Powered By Blogger

magelang

magelang
jalan-jalan truz

Jumat, 14 Mei 2010

perbandingan puisi

1. PENDAHULUAN
Kata sastra berasal dari bahasa Sansekerta dengan akar kata sas yang berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi ; dan kata tra yang berarti alat atau sarana. Kata sastra dikombinasikan dengan kata su yang berarti baik, Jadi secara leksikal susastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik (Teeuw dalam Ratna, 2005 : 4). Filsuf Horatius mengungkapkan bahwa sebuah karya sastra haruslah dulce, utile, prodesse et delectare (indah, berguna, manfaat, dan nikmat). Oleh karena itu sastra dikaitkan dengan estetika atau keindahan. Selain pada isinya, lokus keindahan sastra terletak pada bahasa. Dalam sebuah karya sastra, bahasa yang dipakai terasa berbeda dengan bahasa sehari-hari, karena telah disusun, dikombinasikan, mengalami deotomisasi dan defamiliarisasi ; karena adanya kata-kata yang aneh, berbeda, atau asing (ostranenie) ; juga karena adanya kebebasan penyair untuk menggunakan atau bahkan “mempermainkan” bahasa (licentia poetica). Bahasa dalam sastra dikenal penuh dengan ambiguitas dan homonim, serta kategori-kategori yang tidak beraturan dan irrasional. Bahasa sastra juga penuh dengan asosiasi, mengacu pada ungkapan atau karya yang diciptakan sebelumnya. Dalam bahasa sastra sangat dipentingkan tanda, simbolisme, dan suara dari kata-kata. Bahasa sastra bersifat konotatif dan refensial serta memiliki fungsi ekspresif untuk menunjukkan nada dan sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra berusaha mempengaruhi, membujuk, dan pada akhirnya mengubah sikap pembaca (Welleck & Warren, 1990 : 15).
Karya sastra merupakan rekonstrusi yang harus dipahami dengan memanfaatkan mediasi. Karya sastra membangun dunia melalui energi kata-kata. Melalui kualitas hubungan paradigmatik, sistem tanda dan sistem simbol, kata-kata menunjuk sesuatu yang lain di luar dirinya. Bahasa mengikat keseluruhan aspek kehidupan, untuk kemudian disajikan dengan cara yang khas dan unik agar peristiwa yang sesungguhnya dipahami secara lebih bermakna. Lebih intens, dan dengan sendirinya lebih luas dan lebih mendalam (Ratna, 2005 : 16). Hakikat sastra adalah imajinasi dan kreativitas, sehingga sastra selalu dikaitkan dengan ciri-ciri tersebut. Sastra sebagai karya imajinatif. Acuan dalam sastra adalah dunia fiksi atau imajinasi. Sastra mentransformasikan kenyataan ke dalam teks. Sastra menyajikan dunia dalam kata, yang bukan dunia sesungguhnya, namun dunia yang ‘mungkin’ada. Walaupun berbicara dengan acuan dunia fiksi, namun, menurut Max Eastman, kebenaran dalam karya sastra sama dengan kebenaran di luar karya sastra, yaitu pengetahuan sistematis yang dapat dibuktikan. Fungsi utama sastrawan adalah membuat manusia melihat apa yang sehari-hari ada di dalam kehidupan, dan membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya sudah diketahui (Welleck & Warren, 1990 : 30-31).
Selain bercirikan keindahan, sebuah karya sastra haruslah memiliki kegunaan. Dalam hal ini perlu dibahas fungsi sastra bagi manusia, yaitu sebagai kesenangan dan manfaat. Kedua sifat tersebut saling mengisi. Kesenangan yang diperoleh melalui pembacaan karya sastra bukanlah kesenangan ragawi, melainkan kesenangan yang lebih tinggi, yaitu kesenangan kontemplasi yang tidak mencari keuntungan. Sedangkan manfaatnya adalah keseriusan yang menyenangkan, keseriusan estetis, dan keseriusan persepsi. Selain itu sastra juga memiliki fungsi katarsis, yaitu membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu, sehingga terciptalah rasa lepas dan ketenangan pikiran (Welleck & Warren, 1990 : 34-35).
Jadi, sastra berfungsi untuk meningkatkan kehidupan. Fungsi yang sama juga diemban oleh kebudayaan. Yang dimaksud dengan kebudayaan menurut Marvin Haris adalah seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku (Haris dalam Ratna, 2005 : 5). Dari definisi tersebut terlihat bahwa kebudayaan mengkaji aktivitas manusia, sebuah wilayah kajian yang juga dimiliki oleh sastra. Dapat dikatakan bahwa sastra adalah salah satu aspek kebudayaan yang memegang peranan penting, sehingga sastra terlibat dalam kebudayaan. Hakikat sastra dan kebudayaan adalah hakikat fiksi dan fakta. Karya sastra dibangun atas dasar rekaan, dienergisasikan oleh imajinasi, sehingga dapat mengevokasikan kenyataan-kenyataan, sedangkan kebudayaan memberi isi, sehingga kenyataan yang ada dalam karya sastra dapat dipahami secara komprehensif. Sastra dan kebudayaan berbicara mengenai aktivitas manusia. Sastra melalui kemampuan imajinasi dan kreativitas sebagai kemampuan emosional, sedangkan kebudayaan melalui kemampuan akal, sebagai kemampuan intelektualitas. Kebudayaan mengolah alam melalui akal, melalui teknologi. Sedangkan sastra mengolah alam melalui kemampuan tulisan. Sastra membangun alam, membangun dunia baru sebagai dunia dalam kata. Sastra dan kebudayaan untuk pencerahan akal budi manusia untuk meningkatkan kehidupan. Sastra dan kebudayaan kemudian menjadi bahan kajian dalam cultural studies (studi kultural). karya sastra merupakan objek studi kultural yang kaya akan nilai. Selain itu, karya sastra juga dinilai sebagai rekaman peristiwa-peristiwa kebudayaan. Studi kultural memahami karya sastra dalam kaitan sebagaimana adanya, dengan memanfaatkan petunjuk yang ada dalam teks sebagai hakikat pluralitas. Saat ini teori yang dianggap paling kuat untuk menganalisis hubungan antara sastra dan kebudayaan adalah teori postrukturalisme. Teori ini memberikan warna baru yang lebih kompleks bagi kajian sastra. Paradigma postrukturalisme memberikan perhatian kepada pembaca dengan konsepnya tentang kematian pengarang. Karya sastra dianggap memiliki ruang-ruang kosong, tempat para pembaca memberikan penafsirannya. Karya sastra menjadi berisi, setelah ruang kosong tersebut diisi oleh penafsiran pembaca. Semakin banyak ruang kosong tersebut, maka semakin banyak kesempatan pembaca untuk berdialog dengan penulis. Makna suatu karya sastra dapat berubah-ubah tergantung pada pembacanya. Setiap pembaca dapat memberikan penafsiran yang berbeda-beda. Di sinilah letaknya kekayaan makna suatu karya sastra. Karya sastra pun dikatakan bersifat terbuka, karena tema, latar, tokoh, plot, dan keseluruhan penafsiran merupakan sistem yang terbuka, berubah sesuai dengan situasi dan kondisi pembaca. Setiap aktivitas pemahaman melahirkan makna yang baru sebab tidak ada wacana yang pertama maupun terkahir, setiap wacana merayakan kelahirannya (Todorov dalam Ratna, 2005 : 145).
Dalam perkembangan selanjutnya, untuk melihat keunikan dan kekayaan dalam suatu karya sastra diperlukan suatu pengkajian khusus yang dapat memperkaya pemahaman kita mengenai keberanekaragaman karya sastra. Pengkajian tersebut biasa dikenal dengan sastra bandingan. Studi banding dalam sastra bandingan semakin melebar dengan mengkaji dan menganalisis teks sastra. Sastra bandingan adalah sebuah studi teks across cultural. Studi ini merupakan upaya interdisipliner, yakni lebih banyak memperhatikan hubungan sastra menurut aspek waktu dan tempat. Dari aspek waktu, sastra bandingan dapat membandingankan dua atau lebih periode yang berbeda. Sedangkan konteks tempat, akan mengikat satra bandingan menurut wilayah geografis sastra. Konsep ini merepresentasikan bahwa sastra bandingan memang cukup luas, bahkan pada perkembangan selanjutnya konteks sastra bandingan tertuju pada bandingan sastra dengan bidang lain. Bandingan ini, guna merunut keterkaitan antar aspek kehidupan (Endraswara, 2008 : 128).
Sastra Bandingan ( Comparative Literature ) dalam banyak rumusan atau definisi, umumnya menekannya perbandingan dua karya atau lebih dari sedikitnya dua Negara yang berbeda. Sastra bandingan bertujuan untuk menghapus pandangan sempit sastra nasional dan untuk menghilangkan anggapan bahwa satu sastra nasional lebih baik dari satu sastra nasional lainnya. Sastra bandingan tidak mempersoalkan masalah perbedaan dalam agama dan kurun waktu. Karya-karya sastra dapat saja dibahas dan dibandingkan meskipun lokasi cerita, para pelaku, dan penulisnya menunjukan perbedaan yang jelas.
Sastra Bandingan dalam kajian umum serta dalam kaitannya dengan sejarah ataupun yang lainnya adalah bagian dari sastra. Bagaimana menghubungkan sastra yang satu dengan yang lain, dan bagaimana pengaruh keduanya, serta apa yang dapat diambil dari sastra ini dan apa yang diberikannya. Atas dasar inilah kajian dalam sastra bandingan bersifat berpindah dari satu sastra ke sastra yang lain. Terkadang perpindahan ini dari segi lafadz-lafadz bahasa atau dalam tema serta dalam gambaran yang di perlihatkan sastrawan dalam temanya, atau berupa karya-karya seni. Dan batasan-batasan yang memisahnya antara sastra dengan yang lain pada kajian perbandingan terletak pada bahasa-bahasa. Maka perbedaan antara bahasa adalah syarat untuk membangun kajian sastra banding. Pengaruh-pengaruh sastra yang ditulis dengan satu sama lain dan perbandingan yang terjadi antara sastrawan satu dengan yang lain mengenai bahasa yang satu tidak pula masuk bahasan sastra banding.
Dalam sastra bandingan kajian sastra dapat dilakukan dengan mengambil hanya dua karya sastra, misalnya dua sajak, dari sastra nasional yang berbeda. Selain itu sastra bandingan mencakup pula kajian tentang hubungan karya-karya sastra dengan berbagai bidang d luar kesusasteraan, misalnya dengan ilmu pengetahuan, agama, dan karya-karya seni.
Sedangkan dalam praktiknya sastra bandingan tidak hanya mencantumkan analisis atau interpretasinya pada kebudayaan dan kehidupan kemasyarakatan yang melahirkannya. Karena jika hanya itu yang ditampilkan maka analisis itu hanya menyangkut dua atau lebih teks sastra yang berbeda dan hasil perbandingan itu hanya akan sampai pada perbedaan dan persamaan tekstual. Dari sana mungkin kita akan sampai juga pada persoalan reputasi dan penetrasi, dan pengaruh-mempengaruhi. Jika demikian halnya, maka perbandingan itu akan tetap berkutat pada persoalan tekstual. Oleh karena itu, pada dasarnya tujuan sastra bandingan yang tidak hanya sampai pada perbandingan dua teks sastra yang berbeda dan mengungkapkan persamaan dan perbedaan tekstual, tetapi juga coba menelusuri persamaan dan perbedaannya itu sebagai bagian dari dua produk budaya yang dilahirkan dari dua kehidupan sosio-budaya yang berbeda.
Kajian sastra banding memiliki manfaat besar dalam kawasan Nasional dan Global pada kawasan nasional mengarahkan penelaahan atas sastra asing dan membandingkannya dengan sastra Umum, menuju peringanan dari segi kefanatikan bahasa dan sastra umum/ pribumi tanpa mencari kebenaran. Dan dari segi fungsi-fungsi study sastra banding sebenarnya menjadikan pembelajaran tentang kebiasaan khusus atas perbedaan antara apa itu nasional yang melekat dan pendatang yang menyulusup dan dari segi pemikiran dan kebudayaan.
Sebelum memasuki pada pembicaraan beberapa karya sastra yang hendak dijadikan contoh kasus studi sastra bandingan, alangkah baik jika diperhatikan dahulu sejumlah rumusan mengenai sastra bandingan. Dari rumusan itu, serta dengan mengungkapkan beberapa kasus terjadinya problem konseptual, boleh jadi pula akan diperoleh rumusan yang lebih pas; atau paling sedikit dapat meninjau sejauh mana rumusan sastra bandingan masih dapat dipertahankan dan alternatif apa yang perlu dikedepankan.







2. ISI
A. PUISI
1. Pengertian
Secara etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poites, yang berarti pembangun, pembentuk, pembuat. Dalam bahasa Latin dari kata poeta, yang artinya membangun, menyebabkan, menimbulkan, menyair. Dalam perkembangan selanjutnya, makna kata tersebut menyempit menjadi hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak dan kadang-kadang kata kiasan (Sitomorang, 1980:10).
Puisi biasa dibuat oleh pengarang dengan tiga sasaran yaitu pertama, untuk dirinya sendiri sebagai sarana pengungkapan perasaan dan pendapat-pendapat pengarang terhadap sesuatu; kedua, untuk redaksi maksudnya setelah puisi itu dibuat maka redakturlah yang memiliki kewajiban menyebarluaskan puisi tersebut kepada masyarakat; ketiga, untuk penikmat dan kritikus, bagi mereka puisi digunakan sebagai objek pengamatan ataupun hanya sekedar bahan bacaan.
Seperti diketahui bahasa puisi memiliki karakter tersendiri yang dalam istilah bahasa disebut bahasa konotasi. Bahasa konotasi tidak hanya didukung oleh artikel material tetapi lebih banyak berorientasi pada pengertian-pengertian non fisik yang ditopang oleh symbol-simbol, emosi, dan suasana hati. Oleh karena itu puisi lahir dari pertemuan dunia batin sumber inspirasi dan dunia batin penyairnya.
Menurut Vicil C. Coulter, kata poet berasal dari kata bahasa Gerik yang berarti membuat, mencipta. Dalam bahasa Gerik, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir menyerupai dewa-dewa atau orang yang amat suka pada dewa-dewa. Dia adalah orang yang mempunyai penglihatan yang tajam, orang suci, yang sekaligus seorang filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi (Situmorang, 1980:10).


Ada beberapa pengertian lain.
1. Menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984), puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.
2. Putu Arya Tirtawirya (1980:9) mengatakan bahwa puisi merupakan ungkapan secara implisit, samar dengan makna yang tersirat di mana kata-katanya condong pada makna konotatif.
3. Ralph Waldo Emerson (Situmorang, 1980:8) mengatakan bahwa puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin.
4. William Wordsworth (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah peluapan yang spontan dari perasaan-perasaan yang penuh daya, memperoleh asalnya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan kembali dalam kedamaian.
5. Percy Byssche Shelly (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah rekaman dari saat-saat yang paling baik dan paling senang dari pikiran-pikiran yang paling senang.
6. Watt-Dunton (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekpresi yang kongkret dan yang bersifat artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama.
7. Lescelles Abercrombie (Sitomurang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekspresi dari pengalaman imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa yang mempergunakan setiap rencana yang matang serta bermanfaat.

2. UNSUR-UNSUR PEMBENTUK PUISI
Ada beberapa pendapat tentang unsur-unsur pembentuk puisi. Salah satunya adalah pendapat I.A. Richard. Dia membedakan dua hal penting yang membangun sebuah puisi yaitu hakikat puisi (the nature of poetry), dan metode puisi (the method of poetry).
Hakikat puisi terdiri dari empat hal pokok, yaitu
1. Sense (tema, arti)
Sense atau tema adalah pokok persoalan (subyek matter) yang dikemukakan oleh pengarang melalui puisinya. Pokok persoalan dikemukakan oleh pengarang baik secara langsung maupun secara tidak langsung (pembaca harus menebak atau mencari-cari, menafsirkan).
2. Feling (rasa)
Feeling adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya. Setiap penyair mempunyai pandangan yang berbeda dalam menghadapi suatu persoalan.
3. Tone (nada)
Yang dimaksud tone adalah sikap penyair terhadap pembaca atau penikmat karyanya pada umumnya. Terhadap pembaca, penyair bisa bersikap rendah hati, angkuh, persuatif, sugestif.
4. Intention (tujuan)
Intention adalah tujuan penyair dalam menciptakan puisi tersebut. Walaupun kadang-kadang tujuan tersebut tidak disadari, semua orang pasti mempunyai tujuan dalam karyanya. Tujuan atau amanat ini bergantung pada pekerjaan, cita-cita, pandangan hidup, dan keyakinan yang dianut penyair
Untuk mencapai maksud tersebut, penyair menggunakan sarana-sarana. Sarana-sarana tersebutlah yang disebut metode puisi. Metode puisi terdiri dari
1. Diction (diksi)
Diksi adalah pilihan atau pemilihan kata yang biasanya diusahakan oleh penyair dengan secermat mungkin. Penyair mencoba menyeleksi kata-kata baik kata yang bermakna denotatif maupun konotatif sehingga kata-kata yanag dipakainya benar-benar mendukung maksud puisinya.
2. Imageri (imaji, daya bayang)
Yang dimaksud imageri adalah kemampuan kata-kata yang dipakai pengarang dalam mengantarkan pembaca untuk terlibat atau mampu merasakan apa yang dirasakan oleh penyair. Maka penyair menggunakan segenap kemampuan imajinasinya, kemampuan melihat dan merasakannya dalam membuat puisi.

Imaji disebut juga citraan, atau gambaran angan. Ada beberapa macam citraan, antara lain
a) citra penglihatan, yaitu citraan yang timbul oleh penglihatan atau berhubungan dengan indra penglihatan.
b) Citra pendengaran, yaitu citraan yang timbul oleh pendengaran atau berhubungan dengan indra pendengaran.
c) Citra penciuman dan pencecapan, yaitu citraan yang timbul oleh penciuman dan pencecapan.
d) Citra intelektual, yaitu citraan yang timbul oleh asosiasi intelektual/pemikiran.
e) Citra gerak, yaitu citraan yang menggambarkan sesuatu yanag sebetulnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak.
f) Citra lingkungan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran selingkungan.
g) Citra kesedihan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran kesedihan.
3. The concrete word (kata-kata kongkret)
Yang dimaksud the concrete word adalah kata-kata yang jika dilihat secara denotatif sama tetapi secara konotatif mempunyai arti yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi pemakaiannya. Slametmulyana menyebutnya sebagai kata berjiwa, yaitu kata-kata yang telah dipergunakan oleh penyair, yang artinya tidak sama dengan kamus.
4. Figurative language (gaya bahasa)
Adalah cara yang dipergunakan oleh penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imaji dengan menggunakan gaya bahasa, perbandingan, kiasan, pelambangan dan sebagainya. Jenis-jenis gaya bahasa antara lain;
a) Perbandingan (simile), yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, umpama, laksana, dll.
b) Metafora, yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain tanpa mempergunakan kata-kata pembanding.
c) Perumpamaan epos (epic simile), yaitu perbandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingannya dalam kalimat berturut-turut.
d) Personifikasi, ialah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia di mana benda mati dapat berbuat dan berpikir seperti manusia.
e) Metonimia, yaitu kiasan pengganti nama.
f) Sinekdoke, yaitu bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting untuk benda itu sendiri.
g) Allegori, ialah cerita kiasan atau lukisan kiasan, merupakan metafora yang dilanjutkan.
5. Rhythm dan rima (irama dan sajak)
Irama ialah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembutnya ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Irama dibedakan menjadi dua,
a) Metrum, yaitu irama yang tetap, menurut pola tertentu.
b) Ritme, yaitu irama yang disebabkan perntentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur.
Irama menyebabkan aliran perasaan atau pikiran tidak terputus dan terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan angan (imaji) yang jelas dan hidup. Irama diwujudkan dalam bentuk tekanan-tekanan pada kata. Tekanan tersebut dibedakan menjadi tiga,
1. dinamik, yaitu tyekanan keras lembutnya ucapan pada kata tertentu.
2. Nada, yaitu tekanan tinggi rendahnya suara.
3. Tempo, yaitu tekanan cepat lambatnya pengucapan kata.
6. Rima
Rima adalah persamaam bunyi dalam puisi. Dalam rima dikenal perulangan bunyi yang cerah, ringan, yang mampu menciptakan suasana kegembiraan serta kesenangan. Bunyi semacam ini disebut euphony. Sebaliknya, ada pula bunyi-bunyi yang berat, menekan, yang membawa suasana kesedihan. Bunyi semacam ini disebut cacophony.
Berdasarkan jenisnya, persajakan dibedakan menjadi
a) Rima sempurna, yaitu persama bunyi pada suku-suku kata terakhir.
b) Rima tak sempurna, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada sebagian suku kata terakhir.
c) Rima mutlak, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada dua kata atau lebih secara mutlak (suku kata sebunyi).
d) Rima terbuka, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku akhir terbuka atau dengan vokal sama.
e) Rima tertutup, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata tertutup (konsonan).
f) Rima aliterasi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris yang sama atau baris yang berlainan.
g) Rima asonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada asonansi vokal tengah kata.
h) Rima disonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapaat pada huruf-huruf mati/konsonan.
Berdasarkan letaknya, rima dibedakan
a) Rima awal, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada awal baris pada tiap bait puisi.
b) Rima tengah, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di tengah baris pada bait puisi
c) Rima akhir, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di akhir baris pada tiap bait puisi.
d) Rima tegak yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bait-bait puisi yang dilihat secara vertikal
e) Rima datar yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada baris puisi secara horisontal
f) Rima sejajar, yaitu persamaan bunyi yang berbentuk sebuah kata yang dipakai berulang-ulang pada larik puisi yang mengandung kesejajaran maksud.
g) Rima berpeluk, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dan larik keempat, larik kedua dengan lalrik ketiga (ab-ba)
h) Rima bersilang, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dengan larik ketiga dan larik kedua dengan larik keempat (ab-ab).
i) Rima rangkai/rima rata, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir semua larik (aaaa)
j) Rima kembar/berpasangan, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir dua larik puisi (aa-bb)
k) Rima patah, yaitu persamaan bunyi yang tersusun tidak menentu pada akhir larik-larik puisi (a-b-c-d).
Pendapat lain dikemukakan oleh Roman Ingarden dari Polandia. Orang ini mengatakan bahwa sebenarnya karya sastra (termasuk puisi) merupakan struktur yang terdiri dari beberapa lapis norma. Lapis norma tersebut adalah
a) Lapis bunyi (sound stratum), dan merupakan barangkali merupakan seluruh bunyi
Puisi merupakan satuan-satuan suara: suara suku kata. Jadi lapisan bunyi dalam suau sajak atau puisi adalah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu.
b) Lapis arti (units of meaning)
Puisi itu terdiri dari satuan terkecil berupa fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satu-kesatuan makna.
c) Lapis obyek yang dikemukakan atau "dunia ciptaan"
Pada lapisan ini diketahui bahwa dalam puisi terdapat latar, tokoh, dan dunia pengarang
d) Lapis implisit
Ada makna-makna tersembunyi yang ada pada setiap kata pada sebuah puisi.
e) Lapis metafisika (metaphysical qualities)
Lapisan ini yang membuat seorang pembaca dapat berkotemplasi ataupun berimajinasi terhadapa pusis yang dibacanya.
Pendekatan Semiotika
A. Pengertian Semiotik
Semiotika modern dipelopori oleh dua orang tokoh, yaitu Ferdinand de Saussure (1855 – 1913), seorang ahli linguistik dan Charles Sander Peirce (1839 – 1914), seorang ahli filsafat. Saussure menyebutnya semiologi sedangkan Pierce menyebutnya semiotika (semiotics). Baik semiotika maupun semiologi, keduanya merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda. Penelitian sastra dengan pendekatan semiotic pada dasarnya adalah lanjutan dari pendekatan dengan semiotic karena karya sastra itu merupakan struktur tanda – tanda yang bermakna.
Pengertian semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda–tanda (Pradopo dalam Jabrohim, 2003: 67). Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signitied). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanta adalah sesuatu yang ditandai oleh petanda itu yaitu artinya.
Semiotika adalah ilmu tanda, istilah tersebut berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti “tanda”. Tanda dalam hal ini dapat berupa kata, gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda (Sudjiman dan Zoest, 1996).
Istilah semiotika baru digunakan pada abad XVIII oleh Lambert seorang ahli filsafat Jerman. Orang baru memikirkan secara sitematis tentang penggunaan tanda dan ramai membahasnya dalam abad XX, kemudian banyak muncul pakar tentang semiotika. Misalnya Ronald Barthes dalam bukunya “Element de Semioligie (1953), J- Kriteva di dalam Semiotike (1969), Umberto Eco dalam bukunya A Theory of Semiotics, dan lain – lain.
Semiotik adalah ilmu tanda- tanda. Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda. Sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu yaitu artinya.
Dalam hubungannya antara penanda dan petanda ada beberapa jenis tanda yaitu ikon, indesk, dan symbol. Yang pertama ikon adalah tanda yang menununjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan ini adalah hubungan persamaan artinya ada yang dilihat dan dikatakan sama fengan faktanya. Kedua indeks adalah tanda yang yang menunjukkan hubungan kausal. Yang ketiga simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer. Artinya tanda itu ditentukan oleh konversi.
Semiotik Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut. Semiotics is usually defined as a general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information. Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically communicate information or massages in literary every field of human behaviour and enterprise. (Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia).
Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure. Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics). Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Pada penelitian sastra dengan pendekatan semiotik, tanda yang berupa indekslah yang sering digunakan yaitu tanda yang menunjukkan hubungan sebab- akibat.




B. Analisis Sastra dengan Semiotik
1. Metode semiotik dalam penelitian sastra
Sastra (karya sastra) merupakan seni yang mempergunakan bahasa sebagi mediumnya. Bahasa berkedudukan sebagai bahan dalam hubungannya dengan sastra, sudah mempunyai sistem dan konversi sendiri, maka disebut sistem semiotik tingkat pertama. Sastra mempunyai sistem dan konversi sendiri yang mempergunakan bahasa, disebut sistem semiotik tingkat kedua.
Dikemukakan Preminger dkk (1974: 98) bahwa penerangan semiotik itu memandang obyek–obyek atau laku– aku sebagai parole (laku tuturan) dari suatu langue (bahasa, system linguistik) yang mendasari “tata bahasanya” harus dianalisis. Dikatakan selanjutnya aleh Preminger bahwa studi semiotic sastra adalah uasaha untuk menganalisis system tanda–tanda. Oleh karena itu, peneliti harus menetukan konvensi – konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna.
Sebagai contohnya, kita akan menganalisis puisi. Puisi merupakan sistem tanda yang mempunyai satuan-satuan tanda (yang minimal) seperti kosa kata, bahasa kiasan. Tanda–tanda itu mempunyai makna berdasarkan konvensi–konvensi (dalam) sastra. Contoh dari konvensi–konvensi puisi diantaranya adalah konvensi kebahasaan, konvensi ambiquitas, dan konvensi visual.
Arti atau makna satuan itu tidak lepas dari konvensi–konvensi sastra pada umumnya. Konvensi itu merupakan perjanjian masyarakat, baik masyarakat bahasa maupun masyarakat sastra, perjanjian tersebut adalah perjanjian tak tertulis, disampaikan secara turun temurun, bahkan kemudian sudah menjadi hakekat sastra sendiri.
2. Pembacaan semiotik: heuristik dan hermeneutik atau retroaktif
Untuk dapat memberi makna sajak secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik/ retroaktif (Reffeterre dalam Jabrohim, 2003: 80).

a. Pembacaan Heuristik
Pembacaan heuristik yaitu pembacaan berdasarkan struktur atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Misalnya dalam sajak, pembacaan heuristik yaitu membaca sajak berdasarkan struktur kebahasaannya. Untuk memperjelas arti dapat diberi sisipan kata atau sinoman yang diletakkan dalam tanda kurung. Struktur kalimatnya juga disesuaikan dengan kalimat baku.
Pembacaan heuristik ini, masih terbatas pada pemahaman terhadap arti bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama, yaitu berdasarkan konvensi bahasanya.
b. Pembacaan hermeneutik atau retroaktif
Pembacaan hermeneutik atau retroaktif adalah pembacaan karya sastra berdasarkan konvensi sastranya. Atau dengan kata lain pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan konvensi sastranya.
c. Hubungan Sintagmatik dan Paradigmatik
Hubungan sintakmatik dan paradikmatik yang di kemukakan oleh Ferdinand de Saussure. Deretan sintagmatik adalah suatu deretan unsur secara horisontal. Deretan sintakmatik ini terjadi dalam segala tataran. Fonem-fonem segmental secara sintakmatik membentuk struktur yang lebih besar berupa silabel dan morfem. Prosede semacam ini dinamakan fonotaktik. Morfem-morfem secara sintakmatik membentuk struktur yang lebih besar yakni kata. Prosede semacam ini disebut prosede morfologis. Kata-kata secara sintakmatik membentuk struktur yang lebih besar yakni frasa. Kemudian frasa-frasa secara sintakmatik membentuk struktur yang lebih besar yakni klausa. Akhirnya, klausa-klausa secara sintakmatik membentuk struktur yang lebih besar lagi yang disebut kalimat. Frasa, klausa dan kalimat dinamakan prosede sintaksis.
Sedang yang dimaksud dengan paradigmatik adalah deretan struktur yang sejenis secara vertikal. Deretan paradigmatik ini juga berlaku untuk segala tataran (Soeparno, 2002:51). Untuk membedakan antara sintagmatik dan paradigmatik, Kridalaksana (1983) menjelaskan bahwa sintagmatik adalah hubungan linier antara unsur-unsur bahasa dalan tataran tertentu. Hubungan ini disebut hubungan in praesentia. Misalnya pada kalimat “Kami bermain bola”, hubungan kami dengan bermain dan dengan bola. Sedang paradigmatik diartikan sebagai hubungan antara unsur-unsur bahasa dalam tingkat tertentu dengan unsur-unsur lain di luar tingkat itu yang dapat dipertukarkan. Hubungan ini disebut hubungan in absentia. Misalnya pada kalimat “Kami bermain bola”, kami dapat diganti dengan orang itu, saya dsb.
Kajian sintagmatik dan paradigmatik dapat juga diterapkan dalam kajian teks puisi, terutama yang berhubugan dengan bentuk-bentuk kebahasaannya. Kajian itu biasanya dikaitkan dengan teori fungsi puitik (poetic fungtion)-nya. Roman Jakobson. Jacobson menjelaskan fungsi putik sebagai berikut: ’fungsi puitik memproyeksikan prinsip ekuilvalensi dari proses seleksi praktis (boleh juga disebut paradigmatik) kesastraan proses seleksi praktis (boleh jga disebut paradigmatik) kesastraan poros kombinasi (sintaksis)”. Menurut Jacobson, penilaian apakah bahasa sebuah puisi mengandung sifat (unsur) puitik atau tidaknya, ditentukan berdasarkan prinsip konstitutif yang berupa kesejajaran. Artinya, antara sekian banyak bentuk kesejajara yang tersedia dalam bahasa yang bersangkutan, misalnya bahasa Indonesia. Baik yang berupa kesejajaran kata-kata.
Pilihan bahasa yang berunsur politik yang berupa kata-kata (paradigmaatik),biasanya berkaitan dengan ketepatan nsur-unsur bunyi (sebagai pebangkit asosiasi tertentu), alitrasi, asonasi, rima, ketepatan bentuk (aspek morfologis), dan juga makna. Pilihn sintaksis (sintagmatik), di pihak lain dapat berkaitan dengan ”penemuan” kontruksi yang baru-orosinil, di samping juga ada kaitannya dengan penekannan gagaan yang pada umumya ditempatkan di bagian awal larik (hal ini sebenarnya berupa prinsip ikonistis. Misalny, sebuah larik puisi yang berbunyi: bukan kematian benar yang menusuk kalbu (”Nisan”, Charil Anwar): baik kata-kata maupun konstruksi sintaksis yang ilih dalam larik ini dipertimbangkan sebagai yan paling tepat jika dibandingkan dengan kemungkinkan bentuk-bentuk lain yang tersedia dalam bahasa Indonesia, misalnya: yang mengiris-iris hati itu buka masalah kematiannya itu sendiri, atau bentuk lainn searti. Oleh karena itu larik puisi tersebut dapat dikatakan memenuhi syarat fungsi puitik, dan bahasanya pu menjadi puitis.


C. Analisis Data
Puisi 1
Tetapi Aku
Amir Hamzah
Terasapu sutera pigura
Dengan nilam hitam kilam
Berpadam lentera alit
Beratus ribu di atas langit
Seketika sekejap mata
Segala ada menekan dada
Napas nipis
Mati suara dunia cahaya
Gugur badanku lemah
Mati api di dalam hati
Terhenti dawai pesawat diriku
Tersungkum sujud mencium tanah
Cahaya suci riwarna pelangi
Harum sekuntum bunga rahasia
Menyinggung
Daku terhantar sunyi
Seperti hauri dengan kepaknya
Rupanya ia mutiara-jiwaku
Yanga ku salami di lautan masa
Gewang canggainya menyentuh rindu
Tetapi aku tidak merasa ………
(NS, 1959;9)
Dalam puisi “Tetapi Aku” dikemukakan oleh si aku bahwa tiba-tiba ia sekejap ditemui Tuhan, tetapi si aku tiada merasa, tiada sadar akan hal itu, meskipun mutiara-jiwa si aku telah lama dicari-carinya. Si aku yang telah lama mencari atau menunggu kehadiran Tuhan akhirnya berjumpa dengannya namun ketika itu justru ia tidak menyadarinya.

Terasapu sutera pigura
Dengan nilam hitam kilam
Berpadam lentera alit
Beratus ribu di atas langit

Bait pertama puisi tersebut dibuka dengan keadaan yang tiba-tiba, yaitu langit yang awalnya cerah bagai sutera lukisan tersapu, terhapus oleh warna hitam kelam, yaitu kegelapan yang pekat. Dilukiskan langit yang biru dan cerah secara tiba-tiba menjadi kelam. Bahkan beratus ribuan bintang yang bagai lampu-lampu keciil menjadi padam. Hal tesembut menggabarkan suasana yang begitu gelap, kelabu, sunyi, sepi, dan hening.

Seketika sekejap mata
Segala ada menekan dada
Napas nipis
Mati suara dunia cahaya

Bait kedua bermaknakan seketika itu, sekejap mata, dada si aku terasa sesak tertekan oleh segala sesuatu yang ada. Ia hanya dapat bernapas sedikit-sedikit sambil berlindung guling. Maka rasanya segala suara di dunia ini tak terdengar sunyi dan sepi seperti dalam keadaan kesesakan napas (mati).

Gugur badanku lemah
Mati api di dalam hati
Terhenti dawai pesawat diriku
Tersungkum sujud mencium tanah

Bait ketiga melukiskan badan si aku teras lemah dan jatuh. Semangat (dikiaskan dengana api) dalam dirinya terasa hilang (mati). Alat-alat tubuhnya yang bagai pesawat itu menjadi terhenti. Si aku tersungkur sujud mencium tanah. Jadi, pada perasaannya si aku seketika itu mati atau dapat diartikan tertidur atau tidak sadarkan diri.
Cahaya suci riwarna pelangi
Harum sekuntum bunga rahasia
Menyinggung
Daku terhantar sunyi
Seperti hauri dengan kepaknya
Bait keempat menggambarkan saat itu dilihatnya cahaya (Tuhan) yang suci yang bermacm-macm bagai warna pelangi dan diciumnya bau bunga harum yang penuh kerahasiaan. Semua itu mengenai atau meliputi si aku yang terhantar sunyi. Singgungnya yang halus itu bagaikan singgungan halus kepak sayap bidadari.

Rupanya ia mutiara-jiwaku
Yanga ku salami di lautan masa
Gewang canggainya menyentuh rindu
Tetapi aku tidak merasa ………
Bait kelima berisi sebuah kesadaran bahwa rupanya yang cahaya itu adalah kehadira Tuhan yang diumpamakan sebagai mutiara-jiwa si aku, yang telah bertahun-tahun dicarinya sebagai penyelam yang mencari mutiara di dasar lautan. Digambarkan bahwa Tuhan bagai gadis yang penuh kerinduan menyentuh aku dengan kukunya yang halus dan bagaikan permata itu. Namun aku tidak sadar akan kehadiran Tuhan yang diumpamakan bidadari itu.
Dalam puisi ini, untuk membangkitkan perasaan dan tanggapan dipergunakan kiasan-kiasan berupa metafora yang juga berupa citraan. Langit yang indah dikiaskan sebagai ‘sutra pigura’ : lukisan sutera. Kegelapan yang pekat yang menutupi langit itu dikiaskan sebagai permata yang hitam kelam. Bintang-bintang yang berkelipan dikiasakan sebagai lampu-lampu kecil. Metafora-metafora tersebut berupa metafora implisit yang memberikan efek kepadatan, menjadikan ekspresif. Metafora-metafora tersebut sekaligus adalah citra-citra penglihatan yang memperjelas dan menghidupkan gambaran: sutera pigura, nilam hitam, lentera alit.
Dalam bait kedua, untuk kepadatan dipergunakan sinekdot totum pro parte, yaitu sebagaian untuk keseluruhan; segala ada menekan dada (yang dimaksud dada, bukan hanya dada tetapi segala organ yang berada di dalam dada seperti jantung dan paru-paru); mati suara dunia cahaya (dalam keadaan sunyi dan hening). Dalam bait ketiga, semangat dalam hati dikiaskan sebagai apa yang juga citra visual sehingga tampak hadir di depan mata. Organ-organ tubuh dikiaskan sebagai pesawat, atau sebagai biola yang mempunyai dawai atau senar.
Ide abstrak, yaitu cinta kasih Tuhan dikiaskan sebagai cahaya suci yang bagai pelangi, dan cinta kasih itu digambarkan juga sebagai bau bunga yang harum penuh rahasia. Juga kasih sayang Tuhan diberi citra intelektual, tapi juga visual, yaitu singgungan atau sentuhan bidadari dengan kapaknya, ini juga citra rabaan (tactile imagi).
Pada bait kelima, Tuhan dikiaskan dengan metafora ‘mutiara-jiwa’ yang diselami lautan masa (dalam waktu bertahun-tahun), artinya dia mencari Tuhan sepanjang hidupnya. Di samping itu juga dikiaskan sebagai gadis yang berkuku jarinya menyentuh penuh kerinduan. Kiasan mutiara selain memberikan citra yang secara visual sangat indah dan menarik, berkilau.
Dalam puisi ini pathos , yaitu rasa untuk meleburkan diri dengan objeknya, digunakan citra-citra gadis, dara yang cantik bagai bidadari. Kiasan tersebut untuk mengiaskan Tuhan yang penuh kasih sayang itu sebagai gadis yang cantik yang memberahikan si aku, menyinggung si aku dengan lembut (bait 4), menyentuh si aku dengan kukunya yang indah. Kedua bait tersebut menggambarkan bagaimana tokoh aku dapat bertemu dan merasakan kehadiran Tuhan yang ada di dekatnya.
Dalam puisi ini ekspresivitas dan intensitas arti dicapai selain dengan pilihan kata yang artinya sangat mendalam juga dengan unsur bunyinya yang selaras dengan piliha katanya tersebut. Pada bait 1: Tersapu…dengan nilam hitam; lentera alit-di atas langit; seketika sekejap mata / segala ada menekan dada; napas nipis; mati api di dalam hati / Terhenti dawai…; Tersunkur sujud; cahaya suci riwarna pelangi; menyinggung daku terhantar sunyi; Mutiara-jiwa Kuselami di lautan masa; gewang-canggainya, menyentuh rindu.
Dalam puisi ini ada koherensi antara pilihan kata-katanya, kiasan, dan citra, yang semuanya itu memberikan dan memperkuat suasana kegaiban pertemuan antara si aku dengan Tuhan yang terjadi sekejap mata, namun si aku tak meras (tidak sadar) bahwa ia bertemu dengan ‘mutiara-jiwa-ku’ yang dicarinya bertahun-tahun. Kombinasi-kombinasi yang koheren tersebut sebagai berikut: sutra pigura; nilam hitam kelam; berpadaman lentera alit; mati suara dunia cahaya; mati api di dalam hati/ Terhenti dawai pesawat diriku/ Tersungkum sujud; cahaya suci riwarna pelangi / harum sekuntuk bunga rahasia / menyinggung daku terhantar sunyi/ Seperti hauri dengan kepaknya; ia mutiara-jiwa-ku; kusalami lautan masa / gawang canggainya menyentuh rindu.
Puisi 2
Aedh Mengharap Kain Dari Sorga

WILLIAM BUTLER YEATS
Terjemahan : Sapardi Djoko Damono

Seandainya aku punya kain sulaman sorga,
Berhiaskan cahaya perak dan keemasan,
Kain malam cahaya dan separoh cahaya
Yang biru yang suram dan yang kelam,
Akan kugelar kain itu di bawah kakimu:
Tetapi, karena miskin, aku hanya punya mimpi;
Telah kugelar mimpiku di bawah kakimu;
Lewatlah hati-hati sebab kau melewati mimpiku.
Dalam puisi “Aedh Mengharap Kain Dari Sorga” dikemukakan oleh si aku bahwa seandainya ia mempunyai kain sulaman dari sorga, yang berhiaskan cahaya dan keemasan yang berarti pengharapan dan impiannya akan kehidupan yang lebih baik dari kehidupan yang sedang dijalaninya, baik itu kehidupan di dunia maupun kehidupan diakhir hayatnya. Namun, semua itu hanya impian si aku semata karena kehidupannya yang miskin membuatnya hanya bisa pasrah dalam menjalani kehidupan. Meski demikian ia tetap berpegang teguh pada iman, semua nasib dan impian dari kehidupannya ia serahkan kepada Tuhan, yang digambarkan dalam puisi tersebut sebagai sosok “Mu”. Dari kekuatan iman kepada Tuhan itulah, si aku dapat melewati dan menjalani kehidupannya dengan ketabahan tetapi tetap mempunyai impian untuk mendapatkan keidupan yang lebih baik.
Seandainya aku punya kain sulaman sorga,
Berhiaskan cahaya perak dan keemasan,
Kain malam cahaya dan separoh cahaya
Yang biru yang suram dan yang kelam,
Bait pertama puisi tersebut dibuka dengan keadaan pengharapan si tokoh aku atas kehidupannya yang lebih baik, yaitu seandainya aku punya kain sulaman sorga, berhiaskan cahaya perak dan keemasan, kain malam cahaya dan separoh cahaya, yang biru yang suram dan yang kelam, yang menggambarkan tiga fase dari kehidupan yang dijalaninya, baik itu di dunia, akhirat, sampai kehidupan yang kekal, yang juga menggambarkan keadaan kebahagiaan, kesedihan, dan kehancuran. Semua itu dilukiskan dengan gmabaran kain malam yang berhiaskan cahaya perak dan keemasan, yang biru yang suram dan yang kelam. Hal tesembut menggabarkan kehidupan yang sebenarnya dari semua kehidupan.

Akan kugelar kain itu di bawah kakimu:
Tetapi, karena miskin, aku hanya punya mimpi;
Telah kugelar mimpiku di bawah kakimu;
Lewatlah hati-hati sebab kau melewati mimpiku.

Bait kedua bermaknakan bahwa si aku menyadari akan keadaannya yang miskin sehingga tidak mungkin baginya untuk mendapatkan semua keinginan dan cita-citanya. Namun, dalam keadaan yang demikian ia tetap bersyukur kepada Tuhannya. Hal ini dapat dilihat pada baris pertama, bait kedua yaitu “Akan kugelar kain itu di bawah kakimu”, kalimat ini bermakna seandainya semua harapan dan keinginan tokoh aku ini terwujud, maka ia akan mensyukuri semua nikmat itu. Tetapi, meski hal itu tidak terwujud ia tetap mensyukuri semua nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya, dan ia pun telah menyerahkan semua impian dan harapannya tersebut kepada Tuhannya. Karena ia percaya bahwa semua kehidupan, baik itu senang, susah, dan sedih dapat ia lalui semata-mata atas kehendak dan takdir Tuhannya.
Dalam puisi ini, untuk membangkitkan perasaan dan tanggapan dipergunakan kiasan-kiasan berupa metafora yang juga berupa citraan. Langit yang indah dikiaskan sebagai ‘sutra pigura’ : lukisan sutera. Kegelapan yang pekat yang menutupi langit itu dikiaskan sebagai permata yang hitam kelam. Bintang-bintang yang berkelipan dikiasakan sebagai lampu-lampu kecil. Metafora-metafora tersebut berupa metafora implisit yang memberikan efek kepadatan, menjadikan ekspresif. Metafora-metafora tersebut sekaligus adalah citra-citra penglihatan yang memperjelas dan menghidupkan gambaran: sutera pigura, nilam hitam, lentera alit.
Dalam bait kedua, untuk kepadatan dipergunakan sinekdot totum pro parte, yaitu sebagaian untuk keseluruhan; segala ada menekan dada (yang dimaksud dada, bukan hanya dada tetapi segala organ yang berada di dalam dada seperti jantung dan paru-paru); mati suara dunia cahaya (dalam keadaan sunyi dan hening). Dalam bait ketiga, semangat dalam hati dikiaskan sebagai apa yang juga citra visual sehingga tampak hadir di depan mata. Organ-organ tubuh dikiaskan sebagai pesawat, atau sebagai biola yang mempunyai dawai atau senar.
Ide abstrak, yaitu cinta kasih Tuhan dikiaskan sebagai cahaya suci yang bagai pelangi, dan cinta kasih itu digambarkan juga sebagai bau bunga yang harum penuh rahasia. Juga kasih sayang Tuhan diberi citra intelektual, tapi juga visual, yaitu singgungan atau sentuhan bidadari dengan kapaknya, ini juga citra rabaan (tactile imagi).
Pada bait kelima, Tuhan dikiaskan dengan metafora ‘mutiara-jiwa’ yang diselami lautan masa (dalam waktu bertahun-tahun), artinya dia mencari Tuhan sepanjang hidupnya. Di samping itu juga dikiaskan sebagai gadis yang berkuku jarinya menyentuh penuh kerinduan. Kiasan mutiara selain memberikan citra yang secara visual sangat indah dan menarik, berkilau.

Dalam puisi ini pathos , yaitu rasa untuk meleburkan diri dengan objeknya, digunakan citra-citra gadis, dara yang cantik bagai bidadari. Kiasan tersebut untuk mengiaskan Tuhan yang penuh kasih sayang itu sebagai gadis yang cantik yang memberahikan si aku, menyinggung si aku dengan lembut (bait 4), menyentuh si aku dengan kukunya yang indah. Kedua bait tersebut menggambarkan bagaimana tokoh aku dapat bertemu dan merasakan kehadiran Tuhan yang ada di dekatnya.
Dalam puisi ini ekspresivitas dan intensitas arti dicapai selain dengan pilihan kata yang artinya sangat mendalam juga dengan unsur bunyinya yang selaras dengan piliha katanya tersebut. Pada bait 1: Tersapu…dengan nilam hitam; lentera alit-di atas langit; seketika sekejap mata / segala ada menekan dada; napas nipis; mati api di dalam hati / Terhenti dawai…; Tersunkur sujud; cahaya suci riwarna pelangi; menyinggung daku terhantar sunyi; Mutiara-jiwa Kuselami di lautan masa; gewang-canggainya, menyentuh rindu.
Dalam puisi ini ada koherensi antara pilihan kata-katanya, kiasan, dan citra, yang semuanya itu memberikan dan memperkuat suasana kegaiban pertemuan antara si aku dengan Tuhan yang terjadi sekejap mata, namun si aku tak meras (tidak sadar) bahwa ia bertemu dengan ‘mutiara-jiwa-ku’ yang dicarinya bertahun-tahun. Kombinasi-kombinasi yang koheren tersebut sebagai berikut: sutra pigura; nilam hitam kelam; berpadaman lentera alit; mati suara dunia cahaya; mati api di dalam hati/ Terhenti dawai pesawat diriku/ Tersungkum sujud; cahaya suci riwarna pelangi / harum sekuntuk bunga rahasia / menyinggung daku terhantar sunyi/ Seperti hauri dengan kepaknya; ia mutiara-jiwa-ku; kusalami lautan masa / gawang canggainya menyentuh rindu.





Persamaan dan Perbedaan Dalam Puisi Tetepi Aku dan Aedh mengharap kain dari sorga.
Persamaan Perbedaan
1) Tokoh:menggunakan sudut pandang tokoh utama pelaku utama dengan kata ganti Aku
Puisi 1:
Gugur badanku lemah
Mati api di dalam hati
Puisi 2:
Seandainya aku punya kain sulaman sorga.

2) Pengimajian Warna kelam: menggambarkan suatu kehidupan yang awalnya baik yang diibaratkan seperti biru langit yang cerah kemudian berubah menjadi kehidupan yang gelap, kelabu, sunyi, sepi, dan hening.
Puisi 1:
Terasapu sutera pigura
Dengan nilam hitam kelam
Berpadam lentera alit
Beratus ribu di atas langit
Puisi 2:
Kain malam cahaya dan separoh cahaya
Yang biru yang suram dan yang kelam

Puisi 1
Pada puisi 1 “Tetapi Aku” dikemukakan oleh si aku bahwa tiba-tiba ia sekejap ditemui Tuhan, tetapi si aku tiada merasa, tiada sadar akan hal itu, meskipun mutiara-jiwa si aku telah lama dicari-carinya. Si aku yang telah lama mencari atau menunggu kehadiran Tuhan akhirnya berjumpa dengannya namun ketika itu justru ia tidak menyadarinya.

Puisi 2
Dalam puisi “Aedh Mengharap Kain Dari Sorga” dikemukakan oleh si aku bahwa seandainya ia mempunyai kain sulaman dari sorga, yang berhiaskan cahaya dan keemasan yang berarti pengharapan dan impiannya akan kehidupan yang lebih baik dari kehidupan yang sedang dijalaninya, baik itu kehidupan di dunia maupun kehidupan diakhir hayatnya. Namun, semua itu hanya impian si aku semata karena kehidupannya yang miskin membuatnya hanya bisa pasrah dalam menjalani kehidupan. Meski demikian ia tetap berpegang teguh pada iman, semua nasib dan impian dari kehidupannya ia serahkan kepada Tuhan, yang digambarkan dalam puisi tersebut sebagai sosok “Mu”. Dari kekuatan iman kepada Tuhan itulah, si aku dapat melewati dan menjalani kehidupannya dengan ketabahan tetapi tetap mempunyai impian untuk mendapatkan keidupan yang lebih baik.

Senin, 10 Mei 2010

tugas ngerangkum sosling

BAB I
PENDAHULUAN
Kontak bahasa tidak dapat dipisahkan dari budaya yang terjadi. Weinreich (1953:5) menyebutkan bahwa pengaruh bahasa lain ke bahasa tertentu merupakan difusi dan akulturasi budaya. Hal ini terdapat pada pemungutan bahasa tertentu. Hal ini merupakan cirri keunikan bahasa.
Masalah pemungutan bahasa dengan tingkat kedwibahasaan masyarakat umumnya hanya mencakup kedwibahasaan. Setelaah menjadi pungutan (“barang jadi”), penutur ekabahasawan memanfaatkannya menjadi kata sehari-hari (Moeliono,1989:162; Samsuri,1980:58). Kondisi kemudian juga ditandai dengan bahasa Indonesia. Sebagai masyarakat yang multibahasa, alih kodeyang menghasilkan pemungutan itu berlangsung kehidupan berbangsa. Hal itu terlihat dengan cukup banyak dari berbagai bahasa, baik dari bahasa asing maupun bahasa daerah. Salah satunya berasal dari bahasa Arab.
Pengaruh bahasa asing terutama bahasa Arab tidak terlepas dari masuknya Agama Islam di Indonesia yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat pada abad ke-7. Hal ini terbukti dengan adanya tulisan Arab pada nisan makam Fatimah binti Maimun. Mereka mengembangkan bahasa Arab sekaligus menyebarkan Agama Islam.
Dalam segi fonologis dan lekskal banyak serapan dari bahasa Arab ke Indonesia. Seperti kata iman, yakin, kalimat, taat, dan pahala memperlihatkan adanya integrasi dalam bahasa Indonesia. secara morfologis bentuk kata iman,yakin,dan pahala menjadi bentuk keimanan,iman,dan amal-amal. Lalu bentuk leksikalnya, iman, kalimat,pahala,dan taat.
Disamping itu, secara morfologis tampak adanya integrasi pungutan bahasa Arab dengan bahasa Indonesia, yang terlihat dalam pungutan ahli-ahli,murid,murid, dan karib baid. Pungutan-pungutan itu secara morfologis memperlihatkan reduplikasi dan pemajemukan. Secara semantic, tampak adanya integrasi seperti Farisi dibangsakan pada/dihubungkan dengan Faris’ menjadi orang Faris;ahli at-taurat ‘penganut kitab taurat ‘ tidak mengalami perubahan makna, tetapi akan mengalami perubahan jika leksem ahli bergabung dengan leksem lain.seperti ahli waris
Namun dari sekian banyaknya bahasa Arab yang bisa diserap ke bahasa Indonesia, belum ada data secara kualitatif yang menunjukkan berapa jumlah pungutan laras keagamaan itu. Hal itu ditambah dengan belum adanya penelitian yang memadai baik dari kajian leksikal maupun maknanya.
Dalam hal ini yang akan dibicarakan adalah permasalahan pungutan bahasa Arab dalam laras keagamaan , yang ditinjau dari segi bentuk dan maknanya dalam bahasa Indonesia. Segi bentuk ini ditinjau dari jenis leksem pungutan:(1) leksem simpleks,(2) leksem kompleks,(3) leksem majemuk: majemuk kata dan frasa:yang meliputi pungutan kata,pungutan padu, dan pungutan sulih yang dikaitkan dengan bahasa modelnya. Tinjauan makna meliputi (1) perubahan wilayah makna: (a) perluasan makna,(b) penyempitan makna,(2) perubahan karena evaluasi atau konotasi:(a) ameliorasi dan (b) pejorasi,(3) perubahan karena makna majasi:(a) kiasan atau metafora, (b) metonomia dan sinekdoke.

BAB II
LANDASAN TEORITIS
Pada bab ini membahas mengenai teori kata dan leksem. Kata yang ada dalam buku ini mencoba menerangkan arti dari dan sebagai model dari kata simpleks, kata kompleks,dan majemuk katka. Disamping itu kata juga digunakan sebagai terjemahan word,seperti pada loandwords yang diindonesiakan menjadi pungutan kata.
Lalu ada leksem yang mengacu kepada kata atau frasa yang merupakan satuan bermakna yang didaftar di bawah entri kamus secara terpisah (that lexemes are the words and pharases that a dictionary would list under a separate entry ) (Lyons,1977:23). Leksem menurut Lyon (1977) dibagi menjadi, yakn leksem simpleks,leksem kompleks, dan leksem majemuk. Leksem simpleks adalah leksem pangkalnya tidak dapat diuraikan lagi. Contohnya adalah kata friend. Lalu leksem kompleks adalah leksem yang dapat diuraikan lagi, seperti kata friendly yang terdiri dari kata friend dan sufiks –ly. Lalu ada leksem majemuk yang terdiri dari dua pangkal leksem bebas. Misalnya,dalam leksem majemuk screwdriver dan blackbird terdapat kata screw dan driver. Kata
Didalam bahasa Arab hal tersebut sulit untuk dibedakan karena bahasa Arab bertolak dari bentuk verba perfeknya yang terdiri atas tiga konsonan. Maka dari itu dalam bahasa Arab lebih tepat digunakan istilah kata di dalam bahasa Arab. Misalnya kata ilmu sebagai bentuk infinitive dari akar ‘L-M merupakan kata simpleks. Jika kata itu dibubuhi prefix ta- pada pangkal –‘Lim dengan vocal panjang /i/ sehingga menjadi ta’Lim kata itu menjadi kata kompleks.
Dalam pemungutan ada dua tipe yang digunakan meliputi dua proses ,yaitu proses pemasukan dan proses penyulihan. Haugen (1950:212) menyebutkan bahwa proses pemasukan adalah pemungutan yang sama dengan model-yakni bahasa sumber-sehingga diterima oleh penutur sebagai milik bahasanya, sedangkan proses penyulihan adalah pemungutan yang menghasilkan model yang bukan berupa pemasukan, melainkan berupa pergantian pola yang sama dari bahasa pemungut. Berdasarkan proses pemungutan dibagi lagi menjadi (1) pungutan kata,(2) pungutan padu,dan pungutan sulih (3).

BAB III
ANALISIS PUNGUTAN KATA DARI SEGI BENTUK
Dari segi bentuknya, pungutan dibedakan menjadi tiga jenis,yaitu leksem simpleks,leksem majemuk,dan leksem kompleks. Pungutan kata yang berbentuk simpleks adalah pungutan yang terdiri atas sebuah pangkal (stem), tanpa diberi afiks yang dapat menjadi dasar pembentukan kata gramatikal atau pangkal yang lain yang memberikan bentuk kombinasi kata berikutnya. Dalam pungutan bahasa Arab, ternyata Leksem simpleks ada yang berasal dari kata leksem kompleks dan majemuk kata.
Pungutan Kata Berupa Leksem Simpleks yang Berasal dari Kata Simpleks Bahasa

Ada sejumlah kata yang berasal dari simpleks bahasa Arab, yakni kata yang tidak dibubuhi oleh afiks, baik afiks derivasional maupun afiks infleksional. Seperti contoh berikut:
1. Dalam pemberian mahar seorang calon laki-laki harus mempersiapkan dengan sebaik-baiknya.
2. Ada banyak zikir yang terdapat dalam masyarakat kita,namun hanya yang terdapat dalam Al-quran yang sesuai dengan ajaran Rosul.
3. Sa’I dilakukan tuiajuh kali dalam setiap ibadah haji.

Berdasarkan data di atas, terdapat pungutan kata simpleks yang berasal dari kata simpleks bahasa Arab, yaitu kata mahar, zikir,dan sa’i.

Kata mahar berasal dari infinitif MaHR ‘pemberian kepada istri ketika terjadi akad nikah’. Kata tersebut mengalami bentuk penyesuaian bunyi dengan penambahan bunyi vocal terbuka yang sama dengan bunyi vokal yang mendahuluinya di antara deret konsonan /hr/, yakni vokal /a/. Penambahan seperti ini disebut anaptiksis.
Leksem zikir merupakan leksem simpleks dipungut dari bahasa modelnya ZiKR. Kata itu mengalami perubahan dengan penambahan vokal /i/ dan /r/.
Leksem sa’I dipungut dari kata Sa’Y. Kata itu berakhir dengan bunyi luncuran /y/ . Namun dalam proses pemungutannya kata Sa’Y dipungut melalui perubahan bunyi luncuran /y/ dengan vokal /i/ dengan mempertahankan glotal sebelum vokal akhir itu.

Pungutan Kata Berupa Leksem Simpleks yang Berasal dari Kata Kompleks Bahasa Arab.
a. Berasal dari kata Kompleks: pangkal yang menggunakan Prefiks
(1) Kata Kompleks :Pangkal + Prefiks a-
Kata afdal berasal dari kompleks bahasa Arab aFDal. Kata itu mengalami infleksi dari FaDL dengan membubuhkan prefiks a- dan menambahkan vokal /a/ di antara konsonan /f/ dan /l/ dan leksem ini menjadi pemarkah yang bermakna adjektiva.
(2) Kata Kompleks : Pangkal + Prefiks mu-
Leksem Muslim berasal dari bahasa Arab muSLiM . Kata Muslim diturunkan dari verba imperfek. yuSLiM ‘(dia) menyelamatkan’ setelah menanggalkan prefiks pemarkah subjek yu- sehingga pangkalnya menjadi SLiM . Kemudian, dibubuhkan prefiks mu- ke pangkal SLiM sehingga menjadi muslim.

(3) Kata Kompleks: pangkal + Prefiks ma- dan mi-
Leksem simpleks pungutan kata yang berasal dari kata kompleks bahasa Arab yang terdiri dari atas pangkal dan prefiks ma- serta mi- dapat ditemukan dalam bentuk nomina lokatif, nomina temporal, dan partisipal pasif. Contoh berikut ini yang menggambarkan hal itu.
Leksem mahsyar berasal dari kata maHSyaR merupakan nomina lokatif yang diturunkan dari verba imperfek yaHSyur dengan mengganti verba imperfek ya- dengan prefiks ma(-). Di samping itu, terjadi pula penggantian vokal /u/ sebelum konsonan akar dengan vokal /a/.
Leksem mimbar merupakan contoh leksem simpleks yang dipungut dari miNBARtu lalu diturunkan dari verba imperfek yaNBiR naik atau tinggi. Pembentukannya dilakukan dengan mengganti prefiks ya- dengan mi- pada pangkal –NBiR , kemudian mengganti vokal sebelum konsonan terakhir dari /i/ menjadi /a/ sehingga menjadi miNBaR. Kata itu dipungut kedalam bahasa penerima menjadi mimbar, yang dalam hal ini perubahan konsonan nasal /n/ menjadi /m/ karena di dalam bahasa penerima konsonan nasal /n/ jika diikuti oleh konsonan bilabial bersuara /b/ akan mengalami penyesuaian dengan konsonan /n/.
(4) Kata Kompleks: Pangkal+Prefiks n-
Leksem infirad diturunkan dari verba inFaRaD terpisah dari ‘dengan akar F-R-D. Pembentukannya dilakukan dengan mengganti vokal /a/ pertama dengan /i/ dan /a/ yang kedua dengan vokal panjang/a/ sehingga terbentuk kata inFiRaD.

(5) Kata Kompleks: Pangkal +Prefiks ta-
Leksem takbir dipungut dari bahasa modelnya taKBiR yang diturunkan dari verba perfeknya yakni KaBbaR dan imperfek yuKaBbiR, taKBiR adalah bentuk intransitif KaBbar, yaKBuR ,KaBR.

(6) Kata kompleks: Pangkal + Prefiks sti-
leksem istidlal berasal dari nomina verbal: istiDLaL ‘menuntut kemampuan penghayatan’. Nomina verbal :istiDLaL diturunkan dari verba perfek istaDLaLL melalui perubahan prefiks sta¬- menjadi sti- ,i- sebelum sebelum prefiks itu hanya untuk memudahkkan pembacaan, dan penanggalan vokal di antara konsonan pertama dan kedua akar, kemudian pembubuhan vokal panjang /a/ di antara konsonan rangkap /ii/ sehingga terbentuk kata istiDLaL.


BAB IV
ANALISIS PUNGUTAN PADU DARI SEGI BENTUK

Berdasarkan bentuknya pungutan padu itu ada kalanya terdiri atas (1) pungutan kata dan pungutan sulih. (2) pungutan sulih dan pungutan kata, dan (3) pungutan kata,pungutan sulih,dan pungutan kata.
4.1 Pungutan Padu yang Terdiri atas Pungutan Kata dan Pungutan Sulih
Terdiri atas pungutan kata dan pungutan sulih berupa leksem simpleks, leksem majemuk, dan kata kompleks.

4.1.1 Pungutan Kata dan Pungutan Sulih Berbentuk Leksem Simpleks
Pungutan kata ini seperti pada kata hadis palsu. Hadis palsu berasal dari bahasa modelnya HaDis maWDu’. Pemungutan dilakukan dengan menyesuaikan fonem bahasa modelnya ke dalam bahasa penerima, yakni hadis. Kemudian, leksem keduanya, yaitu maWdu disulih ke dalam bahasa penerima menjadi palsu. Paduan itu menghasilkan salah satu jenis pungutan, yakni pungutan padu hadis palsu.
4.1.2. Pungutan Kata Berbentuk Leksem Simpleksdan Pungutan Sulih Berbentuk Kata Kompleks
Pungutan padu yang terdiri atas pungutan kata berupa leksem simpleks dan pungutan sulih berupa kata kompleks dapat kita perhatikan seperti berikut.
Contohnya adalah alam kegelapan di dalam bahasa modelnya adalah ‘alam az-zulumat ‘. Unsure pertama dipungut ke dalam bahasa penerima dengan menyesuaikan /?a/ dengan vocal /a/, sedangkan unsure yang kedua az-zulumat disulih ke dalam bahasa penerima menjadi kata kompleks kegelapan. Penggabungan leksem simpleks alam dengan kegelapan menghasilkan pungutan padu alam kegelapan.
4.1.3 Pungutan Kata Berbentuk Leksem Simpleks dan Pungutan Sulih Berbentuk Leksem Majemuk
Contoh dari pungutan ini adalah salat gerhana bulan. Pungutan padu salat gerhana bulan berasal dari bahasa modelnya SaLat al-KhuSyuF dan Salat al-KusuF. Di dalam pemungutannya,unsur pertama SaLat dipungut menjadi salat, sedangkan unsur kedua al-KhuSyuF dari akar Kh-Sy-F- dan al-KuSuF- dari akar K-S-F- disulih ke dalam bahasa penerimaan menjadi majemuk gerhana bulan.
4.1.4. Pungutan Kata Berbentuk Leksem Simpleks dan Pungutan Sulih Berbentuk Frasa
Contohnya adalah kata haji orang lain,Allah Maha Pengampun. Pada pungutan haji orang lain dipungut dari al-HaJJ lil-Gair ‘haji untuk orang lain’. Di dalam pemungutannya, unsure pertama al-hajj dipungut menjadi haji dengan melesapkan al dan salah satu konsonan rangkap/j/ serta menambahkan. Sementara itu, lil-gair ¬–kecuali preposisi li –disulih ke dalam bahasa penerima menjad orang lain. Frasa orang lain bergabung dengan leksem haji sehingga membentuk pungutan padu haji orang lain.

4.1.5 Pungutan Kata Berbentuk Leksem Simpleks dan Pungutan Sulih Berbentuk
Afiks
a. Pungutan Kata + Prefiks
Contohnya adalah kata menghasud dalam kata merupakan pungutan yang terdiri atas leksem pangkal hasud dan prefiks meng-.Leksem pangkal hasud dipungut dari adjektiva HaSuD sedangkan prefiks meng- merupakan prefiks bahasa penerima.
b. Pungutan Kata + sufiks
Leksem tahlilan dalam bahasa modelnya merupakan infinitive TaHLiL yang diturunkan dari verba pola II,yakni verba perfek HaLLaL, dan imperfek yuHaLliL. Kata taHLiL dipungut menjadi tahlil dengan penggantian vokal panjang /i/ dengan vokal pendek /i/
c. Pungutan Kata + Konfiks
Pungutan kerasulan terdiri atas leksem pangkal rasul dan konfiks ke-…-an. Pungutan pad padu itu di dalam bahasa modelnya adalah RiSaLah yang termasuk infinitive pola fi’alah. Jadi, pemungutannya ke dalam bahasa Indonesia melalui penyulihan dengan memanfaatkan leksem pungutan rasul di samping bentuk infinitifnya menggunakan afiks ke-…-an.

4.2. Pungutan Kata yang Terdiri atas Pungutan Sulih dan Pungutan Kata
4.2.1 Pungutan Sulih dan Pungutan Kata Berbentuk Leksem Simpleks
Seperti contoh pungutan padu Hari Kiamat dipungut dari yaum al-AkhiRah. Pemungutannya dilakukan melalui penyulihan leksem pertama, yakni yaum, ke dalam bahasa penerima menjadi hari. Leksem kedua dipungut melalui pungutan kata akhirat dengan penyesuaian vokal panjang /a/ dengan vokal /a/, sufiks –at menjadi –ah di samping penghilangan tandatakrif al. Leksem hari sebagai pungutan sulih merupakan leksem simpleks dan membentuk pungutan padu dengan akhirat yang juga leksem simpleks.
4.2.2 Pungutan Sulih Berbentuk Leksem Simpleks dan Pungutan Kata Berbentuk Kata Kompleks
Contonhya ada dalam pungutan kalimat masa jahiliyyah
4.2.3 Pungutan Sulih Berbentuk Leksem Simpleks dan Pungutan Kata Berbentuk Leksem Majemuk
4.2.4 Pungutan Sulih Berbentuk Kata Kompleks dan Pungutan Kata Berbentuk Leksem Simpleks
4.2.5 Pungutan Sulih dan Pungutan Kata Berbentuk Kata Kompleks
4.2.6 Pungutan Sulih Berbentuk Kata Kompleks dan Pungutan Kata Berbentuk Leksem Majemuk
4.2.7 Pungutan Sulih Berbentuk Leksem Majemuk dan Pungutan Kata Berbentuk Leksem Simpleks
4.2.8 Pungutan Sulih dan Pungutan Kata Berbentuk Leksem Majemuk
4.3 Pungutan Padu yang Terdiri atas Pungutan Kata, Pungutan Sulih, dan Pungutan Kata

BAB V
ANALISIS PUNGUTAN SULIH DARI SEGI BENTUK

5.1 Pungutan Terjemah
Dalam pungutan ini meliputi pungutan terjemah yang bahasa modelnya berbentuk kata simpleks, kata kompleks, majemuk kata, dan majemuk frasa.
5.1 Pungutan Terjemah Berbentuk Leksem simpleks
a. Leksem Simpleks yang Berasal dari Kata Simpleks
contohnya dalam leksem Tuhan,pahala,dan dosa.
b. Leksem Simpleks yang Berasal dari Kata Kompleks
Contoh leksem kawin,cerai,dan sumpah.
5.1.2 Pungutan Terjemah Berbentuk Kata Kompleks
a. Kata Kompleks yang berasal dari Kata Simpleks

Sabtu, 01 Mei 2010

tgas sosling 2

Bahasa Sunda Kini
Oleh Fatimah Djajasudarma
Bahasa Sunda sebagai bahasa ibu sudah tercatat di dalam World Languages Report dari UNESCO ETXEA yang berpusat di Bilbao Basque Country, dilaporkan melalui kuesioner dan pada tahun 2001 terbit ”Certificate” kerja sama. Penelitian terhadap bahasa Sunda dapat dikatakan langgeng karena kesadaran akan identitas dan ekosistem yang menuntut untuk sejalan, seiring dalam kehidupan berbahasa (berbudaya) sesuai lingkungannya.
Pemerintah Belanda mengumumkan secara resmi bahasa Sunda yang dipakai di sekitar Bandung menjadi bahasa standar (lulugu) pada tahun 1912. Bahasa Sunda sebagai bahasa ibu memenuhi syarat untuk dijadikan bahasa standar karena pertimbangan jumlah pemakai, bahasa pemerintah, bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah, banyak buku yang ditulis dalam bahasa tersebut, dan dipakai sebagai alat komunikasi yang dipahami masyarakat Sunda pada umumnya (mutual intelligibility).
Sejak diresmikan pemerintah Belanda tahun 1912, penelitian terhadap bahasa Sunda terus dilakukan, bahkan sampai dengan Kongres I Bahasa Sunda tahun 1952 yang diadakan di Bandung, disusul dengan berdirinya LBSS (Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda). Kekosongan penelitian terjadi beberapa tahun sesudah perang yang mengakibatkan kelangkaan buku-buku berbahasa Sunda. Tetapi kemudian timbul kesadaran bahwa bahasa dan budaya daerah perlu dibina dan dikembangkan untuk mengisi semangat Bhineka Tunggal Ika, yang pada akhirnya akan menghasilkan keanekaragaman ekosistem yang mempertinggi stabilitas sistem itu sendiri.
Di atas semua itu, bahasa daerah yang dipelihara, dibina, dan dikembangkan oleh masyarakatnya akan dilindungi negara. Oleh karena itu, ada politik bahasa nasional yang mengatur fungsi bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Bahasa Sunda sebagai bahasa daerah adalah identitas salah satu bangsa Indonesia yang ada di Jawa Barat.
**
Istilah bahasa ibu, dari bahasa Inggris mother tongue, biasanya dianggap sebagai bahasa pertama yang diperoleh di rumah, berhubungan erat dengan dengan caretaker speech (CS) atau motherese, mother talk, atau baby talk. CS merupakan ujaran sederhana yang digunakan oleh ibu, ayah, pramusiwi (kecenderungan di Indonesia oleh pramuwisma) untuk mengajari anak-anak pada saat pemerolehan bahasa (belajar bicara). Tidaklah aneh bila kita mendapatkan kosakata yang digunakan tidak pada tempatnya, tetapi minimal ada usaha untuk mengajarkan bahasa Sunda.
Bahasa Sunda yang digunakan sekarang ini bisa dikatakan bahasa kontemporer karena berkecenderungan campur kode demi kepentingan pergaulan global. Memahami hal tersebut, bahasa ibu Sunda yang memiliki etika berbahasa (undak usuk) sejak abad ke-17 (Djajasudarma, 1986) sebagai pengaruh Mataram, mengakibatkan anak-anak yang belajar bahasa Sunda enggan atau takut salah berbahasa. Sekarang anak-anak yang mendapatkan CS dari pramuwisma cenderung lebih tahu yang kasar daripada yang halus. Dalam pemakaiannya, bila sulit untuk menentukan status kawan bicara, orang akan lari ke bahasa Indonesia atau bahasa anak-anak.
Bagaimana dengan kehidupan global, dapatkah anak memiliki bahasa ibu sebagai first language acqusition yang baik dan benar? Hal ini yang harus dipikirkan bersama, mengingat bahasa daerah berfungsi sebagai bahasa budaya, dan bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa iptek yang dapat diperkaya, baik oleh bahasa daerah maupun bahasa asing. Bayangkan saja bila ada orang bersin, orang Sunda akan menjawab dengan hurip waras, atau bahasa Inggris dengan bless you, bahasa Jerman dengan gesundheit, dan bahasa Belanda gezondheid, sedangkan bahasa Indonesia tidak memiliki unsur budaya tersebut.
Demikian juga dalam hal cara pandang atau cara berpikir yang berbeda dalam memandang alam sehingga yang dipentingkan yang ada di alam dapat dimanfaatkan sekejap. Cara berpikir yang berputar-putar yang tidak dimiliki pergaulan global sangat sulit untuk digunakan di dalam pergaulan sekarang, misalnya peribahasa yang sudah tidak berlaku sekarang.
Kontak bahasa yang terjadi akibat kontak budaya atau sebaliknya, tentulah akan saling memengaruhi. Bahasa Sunda punya cara untuk menyikapinya seperti tampak dalam istilah “Ngindung ka waktu ngabapa ka jaman". Hal tersebut dianggap sebagai konsekuensi linguistik bagi masyarakat bi(poli)lingual dalam pergaulan global. Pergaulan global cenderung menuntut bahasa ibu Sunda kontemporer, sesuai dengan kepentingan komunikasi global dan tanda bahasa yang dinamis.
Bahasa, layaknya manusia, mengalami siklus lahir, hidup (berkembang), dan mati. Sesuai dengan hukum alam. Karenanya, hidup-matinya bahasa ibu bergantung kepada masyarakatnya. Masyarakat Indonesia cenderung inovatif, mudah menyesuaikan diri dengan pengaruhnya tadi, demi kedinamisan pergaulan dalam mempertahankan ekosistemnya.
**
Bahasa ibu Sunda berkembang, bergeser, dan bertahan dengan berbagai cara. Karenanya, di Sunda umpamanya, banyak ditemukan istilah atau kata yang berasal dari bahasa Cina. Kata Cina berasal dari ci atau cai untuk nama tempat di Sunda berasal dari (cui) yang berkaitan dengan filsafat Cina "tanpa air, tak akan ada kehidupan".
Dinyatakan pula bahwa Kerajaan Tarumanagara berbahasa Kwunlun dari Cina (kung) dan (lun) “perbincangan resmi”. Demikian pula kata ngawuluku (membajak sawah) berasal dari wu (lima), lu (bajak), ku (jenis padi-padian), dan kia (yang diteriakkan kepada kerbau pada saat membajak sawah). Kata seka berasal dari si-ka mencuci muka dan kaki sesudah membajak sawah. Mencuci muka di dalam bahasa Sunda menjadi sibeungeut dari bahasa Cina si-bing-e. Demikian pula kata seperti pangkeng (kamar tidur) berasal dari pang-keng, sosi (kunci) dari so-sih. Lalu taneuh (tanah) dari to-nieh.
Demikian pula bahasa Indonesia menerima struktur pembentukan kata dari bahasa Sunda. Sebutlah kata macet “keadaan seperti pacet (binatang yang melekat diam)”, analog dengan bentukan maneuh “menetap (keadaan seperti tanah-tetap)”. Demikian pula parapatan lima yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “perempatan lima”, tetapi dengan “perlimaan”. Padahal dalam bahasa Sunda, parapatan lima artinya jalan yang "marapat" 'lurus' dengan lima cabang'. Ini merupakan salah satu sudut pandang yang berbeda.
Di dalam bahasa ibu pun terjadi kosakata serapan dari bahasa asing melalui bahasa Indonesia. Bahasa Ibu Sunda kontemporer digunakan sesuai dengan ekosistem dalam pergaulan gobal. Pergaulan yang mengakibatkan campur kode sebagai proses alih kode. Alih kode berfungsi, pertama, sebagai acuan unsur yang tidak atau yang kurang dipahami di dalam bahasa yang digunakan. Kedua, berfungsi direktif. Ketiga, berfungsi ekspresif (pembicara menekankan identitas alih kode melalui dua bahasa dalam wacana yang sama). Keempat, berfungsi untuk menunjukkan perubahan nada dalam konversasi, dan berfungsi fatis. Kelima, berfungsi sebagai metabahasa (dengan pemahaman alih kode untuk mengulas suatu bahasa, baik langsung maupun tidak langsung. Keenam, berfungsi di dalam humor atau permainan yang sangat berperan di dalam masyarakat bi(poli)lingual.
Alih kode berhubungan erat dengan interferensi (penyimpangan dari kaidah-kaidah bahasa yang dikuasai multibahasawan). Keduanya dapat terjadi, baik di dalam akulturasi bahasa maupun di dalam integrasi. Integrasi merupakan bahasa dengan unsur-unsur pinjaman, dipakai, dan dianggap bukan unsur pinjaman. Integrasi memerlukan waktu yang lama. Apakah bahasa Ibu Sunda dalam pergaulan global semakin mantap sebagai alat berpikir dan bernalar masyarakat bahasa Sunda modern? Akankah terjadi cara pandang modern terhadap alam, bagaimana masyarakat bahasa Sunda memandang pergaulan zaman global, perhatikanlah semboyan Bermartabat, sebagai perkembangan dari Berhiber. Perkembangan, pergeseran seiring dengan kemajuan zaman dan kenyataan dianggap sebagai hukum alam yang berlaku sehingga tidak dapat lagi dipertahankan dengan kosakata yang tumbuh dan berkembang pada saat bahasa Sunda ini dinyatakan lahir sebagai bahasa standar.
Pernyataan tekad untuk menumbuhkan sikap positif terhadap bahasa Sunda sering kita dengar, lebih-lebih pada kemunculan perda. Pemakaian bahasa Sunda yang diidam-idamkan selalu muncul, bahkan sampai ada yang menganggap mati. Betulkah mati? Selama masih terdengar dan ada upaya untuk melestarikan, mungkin tidak mati. Akan tetapi, kalau harus sama dengan bahasa yang digunakan nenek moyang, seperti pada naskah-naskah, tidaklah mungkin. Bukan mati, tetapi sesuai dengan kepentingan pergaulan zaman. Masyarakat bahasa Sunda dinamis dan bergaul dengan yang lainnya sehingga yang terjadi adalah percampuran itu tadi.
Banyak kosakata pinjaman masuk ke dalam bahasa Sunda sejak zaman penjajahan sampai sekarang. Sebuah fakta yang dikemukakan terdahulu adalah fakta bergaulnya bahasa Sunda dengan yang lainnya, pertanda dinamis, kalau tidak maka akan "kurung batok". Memang bila peribahasa atau ungkapan itu muncul sesuai dengan peristiwa dan budaya pada zamannya, dapat diperhatikan faktor-faktor tersebut di atas, untuk membina dan mengembangkan bahasa Ibu Sunda.
Fakta dengan hukum alam yang berlaku adalah seperti pada bahasa Sansekerta. Kita tidak tahu bagaimana penuturnya dan siapa yang mengalahkannya. Apakah anak-anak sekarang memahami kecantikan dari ekspresi cantik seperti Putri Mantili? Bagaimana wajah cantik itu dan di manakah kerajaan Mantili itu? Mungkin diketahui pada zamannya saja. Kita mendapat kata kula warga (keluarga yang berasal dari bahasa Sansekerta yang kemudian dipinjam dan tak akan dikembalikan).***
Penulis, Guru Besar Fakultas Sastra bidang Linguistik-Semantik-Dialektologi. Kepala UPT Kebahasaan dan Kesenian Unpad, Bandung.

Jasa Jonathan dari Jasinga
Beunang guguru ti gunung, beunang nanya ti Guriang (I have been taught it among the mountain, I have enquired after it from the mountain spirit).
Begitu yang tertulis pada halaman dedikasi "A Dictionary of the Sunda Language of Java". Buku ini merupakan kamus pertama berbahasa asing yang ada dalam kandaga kebudayaan Sunda.
Kamus Sunda-Inggris ini mewadahi 9.308 entri. Tiap entrinya diawali huruf kapital. Entri K yang terbanyak, 1.034 entri. Kedua entri S (946 entri), ketiga entri P (937 entri). Dan entri yang paling sedikit adalah entri yang diawali oleh huruf Y (16 entri).
Selain itu, di dalam kamus ini juga terdapat begitu banyak kata-kata Sunda yang kini tidak dikenali. Kata cau (pisang) misalnya. Rigg menginventarisasi ada 43 jenis cau. Jenis-jenis cau yang tak kita kenal, misalnya cau lutung, cau badak, cau banteng, cau buhaya, cau hoe, cau honje, cau sukun, dll.
Jenis-jenis pare (padi) pun banyak yang sekarang tak kita kenal. Di antara pare sawah umpamanya ada: pare beureum loyor, pare seksek, pare gajah menur, pare sisit naga, pare ketan bebek, pare ketan beledug. Dan di antara pare humah seperti pare ambon, pare badigal, pare baduyut, pare bangban, pare walen, pare wasiyat.
Namun, ada yang menarik di balik penyusunan kamus tersebut, yakni lahir dari seorang filantrop Inggris, bukan orang Belanda. Dialah Jonathan Rigg, yang memiliki perkebunan teh di daerah Jasinga, Bogor selatan.
Ide awalnya berasal dari Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW). Pada 9 Oktober 1843, Pieter Mijer, Sekretaris BGKW, mengumumkan sayembara penyusunan Kamus Bahasa Sunda baru yang lebih baik dari "Nederduitsch Maleisch en Soendasch Woordenboek" susunan Andries de Wilde. Yang berhasil menyusunnya akan diberi hadiah berupa uang 1.000 gulden dan medali emas (senilai 300 gulden).
Akhirnya, pada 1854, BGKW menerima naskah kamus "A Dictionary of the Sunda Language of Java". Naskahnya kemudian diterbitkan tahun 1862 oleh penerbit Lange & Co., Batavia.
Akan tetapi, keberhasilan Rigg menimbulkan kekecewaan di kalangan cendekiawan Belanda. Daniel Koorders, ahli teologi dan hukum, mengungkapkan kekecewaannya. "Ini mengejutkan saya bahwa dalam kamus yang seharusnya ditulis untuk orang Belanda, ejaan kata-kata Sunda mengikuti lafal bahasa Inggris" (Moriyama. 2005. Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19. Jakarta: KPG).
Selain itu, yang patut dicatat adalah proses penyusunan kamus tersebut. Menurut Roesjan dalam tulisannya "Kamus Sunda" yang dimuat pada kalawarti Djawatan Kabudajan Djawa-Kulon No. 8 (tt), hal 17-23, Rigg menempuh tiga langkah untuk mencapai maksudnya.
Pertama, Rigg mengumpulkan kata-kata Sunda dari "Paririmbuan-ketjap" karya Bupati Cianjur R.A. Kusumaningrat atau Dalem Pancaniti, yang mengumpulkan kata-kata Sunda (wilayah Priangan Barat terutama dalam tingkat kehalusan bahasanya (undak-usuk).
Kedua, Rigg juga diuntungkan oleh hubungan serta pergaulan baiknya dengan Demang Jasinga, Raden Natawiria. Demang ini memiliki pengetahuan yang luas mengenai bahasa Sunda dialek Jasinga. Dari Demang ini pula Rigg memperoleh banyak pengetahuan tentang kata-kata Sunda.
Ketiga, Rigg adalah mengundang Ki Gembang, seorang juru pantun terkenal dari Bogor, untuk melantunkan carita-carita pantun. Tidak tanggung-tanggung, tiga kali Rigg meminta Ki Gembang memantun. Yaitu, pada tahun 1847, 1848, dan 1850.
Ya, dari ketiga hal itulah Jonathan dari Jasinga bisa menyusun "A Dictionary of the Sunda Language of Java".
(Atep Kurnia, penulis lepas, tinggal di Bandung)***
Disadur dari: www.pikiran-rakyat.com
Prev: Seni Angklung

tgs sosling

Sun, 25 Feb 2007 23:31:04 -0800
Ari sugan teh kecap Cina nu asup kana basa Sunda teh ukur Tahu, Taoge
jeung tauco, tapi geuning leuwih loba deui. saur Prof. Fatimah Djajadurama
kecap "Ci" tadina tina kecap "Cui", kecap taneuh tina "to-nieh", kecap
seka (nyeka beungeut) tina kecap Cina "si-ka", mersihan beungeut jeung
suku lamun tas ngawuluku sawah. Wuluku? walah ieu oge kecap Cina "Wu" =
lima, "Lu"= Bajak, "ku" = jenis pare jrrd.

Nyanggakeun seratan Bu Fatimah Dajasudrama dina PR, Saptu 24 Februari 2007 :


Bahasa Sunda Kini

Oleh Fatimah Djajasudarma

Bahasa Sunda sebagai bahasa ibu sudah tercatat di dalam World Languages
Report dari UNESCO ETXEA yang berpusat di Bilbao Basque Country,
dilaporkan melalui kuesioner dan pada tahun 2001 terbit ”Certificate”
kerja sama. Penelitian terhadap bahasa Sunda dapat dikatakan langgeng
karena kesadaran akan identitas dan ekosistem yang menuntut untuk sejalan,
seiring dalam kehidupan berbahasa (berbudaya) sesuai lingkungannya.

Pemerintah Belanda mengumumkan secara resmi bahasa Sunda yang dipakai di
sekitar Bandung menjadi bahasa standar (lulugu) pada tahun 1912. Bahasa
Sunda sebagai bahasa ibu memenuhi syarat untuk dijadikan bahasa standar
karena pertimbangan jumlah pemakai, bahasa pemerintah, bahasa yang
diajarkan di sekolah-sekolah, banyak buku yang ditulis dalam bahasa
tersebut, dan dipakai sebagai alat komunikasi yang dipahami masyarakat
Sunda pada umumnya (mutual intelligibility).

Sejak diresmikan pemerintah Belanda tahun 1912, penelitian terhadap bahasa
Sunda terus dilakukan, bahkan sampai dengan Kongres I Bahasa Sunda tahun
1952 yang diadakan di Bandung, disusul dengan berdirinya LBSS (Lembaga
Bahasa dan Sastra Sunda). Kekosongan penelitian terjadi beberapa tahun
sesudah perang yang mengakibatkan kelangkaan buku-buku berbahasa Sunda.
Tetapi kemudian timbul kesadaran bahwa bahasa dan budaya daerah perlu
dibina dan dikembangkan untuk mengisi semangat Bhineka Tunggal Ika, yang
pada akhirnya akan menghasilkan keanekaragaman ekosistem yang mempertinggi
stabilitas sistem itu sendiri.

Di atas semua itu, bahasa daerah yang dipelihara, dibina, dan dikembangkan
oleh masyarakatnya akan dilindungi negara. Oleh karena itu, ada politik
bahasa nasional yang mengatur fungsi bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
Bahasa Sunda sebagai bahasa daerah adalah identitas salah satu bangsa
Indonesia yang ada di Jawa Barat.

**

Istilah bahasa ibu, dari bahasa Inggris mother tongue, biasanya dianggap
sebagai bahasa pertama yang diperoleh di rumah, berhubungan erat dengan
dengan caretaker speech (CS) atau motherese, mother talk, atau baby talk.
CS merupakan ujaran sederhana yang digunakan oleh ibu, ayah, pramusiwi
(kecenderungan di Indonesia oleh pramuwisma) untuk mengajari anak-anak
pada saat pemerolehan bahasa (belajar bicara). Tidaklah aneh bila kita
mendapatkan kosakata yang digunakan tidak pada tempatnya, tetapi minimal
ada usaha untuk mengajarkan bahasa Sunda.

Bahasa Sunda yang digunakan sekarang ini bisa dikatakan bahasa kontemporer
karena berkecenderungan campur kode demi kepentingan pergaulan global.
Memahami hal tersebut, bahasa ibu Sunda yang memiliki etika berbahasa
(undak usuk) sejak abad ke-17 (Djajasudarma, 1986) sebagai pengaruh
Mataram, mengakibatkan anak-anak yang belajar bahasa Sunda enggan atau
takut salah berbahasa. Sekarang anak-anak yang mendapatkan CS dari
pramuwisma cenderung lebih tahu yang kasar daripada yang halus. Dalam
pemakaiannya, bila sulit untuk menentukan status kawan bicara, orang akan
lari ke bahasa Indonesia atau bahasa anak-anak.

Bagaimana dengan kehidupan global, dapatkah anak memiliki bahasa ibu
sebagai first language acqusition yang baik dan benar? Hal ini yang harus
dipikirkan bersama, mengingat bahasa daerah berfungsi sebagai bahasa
budaya, dan bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa iptek yang dapat
diperkaya, baik oleh bahasa daerah maupun bahasa asing. Bayangkan saja
bila ada orang bersin, orang Sunda akan menjawab dengan hurip waras, atau
bahasa Inggris dengan bless you, bahasa Jerman dengan gesundheit, dan
bahasa Belanda gezondheid, sedangkan bahasa Indonesia tidak memiliki unsur
budaya tersebut.

Demikian juga dalam hal cara pandang atau cara berpikir yang berbeda dalam
memandang alam sehingga yang dipentingkan yang ada di alam dapat
dimanfaatkan sekejap. Cara berpikir yang berputar-putar yang tidak
dimiliki pergaulan global sangat sulit untuk digunakan di dalam pergaulan
sekarang, misalnya peribahasa yang sudah tidak berlaku sekarang.

Kontak bahasa yang terjadi akibat kontak budaya atau sebaliknya, tentulah
akan saling memengaruhi. Bahasa Sunda punya cara untuk menyikapinya
seperti tampak dalam istilah “Ngindung ka waktu ngabapa ka jaman". Hal
tersebut dianggap sebagai konsekuensi linguistik bagi masyarakat
bi(poli)lingual dalam pergaulan global. Pergaulan global cenderung
menuntut bahasa ibu Sunda kontemporer, sesuai dengan kepentingan
komunikasi global dan tanda bahasa yang dinamis.

Bahasa, layaknya manusia, mengalami siklus lahir, hidup (berkembang), dan
mati. Sesuai dengan hukum alam. Karenanya, hidup-matinya bahasa ibu
bergantung kepada masyarakatnya. Masyarakat Indonesia cenderung inovatif,
mudah menyesuaikan diri dengan pengaruhnya tadi, demi kedinamisan
pergaulan dalam mempertahankan ekosistemnya.

**

Bahasa ibu Sunda berkembang, bergeser, dan bertahan dengan berbagai cara.
Karenanya, di Sunda umpamanya, banyak ditemukan istilah atau kata yang
berasal dari bahasa Cina. Kata Cina berasal dari ci atau cai untuk nama
tempat di Sunda berasal dari (cui) yang berkaitan dengan filsafat Cina
"tanpa air, tak akan ada kehidupan".

Dinyatakan pula bahwa Kerajaan Tarumanagara berbahasa Kwunlun dari Cina
(kung) dan (lun) “perbincangan resmi”. Demikian pula kata ngawuluku
(membajak sawah) berasal dari wu (lima), lu (bajak), ku (jenis
padi-padian), dan kia (yang diteriakkan kepada kerbau pada saat membajak
sawah). Kata seka berasal dari si-ka mencuci muka dan kaki sesudah
membajak sawah. Mencuci muka di dalam bahasa Sunda menjadi sibeungeut dari
bahasa Cina si-bing-e. Demikian pula kata seperti pangkeng (kamar tidur)
berasal dari pang-keng, sosi (kunci) dari so-sih. Lalu taneuh (tanah) dari
to-nieh.

Demikian pula bahasa Indonesia menerima struktur pembentukan kata dari
bahasa Sunda. Sebutlah kata macet “keadaan seperti pacet (binatang yang
melekat diam)”, analog dengan bentukan maneuh “menetap (keadaan seperti
tanah-tetap)”. Demikian pula parapatan lima yang tidak bisa diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia dengan “perempatan lima”, tetapi dengan
“perlimaan”. Padahal dalam bahasa Sunda, parapatan lima artinya jalan yang
"marapat" 'lurus' dengan lima cabang'. Ini merupakan salah satu sudut
pandang yang berbeda.

Di dalam bahasa ibu pun terjadi kosakata serapan dari bahasa asing melalui
bahasa Indonesia. Bahasa Ibu Sunda kontemporer digunakan sesuai dengan
ekosistem dalam pergaulan gobal. Pergaulan yang mengakibatkan campur kode
sebagai proses alih kode. Alih kode berfungsi, pertama, sebagai acuan
unsur yang tidak atau yang kurang dipahami di dalam bahasa yang digunakan.
Kedua, berfungsi direktif. Ketiga, berfungsi ekspresif (pembicara
menekankan identitas alih kode melalui dua bahasa dalam wacana yang sama).
Keempat, berfungsi untuk menunjukkan perubahan nada dalam konversasi, dan
berfungsi fatis. Kelima, berfungsi sebagai metabahasa (dengan pemahaman
alih kode untuk mengulas suatu bahasa, baik langsung maupun tidak
langsung. Keenam, berfungsi di dalam humor atau permainan yang sangat
berperan di dalam masyarakat bi(poli)lingual.

Alih kode berhubungan erat dengan interferensi (penyimpangan dari
kaidah-kaidah bahasa yang dikuasai multibahasawan). Keduanya dapat
terjadi, baik di dalam akulturasi bahasa maupun di dalam integrasi.
Integrasi merupakan bahasa dengan unsur-unsur pinjaman, dipakai, dan
dianggap bukan unsur pinjaman. Integrasi memerlukan waktu yang lama.
Apakah bahasa Ibu Sunda dalam pergaulan global semakin mantap sebagai alat
berpikir dan bernalar masyarakat bahasa Sunda modern? Akankah terjadi cara
pandang modern terhadap alam, bagaimana masyarakat bahasa Sunda memandang
pergaulan zaman global, perhatikanlah semboyan Bermartabat, sebagai
perkembangan dari Berhiber. Perkembangan, pergeseran seiring dengan
kemajuan zaman dan kenyataan dianggap sebagai hukum alam yang berlaku
sehingga tidak dapat lagi dipertahankan dengan kosakata yang tumbuh dan
berkembang pada saat bahasa Sunda ini dinyatakan lahir sebagai bahasa
standar.

Pernyataan tekad untuk menumbuhkan sikap positif terhadap bahasa Sunda
sering kita dengar, lebih-lebih pada kemunculan perda. Pemakaian bahasa
Sunda yang diidam-idamkan selalu muncul, bahkan sampai ada yang menganggap
mati. Betulkah mati? Selama masih terdengar dan ada upaya untuk
melestarikan, mungkin tidak mati. Akan tetapi, kalau harus sama dengan
bahasa yang digunakan nenek moyang, seperti pada naskah-naskah, tidaklah
mungkin. Bukan mati, tetapi sesuai dengan kepentingan pergaulan zaman.
Masyarakat bahasa Sunda dinamis dan bergaul dengan yang lainnya sehingga
yang terjadi adalah percampuran itu tadi.

Banyak kosakata pinjaman masuk ke dalam bahasa Sunda sejak zaman
penjajahan sampai sekarang. Sebuah fakta yang dikemukakan terdahulu adalah
fakta bergaulnya bahasa Sunda dengan yang lainnya, pertanda dinamis, kalau
tidak maka akan "kurung batok". Memang bila peribahasa atau ungkapan itu
muncul sesuai dengan peristiwa dan budaya pada zamannya, dapat
diperhatikan faktor-faktor tersebut di atas, untuk membina dan
mengembangkan bahasa Ibu Sunda.

Fakta dengan hukum alam yang berlaku adalah seperti pada bahasa
Sansekerta. Kita tidak tahu bagaimana penuturnya dan siapa yang
mengalahkannya. Apakah anak-anak sekarang memahami kecantikan dari
ekspresi cantik seperti Putri Mantili? Bagaimana wajah cantik itu dan di
manakah kerajaan Mantili itu? Mungkin diketahui pada zamannya saja. Kita
mendapat kata kula warga (keluarga yang berasal dari bahasa Sansekerta
yang kemudian dipinjam dan tak akan dikembalikan).***

Penulis, Guru Besar Fakultas Sastra bidang
Linguistik-Semantik-Dialektologi. Kepala UPT Kebahasaan dan Kesenian
Unpad, Bandung.



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~-->
See what's inside the new Yahoo! Groups email.
http://us.click.yahoo.com/0It09A/bOaOAA/yQLSAA/IotolB/TM
--------------------------------------------------------------------~->

PENTING..!

attachment akan dihapus & tidak diteruskan kepada seluruh member.

dilarang beriklan. pelanggaran atas peraturan ini akan dikenai sanksi berupa
pencabutan membership.

terutama bagi pengguna ms outlook/outlook express, dihimbau untuk selalu