SEMIOTIKA ”SILIWANGI” DALAM CERITA WANGSIT UGA SILIWANGI
PADA MASYARAKAT SUNDA
RENDY PRIBADI
Abstrak: tulisan ini membahas Siliwangi sebagai tanda pada masyarakat Sunda. “Siliwangi” yang terkenal dalam masyarakat Sunda akan dikaji melalui pendekatan Semiotika Barthes. Lalu akan dibandingkan kata Siliwangi melalui dua tanda wilayah, yaitu kebanggan dan kekuasaan dalam cerita wangsit Uga Siliwangi. Selain itu, dibahas melalui dua hubungan tanda, yaitu hubungan simbolik dan hubungan paradigmatik, juga eratnya hubungan siliwangi dengan budaya.
Kata Kunci: Semiotika,Siliwangi, Sunda
Pendahuluan
Cerita istilah mengenai (Prabu) Siliwangi telah tercantum dalam naskah kuno sanghyang Siksa Kandang (Danasasmita,dkk,1987:83) dan wangsit Uga Siliwangi. Menurut para pakar sejarah Sunda, nama Siliwangi sebagai tokoh historis tidakk terdapat dalam naskah-naskah historis primer, kecuali pada naskah carita Purwaka Caruban Nagari. (Danasasmita, 2003:65).
Dalam kaat Siliwangi terdapat hubungan dengan Prabu Siliwangi sebagai kebenaran sejarah dan kebenaran legendaris. Artinya aspek sastra berbaur dengan aspek sejarah, sehingga Teeuw menyebutnya sebagai karya sastra sejarah. Ekadjati menyatakan hal yang sama dengan Teeuw. Menurut ekadjati berdasarkan pada bukti-bukti historis yang ada, tokoh (Prabu) Siliwangi bukanlah tokoh historis melainkan tokoh sastra sejarah. Artinya, menurut Ekadjati pula, tokoh itu ada tetapi keberadaannya sudah dibumbui unsur sastra dan legenda (Herlina lubis, 200:81).
Secara etimologis, kaat ‘siliwangi’ diartikan sebagai : 1) tokoh yang hilang jasadnya, yang kemudian muncul atau datang lagi dengan hanya membawa nama atau keharuman namanya yang tersebar kemudian [sili(h)= ganti, yang tergantikan, wangi= wangi,harum], 2) tokoh yang menggantikan tokoh Prabu wangi], dan 3) tokoh yang dua kali diistrenan ‘dilantik, dinobatkan’ dengan dua kali mengganti nama [sili(h wangi= asilih wewangi, asilih = mengganti, wewangi= nama,gelar].
Kata Siliwangi
Konsep Dasar Semiotika Barthes
Istilah ‘semiotik’ berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti ‘tanda’,. Secara sederhana semiotic diartikan sebagai ‘ilmu tanda’ .Tanda diartikan sebagai ‘sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain’. Jadi semiotic adalah ‘ilmu yang mempelajari berbagai sesuatu yang berposisi sebagai wakil dari sesuatu yang lain’. Sesuatu yang mewakili tersebut disebut penanda (tanda), sedangkan yang terpisahkan antara penanda dan petandanya, atau bila digambarkan adalah sebagai berikut.
Tanda= Penanda
Petanda
Semiotik bagi Barthes adalah mempelajari segala sistem tanda, apapun substansi dan batasannya : gerak,bunyi,music, objek dana atau asosiasi kompleks antara semua itu. Bagi Bathes, wilayah kerja semiotic menjadi sangat luas, dan bahasa menjaid salah satu dari padanya selain ada banyak unsure lain yang bisa dipelajari sebagai tanda (other than language) akan tetapi,karena bahasa adalah hal yang sangat penting, maka bagi sistem tanda yang lain, bahasa tidak hanya berposisi sebagai model, tetapi juga sebagai komponen, pemancar, atau bahkan tanda bagi sistem tanda yag lain.
Konsep-konsep semiotic Barthes sebenarnya mengantarkan pembaca untuk menganalisis atau mengkaji. Konsep dasr analisis Barthes adalah tersebar: meluas dan mendalam. Dengan demikian, dibedakan arah analisis semiotika dengan deua cara, yaitu: meluas dan mendalam.
Analisis meluas adalah analisis yang berusaha menemukan pertalian tanda-tanda yang satu dengan yang lainnya dalam kerangka prinsip persamaan dan perbedaan. Analisis ini terarah pada rangkaian tanda yang terdapat pada setiap level sistem (kata-kata, objek,dunia,dll). Hal ini berbeda dengan analisis mendalam. Analisis mendalam adalah analisis yang membuka seluk-beluk dari siste (kata-kata, objek, dunia,dll).
Terdapat empat dasar konsep semiotika Barthes adalah: 1) tanda, 2) tiga macam hubungan tanda (simbolik, paradigmatic, dan sintagmatik). 3) bahasa-wicara dan budaya, dan 4) significations (Sunardi, 2002:46).
Namun dalam tulisan ini hanya hubungan tanda, yaitu simbolik dan sintagmatik dan budaya yang berkaitan dengan masyarakat Sunda dalam Uga wangsit Siliwangi
Tanda
Tanda menurut Saussure yang ditrasnformasi Barthes mempunyai tiga wajah, yaitu sendiri (sign), aspek materialnya (signifier), dan aspek mental /konseptual yang ditunjuk oleh aspek materialnya (signified).
Dalam hal ini, kata Siliangi menjadi tanda karena kata itu memiliki penanda (struktur fisik bahasa: s-i-l-i-w-a-n-g-I dan petandanya adalah ‘tokoh (patriotisme, dan kekuasaan (penguasa wilayah /kerajaan).
Kebanggaan. Siliwangi diidentikkan dengan kekuatan dan kebanggaan diantaranya diambilnya kata Siliwangi untuk menunjukkan hal-hal yang berbau patriotisme. Pada wilayah ini terdapat ungkapan model: ‘Divisi Siliwangi’, ‘tentara Siliwangi’, ‘maung Siliwangi’ (tanda kemiliteran dan sebutan untuk timr sepak bola asal Bandung yaitu ‘maung Bandung’.
Kekuasaan. Pada penjelasan ini yang dimaksud kekuasaan adalah tempat yang setiap orang pasti pernah mengenal atau mengunjunginya. Seperti ‘Bioskop Siliwangi’ (menjadi symbol agar menarik massa),’bumi Siliwangi’ (seluruh wilayah tatar Sunda), ‘Jalan Siliwangi’,patilasan Siliwangi’ (tempat-tempat yang dianggap bersejarah yang berhubungan dengan keberadaan SIliwangi’.
Tiga Macam Hubungan Tanda
Hubungan Simbolik. Hubungan simbolik munculsebagai hubungan antara petanda dan penanda. Hubungan ini merujuk pada kemandirian dari tanda tersebut untuk difungsikan kepada sesuatu hal sehingga menunjukkan status symbol.
Kata ‘Siliwangi’ menjadi symbol dari keluarga yang memiliki keturunan dari Prabu Siliwangi. Simbol yang dipakai untuk pengakuan teureuh menak Sunda. Symbol ini meliputi darah biru, kekayaan , kemewahan, kharismatik, dan kekuasaan.
Karena itulah kepala Lodaya dijadikan symbol militer oleh Divisi Siliwang. Nilai simbolik ini mensugesti divisi ini menjadi satu kekuatan militer yang terbesar di Nusantara. Pembuktiannya ada pada prestasi yang yelah diraihnya, seperti penumpasan dalam menangkap berbagai pemberontakan disejumlah tempat. Penjagaan militer di berbagai belahan dunia (bergabung dengan PBB).
Hubungan Paradigmatik. Hubungan paradigmatik adalah hubungan eksternal suatu tanda dengan benda lain. Tanda lain yang bisa berhubungan secara paradigmatic adalah tanda-tanda satu kelas atau satu system.
Pada katab siliwangi terdapat hubungan antara kerajaan Sunda lengkap dengan raja-rajanya serta system kepemimpinannya dan kekuasaannya dan lain sebagainya.
Budaya. Siliwangi memiliki arti tersendiri bagi orang Sunda. Wilyah tataran yang dikelilingi oleh gunung-gunung dan perbukitan, mengandung budaya yang seperi pada kata Siliwangi itu sendiri. Hal ini lebih kepada sikap serta karakter dari warga Sunda. Seorang warga Sunda harus mempunyai sikap sopan, saling menghormati, tegas, dan jujur pada diri sendiri. Seperti prabu Siliwangi, sehingga mereka akan selalu diingat dan dikenang atas jasa baiknya dalam pengorbanan apapun dan namanya akann selalu “harum” ketika ia pergi.
ANALISIS
Ada dua Siliwangi yang menurut saya dimungkinkan menjadi tokoh dalam peristiwa Nga-Hyang ini dalam Uga Wangsit Siliwangi. Pertama adalah Prabu Nilakendra. Ini dikarenakan Nilakendra adalah raja yang terusir dari istana. Carita Parahyangan menyatakan bahwa Nilakendra mengalami "alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan" (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).
Serta yang kedua adalah Prabu Surya Kancana. Ini disebabkan karena memang beliaulah raja terakhir Pajajaran. Beliaupun diberitakan tidak berada di istana Pakuan. Ia diberitakan bergelar Pucuk Umum Pulasari yang berarti Panembahan Pulasari (lereng Gunung Palasari Pandeglang).
Dari kedua prabu ini saya cenderung beranggapan bahwa yang diceritakan dalam kisah ini ádalah yang terakhir yaitu Surya Kancana. Alasannya bahwa dengan “hilang-nya” beliau menyebabkan beliau tidak pernah ada penggantinya, karena yang menggantikannya pun jadi gamang akibat tidak jelasnya nasib sang Prabu ini.
Sang Prabu Nga-Hyang
Ngahyang secara harfiah berarti “menjadi Hyang”. Hyang sendiri menurut saya adalah yang di-Agung-kan, diberi derajat yang ”tinggi” dalam sisi spiritual. Sehingga Nga-Hyang berarti meng-agung-kan / di-agung-kan, dalam hal ini berati mendekatkan diri kepada yang maha kuasa. Di sisi lain, beberapa ahli mengartikan Nga-Hyang ini sebagai menghilang dengan proses spiritual yang tinggi. Namun dari catatan sejarah berupa prasasti atau piteket atau yang lainnya, tidak ada yang menyatakan ”Nga-Hyang”.
Jika dihubungkan dengan tidak adanya catatan sejarah mengenai peristiwa ”Nga-Hyang” ini, dapat dianggap bahwa “Nga-Hyang” ini hanyalah merupakan sebutan masyarakat umum tehadap kondisi yang terjadi. Namun jika dihubungkan dengan kejadian yang terjadi saat terakhir Prabu Surya Kencana berkuasa, bagi saya memberi sedikit titik terang. Adapun kejadian tersebut adalah sebagai berikut :
Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2, pada 8 Mei 1568, Pajajaran runtuh. Saat itu utusan pajajaran (kandaga lante) menitipkan perhiasan kerajaan ke Raja Sumedang (=Geusan Ulun) serta Prabu Siliwangi memberi amanah terakhir yang dikenal dengan Uga Wangsit Siliwangi. Dalam wangsit tersebut Prabu Siliwangi menyatakan ”Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. ................... ”. Artinya kurang lebih ”Kisah kita (=Pajajaran) hanya sampai disini, meskipun kalian semua setia kepadaku! Tapi saya tidak bisa membawa kalian ikut-ikutan (bermasalah), ikut hidup susah, ikut miskin dan kelaparan. .........” .
Dengan peristiwa tersebut bisa disimpulkan bahwa sejak saat itu Prabu Siliwangi menghilang (=tiada kabar berita). Rakyat saat itu juga menyadari bahwa beliau menghilang, dan untuk menyatakan kondisi tersebut masyarakat banyak menyebutnya dengan ”Nga-Hyang” yang kurang lebih berarti hilang untuk mendekatkan diri kepada yang maha kuasa. Sesuai amanat beliau, beliau telah menjadi rakyat jelata, namun entah dimana. Ada kemungkinan menjadi pertapa (resi) untuk mendekatkan diri pada yang kuasa.
Peristiwa Nga-Hyang ini jika dihubungkan dengan kejadian yang terjadi saat terakhir Prabu Surya Kencana berkuasa, bagi saya memberi sedikit titik terang. Adapun kejadian tersebut adalah sebagai berikut : Sekitar tahun 1567, Prabu Surya Kancana meninggalkan wilayah istana Pakuan. Saat itu Prabu Surya Kancana menitipkan perhiasan kerajaan ke Raja Sumedang (=Geusan Ulun) melalui para Kandaga Lante serta memberi amanah terakhir yang dikenal dengan Uga Wangsit Siliwangi. Dalam wangsit tersebut Prabu Siliwangi menyatakan ”Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. ................... ”. Artinya kurang lebih ”Kisah kita (=Pajajaran) hanya sampai disini, meskipun kalian semua setia kepadaku! Tapi saya tidak bisa membawa kalian ikut-ikutan (bermasalah), ikut hidup susah, ikut miskin dan kelaparan. .........” .
Dengan peristiwa tersebut bisa disimpulkan bahwa sejak saat itu Prabu Siliwangi menghilang (=tiada kabar berita). Rakyat saat itu juga menyadari bahwa beliau menghilang, dan untuk menyatakan kondisi tersebut masyarakat banyak menyebutnya dengan ”Nga-Hyang” yang kurang lebih berarti hilang untuk mendekatkan diri kepada yang maha kuasa. Sesuai amanat beliau, beliau telah menjadi rakyat jelata, namun entah dimana. Ada kemungkinan menjadi pertapa (resi) untuk mendekatkan diri pada yang kuasa. (Sumber lain menyatakan Prabu Surya Kancana tinggal di Pulosari)
Kesimpulan
Siliwangi dikaji menurut kacamata Roland Barthes menghasilkan tafsiran yang sangat menarik. Hal ini menghasilkan suatu simbol dalam masyarakat Sunda yang mempunyai karakter dan budaya yang lekat hubungannya dengan sikap maupun unsur petanda lainnya seperti kekuasaan dan kebanggaan
Dalam cerita Uga Wangsit Siliwangi diceriakan bahwa Prabu Siliwangi hendak pergi untuk mendekatkan diri pada Tuhan untuk memberikan petunjuk kepadanya Jadi dapat disimpulkan bahwa Prabu Siliwangi yang terakhir memang ”Nga-Hyang”. Namun dalam artian beliau mengundurkan diri secara politik dari hiruk pikuk kerajaan (pada saat itu). Sedangkan untuk mitos Prabu Siliwangi menjadi harimau sepertinya hanyalah sebuah mitos hasil rekaan kisah masyarakat dari mulut ke mulut, dengan dasar adanya kelompok harimau yang bagaikan penjaga istana. Dengan demikian mitos tersebut Prabu Siliwangi nga-hyang dan menjelma menjadi harimau hanyalah sebuah mitos hasil dari kisah dari suatu kejadian dengan rekayasa bumbu-bumbu mistis.
DAFTAR RUJUKAN
alangalangkumitir.wordpress.com ( diunduh pada tanggal 6 November 2009 )
Sutaarga, M.A. 1984. Prabu Siliwangi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sunardi, ST. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal.
Fananie, Zainuddin.2001. Telaah Sastra. Surakarta:Muhammadyah University Press.
Herlina, Lubis, N. 2000. Tradisi dan Trasnformasi Sejarah Sunda. Bandung: Humaniora Utama Press.
Senin, 09 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar