Powered By Blogger

magelang

magelang
jalan-jalan truz

Jumat, 14 Mei 2010

perbandingan puisi

1. PENDAHULUAN
Kata sastra berasal dari bahasa Sansekerta dengan akar kata sas yang berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi ; dan kata tra yang berarti alat atau sarana. Kata sastra dikombinasikan dengan kata su yang berarti baik, Jadi secara leksikal susastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik (Teeuw dalam Ratna, 2005 : 4). Filsuf Horatius mengungkapkan bahwa sebuah karya sastra haruslah dulce, utile, prodesse et delectare (indah, berguna, manfaat, dan nikmat). Oleh karena itu sastra dikaitkan dengan estetika atau keindahan. Selain pada isinya, lokus keindahan sastra terletak pada bahasa. Dalam sebuah karya sastra, bahasa yang dipakai terasa berbeda dengan bahasa sehari-hari, karena telah disusun, dikombinasikan, mengalami deotomisasi dan defamiliarisasi ; karena adanya kata-kata yang aneh, berbeda, atau asing (ostranenie) ; juga karena adanya kebebasan penyair untuk menggunakan atau bahkan “mempermainkan” bahasa (licentia poetica). Bahasa dalam sastra dikenal penuh dengan ambiguitas dan homonim, serta kategori-kategori yang tidak beraturan dan irrasional. Bahasa sastra juga penuh dengan asosiasi, mengacu pada ungkapan atau karya yang diciptakan sebelumnya. Dalam bahasa sastra sangat dipentingkan tanda, simbolisme, dan suara dari kata-kata. Bahasa sastra bersifat konotatif dan refensial serta memiliki fungsi ekspresif untuk menunjukkan nada dan sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra berusaha mempengaruhi, membujuk, dan pada akhirnya mengubah sikap pembaca (Welleck & Warren, 1990 : 15).
Karya sastra merupakan rekonstrusi yang harus dipahami dengan memanfaatkan mediasi. Karya sastra membangun dunia melalui energi kata-kata. Melalui kualitas hubungan paradigmatik, sistem tanda dan sistem simbol, kata-kata menunjuk sesuatu yang lain di luar dirinya. Bahasa mengikat keseluruhan aspek kehidupan, untuk kemudian disajikan dengan cara yang khas dan unik agar peristiwa yang sesungguhnya dipahami secara lebih bermakna. Lebih intens, dan dengan sendirinya lebih luas dan lebih mendalam (Ratna, 2005 : 16). Hakikat sastra adalah imajinasi dan kreativitas, sehingga sastra selalu dikaitkan dengan ciri-ciri tersebut. Sastra sebagai karya imajinatif. Acuan dalam sastra adalah dunia fiksi atau imajinasi. Sastra mentransformasikan kenyataan ke dalam teks. Sastra menyajikan dunia dalam kata, yang bukan dunia sesungguhnya, namun dunia yang ‘mungkin’ada. Walaupun berbicara dengan acuan dunia fiksi, namun, menurut Max Eastman, kebenaran dalam karya sastra sama dengan kebenaran di luar karya sastra, yaitu pengetahuan sistematis yang dapat dibuktikan. Fungsi utama sastrawan adalah membuat manusia melihat apa yang sehari-hari ada di dalam kehidupan, dan membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya sudah diketahui (Welleck & Warren, 1990 : 30-31).
Selain bercirikan keindahan, sebuah karya sastra haruslah memiliki kegunaan. Dalam hal ini perlu dibahas fungsi sastra bagi manusia, yaitu sebagai kesenangan dan manfaat. Kedua sifat tersebut saling mengisi. Kesenangan yang diperoleh melalui pembacaan karya sastra bukanlah kesenangan ragawi, melainkan kesenangan yang lebih tinggi, yaitu kesenangan kontemplasi yang tidak mencari keuntungan. Sedangkan manfaatnya adalah keseriusan yang menyenangkan, keseriusan estetis, dan keseriusan persepsi. Selain itu sastra juga memiliki fungsi katarsis, yaitu membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu, sehingga terciptalah rasa lepas dan ketenangan pikiran (Welleck & Warren, 1990 : 34-35).
Jadi, sastra berfungsi untuk meningkatkan kehidupan. Fungsi yang sama juga diemban oleh kebudayaan. Yang dimaksud dengan kebudayaan menurut Marvin Haris adalah seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku (Haris dalam Ratna, 2005 : 5). Dari definisi tersebut terlihat bahwa kebudayaan mengkaji aktivitas manusia, sebuah wilayah kajian yang juga dimiliki oleh sastra. Dapat dikatakan bahwa sastra adalah salah satu aspek kebudayaan yang memegang peranan penting, sehingga sastra terlibat dalam kebudayaan. Hakikat sastra dan kebudayaan adalah hakikat fiksi dan fakta. Karya sastra dibangun atas dasar rekaan, dienergisasikan oleh imajinasi, sehingga dapat mengevokasikan kenyataan-kenyataan, sedangkan kebudayaan memberi isi, sehingga kenyataan yang ada dalam karya sastra dapat dipahami secara komprehensif. Sastra dan kebudayaan berbicara mengenai aktivitas manusia. Sastra melalui kemampuan imajinasi dan kreativitas sebagai kemampuan emosional, sedangkan kebudayaan melalui kemampuan akal, sebagai kemampuan intelektualitas. Kebudayaan mengolah alam melalui akal, melalui teknologi. Sedangkan sastra mengolah alam melalui kemampuan tulisan. Sastra membangun alam, membangun dunia baru sebagai dunia dalam kata. Sastra dan kebudayaan untuk pencerahan akal budi manusia untuk meningkatkan kehidupan. Sastra dan kebudayaan kemudian menjadi bahan kajian dalam cultural studies (studi kultural). karya sastra merupakan objek studi kultural yang kaya akan nilai. Selain itu, karya sastra juga dinilai sebagai rekaman peristiwa-peristiwa kebudayaan. Studi kultural memahami karya sastra dalam kaitan sebagaimana adanya, dengan memanfaatkan petunjuk yang ada dalam teks sebagai hakikat pluralitas. Saat ini teori yang dianggap paling kuat untuk menganalisis hubungan antara sastra dan kebudayaan adalah teori postrukturalisme. Teori ini memberikan warna baru yang lebih kompleks bagi kajian sastra. Paradigma postrukturalisme memberikan perhatian kepada pembaca dengan konsepnya tentang kematian pengarang. Karya sastra dianggap memiliki ruang-ruang kosong, tempat para pembaca memberikan penafsirannya. Karya sastra menjadi berisi, setelah ruang kosong tersebut diisi oleh penafsiran pembaca. Semakin banyak ruang kosong tersebut, maka semakin banyak kesempatan pembaca untuk berdialog dengan penulis. Makna suatu karya sastra dapat berubah-ubah tergantung pada pembacanya. Setiap pembaca dapat memberikan penafsiran yang berbeda-beda. Di sinilah letaknya kekayaan makna suatu karya sastra. Karya sastra pun dikatakan bersifat terbuka, karena tema, latar, tokoh, plot, dan keseluruhan penafsiran merupakan sistem yang terbuka, berubah sesuai dengan situasi dan kondisi pembaca. Setiap aktivitas pemahaman melahirkan makna yang baru sebab tidak ada wacana yang pertama maupun terkahir, setiap wacana merayakan kelahirannya (Todorov dalam Ratna, 2005 : 145).
Dalam perkembangan selanjutnya, untuk melihat keunikan dan kekayaan dalam suatu karya sastra diperlukan suatu pengkajian khusus yang dapat memperkaya pemahaman kita mengenai keberanekaragaman karya sastra. Pengkajian tersebut biasa dikenal dengan sastra bandingan. Studi banding dalam sastra bandingan semakin melebar dengan mengkaji dan menganalisis teks sastra. Sastra bandingan adalah sebuah studi teks across cultural. Studi ini merupakan upaya interdisipliner, yakni lebih banyak memperhatikan hubungan sastra menurut aspek waktu dan tempat. Dari aspek waktu, sastra bandingan dapat membandingankan dua atau lebih periode yang berbeda. Sedangkan konteks tempat, akan mengikat satra bandingan menurut wilayah geografis sastra. Konsep ini merepresentasikan bahwa sastra bandingan memang cukup luas, bahkan pada perkembangan selanjutnya konteks sastra bandingan tertuju pada bandingan sastra dengan bidang lain. Bandingan ini, guna merunut keterkaitan antar aspek kehidupan (Endraswara, 2008 : 128).
Sastra Bandingan ( Comparative Literature ) dalam banyak rumusan atau definisi, umumnya menekannya perbandingan dua karya atau lebih dari sedikitnya dua Negara yang berbeda. Sastra bandingan bertujuan untuk menghapus pandangan sempit sastra nasional dan untuk menghilangkan anggapan bahwa satu sastra nasional lebih baik dari satu sastra nasional lainnya. Sastra bandingan tidak mempersoalkan masalah perbedaan dalam agama dan kurun waktu. Karya-karya sastra dapat saja dibahas dan dibandingkan meskipun lokasi cerita, para pelaku, dan penulisnya menunjukan perbedaan yang jelas.
Sastra Bandingan dalam kajian umum serta dalam kaitannya dengan sejarah ataupun yang lainnya adalah bagian dari sastra. Bagaimana menghubungkan sastra yang satu dengan yang lain, dan bagaimana pengaruh keduanya, serta apa yang dapat diambil dari sastra ini dan apa yang diberikannya. Atas dasar inilah kajian dalam sastra bandingan bersifat berpindah dari satu sastra ke sastra yang lain. Terkadang perpindahan ini dari segi lafadz-lafadz bahasa atau dalam tema serta dalam gambaran yang di perlihatkan sastrawan dalam temanya, atau berupa karya-karya seni. Dan batasan-batasan yang memisahnya antara sastra dengan yang lain pada kajian perbandingan terletak pada bahasa-bahasa. Maka perbedaan antara bahasa adalah syarat untuk membangun kajian sastra banding. Pengaruh-pengaruh sastra yang ditulis dengan satu sama lain dan perbandingan yang terjadi antara sastrawan satu dengan yang lain mengenai bahasa yang satu tidak pula masuk bahasan sastra banding.
Dalam sastra bandingan kajian sastra dapat dilakukan dengan mengambil hanya dua karya sastra, misalnya dua sajak, dari sastra nasional yang berbeda. Selain itu sastra bandingan mencakup pula kajian tentang hubungan karya-karya sastra dengan berbagai bidang d luar kesusasteraan, misalnya dengan ilmu pengetahuan, agama, dan karya-karya seni.
Sedangkan dalam praktiknya sastra bandingan tidak hanya mencantumkan analisis atau interpretasinya pada kebudayaan dan kehidupan kemasyarakatan yang melahirkannya. Karena jika hanya itu yang ditampilkan maka analisis itu hanya menyangkut dua atau lebih teks sastra yang berbeda dan hasil perbandingan itu hanya akan sampai pada perbedaan dan persamaan tekstual. Dari sana mungkin kita akan sampai juga pada persoalan reputasi dan penetrasi, dan pengaruh-mempengaruhi. Jika demikian halnya, maka perbandingan itu akan tetap berkutat pada persoalan tekstual. Oleh karena itu, pada dasarnya tujuan sastra bandingan yang tidak hanya sampai pada perbandingan dua teks sastra yang berbeda dan mengungkapkan persamaan dan perbedaan tekstual, tetapi juga coba menelusuri persamaan dan perbedaannya itu sebagai bagian dari dua produk budaya yang dilahirkan dari dua kehidupan sosio-budaya yang berbeda.
Kajian sastra banding memiliki manfaat besar dalam kawasan Nasional dan Global pada kawasan nasional mengarahkan penelaahan atas sastra asing dan membandingkannya dengan sastra Umum, menuju peringanan dari segi kefanatikan bahasa dan sastra umum/ pribumi tanpa mencari kebenaran. Dan dari segi fungsi-fungsi study sastra banding sebenarnya menjadikan pembelajaran tentang kebiasaan khusus atas perbedaan antara apa itu nasional yang melekat dan pendatang yang menyulusup dan dari segi pemikiran dan kebudayaan.
Sebelum memasuki pada pembicaraan beberapa karya sastra yang hendak dijadikan contoh kasus studi sastra bandingan, alangkah baik jika diperhatikan dahulu sejumlah rumusan mengenai sastra bandingan. Dari rumusan itu, serta dengan mengungkapkan beberapa kasus terjadinya problem konseptual, boleh jadi pula akan diperoleh rumusan yang lebih pas; atau paling sedikit dapat meninjau sejauh mana rumusan sastra bandingan masih dapat dipertahankan dan alternatif apa yang perlu dikedepankan.







2. ISI
A. PUISI
1. Pengertian
Secara etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poites, yang berarti pembangun, pembentuk, pembuat. Dalam bahasa Latin dari kata poeta, yang artinya membangun, menyebabkan, menimbulkan, menyair. Dalam perkembangan selanjutnya, makna kata tersebut menyempit menjadi hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak dan kadang-kadang kata kiasan (Sitomorang, 1980:10).
Puisi biasa dibuat oleh pengarang dengan tiga sasaran yaitu pertama, untuk dirinya sendiri sebagai sarana pengungkapan perasaan dan pendapat-pendapat pengarang terhadap sesuatu; kedua, untuk redaksi maksudnya setelah puisi itu dibuat maka redakturlah yang memiliki kewajiban menyebarluaskan puisi tersebut kepada masyarakat; ketiga, untuk penikmat dan kritikus, bagi mereka puisi digunakan sebagai objek pengamatan ataupun hanya sekedar bahan bacaan.
Seperti diketahui bahasa puisi memiliki karakter tersendiri yang dalam istilah bahasa disebut bahasa konotasi. Bahasa konotasi tidak hanya didukung oleh artikel material tetapi lebih banyak berorientasi pada pengertian-pengertian non fisik yang ditopang oleh symbol-simbol, emosi, dan suasana hati. Oleh karena itu puisi lahir dari pertemuan dunia batin sumber inspirasi dan dunia batin penyairnya.
Menurut Vicil C. Coulter, kata poet berasal dari kata bahasa Gerik yang berarti membuat, mencipta. Dalam bahasa Gerik, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir menyerupai dewa-dewa atau orang yang amat suka pada dewa-dewa. Dia adalah orang yang mempunyai penglihatan yang tajam, orang suci, yang sekaligus seorang filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi (Situmorang, 1980:10).


Ada beberapa pengertian lain.
1. Menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984), puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.
2. Putu Arya Tirtawirya (1980:9) mengatakan bahwa puisi merupakan ungkapan secara implisit, samar dengan makna yang tersirat di mana kata-katanya condong pada makna konotatif.
3. Ralph Waldo Emerson (Situmorang, 1980:8) mengatakan bahwa puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin.
4. William Wordsworth (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah peluapan yang spontan dari perasaan-perasaan yang penuh daya, memperoleh asalnya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan kembali dalam kedamaian.
5. Percy Byssche Shelly (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah rekaman dari saat-saat yang paling baik dan paling senang dari pikiran-pikiran yang paling senang.
6. Watt-Dunton (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekpresi yang kongkret dan yang bersifat artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama.
7. Lescelles Abercrombie (Sitomurang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekspresi dari pengalaman imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa yang mempergunakan setiap rencana yang matang serta bermanfaat.

2. UNSUR-UNSUR PEMBENTUK PUISI
Ada beberapa pendapat tentang unsur-unsur pembentuk puisi. Salah satunya adalah pendapat I.A. Richard. Dia membedakan dua hal penting yang membangun sebuah puisi yaitu hakikat puisi (the nature of poetry), dan metode puisi (the method of poetry).
Hakikat puisi terdiri dari empat hal pokok, yaitu
1. Sense (tema, arti)
Sense atau tema adalah pokok persoalan (subyek matter) yang dikemukakan oleh pengarang melalui puisinya. Pokok persoalan dikemukakan oleh pengarang baik secara langsung maupun secara tidak langsung (pembaca harus menebak atau mencari-cari, menafsirkan).
2. Feling (rasa)
Feeling adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya. Setiap penyair mempunyai pandangan yang berbeda dalam menghadapi suatu persoalan.
3. Tone (nada)
Yang dimaksud tone adalah sikap penyair terhadap pembaca atau penikmat karyanya pada umumnya. Terhadap pembaca, penyair bisa bersikap rendah hati, angkuh, persuatif, sugestif.
4. Intention (tujuan)
Intention adalah tujuan penyair dalam menciptakan puisi tersebut. Walaupun kadang-kadang tujuan tersebut tidak disadari, semua orang pasti mempunyai tujuan dalam karyanya. Tujuan atau amanat ini bergantung pada pekerjaan, cita-cita, pandangan hidup, dan keyakinan yang dianut penyair
Untuk mencapai maksud tersebut, penyair menggunakan sarana-sarana. Sarana-sarana tersebutlah yang disebut metode puisi. Metode puisi terdiri dari
1. Diction (diksi)
Diksi adalah pilihan atau pemilihan kata yang biasanya diusahakan oleh penyair dengan secermat mungkin. Penyair mencoba menyeleksi kata-kata baik kata yang bermakna denotatif maupun konotatif sehingga kata-kata yanag dipakainya benar-benar mendukung maksud puisinya.
2. Imageri (imaji, daya bayang)
Yang dimaksud imageri adalah kemampuan kata-kata yang dipakai pengarang dalam mengantarkan pembaca untuk terlibat atau mampu merasakan apa yang dirasakan oleh penyair. Maka penyair menggunakan segenap kemampuan imajinasinya, kemampuan melihat dan merasakannya dalam membuat puisi.

Imaji disebut juga citraan, atau gambaran angan. Ada beberapa macam citraan, antara lain
a) citra penglihatan, yaitu citraan yang timbul oleh penglihatan atau berhubungan dengan indra penglihatan.
b) Citra pendengaran, yaitu citraan yang timbul oleh pendengaran atau berhubungan dengan indra pendengaran.
c) Citra penciuman dan pencecapan, yaitu citraan yang timbul oleh penciuman dan pencecapan.
d) Citra intelektual, yaitu citraan yang timbul oleh asosiasi intelektual/pemikiran.
e) Citra gerak, yaitu citraan yang menggambarkan sesuatu yanag sebetulnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak.
f) Citra lingkungan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran selingkungan.
g) Citra kesedihan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran kesedihan.
3. The concrete word (kata-kata kongkret)
Yang dimaksud the concrete word adalah kata-kata yang jika dilihat secara denotatif sama tetapi secara konotatif mempunyai arti yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi pemakaiannya. Slametmulyana menyebutnya sebagai kata berjiwa, yaitu kata-kata yang telah dipergunakan oleh penyair, yang artinya tidak sama dengan kamus.
4. Figurative language (gaya bahasa)
Adalah cara yang dipergunakan oleh penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imaji dengan menggunakan gaya bahasa, perbandingan, kiasan, pelambangan dan sebagainya. Jenis-jenis gaya bahasa antara lain;
a) Perbandingan (simile), yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, umpama, laksana, dll.
b) Metafora, yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain tanpa mempergunakan kata-kata pembanding.
c) Perumpamaan epos (epic simile), yaitu perbandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingannya dalam kalimat berturut-turut.
d) Personifikasi, ialah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia di mana benda mati dapat berbuat dan berpikir seperti manusia.
e) Metonimia, yaitu kiasan pengganti nama.
f) Sinekdoke, yaitu bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting untuk benda itu sendiri.
g) Allegori, ialah cerita kiasan atau lukisan kiasan, merupakan metafora yang dilanjutkan.
5. Rhythm dan rima (irama dan sajak)
Irama ialah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembutnya ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Irama dibedakan menjadi dua,
a) Metrum, yaitu irama yang tetap, menurut pola tertentu.
b) Ritme, yaitu irama yang disebabkan perntentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur.
Irama menyebabkan aliran perasaan atau pikiran tidak terputus dan terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan angan (imaji) yang jelas dan hidup. Irama diwujudkan dalam bentuk tekanan-tekanan pada kata. Tekanan tersebut dibedakan menjadi tiga,
1. dinamik, yaitu tyekanan keras lembutnya ucapan pada kata tertentu.
2. Nada, yaitu tekanan tinggi rendahnya suara.
3. Tempo, yaitu tekanan cepat lambatnya pengucapan kata.
6. Rima
Rima adalah persamaam bunyi dalam puisi. Dalam rima dikenal perulangan bunyi yang cerah, ringan, yang mampu menciptakan suasana kegembiraan serta kesenangan. Bunyi semacam ini disebut euphony. Sebaliknya, ada pula bunyi-bunyi yang berat, menekan, yang membawa suasana kesedihan. Bunyi semacam ini disebut cacophony.
Berdasarkan jenisnya, persajakan dibedakan menjadi
a) Rima sempurna, yaitu persama bunyi pada suku-suku kata terakhir.
b) Rima tak sempurna, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada sebagian suku kata terakhir.
c) Rima mutlak, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada dua kata atau lebih secara mutlak (suku kata sebunyi).
d) Rima terbuka, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku akhir terbuka atau dengan vokal sama.
e) Rima tertutup, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata tertutup (konsonan).
f) Rima aliterasi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris yang sama atau baris yang berlainan.
g) Rima asonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada asonansi vokal tengah kata.
h) Rima disonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapaat pada huruf-huruf mati/konsonan.
Berdasarkan letaknya, rima dibedakan
a) Rima awal, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada awal baris pada tiap bait puisi.
b) Rima tengah, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di tengah baris pada bait puisi
c) Rima akhir, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di akhir baris pada tiap bait puisi.
d) Rima tegak yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bait-bait puisi yang dilihat secara vertikal
e) Rima datar yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada baris puisi secara horisontal
f) Rima sejajar, yaitu persamaan bunyi yang berbentuk sebuah kata yang dipakai berulang-ulang pada larik puisi yang mengandung kesejajaran maksud.
g) Rima berpeluk, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dan larik keempat, larik kedua dengan lalrik ketiga (ab-ba)
h) Rima bersilang, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dengan larik ketiga dan larik kedua dengan larik keempat (ab-ab).
i) Rima rangkai/rima rata, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir semua larik (aaaa)
j) Rima kembar/berpasangan, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir dua larik puisi (aa-bb)
k) Rima patah, yaitu persamaan bunyi yang tersusun tidak menentu pada akhir larik-larik puisi (a-b-c-d).
Pendapat lain dikemukakan oleh Roman Ingarden dari Polandia. Orang ini mengatakan bahwa sebenarnya karya sastra (termasuk puisi) merupakan struktur yang terdiri dari beberapa lapis norma. Lapis norma tersebut adalah
a) Lapis bunyi (sound stratum), dan merupakan barangkali merupakan seluruh bunyi
Puisi merupakan satuan-satuan suara: suara suku kata. Jadi lapisan bunyi dalam suau sajak atau puisi adalah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu.
b) Lapis arti (units of meaning)
Puisi itu terdiri dari satuan terkecil berupa fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satu-kesatuan makna.
c) Lapis obyek yang dikemukakan atau "dunia ciptaan"
Pada lapisan ini diketahui bahwa dalam puisi terdapat latar, tokoh, dan dunia pengarang
d) Lapis implisit
Ada makna-makna tersembunyi yang ada pada setiap kata pada sebuah puisi.
e) Lapis metafisika (metaphysical qualities)
Lapisan ini yang membuat seorang pembaca dapat berkotemplasi ataupun berimajinasi terhadapa pusis yang dibacanya.
Pendekatan Semiotika
A. Pengertian Semiotik
Semiotika modern dipelopori oleh dua orang tokoh, yaitu Ferdinand de Saussure (1855 – 1913), seorang ahli linguistik dan Charles Sander Peirce (1839 – 1914), seorang ahli filsafat. Saussure menyebutnya semiologi sedangkan Pierce menyebutnya semiotika (semiotics). Baik semiotika maupun semiologi, keduanya merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda. Penelitian sastra dengan pendekatan semiotic pada dasarnya adalah lanjutan dari pendekatan dengan semiotic karena karya sastra itu merupakan struktur tanda – tanda yang bermakna.
Pengertian semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda–tanda (Pradopo dalam Jabrohim, 2003: 67). Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signitied). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanta adalah sesuatu yang ditandai oleh petanda itu yaitu artinya.
Semiotika adalah ilmu tanda, istilah tersebut berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti “tanda”. Tanda dalam hal ini dapat berupa kata, gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda (Sudjiman dan Zoest, 1996).
Istilah semiotika baru digunakan pada abad XVIII oleh Lambert seorang ahli filsafat Jerman. Orang baru memikirkan secara sitematis tentang penggunaan tanda dan ramai membahasnya dalam abad XX, kemudian banyak muncul pakar tentang semiotika. Misalnya Ronald Barthes dalam bukunya “Element de Semioligie (1953), J- Kriteva di dalam Semiotike (1969), Umberto Eco dalam bukunya A Theory of Semiotics, dan lain – lain.
Semiotik adalah ilmu tanda- tanda. Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda. Sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu yaitu artinya.
Dalam hubungannya antara penanda dan petanda ada beberapa jenis tanda yaitu ikon, indesk, dan symbol. Yang pertama ikon adalah tanda yang menununjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan ini adalah hubungan persamaan artinya ada yang dilihat dan dikatakan sama fengan faktanya. Kedua indeks adalah tanda yang yang menunjukkan hubungan kausal. Yang ketiga simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer. Artinya tanda itu ditentukan oleh konversi.
Semiotik Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut. Semiotics is usually defined as a general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information. Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically communicate information or massages in literary every field of human behaviour and enterprise. (Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia).
Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure. Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics). Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Pada penelitian sastra dengan pendekatan semiotik, tanda yang berupa indekslah yang sering digunakan yaitu tanda yang menunjukkan hubungan sebab- akibat.




B. Analisis Sastra dengan Semiotik
1. Metode semiotik dalam penelitian sastra
Sastra (karya sastra) merupakan seni yang mempergunakan bahasa sebagi mediumnya. Bahasa berkedudukan sebagai bahan dalam hubungannya dengan sastra, sudah mempunyai sistem dan konversi sendiri, maka disebut sistem semiotik tingkat pertama. Sastra mempunyai sistem dan konversi sendiri yang mempergunakan bahasa, disebut sistem semiotik tingkat kedua.
Dikemukakan Preminger dkk (1974: 98) bahwa penerangan semiotik itu memandang obyek–obyek atau laku– aku sebagai parole (laku tuturan) dari suatu langue (bahasa, system linguistik) yang mendasari “tata bahasanya” harus dianalisis. Dikatakan selanjutnya aleh Preminger bahwa studi semiotic sastra adalah uasaha untuk menganalisis system tanda–tanda. Oleh karena itu, peneliti harus menetukan konvensi – konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna.
Sebagai contohnya, kita akan menganalisis puisi. Puisi merupakan sistem tanda yang mempunyai satuan-satuan tanda (yang minimal) seperti kosa kata, bahasa kiasan. Tanda–tanda itu mempunyai makna berdasarkan konvensi–konvensi (dalam) sastra. Contoh dari konvensi–konvensi puisi diantaranya adalah konvensi kebahasaan, konvensi ambiquitas, dan konvensi visual.
Arti atau makna satuan itu tidak lepas dari konvensi–konvensi sastra pada umumnya. Konvensi itu merupakan perjanjian masyarakat, baik masyarakat bahasa maupun masyarakat sastra, perjanjian tersebut adalah perjanjian tak tertulis, disampaikan secara turun temurun, bahkan kemudian sudah menjadi hakekat sastra sendiri.
2. Pembacaan semiotik: heuristik dan hermeneutik atau retroaktif
Untuk dapat memberi makna sajak secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik/ retroaktif (Reffeterre dalam Jabrohim, 2003: 80).

a. Pembacaan Heuristik
Pembacaan heuristik yaitu pembacaan berdasarkan struktur atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Misalnya dalam sajak, pembacaan heuristik yaitu membaca sajak berdasarkan struktur kebahasaannya. Untuk memperjelas arti dapat diberi sisipan kata atau sinoman yang diletakkan dalam tanda kurung. Struktur kalimatnya juga disesuaikan dengan kalimat baku.
Pembacaan heuristik ini, masih terbatas pada pemahaman terhadap arti bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama, yaitu berdasarkan konvensi bahasanya.
b. Pembacaan hermeneutik atau retroaktif
Pembacaan hermeneutik atau retroaktif adalah pembacaan karya sastra berdasarkan konvensi sastranya. Atau dengan kata lain pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan konvensi sastranya.
c. Hubungan Sintagmatik dan Paradigmatik
Hubungan sintakmatik dan paradikmatik yang di kemukakan oleh Ferdinand de Saussure. Deretan sintagmatik adalah suatu deretan unsur secara horisontal. Deretan sintakmatik ini terjadi dalam segala tataran. Fonem-fonem segmental secara sintakmatik membentuk struktur yang lebih besar berupa silabel dan morfem. Prosede semacam ini dinamakan fonotaktik. Morfem-morfem secara sintakmatik membentuk struktur yang lebih besar yakni kata. Prosede semacam ini disebut prosede morfologis. Kata-kata secara sintakmatik membentuk struktur yang lebih besar yakni frasa. Kemudian frasa-frasa secara sintakmatik membentuk struktur yang lebih besar yakni klausa. Akhirnya, klausa-klausa secara sintakmatik membentuk struktur yang lebih besar lagi yang disebut kalimat. Frasa, klausa dan kalimat dinamakan prosede sintaksis.
Sedang yang dimaksud dengan paradigmatik adalah deretan struktur yang sejenis secara vertikal. Deretan paradigmatik ini juga berlaku untuk segala tataran (Soeparno, 2002:51). Untuk membedakan antara sintagmatik dan paradigmatik, Kridalaksana (1983) menjelaskan bahwa sintagmatik adalah hubungan linier antara unsur-unsur bahasa dalan tataran tertentu. Hubungan ini disebut hubungan in praesentia. Misalnya pada kalimat “Kami bermain bola”, hubungan kami dengan bermain dan dengan bola. Sedang paradigmatik diartikan sebagai hubungan antara unsur-unsur bahasa dalam tingkat tertentu dengan unsur-unsur lain di luar tingkat itu yang dapat dipertukarkan. Hubungan ini disebut hubungan in absentia. Misalnya pada kalimat “Kami bermain bola”, kami dapat diganti dengan orang itu, saya dsb.
Kajian sintagmatik dan paradigmatik dapat juga diterapkan dalam kajian teks puisi, terutama yang berhubugan dengan bentuk-bentuk kebahasaannya. Kajian itu biasanya dikaitkan dengan teori fungsi puitik (poetic fungtion)-nya. Roman Jakobson. Jacobson menjelaskan fungsi putik sebagai berikut: ’fungsi puitik memproyeksikan prinsip ekuilvalensi dari proses seleksi praktis (boleh juga disebut paradigmatik) kesastraan proses seleksi praktis (boleh jga disebut paradigmatik) kesastraan poros kombinasi (sintaksis)”. Menurut Jacobson, penilaian apakah bahasa sebuah puisi mengandung sifat (unsur) puitik atau tidaknya, ditentukan berdasarkan prinsip konstitutif yang berupa kesejajaran. Artinya, antara sekian banyak bentuk kesejajara yang tersedia dalam bahasa yang bersangkutan, misalnya bahasa Indonesia. Baik yang berupa kesejajaran kata-kata.
Pilihan bahasa yang berunsur politik yang berupa kata-kata (paradigmaatik),biasanya berkaitan dengan ketepatan nsur-unsur bunyi (sebagai pebangkit asosiasi tertentu), alitrasi, asonasi, rima, ketepatan bentuk (aspek morfologis), dan juga makna. Pilihn sintaksis (sintagmatik), di pihak lain dapat berkaitan dengan ”penemuan” kontruksi yang baru-orosinil, di samping juga ada kaitannya dengan penekannan gagaan yang pada umumya ditempatkan di bagian awal larik (hal ini sebenarnya berupa prinsip ikonistis. Misalny, sebuah larik puisi yang berbunyi: bukan kematian benar yang menusuk kalbu (”Nisan”, Charil Anwar): baik kata-kata maupun konstruksi sintaksis yang ilih dalam larik ini dipertimbangkan sebagai yan paling tepat jika dibandingkan dengan kemungkinkan bentuk-bentuk lain yang tersedia dalam bahasa Indonesia, misalnya: yang mengiris-iris hati itu buka masalah kematiannya itu sendiri, atau bentuk lainn searti. Oleh karena itu larik puisi tersebut dapat dikatakan memenuhi syarat fungsi puitik, dan bahasanya pu menjadi puitis.


C. Analisis Data
Puisi 1
Tetapi Aku
Amir Hamzah
Terasapu sutera pigura
Dengan nilam hitam kilam
Berpadam lentera alit
Beratus ribu di atas langit
Seketika sekejap mata
Segala ada menekan dada
Napas nipis
Mati suara dunia cahaya
Gugur badanku lemah
Mati api di dalam hati
Terhenti dawai pesawat diriku
Tersungkum sujud mencium tanah
Cahaya suci riwarna pelangi
Harum sekuntum bunga rahasia
Menyinggung
Daku terhantar sunyi
Seperti hauri dengan kepaknya
Rupanya ia mutiara-jiwaku
Yanga ku salami di lautan masa
Gewang canggainya menyentuh rindu
Tetapi aku tidak merasa ………
(NS, 1959;9)
Dalam puisi “Tetapi Aku” dikemukakan oleh si aku bahwa tiba-tiba ia sekejap ditemui Tuhan, tetapi si aku tiada merasa, tiada sadar akan hal itu, meskipun mutiara-jiwa si aku telah lama dicari-carinya. Si aku yang telah lama mencari atau menunggu kehadiran Tuhan akhirnya berjumpa dengannya namun ketika itu justru ia tidak menyadarinya.

Terasapu sutera pigura
Dengan nilam hitam kilam
Berpadam lentera alit
Beratus ribu di atas langit

Bait pertama puisi tersebut dibuka dengan keadaan yang tiba-tiba, yaitu langit yang awalnya cerah bagai sutera lukisan tersapu, terhapus oleh warna hitam kelam, yaitu kegelapan yang pekat. Dilukiskan langit yang biru dan cerah secara tiba-tiba menjadi kelam. Bahkan beratus ribuan bintang yang bagai lampu-lampu keciil menjadi padam. Hal tesembut menggabarkan suasana yang begitu gelap, kelabu, sunyi, sepi, dan hening.

Seketika sekejap mata
Segala ada menekan dada
Napas nipis
Mati suara dunia cahaya

Bait kedua bermaknakan seketika itu, sekejap mata, dada si aku terasa sesak tertekan oleh segala sesuatu yang ada. Ia hanya dapat bernapas sedikit-sedikit sambil berlindung guling. Maka rasanya segala suara di dunia ini tak terdengar sunyi dan sepi seperti dalam keadaan kesesakan napas (mati).

Gugur badanku lemah
Mati api di dalam hati
Terhenti dawai pesawat diriku
Tersungkum sujud mencium tanah

Bait ketiga melukiskan badan si aku teras lemah dan jatuh. Semangat (dikiaskan dengana api) dalam dirinya terasa hilang (mati). Alat-alat tubuhnya yang bagai pesawat itu menjadi terhenti. Si aku tersungkur sujud mencium tanah. Jadi, pada perasaannya si aku seketika itu mati atau dapat diartikan tertidur atau tidak sadarkan diri.
Cahaya suci riwarna pelangi
Harum sekuntum bunga rahasia
Menyinggung
Daku terhantar sunyi
Seperti hauri dengan kepaknya
Bait keempat menggambarkan saat itu dilihatnya cahaya (Tuhan) yang suci yang bermacm-macm bagai warna pelangi dan diciumnya bau bunga harum yang penuh kerahasiaan. Semua itu mengenai atau meliputi si aku yang terhantar sunyi. Singgungnya yang halus itu bagaikan singgungan halus kepak sayap bidadari.

Rupanya ia mutiara-jiwaku
Yanga ku salami di lautan masa
Gewang canggainya menyentuh rindu
Tetapi aku tidak merasa ………
Bait kelima berisi sebuah kesadaran bahwa rupanya yang cahaya itu adalah kehadira Tuhan yang diumpamakan sebagai mutiara-jiwa si aku, yang telah bertahun-tahun dicarinya sebagai penyelam yang mencari mutiara di dasar lautan. Digambarkan bahwa Tuhan bagai gadis yang penuh kerinduan menyentuh aku dengan kukunya yang halus dan bagaikan permata itu. Namun aku tidak sadar akan kehadiran Tuhan yang diumpamakan bidadari itu.
Dalam puisi ini, untuk membangkitkan perasaan dan tanggapan dipergunakan kiasan-kiasan berupa metafora yang juga berupa citraan. Langit yang indah dikiaskan sebagai ‘sutra pigura’ : lukisan sutera. Kegelapan yang pekat yang menutupi langit itu dikiaskan sebagai permata yang hitam kelam. Bintang-bintang yang berkelipan dikiasakan sebagai lampu-lampu kecil. Metafora-metafora tersebut berupa metafora implisit yang memberikan efek kepadatan, menjadikan ekspresif. Metafora-metafora tersebut sekaligus adalah citra-citra penglihatan yang memperjelas dan menghidupkan gambaran: sutera pigura, nilam hitam, lentera alit.
Dalam bait kedua, untuk kepadatan dipergunakan sinekdot totum pro parte, yaitu sebagaian untuk keseluruhan; segala ada menekan dada (yang dimaksud dada, bukan hanya dada tetapi segala organ yang berada di dalam dada seperti jantung dan paru-paru); mati suara dunia cahaya (dalam keadaan sunyi dan hening). Dalam bait ketiga, semangat dalam hati dikiaskan sebagai apa yang juga citra visual sehingga tampak hadir di depan mata. Organ-organ tubuh dikiaskan sebagai pesawat, atau sebagai biola yang mempunyai dawai atau senar.
Ide abstrak, yaitu cinta kasih Tuhan dikiaskan sebagai cahaya suci yang bagai pelangi, dan cinta kasih itu digambarkan juga sebagai bau bunga yang harum penuh rahasia. Juga kasih sayang Tuhan diberi citra intelektual, tapi juga visual, yaitu singgungan atau sentuhan bidadari dengan kapaknya, ini juga citra rabaan (tactile imagi).
Pada bait kelima, Tuhan dikiaskan dengan metafora ‘mutiara-jiwa’ yang diselami lautan masa (dalam waktu bertahun-tahun), artinya dia mencari Tuhan sepanjang hidupnya. Di samping itu juga dikiaskan sebagai gadis yang berkuku jarinya menyentuh penuh kerinduan. Kiasan mutiara selain memberikan citra yang secara visual sangat indah dan menarik, berkilau.
Dalam puisi ini pathos , yaitu rasa untuk meleburkan diri dengan objeknya, digunakan citra-citra gadis, dara yang cantik bagai bidadari. Kiasan tersebut untuk mengiaskan Tuhan yang penuh kasih sayang itu sebagai gadis yang cantik yang memberahikan si aku, menyinggung si aku dengan lembut (bait 4), menyentuh si aku dengan kukunya yang indah. Kedua bait tersebut menggambarkan bagaimana tokoh aku dapat bertemu dan merasakan kehadiran Tuhan yang ada di dekatnya.
Dalam puisi ini ekspresivitas dan intensitas arti dicapai selain dengan pilihan kata yang artinya sangat mendalam juga dengan unsur bunyinya yang selaras dengan piliha katanya tersebut. Pada bait 1: Tersapu…dengan nilam hitam; lentera alit-di atas langit; seketika sekejap mata / segala ada menekan dada; napas nipis; mati api di dalam hati / Terhenti dawai…; Tersunkur sujud; cahaya suci riwarna pelangi; menyinggung daku terhantar sunyi; Mutiara-jiwa Kuselami di lautan masa; gewang-canggainya, menyentuh rindu.
Dalam puisi ini ada koherensi antara pilihan kata-katanya, kiasan, dan citra, yang semuanya itu memberikan dan memperkuat suasana kegaiban pertemuan antara si aku dengan Tuhan yang terjadi sekejap mata, namun si aku tak meras (tidak sadar) bahwa ia bertemu dengan ‘mutiara-jiwa-ku’ yang dicarinya bertahun-tahun. Kombinasi-kombinasi yang koheren tersebut sebagai berikut: sutra pigura; nilam hitam kelam; berpadaman lentera alit; mati suara dunia cahaya; mati api di dalam hati/ Terhenti dawai pesawat diriku/ Tersungkum sujud; cahaya suci riwarna pelangi / harum sekuntuk bunga rahasia / menyinggung daku terhantar sunyi/ Seperti hauri dengan kepaknya; ia mutiara-jiwa-ku; kusalami lautan masa / gawang canggainya menyentuh rindu.
Puisi 2
Aedh Mengharap Kain Dari Sorga

WILLIAM BUTLER YEATS
Terjemahan : Sapardi Djoko Damono

Seandainya aku punya kain sulaman sorga,
Berhiaskan cahaya perak dan keemasan,
Kain malam cahaya dan separoh cahaya
Yang biru yang suram dan yang kelam,
Akan kugelar kain itu di bawah kakimu:
Tetapi, karena miskin, aku hanya punya mimpi;
Telah kugelar mimpiku di bawah kakimu;
Lewatlah hati-hati sebab kau melewati mimpiku.
Dalam puisi “Aedh Mengharap Kain Dari Sorga” dikemukakan oleh si aku bahwa seandainya ia mempunyai kain sulaman dari sorga, yang berhiaskan cahaya dan keemasan yang berarti pengharapan dan impiannya akan kehidupan yang lebih baik dari kehidupan yang sedang dijalaninya, baik itu kehidupan di dunia maupun kehidupan diakhir hayatnya. Namun, semua itu hanya impian si aku semata karena kehidupannya yang miskin membuatnya hanya bisa pasrah dalam menjalani kehidupan. Meski demikian ia tetap berpegang teguh pada iman, semua nasib dan impian dari kehidupannya ia serahkan kepada Tuhan, yang digambarkan dalam puisi tersebut sebagai sosok “Mu”. Dari kekuatan iman kepada Tuhan itulah, si aku dapat melewati dan menjalani kehidupannya dengan ketabahan tetapi tetap mempunyai impian untuk mendapatkan keidupan yang lebih baik.
Seandainya aku punya kain sulaman sorga,
Berhiaskan cahaya perak dan keemasan,
Kain malam cahaya dan separoh cahaya
Yang biru yang suram dan yang kelam,
Bait pertama puisi tersebut dibuka dengan keadaan pengharapan si tokoh aku atas kehidupannya yang lebih baik, yaitu seandainya aku punya kain sulaman sorga, berhiaskan cahaya perak dan keemasan, kain malam cahaya dan separoh cahaya, yang biru yang suram dan yang kelam, yang menggambarkan tiga fase dari kehidupan yang dijalaninya, baik itu di dunia, akhirat, sampai kehidupan yang kekal, yang juga menggambarkan keadaan kebahagiaan, kesedihan, dan kehancuran. Semua itu dilukiskan dengan gmabaran kain malam yang berhiaskan cahaya perak dan keemasan, yang biru yang suram dan yang kelam. Hal tesembut menggabarkan kehidupan yang sebenarnya dari semua kehidupan.

Akan kugelar kain itu di bawah kakimu:
Tetapi, karena miskin, aku hanya punya mimpi;
Telah kugelar mimpiku di bawah kakimu;
Lewatlah hati-hati sebab kau melewati mimpiku.

Bait kedua bermaknakan bahwa si aku menyadari akan keadaannya yang miskin sehingga tidak mungkin baginya untuk mendapatkan semua keinginan dan cita-citanya. Namun, dalam keadaan yang demikian ia tetap bersyukur kepada Tuhannya. Hal ini dapat dilihat pada baris pertama, bait kedua yaitu “Akan kugelar kain itu di bawah kakimu”, kalimat ini bermakna seandainya semua harapan dan keinginan tokoh aku ini terwujud, maka ia akan mensyukuri semua nikmat itu. Tetapi, meski hal itu tidak terwujud ia tetap mensyukuri semua nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya, dan ia pun telah menyerahkan semua impian dan harapannya tersebut kepada Tuhannya. Karena ia percaya bahwa semua kehidupan, baik itu senang, susah, dan sedih dapat ia lalui semata-mata atas kehendak dan takdir Tuhannya.
Dalam puisi ini, untuk membangkitkan perasaan dan tanggapan dipergunakan kiasan-kiasan berupa metafora yang juga berupa citraan. Langit yang indah dikiaskan sebagai ‘sutra pigura’ : lukisan sutera. Kegelapan yang pekat yang menutupi langit itu dikiaskan sebagai permata yang hitam kelam. Bintang-bintang yang berkelipan dikiasakan sebagai lampu-lampu kecil. Metafora-metafora tersebut berupa metafora implisit yang memberikan efek kepadatan, menjadikan ekspresif. Metafora-metafora tersebut sekaligus adalah citra-citra penglihatan yang memperjelas dan menghidupkan gambaran: sutera pigura, nilam hitam, lentera alit.
Dalam bait kedua, untuk kepadatan dipergunakan sinekdot totum pro parte, yaitu sebagaian untuk keseluruhan; segala ada menekan dada (yang dimaksud dada, bukan hanya dada tetapi segala organ yang berada di dalam dada seperti jantung dan paru-paru); mati suara dunia cahaya (dalam keadaan sunyi dan hening). Dalam bait ketiga, semangat dalam hati dikiaskan sebagai apa yang juga citra visual sehingga tampak hadir di depan mata. Organ-organ tubuh dikiaskan sebagai pesawat, atau sebagai biola yang mempunyai dawai atau senar.
Ide abstrak, yaitu cinta kasih Tuhan dikiaskan sebagai cahaya suci yang bagai pelangi, dan cinta kasih itu digambarkan juga sebagai bau bunga yang harum penuh rahasia. Juga kasih sayang Tuhan diberi citra intelektual, tapi juga visual, yaitu singgungan atau sentuhan bidadari dengan kapaknya, ini juga citra rabaan (tactile imagi).
Pada bait kelima, Tuhan dikiaskan dengan metafora ‘mutiara-jiwa’ yang diselami lautan masa (dalam waktu bertahun-tahun), artinya dia mencari Tuhan sepanjang hidupnya. Di samping itu juga dikiaskan sebagai gadis yang berkuku jarinya menyentuh penuh kerinduan. Kiasan mutiara selain memberikan citra yang secara visual sangat indah dan menarik, berkilau.

Dalam puisi ini pathos , yaitu rasa untuk meleburkan diri dengan objeknya, digunakan citra-citra gadis, dara yang cantik bagai bidadari. Kiasan tersebut untuk mengiaskan Tuhan yang penuh kasih sayang itu sebagai gadis yang cantik yang memberahikan si aku, menyinggung si aku dengan lembut (bait 4), menyentuh si aku dengan kukunya yang indah. Kedua bait tersebut menggambarkan bagaimana tokoh aku dapat bertemu dan merasakan kehadiran Tuhan yang ada di dekatnya.
Dalam puisi ini ekspresivitas dan intensitas arti dicapai selain dengan pilihan kata yang artinya sangat mendalam juga dengan unsur bunyinya yang selaras dengan piliha katanya tersebut. Pada bait 1: Tersapu…dengan nilam hitam; lentera alit-di atas langit; seketika sekejap mata / segala ada menekan dada; napas nipis; mati api di dalam hati / Terhenti dawai…; Tersunkur sujud; cahaya suci riwarna pelangi; menyinggung daku terhantar sunyi; Mutiara-jiwa Kuselami di lautan masa; gewang-canggainya, menyentuh rindu.
Dalam puisi ini ada koherensi antara pilihan kata-katanya, kiasan, dan citra, yang semuanya itu memberikan dan memperkuat suasana kegaiban pertemuan antara si aku dengan Tuhan yang terjadi sekejap mata, namun si aku tak meras (tidak sadar) bahwa ia bertemu dengan ‘mutiara-jiwa-ku’ yang dicarinya bertahun-tahun. Kombinasi-kombinasi yang koheren tersebut sebagai berikut: sutra pigura; nilam hitam kelam; berpadaman lentera alit; mati suara dunia cahaya; mati api di dalam hati/ Terhenti dawai pesawat diriku/ Tersungkum sujud; cahaya suci riwarna pelangi / harum sekuntuk bunga rahasia / menyinggung daku terhantar sunyi/ Seperti hauri dengan kepaknya; ia mutiara-jiwa-ku; kusalami lautan masa / gawang canggainya menyentuh rindu.





Persamaan dan Perbedaan Dalam Puisi Tetepi Aku dan Aedh mengharap kain dari sorga.
Persamaan Perbedaan
1) Tokoh:menggunakan sudut pandang tokoh utama pelaku utama dengan kata ganti Aku
Puisi 1:
Gugur badanku lemah
Mati api di dalam hati
Puisi 2:
Seandainya aku punya kain sulaman sorga.

2) Pengimajian Warna kelam: menggambarkan suatu kehidupan yang awalnya baik yang diibaratkan seperti biru langit yang cerah kemudian berubah menjadi kehidupan yang gelap, kelabu, sunyi, sepi, dan hening.
Puisi 1:
Terasapu sutera pigura
Dengan nilam hitam kelam
Berpadam lentera alit
Beratus ribu di atas langit
Puisi 2:
Kain malam cahaya dan separoh cahaya
Yang biru yang suram dan yang kelam

Puisi 1
Pada puisi 1 “Tetapi Aku” dikemukakan oleh si aku bahwa tiba-tiba ia sekejap ditemui Tuhan, tetapi si aku tiada merasa, tiada sadar akan hal itu, meskipun mutiara-jiwa si aku telah lama dicari-carinya. Si aku yang telah lama mencari atau menunggu kehadiran Tuhan akhirnya berjumpa dengannya namun ketika itu justru ia tidak menyadarinya.

Puisi 2
Dalam puisi “Aedh Mengharap Kain Dari Sorga” dikemukakan oleh si aku bahwa seandainya ia mempunyai kain sulaman dari sorga, yang berhiaskan cahaya dan keemasan yang berarti pengharapan dan impiannya akan kehidupan yang lebih baik dari kehidupan yang sedang dijalaninya, baik itu kehidupan di dunia maupun kehidupan diakhir hayatnya. Namun, semua itu hanya impian si aku semata karena kehidupannya yang miskin membuatnya hanya bisa pasrah dalam menjalani kehidupan. Meski demikian ia tetap berpegang teguh pada iman, semua nasib dan impian dari kehidupannya ia serahkan kepada Tuhan, yang digambarkan dalam puisi tersebut sebagai sosok “Mu”. Dari kekuatan iman kepada Tuhan itulah, si aku dapat melewati dan menjalani kehidupannya dengan ketabahan tetapi tetap mempunyai impian untuk mendapatkan keidupan yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar