Powered By Blogger

magelang

magelang
jalan-jalan truz

Selasa, 06 Agustus 2019

Magis Literasi Untuk Bekasi

Tak terasa 69 tahun kabupaten menyatakan hari jadinya, usia yang tidak lagi muda namun tidak cukup tua untuk menjadi sebuah kabupaten yang memiiki lebih kurang seribu perusahaan yang berada pada kawasan industri yang terbetntuk dari tahun ’90’-an. Namun apa yang menjadi kegelisahan kota indiustri ? jawabnya sederhana yakni masalah keterbacaan Peran keterbacaan di daerah industri memang unik. Pembaca ada yang menjadi pekerja, guru, pedagang, dan profesi lainnya yang aling berkaitan. Periha literasi bukannya tidak bisa dijalankan oleh semua kalangan hanya saja kesadaran untuk menelusuri (wacana) inilah yang terkadang pembaca pun bisa terkecoh dengan iming-iming si pembaca ingin di “cap” yang paling tahu. Literasi bukan hal yang baru dan asing bagi kebanyakan kita, hanya saja pada tingkat praktik yang kadang masih banyak yang mempersepsikan literasi adalah kegiatan akademik dan selalu berada di kelas untuk memperhatikan pengajar atau guru yang menjelaskan sesuatu. Pengertian tersebut tidak salah, karena beberapa masih sebagai kegiatan “mekanis” di dalam kelas, guru memerintahkan siswa untuk membaca kemudian menjawab soal. Kegiatan tersebut “mekanis” karena secara teknik hanya ada kegiatan membaca dan menulis jawaban tanpa ada sebuah genealogi, sosiohistoris, dan konteks dalam teks tersbeut sehingga secara akademik mampu memicu minat kepada teks tersebut dan menjadi sebuah catatan penting yang akan diingat oleh peserta didik. Gambaran umum yang penulis peroleh berdasarkan observasi dan wawancara dengan guru maupun murid-murid sekolah. Namun bukan sekolah yang akan menjadi tujuan artikel ini dibuat, yakni meninjau ulang sejarah literasi yang sudah berikan contoh oleh orang terdahulu yang ada di Kabupaten Bekasi, para kiai. Satu tokoh yang bisa kita ambil contoh adalah KH. Noer Ali dan KH Ma’mun Nawawi. Dalam sejarah Kabupaten Bekasi, kedua kiai itu memang tidak asing bagi para orangtua yang sudah tinggal bertahun-tahun lamanya di wilayah Bekasi. namun apa yang menjadi daya tarik dari kedua tokoh tersebut adalah keikhlasannya untuk belajar dan bersedia menyumbangkan idenya dalam bentuk lisan maupun tulis sehingga membebaskan Bekasi dari terpaan kolonial pun sedikit banyak membentuk karakter masyarakat Bekasi. Dua Tokoh yang Saling Mengisi dua tokoh ulama besar dari Kabupaten Bekasi yakni, KH. Noer Ali dan KH. Ma’mun Nawawi mungkin bisa dijadikan contoh alternatif dalam meningkatkan keilmuan dan literasi masyarakat Bekasi bahwa proses mendapatkan ilmu tidak semudah yang hari ini, beberapa pendapat harus kita dengarkan namun tidak semua diterima ketika meneruskannya pada masyarakat luas, seperti dua tokoh yang akan saya ulas berikut ini. Perjalanan dua tokoh ini dimulai dari usia belia. Pertama adalah usia delapan tahun bagi KH. Noer Ali, dia mulai belajar mengaji pada Guru Maksum di Kampung Bulak. Tiga tahun kemudian, dia mengkaji ilmu tata bahasa Arab, tauhid, dan fiqih dari Guru Mughni Ketekunannya semakin menebal. Memasuki usia remaja, Noer Ali pergi ke Kampung Cipinang Muara, Klender (Jakarta Timur). Tujuannya, memeroleh ilmu dari Guru Marzuqi yang kelak menghasilkan alim ulama Betawi terkemuka. Banyak di antaranya yang sahabat karib Noer Ali Beranjak remaja, KH. Noer Ali kemudian berangkat ke Klender, Jakarta untuk belajar ilmu agama bersama Guru Marzuqi yang seorang alim ulama di wilayah tersebut. Setelah belajar ilmu agama di Jakarta, beliau diberikan kesempatan oleh Allah SWT untuk menunaikan ibadah haji pada umur 20-an. Hal ini diinisiasi Wat Siong dan beberapa koleganya bahwa Noer Ali adalah pemuda yang mempunyai banyak potensi untuk mengembangkan keilmuannya kepada masyarakat untuk kemajuan masyarakat Bekasi. setelah memperoleh izin, berangkatlah beliau ke tanah suci menemui sahabat dari gurunya, Syekh al-Maliki. Sepulang dari Makkah, Kabupaten Bekasi pada tahun 1940-an tengah berperang melawan kolonial. Noer ali yang saat itu banyak mendapatkan ilmu politik selepas belajar di Makkah mengadakan perlawanan gerilya dengan cara menghimpun para intelektual dan para barisan pemuda sehingga terbentuklah barisan Laskar Hizbullah Sabilillah dan berbagai organisasi lainnya saat itu untuk melawan pemerintah kolonial. Saat itu Noer Ali berkontribusi besar dalam melakukan perlawanan di daerah Jakarta, Karawang, dan Bekasi. Ia dijuluki “Belut Putih” karena sulit untuk ditangkap oleh para kolonial dan sekutunya. Usai melawan kolonial, muncul saat pergolakan PKI di Jawa Barat. Gejolak ini sangat sulit diatasi karena mereka melawan saudaranya sendiri. Muncul fitnah dan saling menuduh simpatisan PKI adalah sebuah hal yang lumrah karena itu dijadikan sebagai propaganda baik simpatisan PKI maupu oknum yang ingin menggulingkan nama besar Noer Ali dan kawan-kawan. Gejolak yang sengit itu pun akhirnya bisa untuk diredakan berkat kerja sama dan selalu mengadakan konfirmasi ketika beberapa orang yang dituduh simpatisan. Saat itu pun beliau mempunyai peran penting dengan melakukan perlawanan karena dituduh simpatisan PKI. Berkat keberaniannya yang mampu membuktikan bahwa ia dan organisasi (Attaqwa) terbebas dari jerat simpatisan PKI. Lain halnya dengan KH. Noer Ali, KH. Mazmun Nawawi lebih menawarkan bentuk perlawanan dengan produktif untuk menghasilkan tulisan. Perjalanan keilmuan Kiai Ma’mun Nawawi dimulai pada usia 15 tahun. Setelah mendapat didikan langsung dari ayahnya, beliau melanjutkan studi ke pesantren yang diasuh oleh Tugabus Bakri bin Seda (Mama Sempur) di Plered Sempur Purwakarta hingga 7 tahun. Kecerdasan dan akhlak Kiai Ma’mun Nawawi diakui oleh seluruh santri, baik junior maupun senior. Hal demikian sampai menjadikan Kiai Ma’mun Nawawi diangkat menjadi menantu oleh pemilik pondok pesantren, yaitu Mama’ (panggilan untuk tokoh agama di Sunda) Sempur . Ulama kelahiran Cibogo, Cibarusah ini melanjutkan kegiatan belajar ilmu agama ke Makkah. Di sana ia belajar falak, hadis, dan astronomi dari 13 lebih mualif (pengarang kitab) selama dua tahun, di antaranya al-Muhaddits as-Sayyid Alawi al-Maliki, Mama KH. Mukhtar Ath Tharid, dan syaikh ‘Ali al Maliki. Pun demikian sepulangnya dari Makkah, Kiai Ma’mun memulai belajar ilmu agama ke daerah Jawa Timur (Tebu Ireng) dan Pesantren Syaikh Ihsan Jampes Kediri. Apa yang ditulis oleh beliau, adalah kitab Risalat Syurb ad-Dukhan yang memuat rambu-rambu tentang larangan merokok sebagai tandingan dari kitab berjudul Irsyad al-Ikhwan fi Bayani Syurb al-Qahwah wa ad-Dukhan berisi penyeimbang atas larangan-larangan merokok yang ditulis oleh gurunya Syaikh Ihsan Jampes. Hingga usia 63 tahun banyak karya tulisan yang dihasilkan oleh beliau. Lebih dari 63 karya telah ditulis dan diterjemahkan untuk memenuhi kekosongan ilmu agama yang ada di pesantren-pesantren seluruh Indonesia. Karya-karya beliau mencakup keilmuan Islam dalam bidang Hadis, fikih, astronomi (falak), sastra, dan lain-lain. Pada umumnya karya-karya beliau ditulis dengan menggunakan arab pegon dan berbahasa Sunda. Akal Sehat dan Berguru Pada yang Ahli Kedua mualim di atas memiliki pola yang sama dalam meningkatkan literasi, yakni berguru kepada yang ahli kemudian menganalisa dan membuatnya menjadi sebuah karya. Tidak ada keraguan bagi mereka yang ingin mengerjakan sebuah proses mulia dengan penuh tantangan, dari kolonial hingga keterbatasan jarak dan identitas. Ketika ingin memulai sesuatu maka bacalah dan mulailah sesuatu dengan niat yang tulus dan penuh kesadaran. Pemkab Bekasi bersama masyarakat bisa meningkatkan keterbacaan dengan memanfaatkan ruang publik. Bisa dengan mengenalkan dua tokoh di atas atau membahas tokoh lainnya juga karya-karya mereka dengan diskusi di sebuah cafe yang biasa anak muda “nongkrong”. Mengapa harus anak muda karena dari merekalah kita harusnya belajar, belajar untuk menerima segala dunia mereka dengan mengenalkan cara-cara yang memberikan kesadaran bahwa apapun bisa dibahas jika masing-masing kita mempunyai ilmu. Ilmu yang didapat kemudian dianalisa dan diuji ke ruang-ruang publik dalam bentuk obrolan atau bedah suatu karya. Kemudian masing-masing pengunjung dari ruang publik itu bisa bergembira karena mendapatkan hal baru yang sedkit menggerakkan mereka bahwa pentingnya sebuah proses kelimuan kala kita telah selesai membaca. Kab. Bekasi 2035, semoga.