Powered By Blogger

magelang

magelang
jalan-jalan truz

Rabu, 17 Februari 2010

spersi

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Berbicara atau bertutur merupakan kegiatan yang paling sering dilakukan orang dalam kehidupan bermasyarakat. Sebelum dikenal adanya tulisan, bertutur sudah digunakan sebagai alat komunikasi. Seiring perkembangan zaman, kegiatan bertutur memiliki peranan penting bagi kehidupan bermasyarakat dan berbudaya. Sering kita temui daerah dengan kebudayaan yang baik memiliki kebiasaan bertutur yang baik pula, sesuai dengan ungkapan ”bahasa menggambarkan budaya setempat”.
Berbicara menjadi suatu hal yang penting dalam keseharian. Berbicara dipergunakan untuk berkomunikasi, menyampaikan informasi, menyampaikan maksud, sampai digunakan untuk berdebat. Kecakapan dalam berbicara untuk menyampaikan suatu ide merupakan kecerdasan linguistik, bagian dari delapan kecerdasan yang disampaikan oleh Howard Gardner pada tahun 1983 dalam bukunya Frames of Mind. Kecerdasan ini pada dasarnya dimiliki oleh setiap manusia dengan kadar kemampuannya yang berbeda-beda. Untuk memiliki kemampuan ini ternyata bukanlah hal yang mudah. Banyak orang yang mampu merumuskan sebuah gagasan dengan baik, namun kesulitan dalam hal penyampaiannya. Dalam penyampaiannya pun harus jelas dan sistematis agar mudah dipahami oleh pendengar.
Dahulu kemampuan berbicara yang baik hanya dimiliki oleh orang yang mempunyai status atau fungsi tertentu seperti kepala suku saat upacara adat, pemakaman, kelahiran, dan sebagainya. Penguasaan mantra, kata-kata bijak, dan nasehat yang diberikan kepada masyarakat menjadi kelebihan yang mereka miliki jika dibandingkan dengan orang lain. Kemampuan berbicara inilah yang membuat para kepala suku dihormati dan disegani oleh masyarakatnya.
Kemampuan berbicara ini juga berkembang di Yunani dan Roma dengan tokohnya seperti Socrates dan Aristoteles. Mereka menyebut kemampuan berbicara ini dengan retorika yang berasal dari bahasa Latin rhetorica yang berarti ’ilmu berbicara/bertutur’. Awalnya mereka menganggap ilmu ini untuk memenangkan suatu kasus. Namun, penggunaan retorika kini sudah bergeser pada ilmu yang mengajarkan tindak dan usaha bertutur untuk membina saling pengertian. Sesuai yang dikatakan oleh I Gusti Ngurah Oka.: “Retorika adalah ilmu yang mengajarkan tindak dan usaha yang efektif dalam persiapan, penataan dan penampilan tutur untuk membina saling pengertian dan kerja sama serta kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat.”
Pemanfaatan retorika dalam kehidupan sehari-hari antara lain: “secara spontan atau intuitif, secara tradisonal atau konvensional, dan secara terencana.” Pemamanfaatan retorika secara spontan atau intuitif ini sering terjadi dalam kehidupan bertutur sehari-hari. Biasanya pembicara tidak banyak mempersiapkan bahan materi yang akan dibicarakan. Jadi lebih bersifat spontan. Pemanfaatan retorika secara tradisional yaitu dengan mengikuti konvensi atau kesepakatan yang sudah diberikan oleh generasi sebelumnya. Seperti penghormatan kepada pejabat dengan menggunakan kalimat “Yang terhormat, ....”. Pemanfaatan retorika secara terencana maksudnya ialah, “penggunaan retorika yang direncanakan sebelumnya secara sadar diarahkan ke suatu tujuan yang jelas” Pemanfaatan retorika secara terencana dibagi menjadi bidang politik, bidang usaha atau ekonomi, karyawan bahasa, bidang kesenian, dan bidang pendidikan. Pada bidang pendidikan, pemanfaatan retorika secara terarah tampak lebih menonjol lagi pada proses pengajaran di dalam kelas.
Pendidikan merupakan pilar utama dalam usaha memajukan bangsa dengan mencetak generasi yang cerdas dan mandiri. Pendidikan menjadi sarana dalam mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu mencerdaskan bangsa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pendidikan, bangsa yang peduli dengan pendidikan, dan bangsa yang mengedepankan pendidikan. Sebuah negara akan terpuruk bila pendidikan yang diselenggarakan negara tersebut kurang atau tidak baik.
Dalam dunia pendidikan, khususnya mata pelajaran Bahasa Indonesia, berbicara menjadi kompetensi yang harus dimiliki siswa. Berbicara menjadi bagian catur tunggal, yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis yang tidak dapat dipisahkan dari keempat keterampilan berbahasa tersebut. Bila satu saja dari keempat keterampilan itu tidak ada, maka dapat dipastikan orang tersebut akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Dalam kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasyah Aliyah (MA), pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dengan baik dan benar, secara efektif dan efisien, baik lisan maupun tulisan. Selain itu pembelajaran bahasa Indonesia bertujuan untuk menumbuhkan apresiasi terhadap karya sastra di Indonesia.
Dalam pembelajaran kemampuan berbahasa, kemampuan berbicara sering terabaikan karena yang ditekankan dan mendapat perhatian lebih ialah kemampuan menulis. Padahal tujuan utama pembelajaran bahasa ialah untuk berkomunikasi. Bukan hanya tulisan tetapi juga lisan. Oleh karena itu, diperlukan perhatian yang khusus untuk kemampuan berbicara. Diperlukan keseriusan dalam hal ini. Diperlukan strategi dan metode yang tepat agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Pada kurikulum kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) / Madrasyah Aliyah (MA), salah satu Standar Kompetensi berbicara pada kelas XII yaitu pidato, merupakan kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa. Kompetensi Dasar yang harus dimiliki setelah proses pembelajaran adalah siswa mampu berpidato tanpa teks dengan menggunakan pelafalan, intonasi, nada, dan sikap yang tepat.
Dalam penerapannya, pembelajaran berpidato pada tingkat SMA ternyata belum memberikan hasil yang memuaskan. Siswa cenderung menjadi pribadi yang sulit berbicara di depan umum. Hal utama yang menjadi penyebab biasanya adalah faktor keragu-raguan atau keberanian dari siswa. Siswa khawatir berkata salah ketika berpidato. Bahan pembicaraan yang sudah dipersiapkan menjadi hilang ketika berada di depan orang banyak untuk berpidato. Dari sekian banyak siswa tentunya ada beberapa siswa yang mampu tampil dengan berani dan percaya diri. Hal ini karena adanya pembiasaan yang dilakukan karena siswa tersebut mempunyai pengalaman dalam berorganisasi yang menuntut mereka untuk sering berinteraksi dengan banyak orang. Keberanian dan percaya diri memang merupakan modal utama dalam berpidato, namun tidak cukup hanya kedua hal itu saja. Dalam berpidato, siswa dituntut mampu memilih kata dan menyusun kalimat dengan baik serta memahami faktor-faktor lain seperti pelafalan yang baik, intonasi, dan sikap yang tepat.
Metode yang paling sering digunakan guru dalam pembelajaran berpidato adalah guru menjelaskan faktor-faktor yang dinilai dalam berpidato. Kemudian siswa diminta untuk berpidato. Setelah itu, performa siswa tersebut dievaluasi secara bersama-sama. Metode ini memang baik untuk memberikan pemahaman tentang faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam berpidato. Namun, dalam hal praktek tentunya siswa menampilkan hanya sebatas pengetahuannya saja. Kecuali bila siswa memiliki pengalaman lomba berpidato atau memiliki jabatan ketua pada suatu organisasi yang sering diminta untuk berpidato. Bagi siswa yang belum memiliki pengalaman yang cukup mengenai pidato maka sangatlah perlu siswa tersebut melihat sebuah contoh dalam berpidato. Dalam hal inilah seorang guru harus memberikan sebuah model yang dapat dipelajari oleh siswa. Model itu dapat dilakukan oleh guru ataupun selain guru.
Seperti pendapat Albert Bandura dalam teori sosial learning yang menyatakan bahwa proses belajar dimulai dari meniru, maka dalam belajar berpidato alangkah baiknya bila siswa mencontoh pemidato yang baik. Dengan contoh ini siswa akan mendapatkan gambaran mengenai cara berpidato yang baik. Contoh ini dapat dijadikan model dalam pembelajaran berpidato.
Media merupakan alat komunikasi dalam pendidikan. Media pendidikan menjadi alat bantu untuk menyampaikan pesan yang diberikan oleh guru kepada siswa. Penggunaan media tidaklah asal saja tetapi harus dengan pertimbangan bahwa penggunaan media tersebut sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Jangan sampai media yang telah dipersiapkan tidak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.
Dengan bantuan media, proses dan hasil pembelajaran diharapkan menjadi lebih baik jika dibandingkan tanpa menggunakan media. “Media tidak terbatas hanya pada alat saja secara luas media bisa termasuk manusia, benda ataupun peristiwa yang memungkinkan anak didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan.” Menurut Syaiful Bahri dan Aswan Zain, “sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat bahan pengajaran terdapat atau asal untuk belajar seseorang” , media inilah yang dapat membantu memperkaya wawasan siswa dalam belajar.
Dalam proses pembelajaran, model merupakan media yang dapat dijadikan sumber untuk belajar. Model ini dapat dicontoh dan dikembangkan oleh siswa. Oleh karena itu, media bisa pula guru atau model yang diberikan di luar pihak guru, seperti model dalam berpidato yang telah disebutkan sebelumnya.
Mengenai model mana yang harus dipilih kita harus melihat kualitas model itu sendiri. Sesuatu yang akan dijadikan model diusahakanlah yang terbaik karena akan dicontoh dan mungkin dikembangkan oleh siswa setelah mengamati model tersebut. Dalam model untuk berpidato beberapa hal pokok yang wajib menjadi kriteria, yaitu kemampuan linguistik, kemampuan mempersuasi, dan kemampuan memotivasi. Ketiga hal tersebut terangkum dalam ilmu retorika.
Motivator bisnis merupakan salah satu profesi yang menggunakan ilmu retorika. Kemampuan retorika sangat berguna dan membantu untuk menunjang profesi ini. Tugas utama sebagai motivator bisnis ialah mampu mempersuasi para pendengar agar termotivasi untuk melakukan saran-saran yang diberikan olehnya. Layaknya seorang orator dalam sebuah kampanye, seorang motivator bisnis harus tampil dengan percaya diri dan mampu meyakinkan pendengarnya dengan sikap dan kata-kata yang diungkapkannya. Dengan kriteria ini seorang motivator bisnis merupakan model yang layak untuk pembelajaran berpidato karena dengan predikatnya sebagai seorang ”motivator” maka tentunya ia harus memiliki kriteria-kriteria tersebut.
Pemodelan retorika motivator bisnis ini berlaku sebagai media pada saat pembelajaran berpidato. Pemberian model yang baik akan mempermudah siswa dalam belajar. Dengan media, pemodelan retorika motivator bisnis ini diharapkan memberikan wawasan yang lebih baik kepada siswa untuk berpidato serta siswa dapat mengembangkan kemampuannya dalam berpidato sehingga dapat meyakinkan pendengarnya.

1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah penggunaan retorika dalam pendidikan?
2. Apakah metode terbaik yang harus dilakukan guru untuk pembelajaran berpidato?
3. Bagaimanakah peran media untuk membantu proses belajar mengajar?
4. Media apakah yang cocok untuk pembelajaran berpidato?
5. Bagaimanakah model yang baik untuk pembelajaran berpidato?
6. Bagaimanakah penggunaan retorika dalam pidato?
7. Apakah penguasaan retorika dapat membantu siswa dalam berpidato?
8. Adakah pengaruh media pemodelan terhadap kemampuan berpidato siswa?
9. Apakah retorika motivator bisnis merupakan contoh yang baik untuk pembelajaran berpidato?

1.3 Pembatasan Masalah
Dari sejumlah masalah yang telah peneliti uraikan, peneliti membatasi masalah pada :
Pengaruh media pemodelan retorika motivator bisnis terhadap kemampuan berpidato siswa SMAN 89 Jakarta.

1.4 Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah yang telah peneliti sampaikan, peneliti membuat perumusan masalah, yaitu :
Adakah pengaruh media pemodelan retorika motivator bisnis terhadap kemampuan berpidato siswa SMAN 89 Jakarta?

1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara praktis maupun teoritis. Manfaat hasil penelitian secara praktis antara lain diharapkan:
a. Bagi Guru
Dengan adanya penelitian ini diharapkan guru dapat termotivasi untuk membuat atau mengadakan media pembelajaran yang lebih inovatif.
b. Bagi Siswa
Memberikan model yang dapat membantu siswa belajar berpidato.
c. Bagi Mahasiswa
Dapat memberikan inspirasi bagi mahasiswa lain untuk meneliti di bidang yang sama.
Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan tambahan pengetahuan bagi guru dalam menyampaikan materi dalam pembelajaran berpidato.

















BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Hakikat Media Pemodelan Retorika Motivator Bisnis
Di dalam strategi pembelajaran peran media menjadi sangat penting guna membantu memperlancar jalannya kegiatan pembelajaran. Media dimanfaatkan oleh guru untuk mempermudah menyampaikan informasi dari materi pelajaran kepada siswa. Berikut adalah beberapa pengertian dari media:
Menurut Azhar Arsyad kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti ‘tengah’, ‘perantara’, atau ‘pengantar’. Menurut Arief S. Sadiman dkk., “kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara hafiah berarti perantara atau pengantar. Medòë adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan.” Menurut Syaiful Bahri D. dan Aswan Zain kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium, yang secara harfiah berarti ‘perantara atau pengantar’. Dengan demikian, media merupakan wahana penyalur informasi belajar atau penyalur pesan. Media merupakan sarana yang digunakan atau berfungsi sebagai perantara dalam membantu menyampaikan informasi dari pengirim kepada penerima pesan. Media sebagai alat bantu dalam mempermudah kegiatan pembelajaran karena mampu menyalurkan pesan sesuai tujuan yang ingin dicapai.
Berbeda dengan pendapat-pendapat para ahli sebelumnya, Oemar Hamalik memberikan pengertian media langsung dari sudut pandang pendidikan sebagai berikut : “yang dimaksud dengan media pendidikan adalah alat, metode dan tehnik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.”
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan pengertian media adalah suatu alat atau sarana yang berfungsi sebagai perantara atau pengantar dalam membantu menyampaikan informasi dari pemberi pesan kepada penerima pesan. Media menjadi suatu alat yang digunakan sebagai alat bantu dalam dunia pendidikan. Media dapat pula dimasukkan ke dalam bagian dari metode dan teknik yang digunakan dan dipilih sesuai dengan kebutuhan dalam proses pembelajaran di sekolah. Media menjadi suatu hal yang penting dan perlu dipersiapkan.
Dengan bantuan media, maka guru dapat menutupi keterbatasan yang ada pada dirinya. Media membantu menampilkan informasi yang mungkin sulit untuk dihadirkan secara langsung. Media juga memperjelas penyampaian pesan yang akan disampaikan kepada siswa. Dengan menggunakan media pembelajaran, dapat disajikan dapat menarik perhatian siswa dan diharapkan dapat memotivasi siswa untuk belajar. Seperti yang disampaikan oleh Azhar Arsyad, bahwa “media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar”.
Secara umum, media pendidikan mempunyai beberapa kegunaan, yaitu (1) memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis, (2) mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, dan (3) penggunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif anak didik.
Media pembelajaran semakin lama semakin berkembang, dari yang sederhana sampai yang rumit. Kemp & Dayton (1985) mengelompokkan media ke dalam delapan jenis, yaitu (1) media cetakan, (2) media panjang, (3) overhead transparacies, (4) rekaman audiotape, (5) seri slide dan filmstrip, (6) penyajian multi-image, (7) rekaman video dan film hidup, dan (8) komputer. Adapun Syaiful Bahri D. dan Aswan Zain membagi media menjadi tiga jenis, yaitu media auditif, media visual, dan media audio visual. Media auditif seperti radio, cassette recorder, dan piringan hitam. Media visual seperti film strip, slide foto, dan gambar. Media audiovisual seperti film bingkai suara, film rangkai suara, video cassette.
Setiap siswa memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri. Ada yang memiliki gaya belajar secara visual, gaya belajar secara audio, gaya belajar yang campuran antara audio dan visual, atau yang bersifat psikomotorik. Pengalaman langsung yang dialami siswa juga merupakan cara belajar yang mampu menyerap informasi. Hasil belajar seseorang dapat bermula dari pengalaman secara langsung hingga lambang verbal yang abstrak. Seperti yang tergambar dalam Kerucut pengalaman Edgar Dale sebagai berikut












Kerucut pengalaman Edgar Dale (dalam Zainudin Arif, 1986:79)

Dari kerucut pengalaman di atas, terdapat video tape sebagai media dalam menyampaikan informasi. Video termasuk ke dalam jenis media audiovisual. Kemampuan video dalam menampilkan gambar dan suara memberikan daya tarik tersendiri jika dibandingkan media visual atau media audio. Video mampu menampilkan gambar hidup dan suara sekaligus seperti aslinya. Media video dalam pendidikan menjadi alat bantu dalam menayangkan hal yang sulit dibuat atau didatangkan secara langsung saat proses pembelajaran. Sebagai sebuah media pembelajaran, video memiliki beberapa kelebihan, yaitu :
1. Dapat menarik perhatian untuk periode yang singkat.
2. Sejumlah besar penonton dapat memperoleh informasi dari ahli.
3. Demonstrasi yang sulit bisa dipersiapkan dan direkam sebelumnya, sehingga pada waktu mengajar guru bisa memusatkan perhatian pada penyajian.
4. Menghemat waktu dan rekaman dapat diputar berulang-ulang.
5. Kamera TV bisa mengamati lebih dekat objek yang sedang bergerak atau objek yang berbahaya sweperti harimau.
6. Keras lemah suara yang ada bisa diatur.
7. Gambar proyeksi biasa di-”beku”-kan untuk diamati dengan seksama.
8. Ruangan tidak perlu digelapkan waktu menyajikan
Selain memiliki kelebihan, video juga mempunyai kelemahan, yaitu video umumnya memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang banyak, gambar-gambar bergerak terus hingga tidak semua siswa mampu mengikuti informasi yang ingin disampaikan, video yang tersedia tidak selalu sesuai dengan yang diinginkan, kecuali dirancang dan diproduksi khusus untuk kebutuhan sendiri.
Dengan adanya kekurangan dari media video, maka disarankan kepada para guru untuk mempersiapkan betul hal apa yang akan disajikan dalam video. Penggunaan video yang sudah ada dapat mempermudah dalam persiapan. Bisa pula materi yang akan diambil hanya sebagian dari video yang akan ditampilkan. Jangan sampai penggunaan media video tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Dalam belajar keterampilan tertentu, siswa perlu mendapat model untuk belajar. Dari kerucut pengalaman Dale mengenai pengalaman logis terdapat model sebagai media dalam belajar. Pemodelan merupakan cara yang dilakukan dalam pembelajaran karena adanya suatu model yang ditiru dan pada akhirnya akan dikembangkan sesuai dengan kreativitas siswa. Seorang guru sebagai fasilitator dalam pendidikan harus memberikan model yang terbaik untuk menjadi bahan pembelajaran. Namun, guru bukanlah satu-satunya model dalam pembelajaran karena model dapat juga didatangkan dari luar. Cara pengamatan dapat pula dilakukan untuk mempelajari sikap dan tingkah laku model. Maleong berpendapat “teknik pengamatan menjadi alat yang bermanfaat” Pada saat mengamati, pengamat dapat memperhatikan dengan seksama bagaimana sikap dan tingkah laku model yang ditampilkan. Dengan hal ini akan timbul minat dan motivasi dari pihak pengamat untuk mencontoh atau meniru untuk mendapat hasil yang baik seperti model tersebut.
Sebagai tokoh yang dijadikan sebuah model dalam pembelajaran tentunya memiliki kredibilitas yang sesuai dengan keahlian bidangnya, sehingga ia layak menjadi pemodel yang terpercaya. Seperti yang dijelaskan Effendi, “seorang komunikator memiliki kredibilitas disebabkan oleh etos pada dirinya yaitu kelayakan untuk dipercaya dan kecakapan atau keahlian.” Tidak semua pemodel menjadi model yang sempurna karena tentunya pemodel memiliki keterbatasan dalam suatu keahlian. Namun, keterbatasan itu bukan suatu hal menjadi fatal karena pemodel ini dipilih karena termasuk yang terbaik dari model yang ada.
Berdasarkan teori-teori tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan pemodelan adalah seseorang yang dapat dijadikan contoh atau model, yang dapat ditiru tingkah laku dan sikapnya karena memiliki kelayakan untuk dipelajari keahliannya.
Pemodelan yang ditampilkan tergantung dari keahlian apa yang akan dipelajari. Seperti keterampilan berbicara, tentunya pemodelan yang dibutuhkan adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam berbicara. Kemampuan berbicara ini sering sebut sebagai ilmu retorika. Secara umum orang memasukkan retorika dalam berpidato. Namun, pemahaman ini dirasa kurang tepat karena saat berbicara dalam kesempatan apa pun seorang pembicara dapat menggunakan retorika. Pidato merupakan salah satu kegiatan yang memanfaatkan ilmu-ilmu retorika. Berikut adalah pengertian retorika yang diberikan oleh Gentasari Anwar:
Retorika yaitu suatu ilmu yang menjelaskan tentang bagaimana teknik seni berbicara di hadapan umum, sehingga orang merasa senang dan tertarik untuk mendengarkan uraian atau pendapat-pendapat yang disampaikan kepada orang lain dengan maksud agar orang tadi/pendengar mengetahui, memahami, menerima serta bersedia melaksanakan segala sesuatu yang disampaikan terhadap mereka.

Selanjutnya menurut pendapat ahli lain, yaitu Breket dalam I Gusti Ngurah Oka menerangkan bahwa: “Retorika merupakan seni mengafeksikan pihak lain dengan tutur, yaitu dengan cara memanipulasi (perhitungan yang matang) unsur-unsur tutur itu dan respon pendengar.” Mengenai kemampuan retorika mampu mempersuasif lawan bicara dijelaskan Aristoteles sebagai berikut: “retorika sebagai ilmu yang mengajarkan orang menemukan sarana persuasif yang objektif dari suatu kasus.”
Brook dan Warren dalam Efendi mendefinisikan retorika sebagai : “the art of using language effectively atau seni penggunaan bahasa secara baik.” Sejalan dengan pernyataan tersebut Dori Wuwur Hendrikus berpendapat bahwa: “Retorika berarti kesenian untuk berbicara baik (Kusnt, gut zu reden atau Ars bene dicendi), yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis (Ars, techne)” Berbeda dengan pendapat-pendapat para ahli sebelumnya menurut Martin Steinmann, Jr, dalam I Gusti Ngurah Oka : “retorika berbicara tentang pemilihan yang efektif terhadap bentuk cara-cara pengungkapan yang sinonim”
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa retorika adalah suatu ilmu yang menjelaskan tentang seni berbicara dengan penggunaan bahasa secara baik yang bertujuan agar pendengar memahami, menerima, dan bersedia melaksanakan hal yang disampaikan oleh pembicara.
Retorika sebagai ilmu dalam berbicara atau bertutur tentunya memiliki keunggulan tersendiri dibanding berbicara atau bertutur tanpa retorika. Berikut adalah fungsi dari retorika menurut para ahli:
Menurut Achmad H.P. dkk., “tujuan retorika ialah melakukan pembinaan saling pengertian yang mengembangkan kerja sama dan menimbulkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat melalui kegiatan bertutur.” Dari pernyataan tersebut fungsi retorika mempersiapkan segala hal guna mencapai tujuan di atas. Senada dengan itu I Gusti Ngurah Oka memberikan beberapa fungsi retorika, yaitu :
Ada 4 buah fungsi dasar retorika, yaitu: (1) memandu orang dalam mengambil keputusan dalam menghadapi berbagai kemungkinan pemecahan suatu kasus, (2) membimbing orang memahami kondisi kejiwaan penanggap tutur, (3) memimpin orang menganalisa kasus secara sistematis objektif untuk menemukan sarana persuasi yang efektif sifatnya untuk meyakinkan penanggap tutur, dan (4) mengajarkan orang cara-cara yang efektif untuk mem¬pertahankan gagasan hasil penganalisaan kasus tersebut.

Selain pendapat ahli-ahli di atas, Dori Wuwur Hendrikus berpendapat bahwa: ”komunikasi retoris itu penting supaya apa yang didengar dapat dimengerti; apa yang dimengerti dapat disetujui; apa yang disetujui dapat diterima; apa yang diterima dapat dihayati dan apa yang dihayati dapat mengubah tingkah laku”
Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi retorika adalah membina saling pengertian dengan maksud mempersuasi agar apa didengar dapat disetujui dan dapat mengubah tingkah laku dari orang yang mendengar. Fungsi persuasif sendiri adalah agar mereka yang mendengar dapat dipengaruhi ke arah yang lebih positif.
Dalam penerapan retorika, diperlukan faktor yang memperlancar terjadinya komunikasi antara pembicara dan pendengar agar tidak terjadi kesalahpahaman. Retorika tidak sekedar banyak berbicara saja. Namun lebih kepada seberapa efektif hasilnya ketika sedang dan setelah berbicara.
Seorang model untuk keterampilan berbicara, tentunya harus memiliki kemampuan retorika yang baik untuk menjadi contoh. Beberapa hal dapat dijadikan penilaian dalam penerapan retorika. Ernest dan Nancy mengatakan: “pembicara yang baik harus mengatur gerak-isyarat dan gerakan tubuh, yaitu sikap, ekspresi wajah, kontak mata, dan gerak isyarat” Selanjutnya, disebutkan juga bahwa: “faktor paralinguistik yang mempengaruhi kemampuan berbicara, yaitu artikulasi, pitch, kerasnya suara, kecepatan, dan jeda”
Hendrikus menyebutkan pembicara harus menguasai prasyarat organis: “prasyarat oraganis terdiri dari pernapasan dan teknik bernafas, membina suara, dan gerak-gerik bahasa tubuh” Selain prasyarat organis, seorang pembicara juga harus menguasai prasyarat bahasa. “prasyarat bahasa terdiri dari bahasa dan retorika, ritme dan dinamika bicara, perbendaharaan kata, susunan kalimat, dan ketentuan dan patokan dalam berpidato”
Menurut I Gusti Ngurah Oka, dalam beretorika ada usaha dan tindak yang dilakukan penutur agar penanggap tutur bisa terpengaruh oleh gagasan yang tersimpul dalam topik tutur antara lain : “pemilihan materi bahasa (disesuaikan dengan penanggap tutur), pemakaian ulasan (argumen), dan penampilan tutur dengan gaya tertentu” Adapun Jalaluddin menyampaikan faktor kata sangat penting, ia mengatakan : “sebagai pembicara yang baik harus memilih kata dengan baik. Kata-kata harus jelas, kata-kata harus tepat, dan kata-kata harus menarik.”
Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan retorika dapat dinilai dengan beberapa faktor, yaitu (1) kecakapan dalam sikap, ekspresi wajah, kontak mata, (2) mengatur ritme dan dinamika bicara, (2) memilih perbendaharaan kata dan menyusunan kalimat dengan baik sehingga menjadi menarik bagi pendengar, dan (3) pemilihan bahasa harus sesuai dengan penanggap tutur.
Faktor-faktor penilaian retorika di atas merupakan faktor yang setidak-tidaknya harus dimiliki oleh seorang model untuk keterampilan berbicara. Seorang model untuk keterampilan berbicara harus memiliki kecakapan sikap, ekspresi wajah yang menarik, dinamika bicara yang baik, pemilihan kata yang tepat, penyusunan kalimat yang baik, serta harus cermat dalam memilih bahasa yang digunakan sesuai dengan siapa ia berbicara.
Dengan kriteria model yang memiliki kemampuan retorika seperti di atas, maka yang berpeluang menjadi model untuk keterampilan berbicara ialah seorang motivator bisnis. Seorang motivator bisnis merupakan orang yang memiliki kemampuan atau keahlian dalam membangkitkan motivasi orang lain untuk melakukan suatu aktivitas tertentu untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Seorang motivator bisnis harus memberikan keyakinan kepada pendengarnya akan nasihat-nasihat yang diberikan olehnya. Ia paham dengan psikologi pendengar. Ia mampu menguasai mengguasai massa. Pemilihan materi bahasa berupa kata-kata yang menarik dan menyusun kalimat yang baik menjadi hal utama meyakinkan pendengarnya. Dengan kemampuan berbicara (retorika) yang dimilikinya, maka seorang motivator layak untuk menjadi model untuk keterampilan berbicara

2.2 Hakikat Pidato
Pidato merupakan salah satu dari keterampilan berbicara. Pidato menjadi pilihan untuk pembukaan suatu acara yang biasanya dibawakan oleh tokoh masyarakat setempat. Penggunaan pidato tidak hanya pada situasi resmi saja. Dalam situasi semi formal pun pidato dapat dilakukan karena pidato tidak selalu berada pada podium. Secara umum, pidato didefinisikan sebagai keterampilan berbicara di depan umum. Pidato dapat diartikan sebagai berikut: “pidato adalah merupakan suatu proses komunikasi atau interaksi antara si pembicara dengan pendengarnya (komunikan)”
Ada pula yang berpendapat “pidato adalah suatu ucapan dengan susunan yang baik untuk disampaikan kepada orang banyak” . Pendapat lain mengatakan: “pidato adalah sebuah kegiatan berbicara di depan umum atau ber-orasi guna menyatakan pendapatnya atau guna memberikan gambaran tentang suatu hal” . Orasi menjadi kegiatan yang memanfaakan pidato dalam mengkomunikasikan maksud dan tujuan. Menurut Maidar G. Arsjad dan Mukti U.S. (1991:53) “pidato merupakan penyampaian dan penanaman pikiran, informasi, atau gagasan dari pembicara kepada khalayak ramai.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pidato adalah kegiatan berbicara di depan umum sebagai proses komunikasi yang dilakukan oleh pembicara dengan ucapan yang tersusun baik untuk menyampaikan gambaran tentang suatu pikiran, informasi, atau gagasan kepada pendengar atau khalayak umum.
Ada empat metode dalam berpidato, yaitu :
1. Metode impromptu, yaitu pidato yang dilakukan dengan serta merta tanpa ada persiapan sama sekali.
2. Metode menghafal, yaitu pidato yang dilakukan dengan cara menghafal teks pidato yang telah dibuat sebelumnya.
3. Metode naskah, yaitu pidato dengan cara membaca naskah.
4. Metode ekstemporan, yaitu pidato dengan persiapan catatan-catatan urut-urutan topik pembicaraan.

Dalam berbicara di depan umum diperlukan pula pengetahuan mengenai tata krama dalam berpidato. Seorang pemidato yang baik akan memperhatikan bagaimana ia berpenampilan. Pemidato perlu berhati-hati dalam memilih kata-kata yang akan dikeluarkan. Tidak boleh menunjukkan sikap yang angkuh, namun tetap rendah hati. Penggunaan sedikit humor dapat membantu memecahkan kebekuan para pendengar. Dalam berpidato sikap pemidato tidak boleh kaku, namun rileks dan santai. Pemilihan kata-kata sederhana dan mudah dimengerti dapat memperlancar komunikasi yang sedang dibentuk dalam berpidato
Sebagai seorang pembicara yang baik dalam berpidato, maka orang tersebut haruslah menyiapkan dirinya agar mampu menyampaikan pidato dengan baik. Pidatonya diharapkan dapat mempengaruhi para pendengar karena dianggap berbobot. Selain banyak memiliki pengetahuan dan pengalaman seorang pembicara juga dituntut untuk meyakinkan para pendengar atas apa yang disampaikannya dalam pidato. Mengenai faktor kepribadian pembicara Hendrikus menyatakan :
Seorang pembicara hendaknya memiliki dasar pendidikan yang cukup dan pengetahuan umum yang luas. Ia memiliki rasa percaya diri dan kepastian, sehingga mampu memancarkan kepastian. Cara dan bentuk pergaulannya sesuai dengan tingkat orang-orang yang dihadapinya. Ia menyesuaikan cara berpenampilan dengan tempat dan tingkat serta karakter pertemuan. Dalam penampilan ia senantiasa memperhatikan keapikkan dan kebersihan. Ia jujur dan ikhlas dalam tutur kata dan tingkah laku. Ia bersemangat dan mampu bersemangat. Dalam pembicaraan ia memiliki artikulasi yang jelas. Bahasanya memiliki daya meyakinkan, karena merumuskan ungkapan yang tepat dan dialektis. Apabila memiliki spesialisasi, maka ia harus mampu menunjukkan kompetensi dan pengetahuan fak yang memadai.

Sebagai pembicara yang baik hendaknya memiliki kriteria di atas. Hal ini disebabkan pertama, para pendengar memerlukan kesan pertama yang baik dan menyenangkan. Kedua, para pendengar akan merasa malas mendengar bila pembicara terkesan hanya banyak bicara yang tidak konkret dan tidak jelas. Ketiga, para pendengar akan cepat bosan bila pembicara terkesan monoton baik dalam kata-kata, topik pembicaraan, maupun gagasan yang disampaikan.
Pidato yang baik memiliki beberapa kriteria. Maidar dan Mukti (1991:87) menyebutkan: “penilaian kemampuan berbicara dilihat dari dua faktor, yaitu faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan. Faktor kebahasaan yaitu pengucapan vokal dan konsonan, penempatan tekanan dan intonasi, pilihan kata (diksi), dan kalimat efektif. Lalu faktor nonkebahasaan yaitu keberanian, kelancaran, penalaran, penguasaan topik , dan gerak-gerik atau mimik.”

Faktor kebahasaan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Keefektifan Ucapan
Sebagai pembicara yang baik harus membiasakan untuk mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi bahasa yang tidak tepat dapat dapat mengalihkan perhatian pendengar. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa (vokal dan konsonan) yang tidak tepat atau cacat akan menimbulkan kebosanan, kurang menyenangkan, atau kurang menarik.
2. Penempatan Tekanan dan Intonasi
Kesesuaian penempatan tekanan dan intonasi merupakan daya tarik tersendiri dalam berbicara. Bahkan kadang-kadang merupakan faktor penentu. Walaupun masalah yang dibicarakan kurang menarik, dengan penempatan tekanan dan intonasi yang sesuai akan menyebabkan masalah menjadi menarik. Sebaliknya, jika penyampaiannya datar, dapat diperkirakan akan menimbulkan kejemuan bagi pendengar.
3. Pilihan Kata (Diksi)
Pilihan kata hendaknya tepat, jelas, dan bervariasi. Maksudnya agar mudah dimengerti oleh pendengar. Pendengar akan lebih mudah paham, bila kata-kata yang digunakan sudah dikenal oleh pendengar. Misalnya kata-kata populer tentu akan lebih efektif daripada kata-kata yang berasal dari bahasa asing yang jarang dikenal oleh pendengar. Pendengar akan lebih tertarik dan senang mendengar jika pembicara berbicara dengan jelas dalam bahasa yang dikuasainya. Pilihan kata juga disesuaikan dengan pokok pembicaraan. Jika pokok pembicaraan adalah masalah ilmiah, tentu penggunaan kata istilah tidak dapat dihindari dan pendengar pun akan dapat memahami karena pendengarnya pun biasanya orang yang mengerti bidang yang sedang dibicarakan.
4. Ketepatan Sasaran Pembicaraan (Kalimat Efektif)
Hal ini menyangkut pemakaian kaimat yang efektif. Kalimat yang efektif mempunyai ciri-ciri keutuhan, perpautan, pemusatan perhatian, dan kehematan. Keutuhan kalimat akan rusak bila salah satu unsur dari kalimat tidak ada atau akan menimbulkan kerancuan. Perpautan, bertalian dengan hubungan antar unsur-unsur kalimat, misalnya antara kata dengan kata, frase dengan frase dalam sebuah kalimat. Pemusatan perhatian pada bagian yang terpenting dalam kalimat dapat dicapai dengan menempatkan bagian itu pada awal atau akhir kalimat agar pada bagian ini mendapat tekanan waktu berbicara. Kalimat efektif harus hemat dalam pemakaian kata, sehingga tidak terjadi kemubaziran kata. Kalimat efektif mampu membuat isi atau maksud yang akan disampaikan diterima lengkap oleh pendengar.

Faktor nonkebahasaan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Keberanian
Seorang pembicara harus tampil dengan berani di depan pendengarnya. Sikap percaya diri merupakan kunci utama untuk berani berbicara di depan umum. Sikapnya harus tenang saat berbicara. Pendengar akan dapat diyakinkan bila pembicara berbicara dengan penuh keberanian dan percaya diri yang tinggi. Sebaliknya, jika seorang pembicara berbicara dengan malu-malu dan kurang percaya diri maka pendengar akan meragukan kredibilitas dari pembicara, apa lagi hal yang sedang dibicarakan olehnya.
2. Kelancaran
Seorang pembicara yang lancar dalam berbicara akan memudahkan pendengar menangkap isi pembicaraannya. Sering kita mendapatkan seorang pembicara yang berbicara terputus-putus atau terbata-bata. Hal ini akan mengganggu daya simak pendengar. Pembicara yang terlalu cepat juga akan mempersulit pendengar menangkap pokok pembicaraan. Pembicara yang baik harus berbicara dengan lancar, tidak terlalu cepat dan tidak juga terlalu lambat.
3. Penalaran
Pembicara yang baik akan mempunyai penalaran yang baik pula. Gagasan demi gagasan haruslah berhubungan dengan logis. Pemikiran pembicara yang disampaikan hingga mendapat suatu kesimpulan haruslah logis. Hal ini berarti hubungan kalimat dengan kalimat harus jelas dan logis serta berhubungan dengan pokok pembicaraan.
4. Penguasaan Topik
Seorang pembicara harus mempersiapkan topik pembicaraan sebaik mungkin. Hal ini dilakukan agar topik yang dipilih untuk diangkat dalam pembicaraan benar-benar dikuasai dengan baik. Topik merupakan bagian terpenting dalam suatu pembicaraan. Penguasaan topik pembicaraan akan berdampak keberanian dan kelacaran dalam berbicara.

5. Gerak-Gerik dan Mimik
Gerak-gerik dan mimik yang tepat dapat menunjang keefektifan berbicara. Pembicara juga terjaga dari kekakuan. Hal-hal yang penting selain mendapat tekanan juga dapat dibantu dengan gerak tangan atau mimik. Hal ini dapat menghidupkan komunikasi agar pembicara juga terjaga dari kekakuan.

2. 6 Kerangka Berpikir
Berdasarkan uraian teoritis yang telah dikemukakan, maka dapat disusun kerangka berfikir berikut.
Di dalam strategi pembelajaran peran media menjadi sangat penting guna membantu memperlancar jalannya kegiatan pembelajaran. Media dimanfaatkan oleh guru untuk mempermudah menyampaikan pesan kepada siswa dan menutupi keterbatasan yang ada pada guru. Penggunaan media dapat menarik perhatian siswa yang akhirnya dapat menambah motivasi siswa untuk belajar. Media berguna mengatasi keterbatasan ruang dan waktu, dan mengatasi sikap pasif siswa.
Video merupakan media audiovisual yang dapat dijadikan media pembelajaran karena kemampuan video dalam menampilkan gambar dan suara memberikan daya tarik tersendiri. Media video dapat menjadi alat bantu dalam menayangkan hal yang sulit dibuat atau didatangkan secara langsung saat proses pembelajaran. Sebagai sebuah media pembelajaran video memiliki beberapa kelebihan, yaitu : menarik perhatian untuk periode yang singkat, sejumlah besar penonton dapat memperoleh informasi dari ahli, dan gambar proyeksi biasa diberhentikan sesuai dengan kebutuhan untuk diamati dengan seksama.
Motivator bisnis merupakan seorang pembicara yang tentunya memiliki memiliki kemampuan atau keahlian dalam membangkitkan motivasi orang lain untuk melakukan suatu aktivitas bisnis. Pemilihan materi bahasa berupa kata-kata yang menarik dan menyusun kalimat yang baik menjadi hal utama meyakinkan pendengarnya. Kemampuan retorika inilah yang membantu dalam mempersuasi pendengarnya.
Dalam berpidato siswa harus memahami faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan. Faktor kebahasaan yaitu pengucapan vokal dan konsonan, penempatan tekanan dan intonasi, pilihan kata (diksi), dan kalimat efektif. Lalu faktor nonkebahasaan yaitu keberanian, kelancaran, penalaran, penguasaan topik , dan gerak-gerik atau mimik
Dalam belajar berpidato tentunya siswa juga harus memahami tentang retorika yang menyarankan pembicara untuk memilih perbendaharaan kata dan menyusunan kalimat dengan baik sehingga menjadi menarik bagi pendengar, kecakapan dalam sikap, ekspresi wajah, kontak mata, dan mengatur ritme dan dinamika bicara. Maka, dalam belajar berpidato sebaiknya ada contoh yang dapat dipelajari yaitu sebuah model yang baik. Untuk model berpidato alangkah baiknya model dari orang yang ahli dalam berpidato dan memahami serta menerapkan retorika saat berpidato.
Jika dilihat dari kriteria tersebut, maka motivator bisnis merupakan model yang cocok untuk menjadi contoh. Namun, dalam pengadaan (mendatangkan) langsung model yang dimaksud merupakan hal yang memerlukan dana besar dan persiapan yang matang. Dalam hal ini media menjadi alat bantu untuk menghadirkan model yang dibutuhkan. Pemodelan dapat menggunakan media video dari motivator bisnis.
Dengan demikian, secara teoritis dapat disimpulkan media pemodelan retorika motivator bisnis dapat menambah motivasi siswa, dapat memberikan contoh yang baik, dapat memberikan gambaran kepada siswa mengenai berpidato yang baik, dan pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam berpidato.

2. 7 Perumusan Hipotesis
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berfikir yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
Kemampuan berpidato siswa yang diberi media pemodelan retorika motivator bisnis lebih baik dibanding siswa yang tanpa menggunakan media pemodelan motivator bisnis.










Bab III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh media pemodelan retorika bisnis terhadap kemampuan berpidato siswa kelas XII SMAN 89 Jakarta. Secara khusus, tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat seberapa besar pengaruh media pemodelan retorika bisnis untuk membantu siswa dalam mencapai hasil, yaitu kemampuan berpidato yang baik.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi yang dipilih sebagai tempat penelitian adalah SMAN 89 Jakarta Timur. Adapun waktu dalam penelitian ini, akan dilaksanakan pada semester 2 tahun ajaran 2009 / 2010.

3.3 Variabel Penelitian
Penelitian ini memiliki dua variabel, yakni satu variabel bebas dan satu variabel terikat. Variabel bebas penelitian ini adalah media pemodelan retorika motivator bisnis. Variabel terikat penelitian ini adalah kemampuan berpidato kelas XII SMAN 89 Jakarta.

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XII SMAN 89 Jakarta yang terdiri dari lima kelas. Dari kelas tersebut peneliti hanya mengambil dua kelas secara random yang memiliki jumlah siswa yang hampir sama sebagai sampel penelitian ini yaitu kelas .... sebagai kelas kontrol dan kelas ..... sebagai kelas eksperimen.

3.5 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan peneliti adalah metode eksperimen. Metode penelitian eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendali. . Metode eksprimen ini digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh yang ditimbulkan penggunaan media pemodelan retorika bisnis terhadap kemampuan berpidato siswa kelas XII SMAN 89 Jakarta.
Adapun desain yang digunakan adalah post test only. Dalam desain ini tidak menggunakan pra tes. Siswa kelas ..... dijadikan sebagai kelas eksperimen yang diberikan perlakuan berupa pemodelan retorika motivator bisnis dengan menggunakan media video. Selanjutnya, hasil pembelajaran eksperimen tadi dibandingkan dengan kelas ..... sebagai kelas kontrol yang dalam pembelajarannya tanpa menggunakan pemodelan retorika motivator bisnis. Desain yang digunakan dalam penelitian ini digambarkan dalam bentuk sebagai berikut:
Desain Penelitian
(R)1 media pemodelan retorika motivator bisnis X O1
(R)2 tanpa media pemodelan retorika motivator bisnis - O2
Keterangan :
(R)1 : Sampel kelompok kelas eksperimen
(R)2 : Sampel kelompok kelas kontrol
X : Perlakuan, yaitu media pemodelan retorika motivator bisnis
O1 : Hasil tes berpidato kelas eksperimen
O2 : Hasil tes berpidato kelas control

3.6 Teknik Pengumpulan Data
Data diperoleh dengan melakukan perlakuan pada kelas eksperimen dengan menggunakan media pemodelan retorika bisnis. Selanjutnya, melakukan pengamatan pada kelas kontrol. Perlakuan diberikan kepada kelas eksperimen dari pertemuan ke-I sampai ke-IV. Sedangkan pada kelas kontrol tidak diberikan perlakuan selama poses pembelajaran.
Berikut adalah langkah-langkah pembelajaran berpidato dengan menggunakan media pemodelan retorika bisnis untuk pertemuan I-II:
1. Peneliti menginformasikan kepada siswa mengenai tujuan pembelajaran yang hendak dicapai.
2. Peneliti menjelaskan mengenai kriteria penilaian dalam berpidato.
3. Peneliti memberikan tayangan video dari motivator bisnis sebagai model dalam berpidato.
4. Peneliti meminta pendapat siswa mengenai tayangan video dari motivator bisnis.
5. Peneliti menyimpulkan pendapat dari siswa mengenai kriteria yang seharusnya dimiliki oleh orang yang berpidato dari model yang telah ditayangkan, yaitu retorika dari motivator bisnis.

Berikut adalah langkah-langkah pembelajaran berpidato dengan menggunakan media pemodelan retorika bisnis untuk pertemuan II-IV:
1. Peneliti menginformasikan kepada siswa mengenai tujuan pembelajaran yang hendak dicapai.
2. Peneliti menjelaskan mengenai kriteria penilaian dalam berpidato.
3. Peneliti memberikan tayangan video dari motivator bisnis sebagai model dalam berpidato.
4. Peneliti meminta siswa memberikan pendapat mengenai tayangan video dari motivator bisnis.
5. Peneliti menyimpulkan pendapat dari siswa mengenai kriteria yang seharusnya dimiliki oleh orang yang berpidato dari model yang telah ditayangkan, yaitu retorika dari motivator bisnis.
6. Perwakilan beberapa orang siswa diminta maju ke depan untuk berpidato. Hal ini dilakukan sebagai latihan berpidato.
7. Peneliti meminta siswa yang tidak maju untuk memberikan komentar kepada siswa yang maju ke depan untuk berpidato.

Pada pertemuan ke-V sampai ke-VI, diberikan tes kemampuan berpidato untuk kedua kelas tersebut dengan alat pengujian yang sama dalam standar kompetensi berpidato.

3.7. Definisi Konseptual
3.7.1. Media Pemodelan Retorika Motivator Bisnis
Media pemodelan retorika motivator bisnis adalah model penggunaan aspek-aspek retorika oleh seorang motivator yang berbicara pada bidang bisnis yang digunakan sebagai media dalam pembelajaran. Model ini ditampilkan dalam bentuk rekaman video yang akan menjadi contoh untuk dipelajari. Aspek-aspek retorika digunakan oleh motivator bisnis digunakan untuk memotivasi dan meyakinkan pendengarnya.
3.7.2 Kemampuan Berpidato
Kemampuan berpidato adalah kemampuan yang dimiliki siswa untuk berpidato dengan memperhatikan faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan dalam berpidato.
3.7.2 Definisi Operasional
Kemampuan berpidato adalah skor yang diperoleh dari tes berpidato yang mencakup faktor kebahasaan dan nonkebahasaan yang dilakukan terhadap kelas kontrol dan kelas eksperimen, kemudian dibandingkan dari hasil yang diperoleh masing-masing kelas tersebut.

3.8 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah tes kemampuan berpidato yang digunakan untuk membandingkan hasil uji kemampuan berpidato siswa kelas .... sebagai kelas eksperimen yang menggunakan media pemodelan retorika motivator bisnis dengan kelas ..... sebagai kelas kontrol yang tanpa menggunakan media pemodelan retorika motivator bisnis. Tes kemampuan berpidato ini lebih memfokuskan pada kemampuan berpidato siswa dengan memperhatikan faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan

3.8.1 Kriteria Penilaian
Kriteria penilaian yang digunakan berupa kriteria penilaian kemampuan berpidato. Kriteria penilaian kemampuan berbicara tersebut mengacu pada faktor kebahasaan dan nonkebahasaan yang meliputi :
1. Faktor kebahasaan terdiri dari pengucapan vokal dan konsonan, penempatan tekanan dan intonasi, pilihan kata (diksi), dan kalimat efektif.
2. Faktor nonkebahasaan terdiri dari keberanian, kelancaran, penalaran, penguasaan topik, dan gerak-gerik atau mimik.

Tabel Kriteria Penilaian
No Aspek
Kebahasaan Skor Kriteria
1. Pengucapan Vokal dan Konsonan 7-10

4-6


0-3 Sangat Baik
Pengucapan vokal dan konsonan jelas.
Baik
Pengucapan vokal dan konsonan jelas tetapi terkadang melakukan kesalahan pengucapan
Kurang
Siswa sering melakukan kesalahan pengucapan.
2. Penempatan tekanan dan intonasi 7-10


4-6


0-3 Sangat Baik
Penggunaan tekanan dan intonasi tepat dan tidak menimbulkan salah pengertian
Baik
Penggunaan tekanan dan intonasi sudahtepat tetapi terkadang masih ada yang datar
Kurang
Penggunaan tekanan dan intonasi sering datar
3. Pilihan Kata (diksi) 11-15

6-10


0-5 Sangat Baik
Pilihan kata sangat baik
Baik
Pilihan kata sudah baik tetapi masih ada kurang tepat
Kurang
Pilihan kata sering tidak tepat
4. Kalimat efektif 7-10



4-6



0-3 Sangat Baik
Kalimat yang digunakan efektif, struktur kalimat sangat baik dan tidak menimbulkan kerancuan
Baik
Masih menggunakan kalimat yang kurang efektif dan masih ada struktur kalimat yang tidak baik
Kurang
Menggunakan kalimat yang tidak efektif dan maknanya tidak jelas

No. Aspek Nonkebahasaan Skor Kriteria
1. Keberanian 7-10

4-6

0-3 Sangat Baik
Sangat berani dan penuh percaya diri
Baik
Cukup berani namun terlihat masih tegang
Kurang
Tegang, gugup, dan ragu-ragu
2. Kelancaran Berbicara 7-10

4-6


0-3 Sangat Baik
Berbicara sangat lancar
Baik
Berbicara cukup lancar tetapi terkadang terbata-bata
Kurang
Pengucapan terbata-bata
3. Penalaran 7-10

4-6


0-3 Sangat Baik
Cara berfikirnya sistematis
Baik
Cukup sistematis tetapi terkadang masih berbelit-belit
Kurang
Tidak sistematis dan berbelit-belit
4. Penguasaan Topik Pembicaraan 11-15



5-10


0-5 Sangat Baik
Masalah pembicaraan dikuasai dengan baik dan argumen yang diberikan sesui dengan topik pembicaraan
Baik
Argumen cukup baik, namun masih kurang menguasai masalah pembicaraan.
Kurang
Tidak menguasai masalah pembicaraan
5. Gerak-gerik atau Mimik 7-10


4-6

0-3 Sangat Baik
Sesuai dengan situasi saat berbicara (fleksibel) dan sewajarnya
Baik
Agak kaku
Kurang
Terlalu kaku dan sedikit bergerak

Aspek-aspek yang Dinilai

No. Nama Faktor Kebahasaan Faktor Nonkebahasaan Jumlah
Pengucapan
Vokal dan
Konsonan Tekanan dan intonasi Pilihan kata (diksi) Kalimat efektif Keberanian Kelancaran Penalaran Penguasaan topik Gerak-gerik/mimik
10% 10% 15% 10% 10% 10% 10% 15% 10% 100%
1.
2.
3.

3.8 Teknik Analisis Data
Data diperoleh dari hasil tes berpidato siswa yang menggunakan media pemodelan retorika motivator bisnis dan yang tanpa menggunakan media pemodelan retorika motivator bisnis. Hasil kemampuan tersebut dinilai dan dilihat perbedaannya. Hasilnya kemudian dianalisis dengan rumus uji-t dengan hipotesis nol ditolak pada taraf signifikan α = 0,05 sebagai berikut :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar