonstandar. Artinya, ada bagian dalam kalimat yang dihilangkan karena situasi sudah dianggap cukup mendukung pengertian. Dalam kalimat-kalimat yang nonstandar itu, predikat kalimat dihilangkan. Seringkali pelesapan fungsi terjadi jika kita menjawab pertanyaan orang. Misalnya, Hai, Ida, mau ke mana?” “Pulang.” Sering kali juga kita menjawab “Tau.” untuk menyatakan ‘tidak tahu’. Sebenarnya, pëmbedaan lain, yang juga muncul, tetapi tidak disebutkan di atas adalah Intonasi. Masalahnya, pembeda intonasi ini hanya ditemukan dalam ragam lisan dan tidak terwujud dalam ragam tulis.

1.2 Laras Bahasa
Pada saat digunakan sebagai alat komunikasi, bahasa masuk dalam berbagai laras sesuai dengan fungsi pemakaiannya. Jadi, laras bahasa adalah kesesuaian antara bahasa dan pemakaiannya. Dalam hal ini kita mengenal iklan, laras ilmiah, laras ilmiah populer, laras feature, laras komik, laras sastra, yang masih dapat dibagi atas laras cerpen, laras puisi, laras novel, dan sebagainya.
Setiap laras memiliki cirinya sendiri dan memiliki gaya tersendiri. Setiap laras dapat disampaikan secara lisan atau tulis dan dalam bentuk standar, semi standar, atau nonstandar. Laras bahasa yang akan kita bahas dalam kesempatan ini adalah laras ilmiah.

2. Laras llmiah
Dalam uraian di atas dikatakan bahwa setiap laras dapat disampaikan dalam ragam standar, semi standar, atau nonstandar. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan laras ilmiah. Laras ilmiah harus selalu menggunakan ragam standar.
Sebuah karya tulis ilmiah merupakan hasil rangkaian gagasan yang merupakan hasil pemikiran, fakta, peristiwa, gejala, dan pendapat. Jadi, seorang penulis karya ilmiah menyusun kembali pelbagai bahan informasi menjadi sebuah karangan yang utuh. Oleh sebab itu, penyusun atau pembuat karya ilmiah tidak disebut pengarang melainkan disebut penulis (Soeseno, 1981: 1).
Dalam uraian di atas dibedakan antara pengertian realitas dan fakta. Seorang pengarang akan merangkaikan realita kehidupan dalam sebuah cerita, sedangkan seorang penulis akan merangkaikan berbagai fakta dalam sebuah tulisan. Realistis berarti bahwa peristiwa yang diceritakan merupakan hal yang benar dan dapat dengan mudah dibuktikan kebenarannya, tetapi tidak secara langsung dialami oleh penulis. Data realistis dapat berasal dan dokumen, surat keterangan, press release, surat kabar atau sumber bacaan lain, bahkan suatu peristiwa faktual. Faktual berarti bahwa rangkaian peristiwa atau percobaan yang diceritakan benar-benar dilihat, dirasakan, dan dialami oleh penulis (Marahimin, 1994: 378).
Karya ilmiah memiliki tujuan dan khalayak sasaran yang jelas. Meskipun demikian, dalam karya ilmiah, aspek komunikasi tetap memegang peranan utama. Oleh karenanya, berbagai kemungkinan untuk penyampaian yang komunikatif tetap harus dipikirkan. Penulisan karya ilmiah bukan hanya untuk mengekspresikan pikiran tetapi untuk menyampaikan hasil penelitian. Kita harus dapat meyakinkan pembaca akan kebenaran hasil yang kita temukan di lapangan. Dapat pula, kita menumbangkan sebuah teori berdasarkan hasil penelitian kita. Jadi, sebuah karya ilmiah tetap harus dapat secara jelas menyampaikan pesan kepada pembacanya.
Persyaratan bagi sebuah tulisan untuk dianggap sebagai karya ilmiah adalah sebagai berikut (Brotowidjojo, 1988: 15-16).
1. Karya ilmiah menyajikan fakta objektif secara sistematis atau menyajikan aplikasi hukum alam pada situasi spesifik.
2. Karya ilmiah ditulis secara cermat, tepat, benar, jujur, dan tidak bersifat terkaan. Dalam pengertian jujur terkandung sikap etik penulisan ilmiah, yakni penyebutan rujukan dan kutipan yang jelas.
3. Karya ilmiah disusun secara sistematis, setiap langkah direncanakan secara terkendali, konseptual, dan prosedural.
4. Karya ilmiah menyajikan rangkaian sebab-akibat dengan pemahaman dan alasan yang indusif yang mendorong pembaca untuk menarik kesimpulan.
5. Karya ilmiah mengandung pandangan yang disertai dukungan dan pembuktian berdasarkan suatu hipotesis.
6. Karya ilmiah ditulis secara tulus. Hal itu berarti bahwa karya ilmiah hanya mengandung kebenaran faktual sehingga tidak akan memancing pertanyaan yang bernada keraguan. Penulis karya ilmiah tidak boleh memanipulasi fakta, tidak bersifat ambisius dan berprasangka. Penyajiannya tidak boleh bersifat emotif.
7. Karya ilmiah pada dasarnya bersifat ekspositoris. Jika pada akhirnya timbul kesan argumentatif dan persuasif, hal itu ditimbulkan oleh penyusunan kerangka karangan yang cermat. Dengan demikian, fakta dan hukum alam yang diterapkan pada situasi spesifik itu dibiarkan berbicara sendiri. Pembaca dibiarkan mengambil kesimpulan sendiri berupa pembenaran dan keyakinan akan kebenaran karya ilmiah tersebut.


Berdasarkan uraian di atas, dari segi bahasa, dapat dikatakan bahwa karya ilmiah memiliki tiga ciri, yaitu :
1. harus tepat dan tunggal makna, tidak remang nalar atau mendua makna
2. harus secara tepat mendefinisikan setiap istilah, sifat, dan pengertian yang digunakan, agar tidak menimbulkan kerancuan atau keraguan
3. harus singkat, berlandaskan ekonomi bahasa.
Disamping persyaratan tersebut di atas, untuk dapat dipublikasikan sebagai karya ilmiah ada ketentuan struktur atau format karangan yang kurang lebih bersifat baku. Ketentuan itu merupakan kesepakatan sebagaimana tertuang dalam International Standardization Organization (ISO). Publikasi yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam ISO memberikan kesan bahwa publikasi itu kurang valid sebagai terbitan ilmiah (Soehardjan, 1997 : 10). Struktur karya ilmiah (Soehardjan, 1997 : 38) terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, bahan dan metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapan terima kasih dan daftar pustaka. ISO 5966 (1982) menetapkan agar karya ilmiah terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, kata kunci, pendahuluan, inti tulisan (teori metode, hasil, dan pembahasan), simpulan, dan usulan, ucapan terima kasih, dan daftar pustaka (Soehardjan, 1997 : 38).

3. Ragam Bahasa Keilmuan
Menurut Sunaryo, (1994 : 1), bahwa dalam berkomunikasi, perlu diperhatikan kaidah-kaidah berbahasa, baik yang berkaitan kebenaran kaidah pemakaian bahasa sesuai dengan konteks situasi, kondisi, dan sosio budayanya. Pada saat kita berbahasa, baik lisan maupun tulis, kita selalu memperhatikan faktor-faktor yang menentukan bentuk-bentuk bahasa yang kita gunakan. Pada saat menulis, misalnya kita selalu memperhatikan siapa pembaca tulisan kita , apa yang kita tulis, apa tujuan tulisan itu, dan di media apa kita menulis. Hal yang perlu mendapat perhatian tersebut merupakan faktor penentu dalam berkomunikasi. Faktor-faktor penentu berkomunikasi meliputi : partisipan, topik, latar, tujuan, dan saluran (lisan atau tulis).
Partisipan tutur ini berupa PI yaitu pembicara/penulis dan P2 yaitu pembaca atau pendengar tutur. Agar pesan yang disampaikan dapat terkomunikasikan dengan baik, maka pembicara atau penulis perlu (a) mengetahui latar belakang pembaca/pendengar, dan (b) memperhatikan hubungan antara pembicara/penulis dengan pendengar/pembaca. Hal itu perlu diketahui agar pilihan bentuk bahasa yang digunakan tepat , disamping agar pesannya dapat tersampaikan, agar tidak menyinggung perasaan, menyepelekan, merendahkan dan sejenisnya.
Topik tutur berkenaan dengan masalah apa yang disampaikan penutur ke penanggap penutur. Penyampaian topik tutur dapat dilakukukan secara : (a) naratif (peristiwa, perbuatan, cerita), (b) deskriptif (hal-hal faktual : keadaan, tempat barang, dsb.), (c). ekspositoris, (d) argumentatif dan persuasif.
Ragam bahasa keilmuan mempunyai ciri :
(1) cendekia : bahasa Indonesia keilmuan itu mampu digunakan untuk mengungkapkan hasil berpikir logis secara tepat.
(2) lugas dan jelas : bahasa Indonesia keilmuan digunakan untuk menyampaikan gagasan ilmiah secara jelas dan tepat.
(3) gagasan sebagai pangkal tolak : bahasa Indonesia keilmuan digunakan dengan orientasi gagasan. Hal itu berarti penonjolan diarahkan pada gagasan atau hal-hal yang diungkapkan, tidak pada penulis.
(4) Formal dan objektif : komunikasi Ilmiah melalui teks ilmiah merupakan komunikasi formal. Hal ini berarti bahwa unsur-unsur bahasa Indonesia yang digunakan dalam bahasa Indonesia keilmuan adalah unsur-unsur bahasa yang berlaku dalam situasi formal atau resmi. Pada lapis kosa kata dapat ditemukan kata-kata yang berciri formal dan kata-kata yang berciri informal (Syafi’ie, 1992:8-9).

Contoh :
Kata berciri formal Kata berciri informal
Korps korp
Berkata bilang
Karena lantaran
Suku cadang onderdil
4. Laras Ilmiah Populer
Laras ilmiah populer merupakan sebuah tulisan yang bersifat ilmiah, tetapi diungkapkan dengan cara penuturan yang mudah dimengerti. Karya ilmiah populer tidak selalu merupakan hasil penelitian ilmiah. Tulisan itu dapat berupa petunjuk teknis, pengalaman dan pengamatan biasa yang diuraikan dengan metode ilmiah. Jika karya ilmiah harus selalu disajikan dalam ragam bahasa yang standar, karya ilmiah populer dapat disajikan dalam ragam standar, semi standar dan nonstandar. Penyusun karya ilmiah populer akan tetap disebut penulis dan bukan pengarang, karena proses penyusunan karya ilmiah populer sama dengan proses penyusunan karya ilmiah. Pembedaan terjadi hanya dalam cara penyajiannya.
Seperti diuraikan di atas, persyaratan yang berlaku bagi sebuah karya ilmiah berlaku pula bagi karya ilmiah populer. Akan tetapi, dalam karya ilmiah populer terdapat pula persoalan lain, seperti kritik terhadap pemerintah, analisis atas suatu peristiwa yang sedang populer di tengah masyarakat, jalan keluar bagi persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, atau sekedar informasi baru yang ingin disampaikan kepada masyarakat.
Jika karya ilmiah memiliki struktur yang baku, tidak demikian halnya dengan karya ilmiah populer. Oleh karena itu, karya ilmiah populer biasanya disajikan melalui media surat kabar dan majalah, biasanya, format penyajiannya mengikuti format yang berlaku dalam laras jurnalistik. Pemilihan topik dan perumusan tema harus dilakukan dengan cermat. Tema itu kemudian dikerjakan dengan jenis karangan tertentu, misalnya narasi, eksposisi, argumentasi, atau deskripsi. Secara lebih rinci lagi, penulis dapat mengembangkan gagasannya dalam berbagai bentuk pengembangan paragraf seperti pola pemecahan masalah, pola kronologis, pola perbandingan, atau pola sudut pandang.
http://t_wahyu.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/4762/BAB2.htm

makalah buat mamah

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pendidikan adalah suatu alat yang dijadikan oleh setiap insan manusia untuk mengugah suatu perubahan yang hierarki. Hal yang sama juga menjadikan manusia untuk terus berkembang sehingga menjadi manusia yang bisa memanusiakan manusia lainnya.
Dalam perjalanannya, pendidikan di Indonesia pernah memasuki abad ke- 21 dunia.Kala itu pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar. Dalam Abad ke-21 arus globalisasi mempunyai dampak yang membawa banyak unsure , baik yang positif atau yang negative oleh sebab itu seorang individu harus mengadakan pilihan yang inteligen. Dasar dari pemilihan itu adalah pengetahuan, tindakan, kebiasaan, yang diperoleh dari habitus seseorang dimana ia dibesarkan . Unsur habitus yang paling penting adalah kebudayaan oleh seseorang sejak lahir. (Tilaar, 2005:92).
Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain. Lalu yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Salah satu aplikasi yang bisa merubah paradigma ilmu yang bertolak kepada asas manusiawi adalah pendidikan yang berlandaskan kepada manifesto Pendidikan. Manifesto sendiri mempunyai arti untuk menjelaskan sesuatu. Manifesto bukan suatu doktrin atau konsep yang berisi pemikiran yang bermuatan politis kepada masyarakat awam untuk tahu akan makna pendidikan yang sebenarnya.
Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Permasalahan-permasalahan yang tersebut di atas akan menjadi bahan bahasan dalam makalah yang berjudul “ Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia” ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ciri-ciri pendidikan di Indonesia?
2. Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia?
3. Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia?
4. Apakah manifesto pendidikan Nasional bisa membantu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan di Indonesia.
2. Mendeskripsikan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini.
3. Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
4. Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Pemerintah
Bisa dijadikan sebagai sumbangsih dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
2. Bagi Guru
Bisa dijadikan sebagai acuan dalam mengajar agar para peserta didiknya dapat berprestasi lebih baik dimasa yang akan datang.
3. Bagi Mahasiswa
Bisa dijadikan sebagai bahan kajian belajar dalam rangka meningkatkan prestasi diri pada khususnya dan meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
•Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
•Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
•Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
•Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
•Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
•Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
•Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
•Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.
C. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
D. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.
B. Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.
DAFTAR PUSTAKA
http://forum.detik.com.
http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/efektivitas-dan-efisiensi-anggaran.
http://www.detiknews.com.
http://www.sib-bangkok.org.

Rabu, 17 Februari 2010

spersi

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Berbicara atau bertutur merupakan kegiatan yang paling sering dilakukan orang dalam kehidupan bermasyarakat. Sebelum dikenal adanya tulisan, bertutur sudah digunakan sebagai alat komunikasi. Seiring perkembangan zaman, kegiatan bertutur memiliki peranan penting bagi kehidupan bermasyarakat dan berbudaya. Sering kita temui daerah dengan kebudayaan yang baik memiliki kebiasaan bertutur yang baik pula, sesuai dengan ungkapan ”bahasa menggambarkan budaya setempat”.
Berbicara menjadi suatu hal yang penting dalam keseharian. Berbicara dipergunakan untuk berkomunikasi, menyampaikan informasi, menyampaikan maksud, sampai digunakan untuk berdebat. Kecakapan dalam berbicara untuk menyampaikan suatu ide merupakan kecerdasan linguistik, bagian dari delapan kecerdasan yang disampaikan oleh Howard Gardner pada tahun 1983 dalam bukunya Frames of Mind. Kecerdasan ini pada dasarnya dimiliki oleh setiap manusia dengan kadar kemampuannya yang berbeda-beda. Untuk memiliki kemampuan ini ternyata bukanlah hal yang mudah. Banyak orang yang mampu merumuskan sebuah gagasan dengan baik, namun kesulitan dalam hal penyampaiannya. Dalam penyampaiannya pun harus jelas dan sistematis agar mudah dipahami oleh pendengar.
Dahulu kemampuan berbicara yang baik hanya dimiliki oleh orang yang mempunyai status atau fungsi tertentu seperti kepala suku saat upacara adat, pemakaman, kelahiran, dan sebagainya. Penguasaan mantra, kata-kata bijak, dan nasehat yang diberikan kepada masyarakat menjadi kelebihan yang mereka miliki jika dibandingkan dengan orang lain. Kemampuan berbicara inilah yang membuat para kepala suku dihormati dan disegani oleh masyarakatnya.
Kemampuan berbicara ini juga berkembang di Yunani dan Roma dengan tokohnya seperti Socrates dan Aristoteles. Mereka menyebut kemampuan berbicara ini dengan retorika yang berasal dari bahasa Latin rhetorica yang berarti ’ilmu berbicara/bertutur’. Awalnya mereka menganggap ilmu ini untuk memenangkan suatu kasus. Namun, penggunaan retorika kini sudah bergeser pada ilmu yang mengajarkan tindak dan usaha bertutur untuk membina saling pengertian. Sesuai yang dikatakan oleh I Gusti Ngurah Oka.: “Retorika adalah ilmu yang mengajarkan tindak dan usaha yang efektif dalam persiapan, penataan dan penampilan tutur untuk membina saling pengertian dan kerja sama serta kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat.”
Pemanfaatan retorika dalam kehidupan sehari-hari antara lain: “secara spontan atau intuitif, secara tradisonal atau konvensional, dan secara terencana.” Pemamanfaatan retorika secara spontan atau intuitif ini sering terjadi dalam kehidupan bertutur sehari-hari. Biasanya pembicara tidak banyak mempersiapkan bahan materi yang akan dibicarakan. Jadi lebih bersifat spontan. Pemanfaatan retorika secara tradisional yaitu dengan mengikuti konvensi atau kesepakatan yang sudah diberikan oleh generasi sebelumnya. Seperti penghormatan kepada pejabat dengan menggunakan kalimat “Yang terhormat, ....”. Pemanfaatan retorika secara terencana maksudnya ialah, “penggunaan retorika yang direncanakan sebelumnya secara sadar diarahkan ke suatu tujuan yang jelas” Pemanfaatan retorika secara terencana dibagi menjadi bidang politik, bidang usaha atau ekonomi, karyawan bahasa, bidang kesenian, dan bidang pendidikan. Pada bidang pendidikan, pemanfaatan retorika secara terarah tampak lebih menonjol lagi pada proses pengajaran di dalam kelas.
Pendidikan merupakan pilar utama dalam usaha memajukan bangsa dengan mencetak generasi yang cerdas dan mandiri. Pendidikan menjadi sarana dalam mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu mencerdaskan bangsa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pendidikan, bangsa yang peduli dengan pendidikan, dan bangsa yang mengedepankan pendidikan. Sebuah negara akan terpuruk bila pendidikan yang diselenggarakan negara tersebut kurang atau tidak baik.
Dalam dunia pendidikan, khususnya mata pelajaran Bahasa Indonesia, berbicara menjadi kompetensi yang harus dimiliki siswa. Berbicara menjadi bagian catur tunggal, yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis yang tidak dapat dipisahkan dari keempat keterampilan berbahasa tersebut. Bila satu saja dari keempat keterampilan itu tidak ada, maka dapat dipastikan orang tersebut akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Dalam kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasyah Aliyah (MA), pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dengan baik dan benar, secara efektif dan efisien, baik lisan maupun tulisan. Selain itu pembelajaran bahasa Indonesia bertujuan untuk menumbuhkan apresiasi terhadap karya sastra di Indonesia.
Dalam pembelajaran kemampuan berbahasa, kemampuan berbicara sering terabaikan karena yang ditekankan dan mendapat perhatian lebih ialah kemampuan menulis. Padahal tujuan utama pembelajaran bahasa ialah untuk berkomunikasi. Bukan hanya tulisan tetapi juga lisan. Oleh karena itu, diperlukan perhatian yang khusus untuk kemampuan berbicara. Diperlukan keseriusan dalam hal ini. Diperlukan strategi dan metode yang tepat agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Pada kurikulum kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) / Madrasyah Aliyah (MA), salah satu Standar Kompetensi berbicara pada kelas XII yaitu pidato, merupakan kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa. Kompetensi Dasar yang harus dimiliki setelah proses pembelajaran adalah siswa mampu berpidato tanpa teks dengan menggunakan pelafalan, intonasi, nada, dan sikap yang tepat.
Dalam penerapannya, pembelajaran berpidato pada tingkat SMA ternyata belum memberikan hasil yang memuaskan. Siswa cenderung menjadi pribadi yang sulit berbicara di depan umum. Hal utama yang menjadi penyebab biasanya adalah faktor keragu-raguan atau keberanian dari siswa. Siswa khawatir berkata salah ketika berpidato. Bahan pembicaraan yang sudah dipersiapkan menjadi hilang ketika berada di depan orang banyak untuk berpidato. Dari sekian banyak siswa tentunya ada beberapa siswa yang mampu tampil dengan berani dan percaya diri. Hal ini karena adanya pembiasaan yang dilakukan karena siswa tersebut mempunyai pengalaman dalam berorganisasi yang menuntut mereka untuk sering berinteraksi dengan banyak orang. Keberanian dan percaya diri memang merupakan modal utama dalam berpidato, namun tidak cukup hanya kedua hal itu saja. Dalam berpidato, siswa dituntut mampu memilih kata dan menyusun kalimat dengan baik serta memahami faktor-faktor lain seperti pelafalan yang baik, intonasi, dan sikap yang tepat.
Metode yang paling sering digunakan guru dalam pembelajaran berpidato adalah guru menjelaskan faktor-faktor yang dinilai dalam berpidato. Kemudian siswa diminta untuk berpidato. Setelah itu, performa siswa tersebut dievaluasi secara bersama-sama. Metode ini memang baik untuk memberikan pemahaman tentang faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam berpidato. Namun, dalam hal praktek tentunya siswa menampilkan hanya sebatas pengetahuannya saja. Kecuali bila siswa memiliki pengalaman lomba berpidato atau memiliki jabatan ketua pada suatu organisasi yang sering diminta untuk berpidato. Bagi siswa yang belum memiliki pengalaman yang cukup mengenai pidato maka sangatlah perlu siswa tersebut melihat sebuah contoh dalam berpidato. Dalam hal inilah seorang guru harus memberikan sebuah model yang dapat dipelajari oleh siswa. Model itu dapat dilakukan oleh guru ataupun selain guru.
Seperti pendapat Albert Bandura dalam teori sosial learning yang menyatakan bahwa proses belajar dimulai dari meniru, maka dalam belajar berpidato alangkah baiknya bila siswa mencontoh pemidato yang baik. Dengan contoh ini siswa akan mendapatkan gambaran mengenai cara berpidato yang baik. Contoh ini dapat dijadikan model dalam pembelajaran berpidato.
Media merupakan alat komunikasi dalam pendidikan. Media pendidikan menjadi alat bantu untuk menyampaikan pesan yang diberikan oleh guru kepada siswa. Penggunaan media tidaklah asal saja tetapi harus dengan pertimbangan bahwa penggunaan media tersebut sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Jangan sampai media yang telah dipersiapkan tidak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.
Dengan bantuan media, proses dan hasil pembelajaran diharapkan menjadi lebih baik jika dibandingkan tanpa menggunakan media. “Media tidak terbatas hanya pada alat saja secara luas media bisa termasuk manusia, benda ataupun peristiwa yang memungkinkan anak didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan.” Menurut Syaiful Bahri dan Aswan Zain, “sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat bahan pengajaran terdapat atau asal untuk belajar seseorang” , media inilah yang dapat membantu memperkaya wawasan siswa dalam belajar.
Dalam proses pembelajaran, model merupakan media yang dapat dijadikan sumber untuk belajar. Model ini dapat dicontoh dan dikembangkan oleh siswa. Oleh karena itu, media bisa pula guru atau model yang diberikan di luar pihak guru, seperti model dalam berpidato yang telah disebutkan sebelumnya.
Mengenai model mana yang harus dipilih kita harus melihat kualitas model itu sendiri. Sesuatu yang akan dijadikan model diusahakanlah yang terbaik karena akan dicontoh dan mungkin dikembangkan oleh siswa setelah mengamati model tersebut. Dalam model untuk berpidato beberapa hal pokok yang wajib menjadi kriteria, yaitu kemampuan linguistik, kemampuan mempersuasi, dan kemampuan memotivasi. Ketiga hal tersebut terangkum dalam ilmu retorika.
Motivator bisnis merupakan salah satu profesi yang menggunakan ilmu retorika. Kemampuan retorika sangat berguna dan membantu untuk menunjang profesi ini. Tugas utama sebagai motivator bisnis ialah mampu mempersuasi para pendengar agar termotivasi untuk melakukan saran-saran yang diberikan olehnya. Layaknya seorang orator dalam sebuah kampanye, seorang motivator bisnis harus tampil dengan percaya diri dan mampu meyakinkan pendengarnya dengan sikap dan kata-kata yang diungkapkannya. Dengan kriteria ini seorang motivator bisnis merupakan model yang layak untuk pembelajaran berpidato karena dengan predikatnya sebagai seorang ”motivator” maka tentunya ia harus memiliki kriteria-kriteria tersebut.
Pemodelan retorika motivator bisnis ini berlaku sebagai media pada saat pembelajaran berpidato. Pemberian model yang baik akan mempermudah siswa dalam belajar. Dengan media, pemodelan retorika motivator bisnis ini diharapkan memberikan wawasan yang lebih baik kepada siswa untuk berpidato serta siswa dapat mengembangkan kemampuannya dalam berpidato sehingga dapat meyakinkan pendengarnya.

1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah penggunaan retorika dalam pendidikan?
2. Apakah metode terbaik yang harus dilakukan guru untuk pembelajaran berpidato?
3. Bagaimanakah peran media untuk membantu proses belajar mengajar?
4. Media apakah yang cocok untuk pembelajaran berpidato?
5. Bagaimanakah model yang baik untuk pembelajaran berpidato?
6. Bagaimanakah penggunaan retorika dalam pidato?
7. Apakah penguasaan retorika dapat membantu siswa dalam berpidato?
8. Adakah pengaruh media pemodelan terhadap kemampuan berpidato siswa?
9. Apakah retorika motivator bisnis merupakan contoh yang baik untuk pembelajaran berpidato?

1.3 Pembatasan Masalah
Dari sejumlah masalah yang telah peneliti uraikan, peneliti membatasi masalah pada :
Pengaruh media pemodelan retorika motivator bisnis terhadap kemampuan berpidato siswa SMAN 89 Jakarta.

1.4 Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah yang telah peneliti sampaikan, peneliti membuat perumusan masalah, yaitu :
Adakah pengaruh media pemodelan retorika motivator bisnis terhadap kemampuan berpidato siswa SMAN 89 Jakarta?

1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara praktis maupun teoritis. Manfaat hasil penelitian secara praktis antara lain diharapkan:
a. Bagi Guru
Dengan adanya penelitian ini diharapkan guru dapat termotivasi untuk membuat atau mengadakan media pembelajaran yang lebih inovatif.
b. Bagi Siswa
Memberikan model yang dapat membantu siswa belajar berpidato.
c. Bagi Mahasiswa
Dapat memberikan inspirasi bagi mahasiswa lain untuk meneliti di bidang yang sama.
Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan tambahan pengetahuan bagi guru dalam menyampaikan materi dalam pembelajaran berpidato.

















BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Hakikat Media Pemodelan Retorika Motivator Bisnis
Di dalam strategi pembelajaran peran media menjadi sangat penting guna membantu memperlancar jalannya kegiatan pembelajaran. Media dimanfaatkan oleh guru untuk mempermudah menyampaikan informasi dari materi pelajaran kepada siswa. Berikut adalah beberapa pengertian dari media:
Menurut Azhar Arsyad kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti ‘tengah’, ‘perantara’, atau ‘pengantar’. Menurut Arief S. Sadiman dkk., “kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara hafiah berarti perantara atau pengantar. Medòë adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan.” Menurut Syaiful Bahri D. dan Aswan Zain kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium, yang secara harfiah berarti ‘perantara atau pengantar’. Dengan demikian, media merupakan wahana penyalur informasi belajar atau penyalur pesan. Media merupakan sarana yang digunakan atau berfungsi sebagai perantara dalam membantu menyampaikan informasi dari pengirim kepada penerima pesan. Media sebagai alat bantu dalam mempermudah kegiatan pembelajaran karena mampu menyalurkan pesan sesuai tujuan yang ingin dicapai.
Berbeda dengan pendapat-pendapat para ahli sebelumnya, Oemar Hamalik memberikan pengertian media langsung dari sudut pandang pendidikan sebagai berikut : “yang dimaksud dengan media pendidikan adalah alat, metode dan tehnik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.”
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan pengertian media adalah suatu alat atau sarana yang berfungsi sebagai perantara atau pengantar dalam membantu menyampaikan informasi dari pemberi pesan kepada penerima pesan. Media menjadi suatu alat yang digunakan sebagai alat bantu dalam dunia pendidikan. Media dapat pula dimasukkan ke dalam bagian dari metode dan teknik yang digunakan dan dipilih sesuai dengan kebutuhan dalam proses pembelajaran di sekolah. Media menjadi suatu hal yang penting dan perlu dipersiapkan.
Dengan bantuan media, maka guru dapat menutupi keterbatasan yang ada pada dirinya. Media membantu menampilkan informasi yang mungkin sulit untuk dihadirkan secara langsung. Media juga memperjelas penyampaian pesan yang akan disampaikan kepada siswa. Dengan menggunakan media pembelajaran, dapat disajikan dapat menarik perhatian siswa dan diharapkan dapat memotivasi siswa untuk belajar. Seperti yang disampaikan oleh Azhar Arsyad, bahwa “media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar”.
Secara umum, media pendidikan mempunyai beberapa kegunaan, yaitu (1) memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis, (2) mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, dan (3) penggunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif anak didik.
Media pembelajaran semakin lama semakin berkembang, dari yang sederhana sampai yang rumit. Kemp & Dayton (1985) mengelompokkan media ke dalam delapan jenis, yaitu (1) media cetakan, (2) media panjang, (3) overhead transparacies, (4) rekaman audiotape, (5) seri slide dan filmstrip, (6) penyajian multi-image, (7) rekaman video dan film hidup, dan (8) komputer. Adapun Syaiful Bahri D. dan Aswan Zain membagi media menjadi tiga jenis, yaitu media auditif, media visual, dan media audio visual. Media auditif seperti radio, cassette recorder, dan piringan hitam. Media visual seperti film strip, slide foto, dan gambar. Media audiovisual seperti film bingkai suara, film rangkai suara, video cassette.
Setiap siswa memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri. Ada yang memiliki gaya belajar secara visual, gaya belajar secara audio, gaya belajar yang campuran antara audio dan visual, atau yang bersifat psikomotorik. Pengalaman langsung yang dialami siswa juga merupakan cara belajar yang mampu menyerap informasi. Hasil belajar seseorang dapat bermula dari pengalaman secara langsung hingga lambang verbal yang abstrak. Seperti yang tergambar dalam Kerucut pengalaman Edgar Dale sebagai berikut












Kerucut pengalaman Edgar Dale (dalam Zainudin Arif, 1986:79)

Dari kerucut pengalaman di atas, terdapat video tape sebagai media dalam menyampaikan informasi. Video termasuk ke dalam jenis media audiovisual. Kemampuan video dalam menampilkan gambar dan suara memberikan daya tarik tersendiri jika dibandingkan media visual atau media audio. Video mampu menampilkan gambar hidup dan suara sekaligus seperti aslinya. Media video dalam pendidikan menjadi alat bantu dalam menayangkan hal yang sulit dibuat atau didatangkan secara langsung saat proses pembelajaran. Sebagai sebuah media pembelajaran, video memiliki beberapa kelebihan, yaitu :
1. Dapat menarik perhatian untuk periode yang singkat.
2. Sejumlah besar penonton dapat memperoleh informasi dari ahli.
3. Demonstrasi yang sulit bisa dipersiapkan dan direkam sebelumnya, sehingga pada waktu mengajar guru bisa memusatkan perhatian pada penyajian.
4. Menghemat waktu dan rekaman dapat diputar berulang-ulang.
5. Kamera TV bisa mengamati lebih dekat objek yang sedang bergerak atau objek yang berbahaya sweperti harimau.
6. Keras lemah suara yang ada bisa diatur.
7. Gambar proyeksi biasa di-”beku”-kan untuk diamati dengan seksama.
8. Ruangan tidak perlu digelapkan waktu menyajikan
Selain memiliki kelebihan, video juga mempunyai kelemahan, yaitu video umumnya memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang banyak, gambar-gambar bergerak terus hingga tidak semua siswa mampu mengikuti informasi yang ingin disampaikan, video yang tersedia tidak selalu sesuai dengan yang diinginkan, kecuali dirancang dan diproduksi khusus untuk kebutuhan sendiri.
Dengan adanya kekurangan dari media video, maka disarankan kepada para guru untuk mempersiapkan betul hal apa yang akan disajikan dalam video. Penggunaan video yang sudah ada dapat mempermudah dalam persiapan. Bisa pula materi yang akan diambil hanya sebagian dari video yang akan ditampilkan. Jangan sampai penggunaan media video tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Dalam belajar keterampilan tertentu, siswa perlu mendapat model untuk belajar. Dari kerucut pengalaman Dale mengenai pengalaman logis terdapat model sebagai media dalam belajar. Pemodelan merupakan cara yang dilakukan dalam pembelajaran karena adanya suatu model yang ditiru dan pada akhirnya akan dikembangkan sesuai dengan kreativitas siswa. Seorang guru sebagai fasilitator dalam pendidikan harus memberikan model yang terbaik untuk menjadi bahan pembelajaran. Namun, guru bukanlah satu-satunya model dalam pembelajaran karena model dapat juga didatangkan dari luar. Cara pengamatan dapat pula dilakukan untuk mempelajari sikap dan tingkah laku model. Maleong berpendapat “teknik pengamatan menjadi alat yang bermanfaat” Pada saat mengamati, pengamat dapat memperhatikan dengan seksama bagaimana sikap dan tingkah laku model yang ditampilkan. Dengan hal ini akan timbul minat dan motivasi dari pihak pengamat untuk mencontoh atau meniru untuk mendapat hasil yang baik seperti model tersebut.
Sebagai tokoh yang dijadikan sebuah model dalam pembelajaran tentunya memiliki kredibilitas yang sesuai dengan keahlian bidangnya, sehingga ia layak menjadi pemodel yang terpercaya. Seperti yang dijelaskan Effendi, “seorang komunikator memiliki kredibilitas disebabkan oleh etos pada dirinya yaitu kelayakan untuk dipercaya dan kecakapan atau keahlian.” Tidak semua pemodel menjadi model yang sempurna karena tentunya pemodel memiliki keterbatasan dalam suatu keahlian. Namun, keterbatasan itu bukan suatu hal menjadi fatal karena pemodel ini dipilih karena termasuk yang terbaik dari model yang ada.
Berdasarkan teori-teori tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan pemodelan adalah seseorang yang dapat dijadikan contoh atau model, yang dapat ditiru tingkah laku dan sikapnya karena memiliki kelayakan untuk dipelajari keahliannya.
Pemodelan yang ditampilkan tergantung dari keahlian apa yang akan dipelajari. Seperti keterampilan berbicara, tentunya pemodelan yang dibutuhkan adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam berbicara. Kemampuan berbicara ini sering sebut sebagai ilmu retorika. Secara umum orang memasukkan retorika dalam berpidato. Namun, pemahaman ini dirasa kurang tepat karena saat berbicara dalam kesempatan apa pun seorang pembicara dapat menggunakan retorika. Pidato merupakan salah satu kegiatan yang memanfaatkan ilmu-ilmu retorika. Berikut adalah pengertian retorika yang diberikan oleh Gentasari Anwar:
Retorika yaitu suatu ilmu yang menjelaskan tentang bagaimana teknik seni berbicara di hadapan umum, sehingga orang merasa senang dan tertarik untuk mendengarkan uraian atau pendapat-pendapat yang disampaikan kepada orang lain dengan maksud agar orang tadi/pendengar mengetahui, memahami, menerima serta bersedia melaksanakan segala sesuatu yang disampaikan terhadap mereka.

Selanjutnya menurut pendapat ahli lain, yaitu Breket dalam I Gusti Ngurah Oka menerangkan bahwa: “Retorika merupakan seni mengafeksikan pihak lain dengan tutur, yaitu dengan cara memanipulasi (perhitungan yang matang) unsur-unsur tutur itu dan respon pendengar.” Mengenai kemampuan retorika mampu mempersuasif lawan bicara dijelaskan Aristoteles sebagai berikut: “retorika sebagai ilmu yang mengajarkan orang menemukan sarana persuasif yang objektif dari suatu kasus.”
Brook dan Warren dalam Efendi mendefinisikan retorika sebagai : “the art of using language effectively atau seni penggunaan bahasa secara baik.” Sejalan dengan pernyataan tersebut Dori Wuwur Hendrikus berpendapat bahwa: “Retorika berarti kesenian untuk berbicara baik (Kusnt, gut zu reden atau Ars bene dicendi), yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis (Ars, techne)” Berbeda dengan pendapat-pendapat para ahli sebelumnya menurut Martin Steinmann, Jr, dalam I Gusti Ngurah Oka : “retorika berbicara tentang pemilihan yang efektif terhadap bentuk cara-cara pengungkapan yang sinonim”
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa retorika adalah suatu ilmu yang menjelaskan tentang seni berbicara dengan penggunaan bahasa secara baik yang bertujuan agar pendengar memahami, menerima, dan bersedia melaksanakan hal yang disampaikan oleh pembicara.
Retorika sebagai ilmu dalam berbicara atau bertutur tentunya memiliki keunggulan tersendiri dibanding berbicara atau bertutur tanpa retorika. Berikut adalah fungsi dari retorika menurut para ahli:
Menurut Achmad H.P. dkk., “tujuan retorika ialah melakukan pembinaan saling pengertian yang mengembangkan kerja sama dan menimbulkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat melalui kegiatan bertutur.” Dari pernyataan tersebut fungsi retorika mempersiapkan segala hal guna mencapai tujuan di atas. Senada dengan itu I Gusti Ngurah Oka memberikan beberapa fungsi retorika, yaitu :
Ada 4 buah fungsi dasar retorika, yaitu: (1) memandu orang dalam mengambil keputusan dalam menghadapi berbagai kemungkinan pemecahan suatu kasus, (2) membimbing orang memahami kondisi kejiwaan penanggap tutur, (3) memimpin orang menganalisa kasus secara sistematis objektif untuk menemukan sarana persuasi yang efektif sifatnya untuk meyakinkan penanggap tutur, dan (4) mengajarkan orang cara-cara yang efektif untuk mem¬pertahankan gagasan hasil penganalisaan kasus tersebut.

Selain pendapat ahli-ahli di atas, Dori Wuwur Hendrikus berpendapat bahwa: ”komunikasi retoris itu penting supaya apa yang didengar dapat dimengerti; apa yang dimengerti dapat disetujui; apa yang disetujui dapat diterima; apa yang diterima dapat dihayati dan apa yang dihayati dapat mengubah tingkah laku”
Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi retorika adalah membina saling pengertian dengan maksud mempersuasi agar apa didengar dapat disetujui dan dapat mengubah tingkah laku dari orang yang mendengar. Fungsi persuasif sendiri adalah agar mereka yang mendengar dapat dipengaruhi ke arah yang lebih positif.
Dalam penerapan retorika, diperlukan faktor yang memperlancar terjadinya komunikasi antara pembicara dan pendengar agar tidak terjadi kesalahpahaman. Retorika tidak sekedar banyak berbicara saja. Namun lebih kepada seberapa efektif hasilnya ketika sedang dan setelah berbicara.
Seorang model untuk keterampilan berbicara, tentunya harus memiliki kemampuan retorika yang baik untuk menjadi contoh. Beberapa hal dapat dijadikan penilaian dalam penerapan retorika. Ernest dan Nancy mengatakan: “pembicara yang baik harus mengatur gerak-isyarat dan gerakan tubuh, yaitu sikap, ekspresi wajah, kontak mata, dan gerak isyarat” Selanjutnya, disebutkan juga bahwa: “faktor paralinguistik yang mempengaruhi kemampuan berbicara, yaitu artikulasi, pitch, kerasnya suara, kecepatan, dan jeda”
Hendrikus menyebutkan pembicara harus menguasai prasyarat organis: “prasyarat oraganis terdiri dari pernapasan dan teknik bernafas, membina suara, dan gerak-gerik bahasa tubuh” Selain prasyarat organis, seorang pembicara juga harus menguasai prasyarat bahasa. “prasyarat bahasa terdiri dari bahasa dan retorika, ritme dan dinamika bicara, perbendaharaan kata, susunan kalimat, dan ketentuan dan patokan dalam berpidato”
Menurut I Gusti Ngurah Oka, dalam beretorika ada usaha dan tindak yang dilakukan penutur agar penanggap tutur bisa terpengaruh oleh gagasan yang tersimpul dalam topik tutur antara lain : “pemilihan materi bahasa (disesuaikan dengan penanggap tutur), pemakaian ulasan (argumen), dan penampilan tutur dengan gaya tertentu” Adapun Jalaluddin menyampaikan faktor kata sangat penting, ia mengatakan : “sebagai pembicara yang baik harus memilih kata dengan baik. Kata-kata harus jelas, kata-kata harus tepat, dan kata-kata harus menarik.”
Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan retorika dapat dinilai dengan beberapa faktor, yaitu (1) kecakapan dalam sikap, ekspresi wajah, kontak mata, (2) mengatur ritme dan dinamika bicara, (2) memilih perbendaharaan kata dan menyusunan kalimat dengan baik sehingga menjadi menarik bagi pendengar, dan (3) pemilihan bahasa harus sesuai dengan penanggap tutur.
Faktor-faktor penilaian retorika di atas merupakan faktor yang setidak-tidaknya harus dimiliki oleh seorang model untuk keterampilan berbicara. Seorang model untuk keterampilan berbicara harus memiliki kecakapan sikap, ekspresi wajah yang menarik, dinamika bicara yang baik, pemilihan kata yang tepat, penyusunan kalimat yang baik, serta harus cermat dalam memilih bahasa yang digunakan sesuai dengan siapa ia berbicara.
Dengan kriteria model yang memiliki kemampuan retorika seperti di atas, maka yang berpeluang menjadi model untuk keterampilan berbicara ialah seorang motivator bisnis. Seorang motivator bisnis merupakan orang yang memiliki kemampuan atau keahlian dalam membangkitkan motivasi orang lain untuk melakukan suatu aktivitas tertentu untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Seorang motivator bisnis harus memberikan keyakinan kepada pendengarnya akan nasihat-nasihat yang diberikan olehnya. Ia paham dengan psikologi pendengar. Ia mampu menguasai mengguasai massa. Pemilihan materi bahasa berupa kata-kata yang menarik dan menyusun kalimat yang baik menjadi hal utama meyakinkan pendengarnya. Dengan kemampuan berbicara (retorika) yang dimilikinya, maka seorang motivator layak untuk menjadi model untuk keterampilan berbicara

2.2 Hakikat Pidato
Pidato merupakan salah satu dari keterampilan berbicara. Pidato menjadi pilihan untuk pembukaan suatu acara yang biasanya dibawakan oleh tokoh masyarakat setempat. Penggunaan pidato tidak hanya pada situasi resmi saja. Dalam situasi semi formal pun pidato dapat dilakukan karena pidato tidak selalu berada pada podium. Secara umum, pidato didefinisikan sebagai keterampilan berbicara di depan umum. Pidato dapat diartikan sebagai berikut: “pidato adalah merupakan suatu proses komunikasi atau interaksi antara si pembicara dengan pendengarnya (komunikan)”
Ada pula yang berpendapat “pidato adalah suatu ucapan dengan susunan yang baik untuk disampaikan kepada orang banyak” . Pendapat lain mengatakan: “pidato adalah sebuah kegiatan berbicara di depan umum atau ber-orasi guna menyatakan pendapatnya atau guna memberikan gambaran tentang suatu hal” . Orasi menjadi kegiatan yang memanfaakan pidato dalam mengkomunikasikan maksud dan tujuan. Menurut Maidar G. Arsjad dan Mukti U.S. (1991:53) “pidato merupakan penyampaian dan penanaman pikiran, informasi, atau gagasan dari pembicara kepada khalayak ramai.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pidato adalah kegiatan berbicara di depan umum sebagai proses komunikasi yang dilakukan oleh pembicara dengan ucapan yang tersusun baik untuk menyampaikan gambaran tentang suatu pikiran, informasi, atau gagasan kepada pendengar atau khalayak umum.
Ada empat metode dalam berpidato, yaitu :
1. Metode impromptu, yaitu pidato yang dilakukan dengan serta merta tanpa ada persiapan sama sekali.
2. Metode menghafal, yaitu pidato yang dilakukan dengan cara menghafal teks pidato yang telah dibuat sebelumnya.
3. Metode naskah, yaitu pidato dengan cara membaca naskah.
4. Metode ekstemporan, yaitu pidato dengan persiapan catatan-catatan urut-urutan topik pembicaraan.

Dalam berbicara di depan umum diperlukan pula pengetahuan mengenai tata krama dalam berpidato. Seorang pemidato yang baik akan memperhatikan bagaimana ia berpenampilan. Pemidato perlu berhati-hati dalam memilih kata-kata yang akan dikeluarkan. Tidak boleh menunjukkan sikap yang angkuh, namun tetap rendah hati. Penggunaan sedikit humor dapat membantu memecahkan kebekuan para pendengar. Dalam berpidato sikap pemidato tidak boleh kaku, namun rileks dan santai. Pemilihan kata-kata sederhana dan mudah dimengerti dapat memperlancar komunikasi yang sedang dibentuk dalam berpidato
Sebagai seorang pembicara yang baik dalam berpidato, maka orang tersebut haruslah menyiapkan dirinya agar mampu menyampaikan pidato dengan baik. Pidatonya diharapkan dapat mempengaruhi para pendengar karena dianggap berbobot. Selain banyak memiliki pengetahuan dan pengalaman seorang pembicara juga dituntut untuk meyakinkan para pendengar atas apa yang disampaikannya dalam pidato. Mengenai faktor kepribadian pembicara Hendrikus menyatakan :
Seorang pembicara hendaknya memiliki dasar pendidikan yang cukup dan pengetahuan umum yang luas. Ia memiliki rasa percaya diri dan kepastian, sehingga mampu memancarkan kepastian. Cara dan bentuk pergaulannya sesuai dengan tingkat orang-orang yang dihadapinya. Ia menyesuaikan cara berpenampilan dengan tempat dan tingkat serta karakter pertemuan. Dalam penampilan ia senantiasa memperhatikan keapikkan dan kebersihan. Ia jujur dan ikhlas dalam tutur kata dan tingkah laku. Ia bersemangat dan mampu bersemangat. Dalam pembicaraan ia memiliki artikulasi yang jelas. Bahasanya memiliki daya meyakinkan, karena merumuskan ungkapan yang tepat dan dialektis. Apabila memiliki spesialisasi, maka ia harus mampu menunjukkan kompetensi dan pengetahuan fak yang memadai.

Sebagai pembicara yang baik hendaknya memiliki kriteria di atas. Hal ini disebabkan pertama, para pendengar memerlukan kesan pertama yang baik dan menyenangkan. Kedua, para pendengar akan merasa malas mendengar bila pembicara terkesan hanya banyak bicara yang tidak konkret dan tidak jelas. Ketiga, para pendengar akan cepat bosan bila pembicara terkesan monoton baik dalam kata-kata, topik pembicaraan, maupun gagasan yang disampaikan.
Pidato yang baik memiliki beberapa kriteria. Maidar dan Mukti (1991:87) menyebutkan: “penilaian kemampuan berbicara dilihat dari dua faktor, yaitu faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan. Faktor kebahasaan yaitu pengucapan vokal dan konsonan, penempatan tekanan dan intonasi, pilihan kata (diksi), dan kalimat efektif. Lalu faktor nonkebahasaan yaitu keberanian, kelancaran, penalaran, penguasaan topik , dan gerak-gerik atau mimik.”

Faktor kebahasaan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Keefektifan Ucapan
Sebagai pembicara yang baik harus membiasakan untuk mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi bahasa yang tidak tepat dapat dapat mengalihkan perhatian pendengar. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa (vokal dan konsonan) yang tidak tepat atau cacat akan menimbulkan kebosanan, kurang menyenangkan, atau kurang menarik.
2. Penempatan Tekanan dan Intonasi
Kesesuaian penempatan tekanan dan intonasi merupakan daya tarik tersendiri dalam berbicara. Bahkan kadang-kadang merupakan faktor penentu. Walaupun masalah yang dibicarakan kurang menarik, dengan penempatan tekanan dan intonasi yang sesuai akan menyebabkan masalah menjadi menarik. Sebaliknya, jika penyampaiannya datar, dapat diperkirakan akan menimbulkan kejemuan bagi pendengar.
3. Pilihan Kata (Diksi)
Pilihan kata hendaknya tepat, jelas, dan bervariasi. Maksudnya agar mudah dimengerti oleh pendengar. Pendengar akan lebih mudah paham, bila kata-kata yang digunakan sudah dikenal oleh pendengar. Misalnya kata-kata populer tentu akan lebih efektif daripada kata-kata yang berasal dari bahasa asing yang jarang dikenal oleh pendengar. Pendengar akan lebih tertarik dan senang mendengar jika pembicara berbicara dengan jelas dalam bahasa yang dikuasainya. Pilihan kata juga disesuaikan dengan pokok pembicaraan. Jika pokok pembicaraan adalah masalah ilmiah, tentu penggunaan kata istilah tidak dapat dihindari dan pendengar pun akan dapat memahami karena pendengarnya pun biasanya orang yang mengerti bidang yang sedang dibicarakan.
4. Ketepatan Sasaran Pembicaraan (Kalimat Efektif)
Hal ini menyangkut pemakaian kaimat yang efektif. Kalimat yang efektif mempunyai ciri-ciri keutuhan, perpautan, pemusatan perhatian, dan kehematan. Keutuhan kalimat akan rusak bila salah satu unsur dari kalimat tidak ada atau akan menimbulkan kerancuan. Perpautan, bertalian dengan hubungan antar unsur-unsur kalimat, misalnya antara kata dengan kata, frase dengan frase dalam sebuah kalimat. Pemusatan perhatian pada bagian yang terpenting dalam kalimat dapat dicapai dengan menempatkan bagian itu pada awal atau akhir kalimat agar pada bagian ini mendapat tekanan waktu berbicara. Kalimat efektif harus hemat dalam pemakaian kata, sehingga tidak terjadi kemubaziran kata. Kalimat efektif mampu membuat isi atau maksud yang akan disampaikan diterima lengkap oleh pendengar.

Faktor nonkebahasaan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Keberanian
Seorang pembicara harus tampil dengan berani di depan pendengarnya. Sikap percaya diri merupakan kunci utama untuk berani berbicara di depan umum. Sikapnya harus tenang saat berbicara. Pendengar akan dapat diyakinkan bila pembicara berbicara dengan penuh keberanian dan percaya diri yang tinggi. Sebaliknya, jika seorang pembicara berbicara dengan malu-malu dan kurang percaya diri maka pendengar akan meragukan kredibilitas dari pembicara, apa lagi hal yang sedang dibicarakan olehnya.
2. Kelancaran
Seorang pembicara yang lancar dalam berbicara akan memudahkan pendengar menangkap isi pembicaraannya. Sering kita mendapatkan seorang pembicara yang berbicara terputus-putus atau terbata-bata. Hal ini akan mengganggu daya simak pendengar. Pembicara yang terlalu cepat juga akan mempersulit pendengar menangkap pokok pembicaraan. Pembicara yang baik harus berbicara dengan lancar, tidak terlalu cepat dan tidak juga terlalu lambat.
3. Penalaran
Pembicara yang baik akan mempunyai penalaran yang baik pula. Gagasan demi gagasan haruslah berhubungan dengan logis. Pemikiran pembicara yang disampaikan hingga mendapat suatu kesimpulan haruslah logis. Hal ini berarti hubungan kalimat dengan kalimat harus jelas dan logis serta berhubungan dengan pokok pembicaraan.
4. Penguasaan Topik
Seorang pembicara harus mempersiapkan topik pembicaraan sebaik mungkin. Hal ini dilakukan agar topik yang dipilih untuk diangkat dalam pembicaraan benar-benar dikuasai dengan baik. Topik merupakan bagian terpenting dalam suatu pembicaraan. Penguasaan topik pembicaraan akan berdampak keberanian dan kelacaran dalam berbicara.

5. Gerak-Gerik dan Mimik
Gerak-gerik dan mimik yang tepat dapat menunjang keefektifan berbicara. Pembicara juga terjaga dari kekakuan. Hal-hal yang penting selain mendapat tekanan juga dapat dibantu dengan gerak tangan atau mimik. Hal ini dapat menghidupkan komunikasi agar pembicara juga terjaga dari kekakuan.

2. 6 Kerangka Berpikir
Berdasarkan uraian teoritis yang telah dikemukakan, maka dapat disusun kerangka berfikir berikut.
Di dalam strategi pembelajaran peran media menjadi sangat penting guna membantu memperlancar jalannya kegiatan pembelajaran. Media dimanfaatkan oleh guru untuk mempermudah menyampaikan pesan kepada siswa dan menutupi keterbatasan yang ada pada guru. Penggunaan media dapat menarik perhatian siswa yang akhirnya dapat menambah motivasi siswa untuk belajar. Media berguna mengatasi keterbatasan ruang dan waktu, dan mengatasi sikap pasif siswa.
Video merupakan media audiovisual yang dapat dijadikan media pembelajaran karena kemampuan video dalam menampilkan gambar dan suara memberikan daya tarik tersendiri. Media video dapat menjadi alat bantu dalam menayangkan hal yang sulit dibuat atau didatangkan secara langsung saat proses pembelajaran. Sebagai sebuah media pembelajaran video memiliki beberapa kelebihan, yaitu : menarik perhatian untuk periode yang singkat, sejumlah besar penonton dapat memperoleh informasi dari ahli, dan gambar proyeksi biasa diberhentikan sesuai dengan kebutuhan untuk diamati dengan seksama.
Motivator bisnis merupakan seorang pembicara yang tentunya memiliki memiliki kemampuan atau keahlian dalam membangkitkan motivasi orang lain untuk melakukan suatu aktivitas bisnis. Pemilihan materi bahasa berupa kata-kata yang menarik dan menyusun kalimat yang baik menjadi hal utama meyakinkan pendengarnya. Kemampuan retorika inilah yang membantu dalam mempersuasi pendengarnya.
Dalam berpidato siswa harus memahami faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan. Faktor kebahasaan yaitu pengucapan vokal dan konsonan, penempatan tekanan dan intonasi, pilihan kata (diksi), dan kalimat efektif. Lalu faktor nonkebahasaan yaitu keberanian, kelancaran, penalaran, penguasaan topik , dan gerak-gerik atau mimik
Dalam belajar berpidato tentunya siswa juga harus memahami tentang retorika yang menyarankan pembicara untuk memilih perbendaharaan kata dan menyusunan kalimat dengan baik sehingga menjadi menarik bagi pendengar, kecakapan dalam sikap, ekspresi wajah, kontak mata, dan mengatur ritme dan dinamika bicara. Maka, dalam belajar berpidato sebaiknya ada contoh yang dapat dipelajari yaitu sebuah model yang baik. Untuk model berpidato alangkah baiknya model dari orang yang ahli dalam berpidato dan memahami serta menerapkan retorika saat berpidato.
Jika dilihat dari kriteria tersebut, maka motivator bisnis merupakan model yang cocok untuk menjadi contoh. Namun, dalam pengadaan (mendatangkan) langsung model yang dimaksud merupakan hal yang memerlukan dana besar dan persiapan yang matang. Dalam hal ini media menjadi alat bantu untuk menghadirkan model yang dibutuhkan. Pemodelan dapat menggunakan media video dari motivator bisnis.
Dengan demikian, secara teoritis dapat disimpulkan media pemodelan retorika motivator bisnis dapat menambah motivasi siswa, dapat memberikan contoh yang baik, dapat memberikan gambaran kepada siswa mengenai berpidato yang baik, dan pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam berpidato.

2. 7 Perumusan Hipotesis
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berfikir yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
Kemampuan berpidato siswa yang diberi media pemodelan retorika motivator bisnis lebih baik dibanding siswa yang tanpa menggunakan media pemodelan motivator bisnis.










Bab III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh media pemodelan retorika bisnis terhadap kemampuan berpidato siswa kelas XII SMAN 89 Jakarta. Secara khusus, tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat seberapa besar pengaruh media pemodelan retorika bisnis untuk membantu siswa dalam mencapai hasil, yaitu kemampuan berpidato yang baik.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi yang dipilih sebagai tempat penelitian adalah SMAN 89 Jakarta Timur. Adapun waktu dalam penelitian ini, akan dilaksanakan pada semester 2 tahun ajaran 2009 / 2010.

3.3 Variabel Penelitian
Penelitian ini memiliki dua variabel, yakni satu variabel bebas dan satu variabel terikat. Variabel bebas penelitian ini adalah media pemodelan retorika motivator bisnis. Variabel terikat penelitian ini adalah kemampuan berpidato kelas XII SMAN 89 Jakarta.

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XII SMAN 89 Jakarta yang terdiri dari lima kelas. Dari kelas tersebut peneliti hanya mengambil dua kelas secara random yang memiliki jumlah siswa yang hampir sama sebagai sampel penelitian ini yaitu kelas .... sebagai kelas kontrol dan kelas ..... sebagai kelas eksperimen.

3.5 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan peneliti adalah metode eksperimen. Metode penelitian eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendali. . Metode eksprimen ini digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh yang ditimbulkan penggunaan media pemodelan retorika bisnis terhadap kemampuan berpidato siswa kelas XII SMAN 89 Jakarta.
Adapun desain yang digunakan adalah post test only. Dalam desain ini tidak menggunakan pra tes. Siswa kelas ..... dijadikan sebagai kelas eksperimen yang diberikan perlakuan berupa pemodelan retorika motivator bisnis dengan menggunakan media video. Selanjutnya, hasil pembelajaran eksperimen tadi dibandingkan dengan kelas ..... sebagai kelas kontrol yang dalam pembelajarannya tanpa menggunakan pemodelan retorika motivator bisnis. Desain yang digunakan dalam penelitian ini digambarkan dalam bentuk sebagai berikut:
Desain Penelitian
(R)1 media pemodelan retorika motivator bisnis X O1
(R)2 tanpa media pemodelan retorika motivator bisnis - O2
Keterangan :
(R)1 : Sampel kelompok kelas eksperimen
(R)2 : Sampel kelompok kelas kontrol
X : Perlakuan, yaitu media pemodelan retorika motivator bisnis
O1 : Hasil tes berpidato kelas eksperimen
O2 : Hasil tes berpidato kelas control

3.6 Teknik Pengumpulan Data
Data diperoleh dengan melakukan perlakuan pada kelas eksperimen dengan menggunakan media pemodelan retorika bisnis. Selanjutnya, melakukan pengamatan pada kelas kontrol. Perlakuan diberikan kepada kelas eksperimen dari pertemuan ke-I sampai ke-IV. Sedangkan pada kelas kontrol tidak diberikan perlakuan selama poses pembelajaran.
Berikut adalah langkah-langkah pembelajaran berpidato dengan menggunakan media pemodelan retorika bisnis untuk pertemuan I-II:
1. Peneliti menginformasikan kepada siswa mengenai tujuan pembelajaran yang hendak dicapai.
2. Peneliti menjelaskan mengenai kriteria penilaian dalam berpidato.
3. Peneliti memberikan tayangan video dari motivator bisnis sebagai model dalam berpidato.
4. Peneliti meminta pendapat siswa mengenai tayangan video dari motivator bisnis.
5. Peneliti menyimpulkan pendapat dari siswa mengenai kriteria yang seharusnya dimiliki oleh orang yang berpidato dari model yang telah ditayangkan, yaitu retorika dari motivator bisnis.

Berikut adalah langkah-langkah pembelajaran berpidato dengan menggunakan media pemodelan retorika bisnis untuk pertemuan II-IV:
1. Peneliti menginformasikan kepada siswa mengenai tujuan pembelajaran yang hendak dicapai.
2. Peneliti menjelaskan mengenai kriteria penilaian dalam berpidato.
3. Peneliti memberikan tayangan video dari motivator bisnis sebagai model dalam berpidato.
4. Peneliti meminta siswa memberikan pendapat mengenai tayangan video dari motivator bisnis.
5. Peneliti menyimpulkan pendapat dari siswa mengenai kriteria yang seharusnya dimiliki oleh orang yang berpidato dari model yang telah ditayangkan, yaitu retorika dari motivator bisnis.
6. Perwakilan beberapa orang siswa diminta maju ke depan untuk berpidato. Hal ini dilakukan sebagai latihan berpidato.
7. Peneliti meminta siswa yang tidak maju untuk memberikan komentar kepada siswa yang maju ke depan untuk berpidato.

Pada pertemuan ke-V sampai ke-VI, diberikan tes kemampuan berpidato untuk kedua kelas tersebut dengan alat pengujian yang sama dalam standar kompetensi berpidato.

3.7. Definisi Konseptual
3.7.1. Media Pemodelan Retorika Motivator Bisnis
Media pemodelan retorika motivator bisnis adalah model penggunaan aspek-aspek retorika oleh seorang motivator yang berbicara pada bidang bisnis yang digunakan sebagai media dalam pembelajaran. Model ini ditampilkan dalam bentuk rekaman video yang akan menjadi contoh untuk dipelajari. Aspek-aspek retorika digunakan oleh motivator bisnis digunakan untuk memotivasi dan meyakinkan pendengarnya.
3.7.2 Kemampuan Berpidato
Kemampuan berpidato adalah kemampuan yang dimiliki siswa untuk berpidato dengan memperhatikan faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan dalam berpidato.
3.7.2 Definisi Operasional
Kemampuan berpidato adalah skor yang diperoleh dari tes berpidato yang mencakup faktor kebahasaan dan nonkebahasaan yang dilakukan terhadap kelas kontrol dan kelas eksperimen, kemudian dibandingkan dari hasil yang diperoleh masing-masing kelas tersebut.

3.8 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah tes kemampuan berpidato yang digunakan untuk membandingkan hasil uji kemampuan berpidato siswa kelas .... sebagai kelas eksperimen yang menggunakan media pemodelan retorika motivator bisnis dengan kelas ..... sebagai kelas kontrol yang tanpa menggunakan media pemodelan retorika motivator bisnis. Tes kemampuan berpidato ini lebih memfokuskan pada kemampuan berpidato siswa dengan memperhatikan faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan

3.8.1 Kriteria Penilaian
Kriteria penilaian yang digunakan berupa kriteria penilaian kemampuan berpidato. Kriteria penilaian kemampuan berbicara tersebut mengacu pada faktor kebahasaan dan nonkebahasaan yang meliputi :
1. Faktor kebahasaan terdiri dari pengucapan vokal dan konsonan, penempatan tekanan dan intonasi, pilihan kata (diksi), dan kalimat efektif.
2. Faktor nonkebahasaan terdiri dari keberanian, kelancaran, penalaran, penguasaan topik, dan gerak-gerik atau mimik.

Tabel Kriteria Penilaian
No Aspek
Kebahasaan Skor Kriteria
1. Pengucapan Vokal dan Konsonan 7-10

4-6


0-3 Sangat Baik
Pengucapan vokal dan konsonan jelas.
Baik
Pengucapan vokal dan konsonan jelas tetapi terkadang melakukan kesalahan pengucapan
Kurang
Siswa sering melakukan kesalahan pengucapan.
2. Penempatan tekanan dan intonasi 7-10


4-6


0-3 Sangat Baik
Penggunaan tekanan dan intonasi tepat dan tidak menimbulkan salah pengertian
Baik
Penggunaan tekanan dan intonasi sudahtepat tetapi terkadang masih ada yang datar
Kurang
Penggunaan tekanan dan intonasi sering datar
3. Pilihan Kata (diksi) 11-15

6-10


0-5 Sangat Baik
Pilihan kata sangat baik
Baik
Pilihan kata sudah baik tetapi masih ada kurang tepat
Kurang
Pilihan kata sering tidak tepat
4. Kalimat efektif 7-10



4-6



0-3 Sangat Baik
Kalimat yang digunakan efektif, struktur kalimat sangat baik dan tidak menimbulkan kerancuan
Baik
Masih menggunakan kalimat yang kurang efektif dan masih ada struktur kalimat yang tidak baik
Kurang
Menggunakan kalimat yang tidak efektif dan maknanya tidak jelas

No. Aspek Nonkebahasaan Skor Kriteria
1. Keberanian 7-10

4-6

0-3 Sangat Baik
Sangat berani dan penuh percaya diri
Baik
Cukup berani namun terlihat masih tegang
Kurang
Tegang, gugup, dan ragu-ragu
2. Kelancaran Berbicara 7-10

4-6


0-3 Sangat Baik
Berbicara sangat lancar
Baik
Berbicara cukup lancar tetapi terkadang terbata-bata
Kurang
Pengucapan terbata-bata
3. Penalaran 7-10

4-6


0-3 Sangat Baik
Cara berfikirnya sistematis
Baik
Cukup sistematis tetapi terkadang masih berbelit-belit
Kurang
Tidak sistematis dan berbelit-belit
4. Penguasaan Topik Pembicaraan 11-15



5-10


0-5 Sangat Baik
Masalah pembicaraan dikuasai dengan baik dan argumen yang diberikan sesui dengan topik pembicaraan
Baik
Argumen cukup baik, namun masih kurang menguasai masalah pembicaraan.
Kurang
Tidak menguasai masalah pembicaraan
5. Gerak-gerik atau Mimik 7-10


4-6

0-3 Sangat Baik
Sesuai dengan situasi saat berbicara (fleksibel) dan sewajarnya
Baik
Agak kaku
Kurang
Terlalu kaku dan sedikit bergerak

Aspek-aspek yang Dinilai

No. Nama Faktor Kebahasaan Faktor Nonkebahasaan Jumlah
Pengucapan
Vokal dan
Konsonan Tekanan dan intonasi Pilihan kata (diksi) Kalimat efektif Keberanian Kelancaran Penalaran Penguasaan topik Gerak-gerik/mimik
10% 10% 15% 10% 10% 10% 10% 15% 10% 100%
1.
2.
3.

3.8 Teknik Analisis Data
Data diperoleh dari hasil tes berpidato siswa yang menggunakan media pemodelan retorika motivator bisnis dan yang tanpa menggunakan media pemodelan retorika motivator bisnis. Hasil kemampuan tersebut dinilai dan dilihat perbedaannya. Hasilnya kemudian dianalisis dengan rumus uji-t dengan hipotesis nol ditolak pada taraf signifikan α = 0,05 sebagai berikut :