FONOLOGIBunyi Bahasa dalam Bahasa Suwawa Bunyi bahasa Suwawa hampir sama dengan bunyi bahasa-bahasa Gorontalo. Bunyi bahasa ini dapat dibagi atas vokal dan konsonan. Klasifikasi Bunyi Berdasarkan Hambatan dan Daerah Artikulasi Vokal a ( a ) vokal rendah, tengah, tak bulat. o ( o ) vokal agak rendah, belakang, bulat.e ( E ) vokal, agak rendah, depan, tak bulat. u ( u ) vokal tinggi, belakang, bulat.i ( i ) vokal tinggi, depan, tak bulat.Distribusi Fonem VokalNo. Fonem Posisi Awal Posisi Tengah Posisi Akhir Arti1. / a / / ami / ’kami’2. / i / / ita / ’kita’3. / e / / eluto / ’keris’
4. / o / /olobu / ’kerbau’5. / u / / utu / ’kutu’ 1. / a / /motaharto/ ‘panajang’ ‘panjang’2. / i / /molito/ /togogo/ ‘leher’ ‘malu’3. / e / /betedo/ ‘kambing’
4. / o / /maŋonu/ ‘mengapa’
5. / u / /kasubi/ ‘ubi kayu’
1. / a / /titiwuga/ ‘kamar’
2. / i / /dodohoti/ ‘sedikit’3. / u / /pitu/ tujuh’
4. / e / / mo?ente/ biru’5. / o / /lambuto/ ‘bulu’
Peta Fonem Vokal- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Depan tengah belakang- -- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - tinggi i u- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Agak rendah E o- - -- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Rendah a- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -- -
Konsonan No. Fonem Posisi Awal Posisi Tengah Posisi Akhir Arti1. /b/ /bu?indo / ‘gunung’2. /d/ /dowu/ ‘daun’ ‘daun’3. /g/ /gaŋo/ ‘kering’4. /h/ /hi?uto/ ‘rumput5. /r / / riki / ’kejar6. /s/ / sapi / ’sapi’7. / t / / tolu/ ’tiga’8. / w / /wadala/ ‘l ’kuda’9. /l/ /lima/ ‘lima’ /lima/ ‘lima‘10. / y / /yi?o/ ‘engkau’ /yi?o/ ’engkau’11. /k/ /kalanti/ ‘kerjang’
12. /m/ / mopiya/ ‘baik’
13. /n/ /nayado/ ‘bagi’ ‘bagi’
14. /p/ /polu/ ‘penuh’ ‘penuh’ 15. /q/ /qota/ ‘dia’ ‘dia’
16. /Ŋ/ /naŋo/ ‘mulut’ ‘mulut’ ‘mulut’
konsonan khusus pada posisi awal/ŋg/ seperti pada : / ŋga/ ‘tidak’/mb/ seperti pada : / mbayi/ ‘akan’/nt/ seperti pada : /ntoga/ ‘selalu’
Konsonan pada posisi tengah No. Fonem Posisi Awal Posisi Tengah Posisi Akhir Arti1. /b/ /wubu?o/ ‘pohon’2. /d/ ‘daun’ /uda?a/ ‘besar’3. /g/ /higaga?o/ ‘kawan’4. /h/ /mohuwo/ ‘banyak’ banyak5. /r / /magaribu/ ‘magrib’ magrib6. /s/ /masasa/ ‘susah sekali’7. / t / /wateya/ ‘saya’8. / w / ‘leher’/ tiwugo/ ‘tidur’9. /l/ /lima/ ‘lima’ / eluto/ ‘keris’ ‘keris’10. / y / /yi?o/ ‘engkau’ /pollyama/ ‘bintang’ ’bintang’11. /k/ /bakasa/ ‘bokasang’ ‘bokasang’12. /m/ /lumeme/ ‘lembek’
13. /n/ /wana?o/ ‘anak’ ’anak’14. /p/ ‘penuh’ /dapugo/ ‘telur’ 15. /q/ /wuqato/ ’akar’16. /Ŋ/ ‘mulut /moyi ago/ ‘gembira’ ‘mulut’ Konsonan khusus padan posisi tengah/ ŋg/ seperti pada : /motaŋgalo/ ‘lebar’/mb/ seperti pada : /tambu?o/ ‘asap’/nt/ seperti pada : /montogo/ ‘sana’Konsonan Gabung / mb / Seperti pada / tambeyato / ’pucat’ / mohihimbuto / ’khawatir’ / nt / Seperti pada / bantaŋo / ’rusa’ / woguqente / ’biru’/ ŋg / Seperti pada / motangalo / ’lebar’ / mohangu / ’menangkap’ (1) b ( b ) konsonan bersuara, letupan (plosif) bibir-bibir (bilabial).(2) p ( p ) konsonan tak bersuara, letupan (plosif), bibir-bibir (bilabial). (3) m ( m ) konsonan bersuara, sengau, bilabial. (4) mb ( mb ) konsonan bersuara, sengau, bilabial. (5) w ( w ) semi vokal, bilabial, bersuara. (6) d ( d ) aveolar, bersuara. (7) t ( t ) konsonan lletupan, apiko alveolar, tak bersuara. (8) n ( n ) konsonan sengau, apiko alveolar, bersuara. (9) nt ( nt ) konsonan sengau, apiko alveolar, sengau. (10) l ( l ) konsonan sampingan (lateral), apiko alveolar, bersuara. (11) r ( r ) konsonan heletar (trill) apiko alveolar, bersuara. (12) j ( j ) konsonan letupan, ujung lidah langit-langit keras (apiko palatal), bersuara. (13) s ( s ) konsonan geseran ( frikatif), daun lidah lengkung kakigigi (lamino alveolar), tak bersuara. (14) y ( y) konsonan semi vokal, tengah daun lidah (mediolominal), bersuara. (15) g ( g ) konsonan letupan, pangkal lidah langit-langit lembut (dorso velar), bersuara. (16) k ( k ) konsonan letupan, dorsoveolar, tak bersuara. (17) ng (ŋ ) konsonan sengau, dorsoveolar, bersuara. (18) ngg (ŋg ) konsonan sengau, dorsoveolar, bersuara. (19) h ( h ) konsonan geseran, rangka kerongkongan (faringal), tak bersuara. (20) q ( ? ) konsonan letupan, hamzah, tak bersuara.
Pola Suku Kata Jumlah Suku KataKata-kata dalam bahasa Suwawa ada yang sampai 4 suku kata.(1) Yang terdiri dari satu suku kata :(mono silabe = eka silabe)no ‘dengan’lo ‘dari’(2) Yang terdiri dari dua suku kata(dwi silabe =bisilabe)wo-no ‘enam’lu-to ‘api’(3) Yang terdiri dari tiga suku katadu-po-to ‘angin’mo-pu-ha ‘merah’bu-qi-do ‘gunung’
Susunan Fonem Hanya ada dua macam susunan fonem suku kata bahasa Suwawa yaitu :V seperti pada a-mi “kami’ a-no ‘nasi’KV sseperti pada wu-ha ‘hujan’
Suprasegmental Bahasa Suwawa terasa ucapan kata-katanya tersentak-sentak karena terdapat titi nada yang tinggi pada satu suku kata tertentu. Para ahli membagi titi nada atas empat tingkatan. Yang tertinggi angka 4 dan yang terendah 1. Dalam bahasa Suwawa titi nada itu jatuh pada vocal tiap suku kata. Nada itu ditentukan oleh jumlah suku kata.(1) Bili terdiri dari dua suku kata maka nada tinggi terdapat pada suku kedua dari belakang.3 2wu lu ‘kepala’3 2wi gu ‘mandi’(2) Bila terdiri dari tiga suku kata maka nada tinggi pada suku ketiga dari belakang.3 2 1du tu na ‘sungai’3 2 1wa te ya ‘saya’(3) Bila terdiri dari empat suku kata maka nada tinggi tetap pada suku ketiga dari belakang.2 3 2 1 2 3 2 1Pe ya bu qo ‘debu’ t o bu ng g a l a ‘kebun’.
Analisis Fonologi Bahasa Suwawa ke dalam Bahasa IndonesiaNo Perbedaan Bahasa indonesia Bahasa suwawa1 Vokal 8 buahi e ЄӘ a u oב// 5 buaha o e u i
2. konsonan 21 buah b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, dan z.
Tidak ada konsonan ngg (ŋg ) 20 buahB,p,m,mb,w,d,t,n,nt,l,r,j,s,y,g,k,ng[ŋ]Ngg [ŋg],h,q [?]ada konsonan ngg (ŋg )3. semivokoid Ada yaitu w dan y Ada yaitu w dan y4. diftong Adaaiau Tidak ada5. kluster Ada 5 buahprkrtrblkl Ada 3 buahmb : tambeyatont : montogoŋg : bungalo6 Nasal Ada (4) : m, n, ŋ,ny Ada (1buah) : ŋg7 Struktur suku 7 buah1) –V- : a- ma- naf2) –KV- : pa-sar3) –VK- : la-ut4) KVK : sir-na5) KKV : pro-tes6) –VKK- : eks7) KKKV : spre - i 2 buah1) V : a-mi, a-na2) KV : au-na8 Struktur silabe Paling banyak 5 buah
Paling banyak 4 buah suku kataDu-po-tu ‘angin’
Terdiri dari empat suku kataTo-go-go-nto ‘sedih’
Sabtu, 28 November 2009
fonologi bahasa Bali
Fonologi Bahasa Bali1. Fonem1.1 Fonem Segmental Secara umum pada bahasa Bali terdapat enam vokal dan 18 konsonan. Fonem vokal dan konsonan itu adalah sebagai berikut:1) Fonem vokal: /i/, /e/, /ə/, /a/, /o/, dan /u/2) Fonem konsonan: /b/, /c/, /d/, /g/, /h/, /j/, /k/, /l/, /m/, /n/, /p/, /r/, /s/, /t/, /w/, /ŋ/, /y/, dan /ń/Dari fonem-fonem di atas, jelaslah bahwa terdapat antara bahasa Indonesia dengan bahasa Bali, yakni perbedaan antara jumlah fonem vokal dan konsonan. Bahasa Indonesia memiliki 10 fonem vokal, sedangkan bahasa Bali hanya memiliki enam fonem vokal. Fonem vokal yang tidak terdapat pada bahasa Bali adalah /I/ pada kata /baik/, /ε/ pada kata /bebek/, /U/ pada kata /gubuk/, dan ב// pada kata /obat/, sedangkan fonem konsonan dalam bahasa Indonesia terdapat 20 konsonan dan bahasa Bali hanya terdapat 18 fonem konsonan. Fonem-fonem konsonan yang tidak terdapat pada bahasa Bali adalah /f/ dan /z/. Bahasa Bali tidak memiliki fonem diftong (belum ditemukan).1.2 Distribusi Fonem Vokal Bahasa BaliFonem Posisi Awal Posisi Tengah Posisi Akhir Arti/i/
/e/
/a/
/ə/
/u/
/o/ /ilih//igel//iruk/
/ema//ece//engok/
/angin//abut//agem/
/əndih//ənsap//əlus/
/ukir//undit/
/ulah/
/okə//ońə//osək/
/alih//balik//arit/
/balek/
/mereng//enden/
/kətan//panah//kasar/
/səbat//məsam//pəras/
/ancuk//amuk//ikut/
/polos//legong//bocor/
/sugi//umbi//sandi/
/rame//bade/
/senbel/
/rasə//marə//kijə/
/biu//abu//siu/
/keto//roko//kəmo/ ‘kipas’‘tari’‘menggali lubang’‘kecil/‘cari’‘balik’‘sabit’‘cuci muka’‘umbi’‘mujarab’‘lupa’‘nama mata uang’‘enggak’‘belek’, ‘tempat air’‘miring’‘nanti’‘ramai’‘wadah pengusungan mayat’‘lampu’‘angin’‘cabut’‘sikap’‘beras untuk jajan’‘panah’‘kasar’‘nyala’‘lupa’‘buka’‘duka’‘masam’‘peras’‘rasa’‘baru’‘ke mana’‘ukir’‘memikul hanya berisi bagian belakang’‘usir’‘jolok’‘amuk’‘ekor’‘pisang’‘abu’‘seribu’‘anak’‘habis’‘panas’‘polos’‘sejenis larian’‘bocor’‘begitu’‘rokok’‘ke sana’
1.3 Distribusi Fonem Konsonan Bahasa BaliFonem Posisi Awal Posisi Tengah Posisi Akhir Arti/p/
/b/
/m/
/w/
/t/
/d/
/n/
/s/
/r
/l/
/c/
/j/
/ń/
/k/
/g/
/ŋ/
/y/
/h/ /palas//payung//pikun/
/bantən//base//bənəh/
/marə//mokoh//mulə/
/wayang//wiku//wedang/\
/tui/
/tiuk//tilu/
/dadoŋ//dəkah//dui/
/nasi//nikə//naŋka/
/susu//suləh//subəŋ/
/ras//ruwət//ruŋu
/laris//larə/
/cawan//capung//ciciŋ/
/jagut//jaran//jail/
/ńahalaŋ//ńuńur//ńapńap/
/kacə//komak//kuməl/
/gadaŋ//gətih//gancaŋ/
/ŋon//ŋud//ŋaap/
/yuyu//yasə//yəh/
/hariti//harimurti/
/təpas//kuping//kaput/
/lubak//babak/
/səbət/
/simə//ləmah//samah/
/awak//awag//bawak/
/utah/
/katik//patuh/
/adəp//aduk//tidoŋ/
/anu//inih//anak/
/usap//isap//aŋsap/
/marə//arak//barak/
/ maliŋ//malu/
/acaŋ//bacut//kaciŋ/
/ajak//bajaŋ//aji/
/ańar//ańud//ńańad/
/kakə//kuku//jukut/
/bagus//bagi//sigi/
/aŋin//diŋin//laŋit/
/yuyu//ayu//uyut/
/sahas/
/aləp//dapdap//kilap/
/ayub//saub/
/tanəm//sələm//padəm/
/jait//daat//saat/
/aad//ubad//gobed/
/duren//kərəŋ//alon/
/baləs//samas//gəməs/
/kasar//gətar//lumbar/
/gatəl//tampəl//maəl/
/pəkak//pətak//katak/
/latig/ /gəbug/ /urug/
/gamaŋ//rampiŋ//panciŋ/
/patih//idih//upah/ ‘lepas’, ‘cerai’‘payung’‘pelupa’‘lantai’‘telinga’‘bungkus’‘kalem’‘pohon dadap’‘halilintar’‘sajen’‘sirih’‘betul’‘musang’‘luka terkelupas kulit’‘duka’‘terganggu’‘selip’‘baru’‘gemuk’‘permulaan’‘adat’‘siang’‘lebat’‘tanam’‘hitam’‘mati’‘wayang’‘pendeta’‘air hangat’‘badan’‘ngawur’‘pendek’‘pohon turi sungguh-sungguh’‘pisau’‘kotoran telinga’‘kotoran yang dimuntahkan’‘tangkai’‘sama’‘jahit’‘musim’‘sungguh-sungguh’‘nenek’‘batuk’‘duri’‘jual’‘aduk’‘bukan’‘surut’‘obat’‘patut’‘nasi’‘itu’‘nangka’‘anu’‘irit’‘orang/anak’‘durian’‘kuat’‘pelan’‘susu’‘lampu’‘subang’‘sapu’‘isap’‘lupa’‘lebat’‘400’‘ganas’‘rasa’‘ruwet’‘Perhatian’‘baru’‘arak’‘merah’‘kasar’‘jelas’‘lepas’‘laris’‘sakit’‘pencuri’‘dulu’‘gatal’‘sumbat’‘mahal’‘cawang’,cangkir’‘capung’‘anjing’‘ranting’‘cabut’‘kancing’‘dagu’‘kuda’‘jahil’‘ajak’‘muda/bujangan’‘harga,bapak’‘mengkilap’‘menarik’‘mengigau’‘baru’‘hanyut’‘lumpur’‘kaca’‘sejenis kacang’‘kotor’‘kakak’‘kuku’‘sayur’‘kakek’‘petak’‘katak’‘hijau’‘darah’‘cepat’‘bagus’‘bagi’‘sumbu’‘pukul kayu’‘Pukul’ ‘timbul’ ‘heran’‘muda’‘perih’‘angin’‘dingin’‘langit’‘setan,gegabah’‘ramping’‘kail’‘kepiting’‘jasa’‘air’‘ketam’‘cantik’‘ribut’‘nama dewa’‘nama dewa’‘segera’‘panakawan’‘minta’‘upah’
1.4 Gugus Konsonan Bahasa Bali Dalam buku Struktur Bahasa Bali (1981), terdapat 19 gugus konsonan pada bahasa Bali, antara lain:1) /tr/ /potret/ ‘potret’2) /dr/ /indrakil/ ‘indrakila’3) /sr/ /srat-sret/ ‘bunyi bergesek’4) /jr/ /jrat/jrit/ ‘berteriak-teriak’5) /cr/ /kecrat-kecrit/ ‘bunyi ludah’6) /kr/ /krag-krug/ ‘bunyi guruh’7) /pr/ /keprat-keprit/ ‘bunyi ludah’8) /gr/ /grad-grudug/ ‘bunyi guruh’9 / pl/ /keplag-keplug’ ‘bunyi bedil’10) /tpl/ /tplapak/ ‘telapak tangan/kaki’11) /dl/ /dlunduŋ/ ‘sejenis pohon’12) /cl/ /cləgak-cləgək/ ‘bunyi orang yang kehausan’13) /jl/ /jlajah/ ‘datangi’14) /kl/ /kləntang/ ‘bunyi benda keras yang beradu’15) /gl/ /glalak-gluluk/ ‘berguling-guling’16) /nl/ /nlandas-nlondos/ ‘sesuatu yang sering keluar’17) /ńr/ /nyretso/ ‘tergelincir’18) /ŋr/ /ŋrurut/ ‘menggelinding’19) /nr/ /nrawong-nruwung/ ‘keadaan yang tak keruan-keruanDari data di atas dapat kita ambil beberapa kesimpulan dan perbedaan yang terdapat antara bahasa Bali dengan bahasa Indonesia dalam distribusi kata-katanya:1) Bahasa Bali tidak memiliki fonem /a/ posisi pada posisi akhir, tetapi pada umumnya fonem akhir /a/ berubah menjadi fonem /ə/, misalnya kata /rasa/ menjadi /rasə/. Hal itu berbeda dengan yang terdapat pada bahasa Indonesia, antara fonem /a/ dan /ə/ didistribusikan pada kata yang berbeda.2) Selain fonem vokal /a/, ada juga fonem-fonem konsonan yang tidak terdapat pada posisi akhir pada bahasa Bali, yaitu fonem /w/, /y/, /j/, /c/, dan /ń/. Fonem-fonem tersebut memiliki dengan kesamaan yang ada pada bahasa Indonesia. Maksudnya, bahasa Indonesia juga tidak memiliki kelima fonem tersebut pada posisi akhir kata.3) Ada beberapa kata pada bahasa Bali yang susunan fonemnya terbalik dengan bahasa Indonesia, seperti kata /bacut/ pada bahasa Bali, /cabut/ pada bahasa Indonesia, dan /usap/ pada bahasa Bali, sedangkan bahasa Indonesia adalah /sapu/.4) Bahasa Bali tidak memiliki fonem glotal /?/. Biasanya kata-kata yang dibaca glotal pada bahasa Indonesia dibaca /k/ atau fonemnya dihilangkan pada bahasa Bali, misalnya kata /pəkak/ pada bahasa Indonesia dibaca /pəka?/, tetapi pada bahasa Bali dibaca /pəkak/. Contoh lain, kata /kakək/ pada bahasa Indonesia dibaca /kakə?/, sedangkan pada bahasa Bali fonem /k/ hilang atau luluh, dan dibaca /kakə/.5) Fonem /h/ pada posisi tengah jarang terdapat pada bahasa Bali. Biasanya kata-kata yang menggunakan fonem /h/ pada bahasa Indonesia, luluh pada bahasa Bali. Contoh: /jahit/ menjadi /jait/, dan /mahal/ menjadi /maəl/.6) Fonem yang banyak terdapat pada gugus konsonan bahasa Bali adalah /l/ dan /r/. Kedua konsonan tersebut terdapat pada semua bentuk gugus konsonan bahasa Bali (lihal data gugus konsonan di atas). Hal tersebut berbeda dengan bahasa Indonesia yang gugus konsonannya tidak hanya terdapat secara umum pada fonem /l/ dan /r/, tetapi terdapat fonem /h/ paduannya seperti /kh/ pada kata /khusus/ dan /sh/ pada kata /shalat/ . Variasi-variasia. Variasi AlternasiDalam fonem-fonem bentuk bahasa yang belum banyak dipengaruhi oleh bahasa lain, seperti telah diuraikan di atas ternyata tidak kita jumpai adanya fonem /f/, tetapi bila kita dengarkan percakapan para pelajar, mereka sudah biasa mengucapkan fonem /f/ sehingga mempengaruhi pemutaran bentuk bahasa. Oleh karena itu, kadang-kadang terjadilah variasi alternasi dalam kata-kata seperti :/pelәm/ ‘film’/felәm/ ‘film’
b. Variasi AlofonisDari kesatuan bentuk linguistik : /celeŋ/ ‘babi’ /bebek/ ‘itik’ /dende/ ‘dendeng’Bila terjadi proses morfologis denan sufiks -ne, -e, akan terjadi harmonisasi. /celeŋe/ ‘babi’ /bebeke/ ‘itik’ /dendeŋe/ ‘dendeng’ Sekaligus dalam dua kata terakhir itu terjadi netralisasi, yaitu netralnya atau batalnya perbedaan fonem /ә/ dan /a/ pada distribusi akhir bila kata yang bersangkutan mendapat sufiks -ne. Gejala netralisasi dalam bentuk bahasa semacam itu berlaku bagi semua kata yang berakhir dengan fonem /ә/, yang mengalami proses morfologi dengan sufiks -ne. Pada gejala harmonisasi seperti dalam kata-kata itu pun ternyata terjadi variasi alofonis ; pada kata dasar, misalnya /cELE/ → /celeŋe/ /bEbEk/ → /bebeke/ Perhatikan pula gejala harmonisasi dan variasi alofonis dalam kata-kata berikut./bel/ → /bElAnIn/ ‘dibela’/sel/ → /sElAne/ ‘ketela’/lEak/ (leake), ‘leak’; ‘hantu’ (leakIn) ‘dihantui’ (leakaŋ) ‘jadikan leak’
Dari data di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.1. Bunyi /E/ pada distribusi tengah, baik yang terbuka maupun yang tertutup, bila kata yang bersangkutan mendapat sufiks -e, -ne, -e, dan -in, akan terjadi variasi alofonis, yaitu menjadi /e/.2. Bahwa bunyi /e/ pada suku terbuka mengalami variasi alofonis menjadi /E/ bila kata bersangkutan mendapat sufiks -ne dan –in.
Struktur Pembagian susunan vokal bahasa Bali didasarkan pada :1. Naik turunnya lidahvokal atas : i, uvokal tengah : e, ә, ovokal bawah : a
2. Maju mundurnya lidahvokal depan : i, e, avokal tengah : ∂vokal belakang : u dan o
3. Memundar tidaknya bibirvokal bundar : u, ovokal tak bundar : i, e, aUntuk jelasnya, susunan vokal itu tampak pada bagan sebagai berikut.
depan tengah belakangi u atas
e o tengah a ә bawah
tak bundar bundar
Susunan Konsonan Bahasa Bali Susunan konsonan bahasa Bali didasarkan pada :1. daerah artikulasi2. daerah halangan3. bergetar tidaknya selaput suara
Penggolongan Konsonan Seperti halnya penggolongan vokal, konsonan pun digolongkan berdasarkan pembentukan bunyi ucapannya. Oleh karena itu, konsonan dapat dibagi atas dua macam :1. Konsonan yang dibentuk berdasarkan pengucapan yang mengalami hambatan sepenuhnya;2. Konsonan yang dibentuk berdasarkan pengucapan yang mengalami hambatan tidak penuh, yang dapat diperinci lagi sebagai berikut.a. Konsonan geseran (spirant). Konsonan ini dibentuk dengan pengucapan yang menimbulkan geseran udara dengan daerah artikulasi;b. Konsonan nasal, yaitu konsonan yang dibentuk dengan pengucapan akibat udara yang keluar sebagian melalui rongga hidung dan sebagian melalui rongga mulut; danc. Konsonan likuida yang dapat diperhalus menjadi:1. lateral; pembentukannya adalah penghalang lidah dengan ujung lidah menyentuh belakang gigi. Oleh karena itu, udara keluar melalui celah-celah kiri kanan lidah.2. getar; cara pembentukannya sama dengan lateral, cuma selebihnya terjadi karena getaran yang berulang kali.Untuk memperhalus pembagian lima di atas dapat pula dengan membagi berdasarkan daerah artikulasi.Dengan penggabungan dasar-dasar pembagian seperti dikendalikan di atas dapatlah dibuat dengan konsonan dengan tanda-tanda fonetiknya, yang disesuaikan dengan kebutuhan penandaan fonetik bentuk bunyi-bunyi bahasa Bali.
Labial Dental Palatal Velar Glotaltak bersuaraHambatbersuara p
b t
d c
j k
g tak bersuaraGeserbersuara
w s
y hNasal m n Lateral l Getar r
Gugus KonsonanPola Fonemis Struktur Morfem (Pola Penyuskua)V : a-da, a-nak, i-tu : ‘ada, anak, hitung’KV : te-ka, ma-i, ka-yah : ‘datang, kemari, mandi’VK : ba-ong, tu-ak, ba-ak : ‘leher, nira, rampok’KVK : ba-wak, ju-mah, ta-wah : ‘pendek, di rumah, aneh’KKV : se-tra, ma-tra, srat-sret : ‘kuburan, sedikit, bunyi yang diseret’KKVK : ke-plug, tam-pak : ‘tumbuk (tertumbuk), tamper/pukul’Fonem Suprasegmental Sampai saat ini belum ditemukan adanya fonem suprasegmental dalam bahasa Bali. Dalam bahasa Bali dialek Nusa Penida ada kata : /mani/ ‘besok’ /mani:/ ‘kapan saja (?)’
Pelambangan Bunyi dan Ejaan Pelambangan bunyi bahasa adalah sebagai berikut:a. Bunyi fonem vokal/i/ = Pelambangan bunyi vokal dalam BB ini selalu me- /e/ = rupakan pasangan dengan aksaran BB pada sub b /a/ = (fonem konsonan) di bawah /ə/ = /u/ = /o/ =b. Fonem KonsonanSebenarnya pelambangan fonem konsonan secara berdiri sendiri tidak ada dalam bahasa Bali sebab pelambanganya bersifat system suku kata (syllabic-system).Dalam bahasa Bali pelambangannya sebagai berikut: = ha = ka = na = ga = ca = ta = ra = pa = nga = pa = ba = da = sa = ya = wa = nya = la c. Ejaan yang berlaku dalam bahasa BaliEjaan yang berlaku dalam bahasa Bali ada dua jenis.1. Ejaan Bahsa Aksara Balia. Ejaan bahasa Bali aksara Bali ini berdasarkan hasil Pesamuhan Agung tahun 1957. dari hasil Pemasuhan Agung tersebut disusunlah ejaan bentuk bahasa dengan huruf Latin dan huruf Bali oleh I.G.K.Ranuh dan I.K. Subrata.b. Tahun 1963 diadakan lagi Pesamuhan Agung Kecil. Tujuannya memperbaharui ejaan bahasa Bali dengan huruf Bali dan penegasan-penegasan ejaan bahasa Bali dengan huruf Latin hasil Pesamuhan Agung tahun 1957. Setelah Pesamuhan Agung Kecil disusun “Pasang Sastra Bali Latin” oleh Md. Riken, guru SPGN Denpasar dalam bentuk stensilan.2. Ejaan Bahasa Bali dalam Huruf LatinPerkembangannya hampi mirip dengan ejaan bahasa Bali huruf Bali seperti telajh diuraikan di atas. Perbedaan Ejaan bahasa Bali dengan huruf Latin berkembang lebih jauh kagi dengan adanya Ejaan Yang Disempurnakan, Ejaan bahasa Bali dengan huruf Latin yang sekarang berlaku bisa dilihat dalam buku Loka Karya Ejaan Bahasa Daerah, di Jakarta 22-23 Maret 1973. Ejaan yang Diusulkan1. Supaya ejaan bahasa Bali dengan huruf Latin betul-betul “fonemis” dan konsisten.2. Ejaan bahasa Bali dengan huruf Balia. agar betul-betul berdasarkan kenyataan pengucapan masyarakat. Jangan sampai ada ‘aksara’ yang dalam kenyataan tidak pernah diucapkan seperti : (bh), (t), (gh), (dh), (th), dan sebagainya.b. Penulisan morfem dalam struktur kalimat supaya memudahkan bagi pembaca, yaitu dibuat sama dengan ejaan bahasa Bali.
/e/
/a/
/ə/
/u/
/o/ /ilih//igel//iruk/
/ema//ece//engok/
/angin//abut//agem/
/əndih//ənsap//əlus/
/ukir//undit/
/ulah/
/okə//ońə//osək/
/alih//balik//arit/
/balek/
/mereng//enden/
/kətan//panah//kasar/
/səbat//məsam//pəras/
/ancuk//amuk//ikut/
/polos//legong//bocor/
/sugi//umbi//sandi/
/rame//bade/
/senbel/
/rasə//marə//kijə/
/biu//abu//siu/
/keto//roko//kəmo/ ‘kipas’‘tari’‘menggali lubang’‘kecil/‘cari’‘balik’‘sabit’‘cuci muka’‘umbi’‘mujarab’‘lupa’‘nama mata uang’‘enggak’‘belek’, ‘tempat air’‘miring’‘nanti’‘ramai’‘wadah pengusungan mayat’‘lampu’‘angin’‘cabut’‘sikap’‘beras untuk jajan’‘panah’‘kasar’‘nyala’‘lupa’‘buka’‘duka’‘masam’‘peras’‘rasa’‘baru’‘ke mana’‘ukir’‘memikul hanya berisi bagian belakang’‘usir’‘jolok’‘amuk’‘ekor’‘pisang’‘abu’‘seribu’‘anak’‘habis’‘panas’‘polos’‘sejenis larian’‘bocor’‘begitu’‘rokok’‘ke sana’
1.3 Distribusi Fonem Konsonan Bahasa BaliFonem Posisi Awal Posisi Tengah Posisi Akhir Arti/p/
/b/
/m/
/w/
/t/
/d/
/n/
/s/
/r
/l/
/c/
/j/
/ń/
/k/
/g/
/ŋ/
/y/
/h/ /palas//payung//pikun/
/bantən//base//bənəh/
/marə//mokoh//mulə/
/wayang//wiku//wedang/\
/tui/
/tiuk//tilu/
/dadoŋ//dəkah//dui/
/nasi//nikə//naŋka/
/susu//suləh//subəŋ/
/ras//ruwət//ruŋu
/laris//larə/
/cawan//capung//ciciŋ/
/jagut//jaran//jail/
/ńahalaŋ//ńuńur//ńapńap/
/kacə//komak//kuməl/
/gadaŋ//gətih//gancaŋ/
/ŋon//ŋud//ŋaap/
/yuyu//yasə//yəh/
/hariti//harimurti/
/təpas//kuping//kaput/
/lubak//babak/
/səbət/
/simə//ləmah//samah/
/awak//awag//bawak/
/utah/
/katik//patuh/
/adəp//aduk//tidoŋ/
/anu//inih//anak/
/usap//isap//aŋsap/
/marə//arak//barak/
/ maliŋ//malu/
/acaŋ//bacut//kaciŋ/
/ajak//bajaŋ//aji/
/ańar//ańud//ńańad/
/kakə//kuku//jukut/
/bagus//bagi//sigi/
/aŋin//diŋin//laŋit/
/yuyu//ayu//uyut/
/sahas/
/aləp//dapdap//kilap/
/ayub//saub/
/tanəm//sələm//padəm/
/jait//daat//saat/
/aad//ubad//gobed/
/duren//kərəŋ//alon/
/baləs//samas//gəməs/
/kasar//gətar//lumbar/
/gatəl//tampəl//maəl/
/pəkak//pətak//katak/
/latig/ /gəbug/ /urug/
/gamaŋ//rampiŋ//panciŋ/
/patih//idih//upah/ ‘lepas’, ‘cerai’‘payung’‘pelupa’‘lantai’‘telinga’‘bungkus’‘kalem’‘pohon dadap’‘halilintar’‘sajen’‘sirih’‘betul’‘musang’‘luka terkelupas kulit’‘duka’‘terganggu’‘selip’‘baru’‘gemuk’‘permulaan’‘adat’‘siang’‘lebat’‘tanam’‘hitam’‘mati’‘wayang’‘pendeta’‘air hangat’‘badan’‘ngawur’‘pendek’‘pohon turi sungguh-sungguh’‘pisau’‘kotoran telinga’‘kotoran yang dimuntahkan’‘tangkai’‘sama’‘jahit’‘musim’‘sungguh-sungguh’‘nenek’‘batuk’‘duri’‘jual’‘aduk’‘bukan’‘surut’‘obat’‘patut’‘nasi’‘itu’‘nangka’‘anu’‘irit’‘orang/anak’‘durian’‘kuat’‘pelan’‘susu’‘lampu’‘subang’‘sapu’‘isap’‘lupa’‘lebat’‘400’‘ganas’‘rasa’‘ruwet’‘Perhatian’‘baru’‘arak’‘merah’‘kasar’‘jelas’‘lepas’‘laris’‘sakit’‘pencuri’‘dulu’‘gatal’‘sumbat’‘mahal’‘cawang’,cangkir’‘capung’‘anjing’‘ranting’‘cabut’‘kancing’‘dagu’‘kuda’‘jahil’‘ajak’‘muda/bujangan’‘harga,bapak’‘mengkilap’‘menarik’‘mengigau’‘baru’‘hanyut’‘lumpur’‘kaca’‘sejenis kacang’‘kotor’‘kakak’‘kuku’‘sayur’‘kakek’‘petak’‘katak’‘hijau’‘darah’‘cepat’‘bagus’‘bagi’‘sumbu’‘pukul kayu’‘Pukul’ ‘timbul’ ‘heran’‘muda’‘perih’‘angin’‘dingin’‘langit’‘setan,gegabah’‘ramping’‘kail’‘kepiting’‘jasa’‘air’‘ketam’‘cantik’‘ribut’‘nama dewa’‘nama dewa’‘segera’‘panakawan’‘minta’‘upah’
1.4 Gugus Konsonan Bahasa Bali Dalam buku Struktur Bahasa Bali (1981), terdapat 19 gugus konsonan pada bahasa Bali, antara lain:1) /tr/ /potret/ ‘potret’2) /dr/ /indrakil/ ‘indrakila’3) /sr/ /srat-sret/ ‘bunyi bergesek’4) /jr/ /jrat/jrit/ ‘berteriak-teriak’5) /cr/ /kecrat-kecrit/ ‘bunyi ludah’6) /kr/ /krag-krug/ ‘bunyi guruh’7) /pr/ /keprat-keprit/ ‘bunyi ludah’8) /gr/ /grad-grudug/ ‘bunyi guruh’9 / pl/ /keplag-keplug’ ‘bunyi bedil’10) /tpl/ /tplapak/ ‘telapak tangan/kaki’11) /dl/ /dlunduŋ/ ‘sejenis pohon’12) /cl/ /cləgak-cləgək/ ‘bunyi orang yang kehausan’13) /jl/ /jlajah/ ‘datangi’14) /kl/ /kləntang/ ‘bunyi benda keras yang beradu’15) /gl/ /glalak-gluluk/ ‘berguling-guling’16) /nl/ /nlandas-nlondos/ ‘sesuatu yang sering keluar’17) /ńr/ /nyretso/ ‘tergelincir’18) /ŋr/ /ŋrurut/ ‘menggelinding’19) /nr/ /nrawong-nruwung/ ‘keadaan yang tak keruan-keruanDari data di atas dapat kita ambil beberapa kesimpulan dan perbedaan yang terdapat antara bahasa Bali dengan bahasa Indonesia dalam distribusi kata-katanya:1) Bahasa Bali tidak memiliki fonem /a/ posisi pada posisi akhir, tetapi pada umumnya fonem akhir /a/ berubah menjadi fonem /ə/, misalnya kata /rasa/ menjadi /rasə/. Hal itu berbeda dengan yang terdapat pada bahasa Indonesia, antara fonem /a/ dan /ə/ didistribusikan pada kata yang berbeda.2) Selain fonem vokal /a/, ada juga fonem-fonem konsonan yang tidak terdapat pada posisi akhir pada bahasa Bali, yaitu fonem /w/, /y/, /j/, /c/, dan /ń/. Fonem-fonem tersebut memiliki dengan kesamaan yang ada pada bahasa Indonesia. Maksudnya, bahasa Indonesia juga tidak memiliki kelima fonem tersebut pada posisi akhir kata.3) Ada beberapa kata pada bahasa Bali yang susunan fonemnya terbalik dengan bahasa Indonesia, seperti kata /bacut/ pada bahasa Bali, /cabut/ pada bahasa Indonesia, dan /usap/ pada bahasa Bali, sedangkan bahasa Indonesia adalah /sapu/.4) Bahasa Bali tidak memiliki fonem glotal /?/. Biasanya kata-kata yang dibaca glotal pada bahasa Indonesia dibaca /k/ atau fonemnya dihilangkan pada bahasa Bali, misalnya kata /pəkak/ pada bahasa Indonesia dibaca /pəka?/, tetapi pada bahasa Bali dibaca /pəkak/. Contoh lain, kata /kakək/ pada bahasa Indonesia dibaca /kakə?/, sedangkan pada bahasa Bali fonem /k/ hilang atau luluh, dan dibaca /kakə/.5) Fonem /h/ pada posisi tengah jarang terdapat pada bahasa Bali. Biasanya kata-kata yang menggunakan fonem /h/ pada bahasa Indonesia, luluh pada bahasa Bali. Contoh: /jahit/ menjadi /jait/, dan /mahal/ menjadi /maəl/.6) Fonem yang banyak terdapat pada gugus konsonan bahasa Bali adalah /l/ dan /r/. Kedua konsonan tersebut terdapat pada semua bentuk gugus konsonan bahasa Bali (lihal data gugus konsonan di atas). Hal tersebut berbeda dengan bahasa Indonesia yang gugus konsonannya tidak hanya terdapat secara umum pada fonem /l/ dan /r/, tetapi terdapat fonem /h/ paduannya seperti /kh/ pada kata /khusus/ dan /sh/ pada kata /shalat/ . Variasi-variasia. Variasi AlternasiDalam fonem-fonem bentuk bahasa yang belum banyak dipengaruhi oleh bahasa lain, seperti telah diuraikan di atas ternyata tidak kita jumpai adanya fonem /f/, tetapi bila kita dengarkan percakapan para pelajar, mereka sudah biasa mengucapkan fonem /f/ sehingga mempengaruhi pemutaran bentuk bahasa. Oleh karena itu, kadang-kadang terjadilah variasi alternasi dalam kata-kata seperti :/pelәm/ ‘film’/felәm/ ‘film’
b. Variasi AlofonisDari kesatuan bentuk linguistik : /celeŋ/ ‘babi’ /bebek/ ‘itik’ /dende/ ‘dendeng’Bila terjadi proses morfologis denan sufiks -ne, -e, akan terjadi harmonisasi. /celeŋe/ ‘babi’ /bebeke/ ‘itik’ /dendeŋe/ ‘dendeng’ Sekaligus dalam dua kata terakhir itu terjadi netralisasi, yaitu netralnya atau batalnya perbedaan fonem /ә/ dan /a/ pada distribusi akhir bila kata yang bersangkutan mendapat sufiks -ne. Gejala netralisasi dalam bentuk bahasa semacam itu berlaku bagi semua kata yang berakhir dengan fonem /ә/, yang mengalami proses morfologi dengan sufiks -ne. Pada gejala harmonisasi seperti dalam kata-kata itu pun ternyata terjadi variasi alofonis ; pada kata dasar, misalnya /cELE/ → /celeŋe/ /bEbEk/ → /bebeke/ Perhatikan pula gejala harmonisasi dan variasi alofonis dalam kata-kata berikut./bel/ → /bElAnIn/ ‘dibela’/sel/ → /sElAne/ ‘ketela’/lEak/ (leake), ‘leak’; ‘hantu’ (leakIn) ‘dihantui’ (leakaŋ) ‘jadikan leak’
Dari data di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.1. Bunyi /E/ pada distribusi tengah, baik yang terbuka maupun yang tertutup, bila kata yang bersangkutan mendapat sufiks -e, -ne, -e, dan -in, akan terjadi variasi alofonis, yaitu menjadi /e/.2. Bahwa bunyi /e/ pada suku terbuka mengalami variasi alofonis menjadi /E/ bila kata bersangkutan mendapat sufiks -ne dan –in.
Struktur Pembagian susunan vokal bahasa Bali didasarkan pada :1. Naik turunnya lidahvokal atas : i, uvokal tengah : e, ә, ovokal bawah : a
2. Maju mundurnya lidahvokal depan : i, e, avokal tengah : ∂vokal belakang : u dan o
3. Memundar tidaknya bibirvokal bundar : u, ovokal tak bundar : i, e, aUntuk jelasnya, susunan vokal itu tampak pada bagan sebagai berikut.
depan tengah belakangi u atas
e o tengah a ә bawah
tak bundar bundar
Susunan Konsonan Bahasa Bali Susunan konsonan bahasa Bali didasarkan pada :1. daerah artikulasi2. daerah halangan3. bergetar tidaknya selaput suara
Penggolongan Konsonan Seperti halnya penggolongan vokal, konsonan pun digolongkan berdasarkan pembentukan bunyi ucapannya. Oleh karena itu, konsonan dapat dibagi atas dua macam :1. Konsonan yang dibentuk berdasarkan pengucapan yang mengalami hambatan sepenuhnya;2. Konsonan yang dibentuk berdasarkan pengucapan yang mengalami hambatan tidak penuh, yang dapat diperinci lagi sebagai berikut.a. Konsonan geseran (spirant). Konsonan ini dibentuk dengan pengucapan yang menimbulkan geseran udara dengan daerah artikulasi;b. Konsonan nasal, yaitu konsonan yang dibentuk dengan pengucapan akibat udara yang keluar sebagian melalui rongga hidung dan sebagian melalui rongga mulut; danc. Konsonan likuida yang dapat diperhalus menjadi:1. lateral; pembentukannya adalah penghalang lidah dengan ujung lidah menyentuh belakang gigi. Oleh karena itu, udara keluar melalui celah-celah kiri kanan lidah.2. getar; cara pembentukannya sama dengan lateral, cuma selebihnya terjadi karena getaran yang berulang kali.Untuk memperhalus pembagian lima di atas dapat pula dengan membagi berdasarkan daerah artikulasi.Dengan penggabungan dasar-dasar pembagian seperti dikendalikan di atas dapatlah dibuat dengan konsonan dengan tanda-tanda fonetiknya, yang disesuaikan dengan kebutuhan penandaan fonetik bentuk bunyi-bunyi bahasa Bali.
Labial Dental Palatal Velar Glotaltak bersuaraHambatbersuara p
b t
d c
j k
g tak bersuaraGeserbersuara
w s
y hNasal m n Lateral l Getar r
Gugus KonsonanPola Fonemis Struktur Morfem (Pola Penyuskua)V : a-da, a-nak, i-tu : ‘ada, anak, hitung’KV : te-ka, ma-i, ka-yah : ‘datang, kemari, mandi’VK : ba-ong, tu-ak, ba-ak : ‘leher, nira, rampok’KVK : ba-wak, ju-mah, ta-wah : ‘pendek, di rumah, aneh’KKV : se-tra, ma-tra, srat-sret : ‘kuburan, sedikit, bunyi yang diseret’KKVK : ke-plug, tam-pak : ‘tumbuk (tertumbuk), tamper/pukul’Fonem Suprasegmental Sampai saat ini belum ditemukan adanya fonem suprasegmental dalam bahasa Bali. Dalam bahasa Bali dialek Nusa Penida ada kata : /mani/ ‘besok’ /mani:/ ‘kapan saja (?)’
Pelambangan Bunyi dan Ejaan Pelambangan bunyi bahasa adalah sebagai berikut:a. Bunyi fonem vokal/i/ = Pelambangan bunyi vokal dalam BB ini selalu me- /e/ = rupakan pasangan dengan aksaran BB pada sub b /a/ = (fonem konsonan) di bawah /ə/ = /u/ = /o/ =b. Fonem KonsonanSebenarnya pelambangan fonem konsonan secara berdiri sendiri tidak ada dalam bahasa Bali sebab pelambanganya bersifat system suku kata (syllabic-system).Dalam bahasa Bali pelambangannya sebagai berikut: = ha = ka = na = ga = ca = ta = ra = pa = nga = pa = ba = da = sa = ya = wa = nya = la c. Ejaan yang berlaku dalam bahasa BaliEjaan yang berlaku dalam bahasa Bali ada dua jenis.1. Ejaan Bahsa Aksara Balia. Ejaan bahasa Bali aksara Bali ini berdasarkan hasil Pesamuhan Agung tahun 1957. dari hasil Pemasuhan Agung tersebut disusunlah ejaan bentuk bahasa dengan huruf Latin dan huruf Bali oleh I.G.K.Ranuh dan I.K. Subrata.b. Tahun 1963 diadakan lagi Pesamuhan Agung Kecil. Tujuannya memperbaharui ejaan bahasa Bali dengan huruf Bali dan penegasan-penegasan ejaan bahasa Bali dengan huruf Latin hasil Pesamuhan Agung tahun 1957. Setelah Pesamuhan Agung Kecil disusun “Pasang Sastra Bali Latin” oleh Md. Riken, guru SPGN Denpasar dalam bentuk stensilan.2. Ejaan Bahasa Bali dalam Huruf LatinPerkembangannya hampi mirip dengan ejaan bahasa Bali huruf Bali seperti telajh diuraikan di atas. Perbedaan Ejaan bahasa Bali dengan huruf Latin berkembang lebih jauh kagi dengan adanya Ejaan Yang Disempurnakan, Ejaan bahasa Bali dengan huruf Latin yang sekarang berlaku bisa dilihat dalam buku Loka Karya Ejaan Bahasa Daerah, di Jakarta 22-23 Maret 1973. Ejaan yang Diusulkan1. Supaya ejaan bahasa Bali dengan huruf Latin betul-betul “fonemis” dan konsisten.2. Ejaan bahasa Bali dengan huruf Balia. agar betul-betul berdasarkan kenyataan pengucapan masyarakat. Jangan sampai ada ‘aksara’ yang dalam kenyataan tidak pernah diucapkan seperti : (bh), (t), (gh), (dh), (th), dan sebagainya.b. Penulisan morfem dalam struktur kalimat supaya memudahkan bagi pembaca, yaitu dibuat sama dengan ejaan bahasa Bali.
morfologi bahasa Bali
MORFOLOGI BAHASA BALII. AFIKSASI Dalam bahasa Bali terdapat empat bentuk afiks. Bentuk-bentuk afiks itu sama dengan bentuk afiks yang dimiliki bahasa Indonesia, yaituBahasa Bali Bahasa IndonesiaPrefiks PrefiksKonfiks KonfiksInfiks InfiksSufiks Sufiks
Keempat afiks bahasa Bali di atas akan dijelaskan lebih lengkap secara satu per satu. Di bawah ini penjelasan keempat afiks tersebut.1. Prefiks (Awalan) Dalam Bahasa Bali memiliki 17 macam prefiks. Ketujuh belas macam prefiks terdiri atas prefiks yang sering digunakan (produktif), prefiks yang kurang produktif, dan prefiks yang jarang digunakan.1) Prefiks yang sering digunakan (produktif)Jenis Prefiks Kata Dasar Kata Dasar + Prefiks Artia- katihsibakbungkul akatihasibakabungkul selembarsebagiansebuahka- tunjeltugelsibak katunjelkatugelkasibak dibakardipotongdibelahsa- umahdadosdurung saumahsadadossadurung serumahsebisanyasebelumpa- nampelwarahngawi penampelpewarahpengawi alat untuk menutuppengumumanpengarangma- jalankeberkatakon majalanmakebermakatakon Berjalanterbangbertanyapi- oraholastresna piorahpiolaspitresna pemberitahuanpertolonganbantuanm- bacabucubangun macamucumengunang membacamemojokkanmembangunn- tunu nunu Membakarň (ny) sampatsatesabit nyampatnyatenyabit menyapumembuat satemembelah kecil-kecilŋ (ng) karanggulgulabutigeluyakendepengsaporah Ngarangngulgulngabutngigelnguyakngendepangngengsapangngorahang mengarangmengguruimencabulmenarimenginjak/menggumulimerendahkanmelupakanmemberitahu
2) Prefiks yang kurang produktifJenis Prefiks Kata Dasar Kata Dasar + Prefiks Artipra- mangkinkanggo pramangkinprakanggo seketikapemuka masyarakatpara- sametonpamiarsa para sametonpara pamiarsa para keluargapara pendengarpari- polahwangde pari polahpari wangde kelakuandiundurkanmaka- jalarandasar maka jalaranmaka dasar yang menyebabkanyang menjadi dasarpati- kaplugdetik patikaplugpatidelik saling seruduksaling mendelikkuma- lipanlindung kumalipankumalindung seperti lipanseperti belutupa- carajiwa upacaraupajiwa upacaramata pencaharian
3) Prefiks yang jarang digunakanJenis Prefiks Kata Dasar Kata Dasar + Prefiks Artinir-/nis- kaladon niskalanirdon tidak nyatatidak bergunasu- sila Susila kelakuan baikswa- dayakarya swadayaswakarya swadayabekerja sendiri
2. Konfiks Bahasa Bali hanya memiliki 3 macam konfiks dan sangat kurang produktif digunakan. Konfiks-konfiks itu adalah:Jenis Konfiks Kata Dasar Kata Dasar + Konfiks Artipa--an genahtadtad pagenahanpanadtadan rumahalat menjinjingma--an Gregotcangkrim magregotanmacangkriman saratbernyanyi cangkrimma--an ririh maririhan memperdayakan
3. Infiks Dalam bahasa Bali, infiks itu tidak produktif. Hal itu sama dengan bahasa Indonesia yang hanya beberapa kata mengalami proses infiks ini. Jumlah infiks dalam bahasa Bali hanya dua, yaitu:Jenis Infiks Kata Dasar Kata Dasar + Infiks Arti-um- guyusanggup gumuyusumanggup besenda guraumenyanggupi-in- sambung sinambung bersambung 4. Sufiks Berbeda dengan bahasa Indonesia, bahasa Bali memiliki jumlah sufiks yang lebih banyak. Bahasa Indonesia hanya memiliki 3 sufiks asli, sedangkan bahasa Bali memiliki empat sufiks, yaitu:Jenis Sufiks Kata Dasar Kata Dasar + Sufiks Arti-an gedecerik gedeancerikan lebih besarlebih kecil-a jemaktugel jemakatugela diambildipotong-in cerikgede cerikingedein kecilkanbesarkan-ang jemaktugel jemakangtugelang ambilkanpotongkan
A. Proses Morfofonemik dalam Bahasa Bali Proses morfologi pada bahasa Bali yang dijelaskan adalah mengenai prefiksasi. Proses tersebut menyangkut pada prefiks (N) yang terdiri atas empat macam:m- : maca ngamacaang ‘membacakan’ mucu ngamucuang ‘memojokkan’n- : nunu nganunuang ‘membakarkan’ nugel nganugelang ‘memotongkan’ny : nyate nganyateang ‘membuatkan sate’ nyagur nganyagurang ‘memukulkan’ ng : dalam hubungan anggota prefiks (N-) ini (ng) tidak mengalami proses morfofonemik
B. Distribusi Tiap Imbuhan1) Prefiks a- dipergunakan hanya pada kata bantu bilangan sibak asibak ‘sebelah’ bungkul abungkul ‘sebuah’ ka- dipergunakan pada kata kerja (memiliki arti di- pada bahasa Indonesia) tugel katugel ‘dipotong’ sibak kasibak ‘di sebelah’ sa- dipergunakan pada kata benda umah saumah ‘serumah’ dados sadados ‘sebisa’ pa- dipergunakan pada kata benda kawi pangawi ‘pengarang’ warah pawarah ‘pengumuman’ ma- dipergunakan pada kata benda takon matakon ‘pertanyaan’ dipergunakan pada kata kerja jalan majalan ‘berjalan’ dipergunakan pada kata sifat barak mabarakan ‘diberi merah’ dipergunakan pada kata keadaan gantung magantung ‘digantung’ pi- dipergunakan pada kata keadaan tuduh pituduh ‘kehendak (Tuhan) m- dipergunakan pada kata kerja baca maca ‘membaca’ n- dipergunakan pada kata kerja tunu nunu ‘membakar’ ny- dipergunakan pada kata kerja sebit nyebit ‘membelah’ ng- dipergunakan pada kata kerja yasa ngayasaang ‘mendo’akan’ dipergunakan pada kata keadaan lacur ngalacurang ‘bertambah miskin’
2) Konfiks pa--an dipergunakan pada kata benda genah pagenahan ‘rumah’ ma--an dipergunakan pada sifat gregot magregotan ‘sarat sekali’ ma--in dipergunakan pada kata kerja ririh maririhin ‘memperdayakan’
3) Sufiks -an dipergunakan pada kata sifat gede gedean ‘lebih besar’ dipergunakan pada kata benda batu batuan ‘berisi batu’ -a dipergunakan pada kata kerja jemak jemaka ‘diambil’ -in dipergunakan pada kata kerja jagur jagurin ‘dipukuli’ dipergunakan pada kata benda batu batuin ‘diisi batu’ dipergunakan pada kata sifat putih putihin ‘diberi putih’ -ang dipergunakan pada kata kerja bejek bejekang ‘diaduk’ dipergunakan pada kata sifat barak barakang ‘merahkan’ dipergunakan pada kata bilangan kutus kutusang ‘bagi’ -e dipergunakan pada kata kerja tusuk tusuke ‘ditusuk’ dipergunakan pada kata benda tembok temboke ‘tembok’
C. Fungsi Tiap Imbuhana. Prefiks1. a- bentuk kata benda dari kata kerja :tugel → atugel ‘sepotong’2. ka- membentuk kata kerja pasif dari kata kerja intransitif :tunjel → katunjel ‘dibakar’3. sa- membentuk kata keadaan dari kata benda :umah → saumah ‘serumah’4. ma- membentuk kata kerja intransitif dari kata benda :jalan → majalan ‘berjalan’5. pa- membentuk kata benda dari kata kerja intransitif :tempel → panampel ‘penutup’6. pi- membentuk kata keadaan dari kata keadaan :olas → piolas ‘pertolongan’7. N-m- membentuk kata kerja transitif : patok → matok ‘mematok’n- membentuk kata kerja transitif : tunu → nunu ‘membakar’ membentuk kata kerja transitif dari kata benda : dacin → nacin ‘menimbang’ny- membentuk kata kerja transitif : jagur → nyagur ‘memukul’ membentuk kata kerja transitif dari kata benda : sampat → nyampat ‘menyapu’ng- membentuk kata kerja transitif : karang → ngarang ‘mengarang’ membentuk kata kerja transitif dari kata benda (abstrak) : leyak → ngaleyak ‘menghantui’8. nga- membentuk kata kerja transitif dari kata keadaan :lacur → ngalacurang ‘bertambah miskin’membentuk kata kerja transitif dari kata kerja intransitif :ruruh → ngaruruh ‘mencari’membentuk kata kerja transitif dari kata benda (abstrak) :leyak → ngaleyakin ‘menghantui’
b. Konfiks1. pa-an membentuk kata benda dari kata kerja intransitif :tadtad → patadtadan ‘alat untuk (barang) yang dijinjing’2. ma-an membentuk kata kerja intransitif dari kata benda :cangkrim → macangkriman ‘memperdayakan’3. ma-in membentuk kata kerja intransitif dari kata keadaan :ririh → maririhin ‘memperdayakan’
c. Sufiks1. –an membentuk kata keadaan dari kata sifat : barak → barakan ‘lebih merah’ membentuk kata keadaan dari kata benda : bias → biasan ‘berisi pasir’ tetap membentuk kata keadaan : cerik → cerikan ‘lebih kecil’2. –a membentuk kata kerja pasif dari kata kerja aktif intransitif : jemak → jemaka ‘diambilnya’3. –in membentuk kata kerja pasif dari kata keadaan: cerik → cerikin ‘kecilkan’ membentuk kata kerja pasif dari kata sifat: barak → barakin ‘isi merah’ membentuk kata bilangan : enem → enemin ‘bagi enam-enam4. –ang membentuk kata kerja transitif dari kata kerja intransitif, membentuk kata kerja transitif dari kata keadaan : gede → gedeang ‘besarkan’ membentuk kata bilangan : kutus → kutusang ‘bagi delapan-delapan’5. –e membentuk kata benda dari kata keadaan : sakit → sakite ‘sakitnya’ membentuk kata benda dari kata benda : tembok → temboke ‘temboknya’ D. Arti Tiap Imbuhana. prefiks1. a- untuk menyatakan bagian atau ukuran : sibak → asibak ‘sebagian’2. ka- dikenai (pasif) : tugel → katugel ‘dipotong’3. sa- untuk menyatakan kesatuan : umah → saumah ‘serumah’4. pa- melakukan suatu pekerjaan seperti dikatakan oleh kata dasar : kawi → pangawi ‘pengawi’5. ma- melakukan pekerjaan seperti dikatakan kata dasar : jalan → majalan ‘berjalan’ menyatakan keadaan : berarakan → mabrakan ‘berhamburan’6. pi- berarti variasi : olas → piolas ‘pertolongan’7. N- dengan angota-anggotanya :m- melakukan pekerjaan seperti dikatakan kata dasar : baca → maca ‘membaca’n- melakukan pekerjan seperti dikatakan kata dasar : jagur → nyagur ‘memukul’ng- superlatif : lacur → nglacurang ‘bertambah miskin’ melakukan pekerjaan seperti yang dikatakan kata dasar : ruruh → ngruruh ‘mencari’8. nga- melakukan pekerjaan seperti dikatakan kata dasar : leyak → ngaleyak ‘menghantui’
b. konfiks1. –an perbandingan (superlatif) : gede → gedean ‘lebih besar’ menyatakan keadaan : batu → batuan ‘berbatu-batu’2. –a menyatakan : jemak → jemaka ‘diambil’3.-in menyatakan pasif : jagur → jagurin ‘dipukuli’ menyatakan membuat lebih : cerik → cerikin ‘dibuat lebih kecil’4. –ang menyatakan pekerjaaan seperti tersebut oleh kata dasar : bejek → bejekang ‘memeraskan’ membuat atau menjadikan lebih : barak → barakang ‘membuat lebih merah’5. –e menegaskan : tembok → temboke ‘tembok (itu)’
Sufiks –e ini mempunyai alomorf –ne, pada suku akhir yang terbka. Contoh : bapa+ne → bapane ‘ayah (itu)’
II REDUPLIKASI1. Tipe-tipe Reduplikasia. Reduplikasi utuh, misalnya, adeng-adeng ‘pelan-pelan’, ‘enggal-enggal’, ‘cepat-cepat’.b. Reduplikasi utuh dengan variasi vokal, misalnya, kilakilang-kileng ’menoleh perlahan-lahan ke sana ke mari’, kitak-kituk ‘menggeleng-geleng’c. Reduplikasi partial, misalnya : pada awal : tetajen ‘sabungan ayam’; sasantun ’sari’ dari sesajen.pada akhir : pakecos-cos ‘berlompatan’; pakenyit-nyit ‘berkelap-kelip’
2. Kombinasi Reduplikasi dengan Afiksa. Dengan prefiks, misalnya, sadados-dadosne ‘sejadi-jadinya’ paider-ider ‘batas yang mengelilingi’b. Dengan konfiks, misalnya, macecangkriman ‘bernyanyi lagu cangkrim’ (‘bayi’)c. Dengan sufiks, misalnya : gede-gedean ‘besar-besaran’jemak-jemaka ‘diambil berulang kali’
3. Kompositum1. Kompositum utuhKompositum utuh terdiri dari :a. Yang berkedudukan sejajar, tidak bias ditukar-tukarkan, misalnya : meme-bapa ‘ibu-bapa’nyama--braya ‘keluarga’b. Yang kedua menjelaskan yang pertama, misalnya : jebug arun ‘sejenis buah’galang kangin ‘dini hari’2. Kompositum lainKompositum lainnya dalam Bahasa Bali belum kami temukan atau untuk sementara dapat kami katakan bahwa kompositum Bahasa Bali yang mengalami perubahan fonologis, baik penyingkatan salah satu komponennya maupun perubahan fonem salah satu komponennya belum kami temukan (tidak ada).
KesimpulanPrefiks dalam morfologi bahasa Bali berfungsi membentuk kata kerja, kata benda, dan kata keadaan.Prefiks dalam morfologi Bahasa Indonesia berfungsi membentuk verba, adjektiva, nomina, dan numeralia. Prefiks Bahasa Indonesia Prefiks Bahasa Balime- (verba, adjektiva) a-ber- (verba, numeralia) ka-per- (verba) sa-ter- (verba, adjektiva) ma-ke- (verba, nomina, numeralia) pa-pe- (nomina) pi-se- (adjektiva, nomina) N- (m-, n-, ny-, ng-)pemer- (nomina) nga-
Konfiks dalam morfologi Bahasa Bali berfungsi membentuk kata benda dan kata kerja.Konfiks dalam morfologi Bahasa Indonesia berfungsi membentuk verba, adjektiva, nomina, adverbiaKonfiks Bahasa Indonesia Konfiks Bahasa Balimeng-i (verba, adjektiva) pa--andi-i (verba) ma--anme-kan (verba) ma--inmem-per (verba) ke-an (adjektiva, nomina) pe-an (nomina) ke-ter-an (nomina) perse-an (nomina) se-nya (adverbia) se-reduplikasi-nya (adverbia)
Keempat afiks bahasa Bali di atas akan dijelaskan lebih lengkap secara satu per satu. Di bawah ini penjelasan keempat afiks tersebut.1. Prefiks (Awalan) Dalam Bahasa Bali memiliki 17 macam prefiks. Ketujuh belas macam prefiks terdiri atas prefiks yang sering digunakan (produktif), prefiks yang kurang produktif, dan prefiks yang jarang digunakan.1) Prefiks yang sering digunakan (produktif)Jenis Prefiks Kata Dasar Kata Dasar + Prefiks Artia- katihsibakbungkul akatihasibakabungkul selembarsebagiansebuahka- tunjeltugelsibak katunjelkatugelkasibak dibakardipotongdibelahsa- umahdadosdurung saumahsadadossadurung serumahsebisanyasebelumpa- nampelwarahngawi penampelpewarahpengawi alat untuk menutuppengumumanpengarangma- jalankeberkatakon majalanmakebermakatakon Berjalanterbangbertanyapi- oraholastresna piorahpiolaspitresna pemberitahuanpertolonganbantuanm- bacabucubangun macamucumengunang membacamemojokkanmembangunn- tunu nunu Membakarň (ny) sampatsatesabit nyampatnyatenyabit menyapumembuat satemembelah kecil-kecilŋ (ng) karanggulgulabutigeluyakendepengsaporah Ngarangngulgulngabutngigelnguyakngendepangngengsapangngorahang mengarangmengguruimencabulmenarimenginjak/menggumulimerendahkanmelupakanmemberitahu
2) Prefiks yang kurang produktifJenis Prefiks Kata Dasar Kata Dasar + Prefiks Artipra- mangkinkanggo pramangkinprakanggo seketikapemuka masyarakatpara- sametonpamiarsa para sametonpara pamiarsa para keluargapara pendengarpari- polahwangde pari polahpari wangde kelakuandiundurkanmaka- jalarandasar maka jalaranmaka dasar yang menyebabkanyang menjadi dasarpati- kaplugdetik patikaplugpatidelik saling seruduksaling mendelikkuma- lipanlindung kumalipankumalindung seperti lipanseperti belutupa- carajiwa upacaraupajiwa upacaramata pencaharian
3) Prefiks yang jarang digunakanJenis Prefiks Kata Dasar Kata Dasar + Prefiks Artinir-/nis- kaladon niskalanirdon tidak nyatatidak bergunasu- sila Susila kelakuan baikswa- dayakarya swadayaswakarya swadayabekerja sendiri
2. Konfiks Bahasa Bali hanya memiliki 3 macam konfiks dan sangat kurang produktif digunakan. Konfiks-konfiks itu adalah:Jenis Konfiks Kata Dasar Kata Dasar + Konfiks Artipa--an genahtadtad pagenahanpanadtadan rumahalat menjinjingma--an Gregotcangkrim magregotanmacangkriman saratbernyanyi cangkrimma--an ririh maririhan memperdayakan
3. Infiks Dalam bahasa Bali, infiks itu tidak produktif. Hal itu sama dengan bahasa Indonesia yang hanya beberapa kata mengalami proses infiks ini. Jumlah infiks dalam bahasa Bali hanya dua, yaitu:Jenis Infiks Kata Dasar Kata Dasar + Infiks Arti-um- guyusanggup gumuyusumanggup besenda guraumenyanggupi-in- sambung sinambung bersambung 4. Sufiks Berbeda dengan bahasa Indonesia, bahasa Bali memiliki jumlah sufiks yang lebih banyak. Bahasa Indonesia hanya memiliki 3 sufiks asli, sedangkan bahasa Bali memiliki empat sufiks, yaitu:Jenis Sufiks Kata Dasar Kata Dasar + Sufiks Arti-an gedecerik gedeancerikan lebih besarlebih kecil-a jemaktugel jemakatugela diambildipotong-in cerikgede cerikingedein kecilkanbesarkan-ang jemaktugel jemakangtugelang ambilkanpotongkan
A. Proses Morfofonemik dalam Bahasa Bali Proses morfologi pada bahasa Bali yang dijelaskan adalah mengenai prefiksasi. Proses tersebut menyangkut pada prefiks (N) yang terdiri atas empat macam:m- : maca ngamacaang ‘membacakan’ mucu ngamucuang ‘memojokkan’n- : nunu nganunuang ‘membakarkan’ nugel nganugelang ‘memotongkan’ny : nyate nganyateang ‘membuatkan sate’ nyagur nganyagurang ‘memukulkan’ ng : dalam hubungan anggota prefiks (N-) ini (ng) tidak mengalami proses morfofonemik
B. Distribusi Tiap Imbuhan1) Prefiks a- dipergunakan hanya pada kata bantu bilangan sibak asibak ‘sebelah’ bungkul abungkul ‘sebuah’ ka- dipergunakan pada kata kerja (memiliki arti di- pada bahasa Indonesia) tugel katugel ‘dipotong’ sibak kasibak ‘di sebelah’ sa- dipergunakan pada kata benda umah saumah ‘serumah’ dados sadados ‘sebisa’ pa- dipergunakan pada kata benda kawi pangawi ‘pengarang’ warah pawarah ‘pengumuman’ ma- dipergunakan pada kata benda takon matakon ‘pertanyaan’ dipergunakan pada kata kerja jalan majalan ‘berjalan’ dipergunakan pada kata sifat barak mabarakan ‘diberi merah’ dipergunakan pada kata keadaan gantung magantung ‘digantung’ pi- dipergunakan pada kata keadaan tuduh pituduh ‘kehendak (Tuhan) m- dipergunakan pada kata kerja baca maca ‘membaca’ n- dipergunakan pada kata kerja tunu nunu ‘membakar’ ny- dipergunakan pada kata kerja sebit nyebit ‘membelah’ ng- dipergunakan pada kata kerja yasa ngayasaang ‘mendo’akan’ dipergunakan pada kata keadaan lacur ngalacurang ‘bertambah miskin’
2) Konfiks pa--an dipergunakan pada kata benda genah pagenahan ‘rumah’ ma--an dipergunakan pada sifat gregot magregotan ‘sarat sekali’ ma--in dipergunakan pada kata kerja ririh maririhin ‘memperdayakan’
3) Sufiks -an dipergunakan pada kata sifat gede gedean ‘lebih besar’ dipergunakan pada kata benda batu batuan ‘berisi batu’ -a dipergunakan pada kata kerja jemak jemaka ‘diambil’ -in dipergunakan pada kata kerja jagur jagurin ‘dipukuli’ dipergunakan pada kata benda batu batuin ‘diisi batu’ dipergunakan pada kata sifat putih putihin ‘diberi putih’ -ang dipergunakan pada kata kerja bejek bejekang ‘diaduk’ dipergunakan pada kata sifat barak barakang ‘merahkan’ dipergunakan pada kata bilangan kutus kutusang ‘bagi’ -e dipergunakan pada kata kerja tusuk tusuke ‘ditusuk’ dipergunakan pada kata benda tembok temboke ‘tembok’
C. Fungsi Tiap Imbuhana. Prefiks1. a- bentuk kata benda dari kata kerja :tugel → atugel ‘sepotong’2. ka- membentuk kata kerja pasif dari kata kerja intransitif :tunjel → katunjel ‘dibakar’3. sa- membentuk kata keadaan dari kata benda :umah → saumah ‘serumah’4. ma- membentuk kata kerja intransitif dari kata benda :jalan → majalan ‘berjalan’5. pa- membentuk kata benda dari kata kerja intransitif :tempel → panampel ‘penutup’6. pi- membentuk kata keadaan dari kata keadaan :olas → piolas ‘pertolongan’7. N-m- membentuk kata kerja transitif : patok → matok ‘mematok’n- membentuk kata kerja transitif : tunu → nunu ‘membakar’ membentuk kata kerja transitif dari kata benda : dacin → nacin ‘menimbang’ny- membentuk kata kerja transitif : jagur → nyagur ‘memukul’ membentuk kata kerja transitif dari kata benda : sampat → nyampat ‘menyapu’ng- membentuk kata kerja transitif : karang → ngarang ‘mengarang’ membentuk kata kerja transitif dari kata benda (abstrak) : leyak → ngaleyak ‘menghantui’8. nga- membentuk kata kerja transitif dari kata keadaan :lacur → ngalacurang ‘bertambah miskin’membentuk kata kerja transitif dari kata kerja intransitif :ruruh → ngaruruh ‘mencari’membentuk kata kerja transitif dari kata benda (abstrak) :leyak → ngaleyakin ‘menghantui’
b. Konfiks1. pa-an membentuk kata benda dari kata kerja intransitif :tadtad → patadtadan ‘alat untuk (barang) yang dijinjing’2. ma-an membentuk kata kerja intransitif dari kata benda :cangkrim → macangkriman ‘memperdayakan’3. ma-in membentuk kata kerja intransitif dari kata keadaan :ririh → maririhin ‘memperdayakan’
c. Sufiks1. –an membentuk kata keadaan dari kata sifat : barak → barakan ‘lebih merah’ membentuk kata keadaan dari kata benda : bias → biasan ‘berisi pasir’ tetap membentuk kata keadaan : cerik → cerikan ‘lebih kecil’2. –a membentuk kata kerja pasif dari kata kerja aktif intransitif : jemak → jemaka ‘diambilnya’3. –in membentuk kata kerja pasif dari kata keadaan: cerik → cerikin ‘kecilkan’ membentuk kata kerja pasif dari kata sifat: barak → barakin ‘isi merah’ membentuk kata bilangan : enem → enemin ‘bagi enam-enam4. –ang membentuk kata kerja transitif dari kata kerja intransitif, membentuk kata kerja transitif dari kata keadaan : gede → gedeang ‘besarkan’ membentuk kata bilangan : kutus → kutusang ‘bagi delapan-delapan’5. –e membentuk kata benda dari kata keadaan : sakit → sakite ‘sakitnya’ membentuk kata benda dari kata benda : tembok → temboke ‘temboknya’ D. Arti Tiap Imbuhana. prefiks1. a- untuk menyatakan bagian atau ukuran : sibak → asibak ‘sebagian’2. ka- dikenai (pasif) : tugel → katugel ‘dipotong’3. sa- untuk menyatakan kesatuan : umah → saumah ‘serumah’4. pa- melakukan suatu pekerjaan seperti dikatakan oleh kata dasar : kawi → pangawi ‘pengawi’5. ma- melakukan pekerjaan seperti dikatakan kata dasar : jalan → majalan ‘berjalan’ menyatakan keadaan : berarakan → mabrakan ‘berhamburan’6. pi- berarti variasi : olas → piolas ‘pertolongan’7. N- dengan angota-anggotanya :m- melakukan pekerjaan seperti dikatakan kata dasar : baca → maca ‘membaca’n- melakukan pekerjan seperti dikatakan kata dasar : jagur → nyagur ‘memukul’ng- superlatif : lacur → nglacurang ‘bertambah miskin’ melakukan pekerjaan seperti yang dikatakan kata dasar : ruruh → ngruruh ‘mencari’8. nga- melakukan pekerjaan seperti dikatakan kata dasar : leyak → ngaleyak ‘menghantui’
b. konfiks1. –an perbandingan (superlatif) : gede → gedean ‘lebih besar’ menyatakan keadaan : batu → batuan ‘berbatu-batu’2. –a menyatakan : jemak → jemaka ‘diambil’3.-in menyatakan pasif : jagur → jagurin ‘dipukuli’ menyatakan membuat lebih : cerik → cerikin ‘dibuat lebih kecil’4. –ang menyatakan pekerjaaan seperti tersebut oleh kata dasar : bejek → bejekang ‘memeraskan’ membuat atau menjadikan lebih : barak → barakang ‘membuat lebih merah’5. –e menegaskan : tembok → temboke ‘tembok (itu)’
Sufiks –e ini mempunyai alomorf –ne, pada suku akhir yang terbka. Contoh : bapa+ne → bapane ‘ayah (itu)’
II REDUPLIKASI1. Tipe-tipe Reduplikasia. Reduplikasi utuh, misalnya, adeng-adeng ‘pelan-pelan’, ‘enggal-enggal’, ‘cepat-cepat’.b. Reduplikasi utuh dengan variasi vokal, misalnya, kilakilang-kileng ’menoleh perlahan-lahan ke sana ke mari’, kitak-kituk ‘menggeleng-geleng’c. Reduplikasi partial, misalnya : pada awal : tetajen ‘sabungan ayam’; sasantun ’sari’ dari sesajen.pada akhir : pakecos-cos ‘berlompatan’; pakenyit-nyit ‘berkelap-kelip’
2. Kombinasi Reduplikasi dengan Afiksa. Dengan prefiks, misalnya, sadados-dadosne ‘sejadi-jadinya’ paider-ider ‘batas yang mengelilingi’b. Dengan konfiks, misalnya, macecangkriman ‘bernyanyi lagu cangkrim’ (‘bayi’)c. Dengan sufiks, misalnya : gede-gedean ‘besar-besaran’jemak-jemaka ‘diambil berulang kali’
3. Kompositum1. Kompositum utuhKompositum utuh terdiri dari :a. Yang berkedudukan sejajar, tidak bias ditukar-tukarkan, misalnya : meme-bapa ‘ibu-bapa’nyama--braya ‘keluarga’b. Yang kedua menjelaskan yang pertama, misalnya : jebug arun ‘sejenis buah’galang kangin ‘dini hari’2. Kompositum lainKompositum lainnya dalam Bahasa Bali belum kami temukan atau untuk sementara dapat kami katakan bahwa kompositum Bahasa Bali yang mengalami perubahan fonologis, baik penyingkatan salah satu komponennya maupun perubahan fonem salah satu komponennya belum kami temukan (tidak ada).
KesimpulanPrefiks dalam morfologi bahasa Bali berfungsi membentuk kata kerja, kata benda, dan kata keadaan.Prefiks dalam morfologi Bahasa Indonesia berfungsi membentuk verba, adjektiva, nomina, dan numeralia. Prefiks Bahasa Indonesia Prefiks Bahasa Balime- (verba, adjektiva) a-ber- (verba, numeralia) ka-per- (verba) sa-ter- (verba, adjektiva) ma-ke- (verba, nomina, numeralia) pa-pe- (nomina) pi-se- (adjektiva, nomina) N- (m-, n-, ny-, ng-)pemer- (nomina) nga-
Konfiks dalam morfologi Bahasa Bali berfungsi membentuk kata benda dan kata kerja.Konfiks dalam morfologi Bahasa Indonesia berfungsi membentuk verba, adjektiva, nomina, adverbiaKonfiks Bahasa Indonesia Konfiks Bahasa Balimeng-i (verba, adjektiva) pa--andi-i (verba) ma--anme-kan (verba) ma--inmem-per (verba) ke-an (adjektiva, nomina) pe-an (nomina) ke-ter-an (nomina) perse-an (nomina) se-nya (adverbia) se-reduplikasi-nya (adverbia)
Senin, 09 November 2009
tugas pk. menulis
SEMIOTIKA ”SILIWANGI” DALAM CERITA WANGSIT UGA SILIWANGI
PADA MASYARAKAT SUNDA
RENDY PRIBADI
Abstrak: tulisan ini membahas Siliwangi sebagai tanda pada masyarakat Sunda. “Siliwangi” yang terkenal dalam masyarakat Sunda akan dikaji melalui pendekatan Semiotika Barthes. Lalu akan dibandingkan kata Siliwangi melalui dua tanda wilayah, yaitu kebanggan dan kekuasaan dalam cerita wangsit Uga Siliwangi. Selain itu, dibahas melalui dua hubungan tanda, yaitu hubungan simbolik dan hubungan paradigmatik, juga eratnya hubungan siliwangi dengan budaya.
Kata Kunci: Semiotika,Siliwangi, Sunda
Pendahuluan
Cerita istilah mengenai (Prabu) Siliwangi telah tercantum dalam naskah kuno sanghyang Siksa Kandang (Danasasmita,dkk,1987:83) dan wangsit Uga Siliwangi. Menurut para pakar sejarah Sunda, nama Siliwangi sebagai tokoh historis tidakk terdapat dalam naskah-naskah historis primer, kecuali pada naskah carita Purwaka Caruban Nagari. (Danasasmita, 2003:65).
Dalam kaat Siliwangi terdapat hubungan dengan Prabu Siliwangi sebagai kebenaran sejarah dan kebenaran legendaris. Artinya aspek sastra berbaur dengan aspek sejarah, sehingga Teeuw menyebutnya sebagai karya sastra sejarah. Ekadjati menyatakan hal yang sama dengan Teeuw. Menurut ekadjati berdasarkan pada bukti-bukti historis yang ada, tokoh (Prabu) Siliwangi bukanlah tokoh historis melainkan tokoh sastra sejarah. Artinya, menurut Ekadjati pula, tokoh itu ada tetapi keberadaannya sudah dibumbui unsur sastra dan legenda (Herlina lubis, 200:81).
Secara etimologis, kaat ‘siliwangi’ diartikan sebagai : 1) tokoh yang hilang jasadnya, yang kemudian muncul atau datang lagi dengan hanya membawa nama atau keharuman namanya yang tersebar kemudian [sili(h)= ganti, yang tergantikan, wangi= wangi,harum], 2) tokoh yang menggantikan tokoh Prabu wangi], dan 3) tokoh yang dua kali diistrenan ‘dilantik, dinobatkan’ dengan dua kali mengganti nama [sili(h wangi= asilih wewangi, asilih = mengganti, wewangi= nama,gelar].
Kata Siliwangi
Konsep Dasar Semiotika Barthes
Istilah ‘semiotik’ berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti ‘tanda’,. Secara sederhana semiotic diartikan sebagai ‘ilmu tanda’ .Tanda diartikan sebagai ‘sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain’. Jadi semiotic adalah ‘ilmu yang mempelajari berbagai sesuatu yang berposisi sebagai wakil dari sesuatu yang lain’. Sesuatu yang mewakili tersebut disebut penanda (tanda), sedangkan yang terpisahkan antara penanda dan petandanya, atau bila digambarkan adalah sebagai berikut.
Tanda= Penanda
Petanda
Semiotik bagi Barthes adalah mempelajari segala sistem tanda, apapun substansi dan batasannya : gerak,bunyi,music, objek dana atau asosiasi kompleks antara semua itu. Bagi Bathes, wilayah kerja semiotic menjadi sangat luas, dan bahasa menjaid salah satu dari padanya selain ada banyak unsure lain yang bisa dipelajari sebagai tanda (other than language) akan tetapi,karena bahasa adalah hal yang sangat penting, maka bagi sistem tanda yang lain, bahasa tidak hanya berposisi sebagai model, tetapi juga sebagai komponen, pemancar, atau bahkan tanda bagi sistem tanda yag lain.
Konsep-konsep semiotic Barthes sebenarnya mengantarkan pembaca untuk menganalisis atau mengkaji. Konsep dasr analisis Barthes adalah tersebar: meluas dan mendalam. Dengan demikian, dibedakan arah analisis semiotika dengan deua cara, yaitu: meluas dan mendalam.
Analisis meluas adalah analisis yang berusaha menemukan pertalian tanda-tanda yang satu dengan yang lainnya dalam kerangka prinsip persamaan dan perbedaan. Analisis ini terarah pada rangkaian tanda yang terdapat pada setiap level sistem (kata-kata, objek,dunia,dll). Hal ini berbeda dengan analisis mendalam. Analisis mendalam adalah analisis yang membuka seluk-beluk dari siste (kata-kata, objek, dunia,dll).
Terdapat empat dasar konsep semiotika Barthes adalah: 1) tanda, 2) tiga macam hubungan tanda (simbolik, paradigmatic, dan sintagmatik). 3) bahasa-wicara dan budaya, dan 4) significations (Sunardi, 2002:46).
Namun dalam tulisan ini hanya hubungan tanda, yaitu simbolik dan sintagmatik dan budaya yang berkaitan dengan masyarakat Sunda dalam Uga wangsit Siliwangi
Tanda
Tanda menurut Saussure yang ditrasnformasi Barthes mempunyai tiga wajah, yaitu sendiri (sign), aspek materialnya (signifier), dan aspek mental /konseptual yang ditunjuk oleh aspek materialnya (signified).
Dalam hal ini, kata Siliangi menjadi tanda karena kata itu memiliki penanda (struktur fisik bahasa: s-i-l-i-w-a-n-g-I dan petandanya adalah ‘tokoh (patriotisme, dan kekuasaan (penguasa wilayah /kerajaan).
Kebanggaan. Siliwangi diidentikkan dengan kekuatan dan kebanggaan diantaranya diambilnya kata Siliwangi untuk menunjukkan hal-hal yang berbau patriotisme. Pada wilayah ini terdapat ungkapan model: ‘Divisi Siliwangi’, ‘tentara Siliwangi’, ‘maung Siliwangi’ (tanda kemiliteran dan sebutan untuk timr sepak bola asal Bandung yaitu ‘maung Bandung’.
Kekuasaan. Pada penjelasan ini yang dimaksud kekuasaan adalah tempat yang setiap orang pasti pernah mengenal atau mengunjunginya. Seperti ‘Bioskop Siliwangi’ (menjadi symbol agar menarik massa),’bumi Siliwangi’ (seluruh wilayah tatar Sunda), ‘Jalan Siliwangi’,patilasan Siliwangi’ (tempat-tempat yang dianggap bersejarah yang berhubungan dengan keberadaan SIliwangi’.
Tiga Macam Hubungan Tanda
Hubungan Simbolik. Hubungan simbolik munculsebagai hubungan antara petanda dan penanda. Hubungan ini merujuk pada kemandirian dari tanda tersebut untuk difungsikan kepada sesuatu hal sehingga menunjukkan status symbol.
Kata ‘Siliwangi’ menjadi symbol dari keluarga yang memiliki keturunan dari Prabu Siliwangi. Simbol yang dipakai untuk pengakuan teureuh menak Sunda. Symbol ini meliputi darah biru, kekayaan , kemewahan, kharismatik, dan kekuasaan.
Karena itulah kepala Lodaya dijadikan symbol militer oleh Divisi Siliwang. Nilai simbolik ini mensugesti divisi ini menjadi satu kekuatan militer yang terbesar di Nusantara. Pembuktiannya ada pada prestasi yang yelah diraihnya, seperti penumpasan dalam menangkap berbagai pemberontakan disejumlah tempat. Penjagaan militer di berbagai belahan dunia (bergabung dengan PBB).
Hubungan Paradigmatik. Hubungan paradigmatik adalah hubungan eksternal suatu tanda dengan benda lain. Tanda lain yang bisa berhubungan secara paradigmatic adalah tanda-tanda satu kelas atau satu system.
Pada katab siliwangi terdapat hubungan antara kerajaan Sunda lengkap dengan raja-rajanya serta system kepemimpinannya dan kekuasaannya dan lain sebagainya.
Budaya. Siliwangi memiliki arti tersendiri bagi orang Sunda. Wilyah tataran yang dikelilingi oleh gunung-gunung dan perbukitan, mengandung budaya yang seperi pada kata Siliwangi itu sendiri. Hal ini lebih kepada sikap serta karakter dari warga Sunda. Seorang warga Sunda harus mempunyai sikap sopan, saling menghormati, tegas, dan jujur pada diri sendiri. Seperti prabu Siliwangi, sehingga mereka akan selalu diingat dan dikenang atas jasa baiknya dalam pengorbanan apapun dan namanya akann selalu “harum” ketika ia pergi.
ANALISIS
Ada dua Siliwangi yang menurut saya dimungkinkan menjadi tokoh dalam peristiwa Nga-Hyang ini dalam Uga Wangsit Siliwangi. Pertama adalah Prabu Nilakendra. Ini dikarenakan Nilakendra adalah raja yang terusir dari istana. Carita Parahyangan menyatakan bahwa Nilakendra mengalami "alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan" (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).
Serta yang kedua adalah Prabu Surya Kancana. Ini disebabkan karena memang beliaulah raja terakhir Pajajaran. Beliaupun diberitakan tidak berada di istana Pakuan. Ia diberitakan bergelar Pucuk Umum Pulasari yang berarti Panembahan Pulasari (lereng Gunung Palasari Pandeglang).
Dari kedua prabu ini saya cenderung beranggapan bahwa yang diceritakan dalam kisah ini ádalah yang terakhir yaitu Surya Kancana. Alasannya bahwa dengan “hilang-nya” beliau menyebabkan beliau tidak pernah ada penggantinya, karena yang menggantikannya pun jadi gamang akibat tidak jelasnya nasib sang Prabu ini.
Sang Prabu Nga-Hyang
Ngahyang secara harfiah berarti “menjadi Hyang”. Hyang sendiri menurut saya adalah yang di-Agung-kan, diberi derajat yang ”tinggi” dalam sisi spiritual. Sehingga Nga-Hyang berarti meng-agung-kan / di-agung-kan, dalam hal ini berati mendekatkan diri kepada yang maha kuasa. Di sisi lain, beberapa ahli mengartikan Nga-Hyang ini sebagai menghilang dengan proses spiritual yang tinggi. Namun dari catatan sejarah berupa prasasti atau piteket atau yang lainnya, tidak ada yang menyatakan ”Nga-Hyang”.
Jika dihubungkan dengan tidak adanya catatan sejarah mengenai peristiwa ”Nga-Hyang” ini, dapat dianggap bahwa “Nga-Hyang” ini hanyalah merupakan sebutan masyarakat umum tehadap kondisi yang terjadi. Namun jika dihubungkan dengan kejadian yang terjadi saat terakhir Prabu Surya Kencana berkuasa, bagi saya memberi sedikit titik terang. Adapun kejadian tersebut adalah sebagai berikut :
Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2, pada 8 Mei 1568, Pajajaran runtuh. Saat itu utusan pajajaran (kandaga lante) menitipkan perhiasan kerajaan ke Raja Sumedang (=Geusan Ulun) serta Prabu Siliwangi memberi amanah terakhir yang dikenal dengan Uga Wangsit Siliwangi. Dalam wangsit tersebut Prabu Siliwangi menyatakan ”Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. ................... ”. Artinya kurang lebih ”Kisah kita (=Pajajaran) hanya sampai disini, meskipun kalian semua setia kepadaku! Tapi saya tidak bisa membawa kalian ikut-ikutan (bermasalah), ikut hidup susah, ikut miskin dan kelaparan. .........” .
Dengan peristiwa tersebut bisa disimpulkan bahwa sejak saat itu Prabu Siliwangi menghilang (=tiada kabar berita). Rakyat saat itu juga menyadari bahwa beliau menghilang, dan untuk menyatakan kondisi tersebut masyarakat banyak menyebutnya dengan ”Nga-Hyang” yang kurang lebih berarti hilang untuk mendekatkan diri kepada yang maha kuasa. Sesuai amanat beliau, beliau telah menjadi rakyat jelata, namun entah dimana. Ada kemungkinan menjadi pertapa (resi) untuk mendekatkan diri pada yang kuasa.
Peristiwa Nga-Hyang ini jika dihubungkan dengan kejadian yang terjadi saat terakhir Prabu Surya Kencana berkuasa, bagi saya memberi sedikit titik terang. Adapun kejadian tersebut adalah sebagai berikut : Sekitar tahun 1567, Prabu Surya Kancana meninggalkan wilayah istana Pakuan. Saat itu Prabu Surya Kancana menitipkan perhiasan kerajaan ke Raja Sumedang (=Geusan Ulun) melalui para Kandaga Lante serta memberi amanah terakhir yang dikenal dengan Uga Wangsit Siliwangi. Dalam wangsit tersebut Prabu Siliwangi menyatakan ”Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. ................... ”. Artinya kurang lebih ”Kisah kita (=Pajajaran) hanya sampai disini, meskipun kalian semua setia kepadaku! Tapi saya tidak bisa membawa kalian ikut-ikutan (bermasalah), ikut hidup susah, ikut miskin dan kelaparan. .........” .
Dengan peristiwa tersebut bisa disimpulkan bahwa sejak saat itu Prabu Siliwangi menghilang (=tiada kabar berita). Rakyat saat itu juga menyadari bahwa beliau menghilang, dan untuk menyatakan kondisi tersebut masyarakat banyak menyebutnya dengan ”Nga-Hyang” yang kurang lebih berarti hilang untuk mendekatkan diri kepada yang maha kuasa. Sesuai amanat beliau, beliau telah menjadi rakyat jelata, namun entah dimana. Ada kemungkinan menjadi pertapa (resi) untuk mendekatkan diri pada yang kuasa. (Sumber lain menyatakan Prabu Surya Kancana tinggal di Pulosari)
Kesimpulan
Siliwangi dikaji menurut kacamata Roland Barthes menghasilkan tafsiran yang sangat menarik. Hal ini menghasilkan suatu simbol dalam masyarakat Sunda yang mempunyai karakter dan budaya yang lekat hubungannya dengan sikap maupun unsur petanda lainnya seperti kekuasaan dan kebanggaan
Dalam cerita Uga Wangsit Siliwangi diceriakan bahwa Prabu Siliwangi hendak pergi untuk mendekatkan diri pada Tuhan untuk memberikan petunjuk kepadanya Jadi dapat disimpulkan bahwa Prabu Siliwangi yang terakhir memang ”Nga-Hyang”. Namun dalam artian beliau mengundurkan diri secara politik dari hiruk pikuk kerajaan (pada saat itu). Sedangkan untuk mitos Prabu Siliwangi menjadi harimau sepertinya hanyalah sebuah mitos hasil rekaan kisah masyarakat dari mulut ke mulut, dengan dasar adanya kelompok harimau yang bagaikan penjaga istana. Dengan demikian mitos tersebut Prabu Siliwangi nga-hyang dan menjelma menjadi harimau hanyalah sebuah mitos hasil dari kisah dari suatu kejadian dengan rekayasa bumbu-bumbu mistis.
DAFTAR RUJUKAN
alangalangkumitir.wordpress.com ( diunduh pada tanggal 6 November 2009 )
Sutaarga, M.A. 1984. Prabu Siliwangi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sunardi, ST. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal.
Fananie, Zainuddin.2001. Telaah Sastra. Surakarta:Muhammadyah University Press.
Herlina, Lubis, N. 2000. Tradisi dan Trasnformasi Sejarah Sunda. Bandung: Humaniora Utama Press.
PADA MASYARAKAT SUNDA
RENDY PRIBADI
Abstrak: tulisan ini membahas Siliwangi sebagai tanda pada masyarakat Sunda. “Siliwangi” yang terkenal dalam masyarakat Sunda akan dikaji melalui pendekatan Semiotika Barthes. Lalu akan dibandingkan kata Siliwangi melalui dua tanda wilayah, yaitu kebanggan dan kekuasaan dalam cerita wangsit Uga Siliwangi. Selain itu, dibahas melalui dua hubungan tanda, yaitu hubungan simbolik dan hubungan paradigmatik, juga eratnya hubungan siliwangi dengan budaya.
Kata Kunci: Semiotika,Siliwangi, Sunda
Pendahuluan
Cerita istilah mengenai (Prabu) Siliwangi telah tercantum dalam naskah kuno sanghyang Siksa Kandang (Danasasmita,dkk,1987:83) dan wangsit Uga Siliwangi. Menurut para pakar sejarah Sunda, nama Siliwangi sebagai tokoh historis tidakk terdapat dalam naskah-naskah historis primer, kecuali pada naskah carita Purwaka Caruban Nagari. (Danasasmita, 2003:65).
Dalam kaat Siliwangi terdapat hubungan dengan Prabu Siliwangi sebagai kebenaran sejarah dan kebenaran legendaris. Artinya aspek sastra berbaur dengan aspek sejarah, sehingga Teeuw menyebutnya sebagai karya sastra sejarah. Ekadjati menyatakan hal yang sama dengan Teeuw. Menurut ekadjati berdasarkan pada bukti-bukti historis yang ada, tokoh (Prabu) Siliwangi bukanlah tokoh historis melainkan tokoh sastra sejarah. Artinya, menurut Ekadjati pula, tokoh itu ada tetapi keberadaannya sudah dibumbui unsur sastra dan legenda (Herlina lubis, 200:81).
Secara etimologis, kaat ‘siliwangi’ diartikan sebagai : 1) tokoh yang hilang jasadnya, yang kemudian muncul atau datang lagi dengan hanya membawa nama atau keharuman namanya yang tersebar kemudian [sili(h)= ganti, yang tergantikan, wangi= wangi,harum], 2) tokoh yang menggantikan tokoh Prabu wangi], dan 3) tokoh yang dua kali diistrenan ‘dilantik, dinobatkan’ dengan dua kali mengganti nama [sili(h wangi= asilih wewangi, asilih = mengganti, wewangi= nama,gelar].
Kata Siliwangi
Konsep Dasar Semiotika Barthes
Istilah ‘semiotik’ berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti ‘tanda’,. Secara sederhana semiotic diartikan sebagai ‘ilmu tanda’ .Tanda diartikan sebagai ‘sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain’. Jadi semiotic adalah ‘ilmu yang mempelajari berbagai sesuatu yang berposisi sebagai wakil dari sesuatu yang lain’. Sesuatu yang mewakili tersebut disebut penanda (tanda), sedangkan yang terpisahkan antara penanda dan petandanya, atau bila digambarkan adalah sebagai berikut.
Tanda= Penanda
Petanda
Semiotik bagi Barthes adalah mempelajari segala sistem tanda, apapun substansi dan batasannya : gerak,bunyi,music, objek dana atau asosiasi kompleks antara semua itu. Bagi Bathes, wilayah kerja semiotic menjadi sangat luas, dan bahasa menjaid salah satu dari padanya selain ada banyak unsure lain yang bisa dipelajari sebagai tanda (other than language) akan tetapi,karena bahasa adalah hal yang sangat penting, maka bagi sistem tanda yang lain, bahasa tidak hanya berposisi sebagai model, tetapi juga sebagai komponen, pemancar, atau bahkan tanda bagi sistem tanda yag lain.
Konsep-konsep semiotic Barthes sebenarnya mengantarkan pembaca untuk menganalisis atau mengkaji. Konsep dasr analisis Barthes adalah tersebar: meluas dan mendalam. Dengan demikian, dibedakan arah analisis semiotika dengan deua cara, yaitu: meluas dan mendalam.
Analisis meluas adalah analisis yang berusaha menemukan pertalian tanda-tanda yang satu dengan yang lainnya dalam kerangka prinsip persamaan dan perbedaan. Analisis ini terarah pada rangkaian tanda yang terdapat pada setiap level sistem (kata-kata, objek,dunia,dll). Hal ini berbeda dengan analisis mendalam. Analisis mendalam adalah analisis yang membuka seluk-beluk dari siste (kata-kata, objek, dunia,dll).
Terdapat empat dasar konsep semiotika Barthes adalah: 1) tanda, 2) tiga macam hubungan tanda (simbolik, paradigmatic, dan sintagmatik). 3) bahasa-wicara dan budaya, dan 4) significations (Sunardi, 2002:46).
Namun dalam tulisan ini hanya hubungan tanda, yaitu simbolik dan sintagmatik dan budaya yang berkaitan dengan masyarakat Sunda dalam Uga wangsit Siliwangi
Tanda
Tanda menurut Saussure yang ditrasnformasi Barthes mempunyai tiga wajah, yaitu sendiri (sign), aspek materialnya (signifier), dan aspek mental /konseptual yang ditunjuk oleh aspek materialnya (signified).
Dalam hal ini, kata Siliangi menjadi tanda karena kata itu memiliki penanda (struktur fisik bahasa: s-i-l-i-w-a-n-g-I dan petandanya adalah ‘tokoh (patriotisme, dan kekuasaan (penguasa wilayah /kerajaan).
Kebanggaan. Siliwangi diidentikkan dengan kekuatan dan kebanggaan diantaranya diambilnya kata Siliwangi untuk menunjukkan hal-hal yang berbau patriotisme. Pada wilayah ini terdapat ungkapan model: ‘Divisi Siliwangi’, ‘tentara Siliwangi’, ‘maung Siliwangi’ (tanda kemiliteran dan sebutan untuk timr sepak bola asal Bandung yaitu ‘maung Bandung’.
Kekuasaan. Pada penjelasan ini yang dimaksud kekuasaan adalah tempat yang setiap orang pasti pernah mengenal atau mengunjunginya. Seperti ‘Bioskop Siliwangi’ (menjadi symbol agar menarik massa),’bumi Siliwangi’ (seluruh wilayah tatar Sunda), ‘Jalan Siliwangi’,patilasan Siliwangi’ (tempat-tempat yang dianggap bersejarah yang berhubungan dengan keberadaan SIliwangi’.
Tiga Macam Hubungan Tanda
Hubungan Simbolik. Hubungan simbolik munculsebagai hubungan antara petanda dan penanda. Hubungan ini merujuk pada kemandirian dari tanda tersebut untuk difungsikan kepada sesuatu hal sehingga menunjukkan status symbol.
Kata ‘Siliwangi’ menjadi symbol dari keluarga yang memiliki keturunan dari Prabu Siliwangi. Simbol yang dipakai untuk pengakuan teureuh menak Sunda. Symbol ini meliputi darah biru, kekayaan , kemewahan, kharismatik, dan kekuasaan.
Karena itulah kepala Lodaya dijadikan symbol militer oleh Divisi Siliwang. Nilai simbolik ini mensugesti divisi ini menjadi satu kekuatan militer yang terbesar di Nusantara. Pembuktiannya ada pada prestasi yang yelah diraihnya, seperti penumpasan dalam menangkap berbagai pemberontakan disejumlah tempat. Penjagaan militer di berbagai belahan dunia (bergabung dengan PBB).
Hubungan Paradigmatik. Hubungan paradigmatik adalah hubungan eksternal suatu tanda dengan benda lain. Tanda lain yang bisa berhubungan secara paradigmatic adalah tanda-tanda satu kelas atau satu system.
Pada katab siliwangi terdapat hubungan antara kerajaan Sunda lengkap dengan raja-rajanya serta system kepemimpinannya dan kekuasaannya dan lain sebagainya.
Budaya. Siliwangi memiliki arti tersendiri bagi orang Sunda. Wilyah tataran yang dikelilingi oleh gunung-gunung dan perbukitan, mengandung budaya yang seperi pada kata Siliwangi itu sendiri. Hal ini lebih kepada sikap serta karakter dari warga Sunda. Seorang warga Sunda harus mempunyai sikap sopan, saling menghormati, tegas, dan jujur pada diri sendiri. Seperti prabu Siliwangi, sehingga mereka akan selalu diingat dan dikenang atas jasa baiknya dalam pengorbanan apapun dan namanya akann selalu “harum” ketika ia pergi.
ANALISIS
Ada dua Siliwangi yang menurut saya dimungkinkan menjadi tokoh dalam peristiwa Nga-Hyang ini dalam Uga Wangsit Siliwangi. Pertama adalah Prabu Nilakendra. Ini dikarenakan Nilakendra adalah raja yang terusir dari istana. Carita Parahyangan menyatakan bahwa Nilakendra mengalami "alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan" (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).
Serta yang kedua adalah Prabu Surya Kancana. Ini disebabkan karena memang beliaulah raja terakhir Pajajaran. Beliaupun diberitakan tidak berada di istana Pakuan. Ia diberitakan bergelar Pucuk Umum Pulasari yang berarti Panembahan Pulasari (lereng Gunung Palasari Pandeglang).
Dari kedua prabu ini saya cenderung beranggapan bahwa yang diceritakan dalam kisah ini ádalah yang terakhir yaitu Surya Kancana. Alasannya bahwa dengan “hilang-nya” beliau menyebabkan beliau tidak pernah ada penggantinya, karena yang menggantikannya pun jadi gamang akibat tidak jelasnya nasib sang Prabu ini.
Sang Prabu Nga-Hyang
Ngahyang secara harfiah berarti “menjadi Hyang”. Hyang sendiri menurut saya adalah yang di-Agung-kan, diberi derajat yang ”tinggi” dalam sisi spiritual. Sehingga Nga-Hyang berarti meng-agung-kan / di-agung-kan, dalam hal ini berati mendekatkan diri kepada yang maha kuasa. Di sisi lain, beberapa ahli mengartikan Nga-Hyang ini sebagai menghilang dengan proses spiritual yang tinggi. Namun dari catatan sejarah berupa prasasti atau piteket atau yang lainnya, tidak ada yang menyatakan ”Nga-Hyang”.
Jika dihubungkan dengan tidak adanya catatan sejarah mengenai peristiwa ”Nga-Hyang” ini, dapat dianggap bahwa “Nga-Hyang” ini hanyalah merupakan sebutan masyarakat umum tehadap kondisi yang terjadi. Namun jika dihubungkan dengan kejadian yang terjadi saat terakhir Prabu Surya Kencana berkuasa, bagi saya memberi sedikit titik terang. Adapun kejadian tersebut adalah sebagai berikut :
Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2, pada 8 Mei 1568, Pajajaran runtuh. Saat itu utusan pajajaran (kandaga lante) menitipkan perhiasan kerajaan ke Raja Sumedang (=Geusan Ulun) serta Prabu Siliwangi memberi amanah terakhir yang dikenal dengan Uga Wangsit Siliwangi. Dalam wangsit tersebut Prabu Siliwangi menyatakan ”Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. ................... ”. Artinya kurang lebih ”Kisah kita (=Pajajaran) hanya sampai disini, meskipun kalian semua setia kepadaku! Tapi saya tidak bisa membawa kalian ikut-ikutan (bermasalah), ikut hidup susah, ikut miskin dan kelaparan. .........” .
Dengan peristiwa tersebut bisa disimpulkan bahwa sejak saat itu Prabu Siliwangi menghilang (=tiada kabar berita). Rakyat saat itu juga menyadari bahwa beliau menghilang, dan untuk menyatakan kondisi tersebut masyarakat banyak menyebutnya dengan ”Nga-Hyang” yang kurang lebih berarti hilang untuk mendekatkan diri kepada yang maha kuasa. Sesuai amanat beliau, beliau telah menjadi rakyat jelata, namun entah dimana. Ada kemungkinan menjadi pertapa (resi) untuk mendekatkan diri pada yang kuasa.
Peristiwa Nga-Hyang ini jika dihubungkan dengan kejadian yang terjadi saat terakhir Prabu Surya Kencana berkuasa, bagi saya memberi sedikit titik terang. Adapun kejadian tersebut adalah sebagai berikut : Sekitar tahun 1567, Prabu Surya Kancana meninggalkan wilayah istana Pakuan. Saat itu Prabu Surya Kancana menitipkan perhiasan kerajaan ke Raja Sumedang (=Geusan Ulun) melalui para Kandaga Lante serta memberi amanah terakhir yang dikenal dengan Uga Wangsit Siliwangi. Dalam wangsit tersebut Prabu Siliwangi menyatakan ”Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. ................... ”. Artinya kurang lebih ”Kisah kita (=Pajajaran) hanya sampai disini, meskipun kalian semua setia kepadaku! Tapi saya tidak bisa membawa kalian ikut-ikutan (bermasalah), ikut hidup susah, ikut miskin dan kelaparan. .........” .
Dengan peristiwa tersebut bisa disimpulkan bahwa sejak saat itu Prabu Siliwangi menghilang (=tiada kabar berita). Rakyat saat itu juga menyadari bahwa beliau menghilang, dan untuk menyatakan kondisi tersebut masyarakat banyak menyebutnya dengan ”Nga-Hyang” yang kurang lebih berarti hilang untuk mendekatkan diri kepada yang maha kuasa. Sesuai amanat beliau, beliau telah menjadi rakyat jelata, namun entah dimana. Ada kemungkinan menjadi pertapa (resi) untuk mendekatkan diri pada yang kuasa. (Sumber lain menyatakan Prabu Surya Kancana tinggal di Pulosari)
Kesimpulan
Siliwangi dikaji menurut kacamata Roland Barthes menghasilkan tafsiran yang sangat menarik. Hal ini menghasilkan suatu simbol dalam masyarakat Sunda yang mempunyai karakter dan budaya yang lekat hubungannya dengan sikap maupun unsur petanda lainnya seperti kekuasaan dan kebanggaan
Dalam cerita Uga Wangsit Siliwangi diceriakan bahwa Prabu Siliwangi hendak pergi untuk mendekatkan diri pada Tuhan untuk memberikan petunjuk kepadanya Jadi dapat disimpulkan bahwa Prabu Siliwangi yang terakhir memang ”Nga-Hyang”. Namun dalam artian beliau mengundurkan diri secara politik dari hiruk pikuk kerajaan (pada saat itu). Sedangkan untuk mitos Prabu Siliwangi menjadi harimau sepertinya hanyalah sebuah mitos hasil rekaan kisah masyarakat dari mulut ke mulut, dengan dasar adanya kelompok harimau yang bagaikan penjaga istana. Dengan demikian mitos tersebut Prabu Siliwangi nga-hyang dan menjelma menjadi harimau hanyalah sebuah mitos hasil dari kisah dari suatu kejadian dengan rekayasa bumbu-bumbu mistis.
DAFTAR RUJUKAN
alangalangkumitir.wordpress.com ( diunduh pada tanggal 6 November 2009 )
Sutaarga, M.A. 1984. Prabu Siliwangi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sunardi, ST. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal.
Fananie, Zainuddin.2001. Telaah Sastra. Surakarta:Muhammadyah University Press.
Herlina, Lubis, N. 2000. Tradisi dan Trasnformasi Sejarah Sunda. Bandung: Humaniora Utama Press.
Rabu, 04 November 2009
resensi buku 4
Judul buku: ANALISIS WACANA (dari LInguistik sampai Dekonstruksi)Pengarang : Aminuddin,Faruk H.T, Kris Budiman, I dewa Putu Wijana, Melani Budianta Penerbit : kanalTahu terbit : cetakan pertama, Desember 2002Tabal halaman: 231 halaman Kota : yogyakarta
Wacana memang belum menjadi istilah yang popular bagi kebanyakan rakyat Indonesia. Dalam buku analisis wacana karangan aminuddin, dkk. Popularitas inilah yang mengangkat suatu permasalahan agar bias dikenal oleh masyarakat luas. Sangat dibutuhka upaya penjelasan yang komprehensif, yang tidak Cuma didasarkan atas salah satu atau beberapapengertian tentangnya, melainkan terutama sekali yang dapat meliputi proses perkembangbiakan.Dalam buku analisis wacana oleh aminuddin dkk, yang berisi beberapa tulisan yang mengkaji pengertian wacana menurut pandangan para ahli, misalnya Faruk H.T yang mengkaji konsep dan analisis wacana Bakhtinian. Studi Bakhtian mencoba membangun sintesis antara Marxisme dengan formalism di atas dengan menawarkan apa yang disebut sebagai poetika sosiologis. Bakhtin lebih memahami wacana sebagai tuturan seperti yang sudah dikemukakkan. Pertama wacana linier adalah wacana yang memandang wacana lain.kedua wacana piktural adalah wacana yang secara tangkas dan halus dapat menerobos wacana lai, baik dalam bentuk komentar maupun ejek-ejekan. Ketiga Bakhtin mmbagi wacana menjadi dua jenis, yaitu wacana bersuara tunggal dan bersuara ganda. Berbagai jenis wacana diatas tidaklah sepenuhnya terpisah satu sama lain. Setiap nuturan dapat mengandung cirri-ciri yang mengarah pada berbaga kemungkinan di atas. Yang membedakan tuturan yang satu dengan yang lainnya terutama sekali adalah perbedaan proporsi antara ciri yang lain.Adapun konsep wacana menurut Althusser yang berangkat dari gagasan Marx mengenai hubungan antara produksi dengan reproduksi. Menurut Marx, kata Althusser, sebuah formasi social yag tidak mereproduksi yang tidak akan bertahan selama setahu. Althusser kemudian menerjemahkan secara panjang lebar pengetian dari pernyataan Marx di atas.Dari berbagai pangertian wacana yang ada dalam berbagai analisis buku wacana ini, pembaca cihimbau agar mengerti tentang wacana yang melahirkan ideologi yang mendominasi. Pembaca diharuskan kritis agar dapat melakukan perlawanan terhadap wacana terselubung dan merugikan orang banyak. Buku yang diwajibkan untuk dimiliki kalangan “pendongkrak” hegemoni dan kelompok yang bersifat rasial ini. Tetapi aspek linguistic juga harus dikuasai sebelum menelaah wacana. Contoh-contoh yang berdasarkan linguistic dan pariwara menjadikan buku ini lebih bernilai karena tidak hanya menyajikan teori melainkan sebagai sebuah contoh yang mendukung adanya teori.
Wacana memang belum menjadi istilah yang popular bagi kebanyakan rakyat Indonesia. Dalam buku analisis wacana karangan aminuddin, dkk. Popularitas inilah yang mengangkat suatu permasalahan agar bias dikenal oleh masyarakat luas. Sangat dibutuhka upaya penjelasan yang komprehensif, yang tidak Cuma didasarkan atas salah satu atau beberapapengertian tentangnya, melainkan terutama sekali yang dapat meliputi proses perkembangbiakan.Dalam buku analisis wacana oleh aminuddin dkk, yang berisi beberapa tulisan yang mengkaji pengertian wacana menurut pandangan para ahli, misalnya Faruk H.T yang mengkaji konsep dan analisis wacana Bakhtinian. Studi Bakhtian mencoba membangun sintesis antara Marxisme dengan formalism di atas dengan menawarkan apa yang disebut sebagai poetika sosiologis. Bakhtin lebih memahami wacana sebagai tuturan seperti yang sudah dikemukakkan. Pertama wacana linier adalah wacana yang memandang wacana lain.kedua wacana piktural adalah wacana yang secara tangkas dan halus dapat menerobos wacana lai, baik dalam bentuk komentar maupun ejek-ejekan. Ketiga Bakhtin mmbagi wacana menjadi dua jenis, yaitu wacana bersuara tunggal dan bersuara ganda. Berbagai jenis wacana diatas tidaklah sepenuhnya terpisah satu sama lain. Setiap nuturan dapat mengandung cirri-ciri yang mengarah pada berbaga kemungkinan di atas. Yang membedakan tuturan yang satu dengan yang lainnya terutama sekali adalah perbedaan proporsi antara ciri yang lain.Adapun konsep wacana menurut Althusser yang berangkat dari gagasan Marx mengenai hubungan antara produksi dengan reproduksi. Menurut Marx, kata Althusser, sebuah formasi social yag tidak mereproduksi yang tidak akan bertahan selama setahu. Althusser kemudian menerjemahkan secara panjang lebar pengetian dari pernyataan Marx di atas.Dari berbagai pangertian wacana yang ada dalam berbagai analisis buku wacana ini, pembaca cihimbau agar mengerti tentang wacana yang melahirkan ideologi yang mendominasi. Pembaca diharuskan kritis agar dapat melakukan perlawanan terhadap wacana terselubung dan merugikan orang banyak. Buku yang diwajibkan untuk dimiliki kalangan “pendongkrak” hegemoni dan kelompok yang bersifat rasial ini. Tetapi aspek linguistic juga harus dikuasai sebelum menelaah wacana. Contoh-contoh yang berdasarkan linguistic dan pariwara menjadikan buku ini lebih bernilai karena tidak hanya menyajikan teori melainkan sebagai sebuah contoh yang mendukung adanya teori.
resensi buku 3
JUDUL Buku: Kutukan JOmblo (kumpulan cerpen)Pengarang : Fahri Asiza, dkkKota : DepokCetakan: cetakan pertama,April 2007Tebal buku: 213 halaman
Buku yan ditulis oleh teman-teman dari Lifosa Depok ini bercerita tentang masalah jomblo. Jomblo (belum puya pacar) adalah istilah yan cukup popular di Indonesia dari tahun 2000-an sampai sekarang dan mencoba mengangkat tema tentang seseorang yang belum punya pacar.Seperti salah satu novel berjudul kutukan Jomblo yag ditulis oleh Lian Kagura yang bercerita tentang seorang cewe yang cantik, pintar, ketua Divisi seni di sekolahnya mendadak dijauhi oleh para cowo yang ada di sekolahnya. Peristiwa-demi peristiwa ia alami setiap harinya dan samapai ia bertanya pada dirinya sendiri. Dan rupanya masalah itu bukan berasal dari dirinya sendiri tetapi dari teman disekitarnya yan membuat rencana yang tak terduga. Lalu kisah jenaka juga ada dalam judul Nenekku ABG karya Swastika Mahardika. Adalah seorag Nenek yang menjadi tempat konsultasi masalah percintaan cucunya yang bernama Lolita. Ia adalah seorang jomblo yang yang selalu berkonsultasi pada neneknya jika ada seseorang yang ingin dekat denga Lolita. Dari nasehatnya hingga perilaku neneknya yag ia anggap sebagai penology dirinya kala berhadapan denan lelaki yang ia anggap tidak berkenan, maka neneknya ia juluki sebagai peri cinta. Jomblo memang status yang pelik bagi beberapa kaum lelaki dan wanita. Namun kumpulan cerpen yag berisi dua belas cerpen ini mencoba untuk menghadirkan paradigma baru dalam berfikir bagi seorang jomblo. Ia tak harus menghadirkan cerita yang sedih Karen aditingal sang kekasih, tetapi proses perjalanan hidupnya membuat kita beitu mengagumi seorang yang jomblo. Lalu kumpulan cerpen ini ingin menghibur seseorang yang jomblo tetapi ingin bersenang-senang Karena bahasa yang atraktif dan mudah untuk dicerna buku ini bisa dibaca oleh semua umur .
Buku yan ditulis oleh teman-teman dari Lifosa Depok ini bercerita tentang masalah jomblo. Jomblo (belum puya pacar) adalah istilah yan cukup popular di Indonesia dari tahun 2000-an sampai sekarang dan mencoba mengangkat tema tentang seseorang yang belum punya pacar.Seperti salah satu novel berjudul kutukan Jomblo yag ditulis oleh Lian Kagura yang bercerita tentang seorang cewe yang cantik, pintar, ketua Divisi seni di sekolahnya mendadak dijauhi oleh para cowo yang ada di sekolahnya. Peristiwa-demi peristiwa ia alami setiap harinya dan samapai ia bertanya pada dirinya sendiri. Dan rupanya masalah itu bukan berasal dari dirinya sendiri tetapi dari teman disekitarnya yan membuat rencana yang tak terduga. Lalu kisah jenaka juga ada dalam judul Nenekku ABG karya Swastika Mahardika. Adalah seorag Nenek yang menjadi tempat konsultasi masalah percintaan cucunya yang bernama Lolita. Ia adalah seorang jomblo yang yang selalu berkonsultasi pada neneknya jika ada seseorang yang ingin dekat denga Lolita. Dari nasehatnya hingga perilaku neneknya yag ia anggap sebagai penology dirinya kala berhadapan denan lelaki yang ia anggap tidak berkenan, maka neneknya ia juluki sebagai peri cinta. Jomblo memang status yang pelik bagi beberapa kaum lelaki dan wanita. Namun kumpulan cerpen yag berisi dua belas cerpen ini mencoba untuk menghadirkan paradigma baru dalam berfikir bagi seorang jomblo. Ia tak harus menghadirkan cerita yang sedih Karen aditingal sang kekasih, tetapi proses perjalanan hidupnya membuat kita beitu mengagumi seorang yang jomblo. Lalu kumpulan cerpen ini ingin menghibur seseorang yang jomblo tetapi ingin bersenang-senang Karena bahasa yang atraktif dan mudah untuk dicerna buku ini bisa dibaca oleh semua umur .
resensi 2
Judul buku : Lelaki Ikan (kumpulan cerpen)
Pengarang : Hudan Hidayat
Penerbit : P.T Kompas Media Nusantara
Tahun terbit : September 2006
Tebal halaman: viii+256 halaman
Kota: Jakarta
Novel karya Hudan Hidayat yang mengangkat tentang pergulatan seorang yang mencari jati diri dari perjalanan hidupnya yang penuh dengan keadaan absurd serta dengan keadaan yang sadar. Hal ini yang mengakibatkan seorang Hudan Hidayat untuk menceritakan seluruh hidupnya sebagai contoh kisah lelaki yang berubah menjadi ikan pada saat bulan purnama. Lelaki tersebut mempunyai seorang istri yang sedang mengandung cabang bayi. Hal ini memunculkan suatu keadaan yang sangat tidak masuk akal untuk orang yang pertama kali membaca. Kumpulan Cerpen ini membuat pembaca begitu ingin mencurahkan apa yang ada dalam sisi “liar” dari pembaca karya sastra ini. Symbol-simbol yang diuraikan oleh Hudan Hidayat mengisyaratkan untuk para lelaki yang gemar akan bermain dengan para wanita.
Hudan memang lama terbiasa mengisi hari-harinya dengan ketegangan untuk satu dunia yang ia geluti, dunia sastra. Bahkan intensitas keteganannya pada sastra sebanding dengan keteangan pada setiap orang yang ia jumpai. Namun di penghujung selesainya buku ini, Hudan coba melakukan “peregangan”, seperti meregangkan otot yang telah lama kaku. Ia melakukan pernapasan dalam-dalam seakan sudah lama oksien tidak masuk beramai-ramai dalam paru-parunya.
Begitu gila mungkin ungkapan salah satunya untuk menggambarkan kumpulan cerpen yang bersumber dari Alam bawah sadar manusia yang biasanya ingkar pada ketakutan, kenge rian dan kehidupan itu sendiri. Setiap tema ia beri komposisi karakter berbeda. Misalnya kematian. Ia beri dengan berbagai warna; kematian sebaai pelibatan emosi, ‘sebuah ambang’ seperti manusia yang bersiap-siap terjun ke jurang, kematian sebagai sebuah perenungan, kematian sebagai kegelisahan pemikiran, dan kematian sesuai kematian.
Dengan sampul depan yang bergambar sosok seperti seseorang ikan dan berwarna biru, buku ini menggambarkan kesatuan antara dunia surealis. Terdiri dari dua puluh empat cerpen adalah Suatu hal yang patut dibaca oleh kalanga sastra yang telah mendapatkan berbagai pengalaman dalam membaca karya-karya surealis.
Peggunaan bahasa yang cukup vulgar memuat kekerasan menjadi masalah dalam buku ini. Adegan mesum menjadi adegan yang patut untuk disertakan demi memperkuat cerita. Namun sangat disayangkan hanya kalangan dewasa yang bisa untuk membaca da menelaah karya yang surealis ini.
Pengarang : Hudan Hidayat
Penerbit : P.T Kompas Media Nusantara
Tahun terbit : September 2006
Tebal halaman: viii+256 halaman
Kota: Jakarta
Novel karya Hudan Hidayat yang mengangkat tentang pergulatan seorang yang mencari jati diri dari perjalanan hidupnya yang penuh dengan keadaan absurd serta dengan keadaan yang sadar. Hal ini yang mengakibatkan seorang Hudan Hidayat untuk menceritakan seluruh hidupnya sebagai contoh kisah lelaki yang berubah menjadi ikan pada saat bulan purnama. Lelaki tersebut mempunyai seorang istri yang sedang mengandung cabang bayi. Hal ini memunculkan suatu keadaan yang sangat tidak masuk akal untuk orang yang pertama kali membaca. Kumpulan Cerpen ini membuat pembaca begitu ingin mencurahkan apa yang ada dalam sisi “liar” dari pembaca karya sastra ini. Symbol-simbol yang diuraikan oleh Hudan Hidayat mengisyaratkan untuk para lelaki yang gemar akan bermain dengan para wanita.
Hudan memang lama terbiasa mengisi hari-harinya dengan ketegangan untuk satu dunia yang ia geluti, dunia sastra. Bahkan intensitas keteganannya pada sastra sebanding dengan keteangan pada setiap orang yang ia jumpai. Namun di penghujung selesainya buku ini, Hudan coba melakukan “peregangan”, seperti meregangkan otot yang telah lama kaku. Ia melakukan pernapasan dalam-dalam seakan sudah lama oksien tidak masuk beramai-ramai dalam paru-parunya.
Begitu gila mungkin ungkapan salah satunya untuk menggambarkan kumpulan cerpen yang bersumber dari Alam bawah sadar manusia yang biasanya ingkar pada ketakutan, kenge rian dan kehidupan itu sendiri. Setiap tema ia beri komposisi karakter berbeda. Misalnya kematian. Ia beri dengan berbagai warna; kematian sebaai pelibatan emosi, ‘sebuah ambang’ seperti manusia yang bersiap-siap terjun ke jurang, kematian sebagai sebuah perenungan, kematian sebagai kegelisahan pemikiran, dan kematian sesuai kematian.
Dengan sampul depan yang bergambar sosok seperti seseorang ikan dan berwarna biru, buku ini menggambarkan kesatuan antara dunia surealis. Terdiri dari dua puluh empat cerpen adalah Suatu hal yang patut dibaca oleh kalanga sastra yang telah mendapatkan berbagai pengalaman dalam membaca karya-karya surealis.
Peggunaan bahasa yang cukup vulgar memuat kekerasan menjadi masalah dalam buku ini. Adegan mesum menjadi adegan yang patut untuk disertakan demi memperkuat cerita. Namun sangat disayangkan hanya kalangan dewasa yang bisa untuk membaca da menelaah karya yang surealis ini.
strukturalisme dan new critism
Strukturalisme dan ‘Kematian Pengarang”Roland Barthes, salah seorang tokoh terpenting strukturalisme menganggap bahwa dalam kewenangan pembaca ada yang dionamakan “kematian pengarang”, salah satu pijakan dasar strukturalisme. Maklumat “kematian pengarang “ terdapat dalam karya roland Barthes, Image-Music-Text (imaji-Musik-Teks).Oleh roland Barthes pula, makna “teks sastra” diperluas.” Teks sastra bukan sekedar karya sasatra, esai mengenai sastra dan hal-hal semacam itu, namun mencakup juga iklan. Mode pakaian, komik,dan lain-lain. Pengarang dalam “ketian pengarang”, dengan demikian, tidak terbatas pada pengarang karya sastra. Segala sesuatu yang dilakukan dalam strukturalisme, sementara itu, sebagaimana misalnya menghadapi teks sastra dengan kerangka berfikir structuralisme, membandingkan karya seni lain dengan teks sastra, menurut roland Barthes adalah “aktivitas strukturalis”. Persoalan pertama yang harus dihadapi dalam melakukan aktivitas strukturalis, dengan sendirinya, adalah makna struktur itu sendiri. Dalam penjelasan makna srtrukturalisme,tampak betapa kuat pengaruh Ferdinand De Saussure. Struktur, menurut Roland Barthes, adalah sebagi berikut,a. “Puitika yag berhadapan dengan sastra sebagimana pula linguistic berhadapan dengan bahasa”. Makna poetic art tidak lain adalah seni penulisan karya sastra dan seni pengahyatan karya sastra. Pengarang yang baik, dan dengan demikian,sanggup menulis karya satra yang baik, dengan sendirinya adalah pengarang yang memiliki poetic art yang baik,yang dalam konteks fenomenologi dianggap yang memiliki poetic art yang tinggi. b. Tidak berusaha menjelaskan makna sebuah karya, namun berusaha secara eksplisit menjelaskan sistem bentuk bangunan dan konbvensi yang memungkinkan serangkaian karya memiliki bentuk dan makna yang mereka miliki.c. Kajian strukturalis tidak selamanya perlu untuk berusaha member penafsiran karya sastra, tapi melihat struktur yang menngarisbawahi karya-karya ini.Dalam perkembangannya strukturalisme kemudian tampak lebih jelasbahwa nilaiestetis dalam pengertian konvensional mkin tidak dipertimbangkan. Nemw Critism, misalnya, tidak mungkin mempergunakan iklan dan tanda lalu lintas menjadi objek kajian. Bagi strukturalisme, khususnya pada tahap kemudian, iklan, siaran radio, komik, dan sebagainya, tidak lian adalah teks sastra. Perluasan makna teks sastra disebabkan oleh berbagai alasan seperti berikut ini.a. Roland Barthes memperluas makna teks sastra dengan produk-produk di luar sastra, seperti mode pakaian. Lalu menurut Levi-Strauss, hakikat strukturalisme adalah kembali ke dunia antropologi. Karena itu, mitologiyang terpenting adalah menbedah struktur yang mendasari karya-karya sastra itu. Ibaratnya,kalau kita melihat dua objek: yang strukturnya sama, kita hanya mendedah mengapa dua objek itu mempunyai unsure yang sama. Mitologi dan StrukturalismeMitologi menurut Northop Frye, udah ada sejak awal peradaban manusia. Pada haikatnya manusia hidup dalam ketakutan, dank arena itulah manusia lari “ke atas sana”. Mitologi juga merupakan manifestasi menurut carl gustav Jung, “ketidaksadaran bersama”. Manusia sebagai sebuah kelompok makhluk tidak sadar bahwa mereka menggambarkan ketidakberdayaan manusia dalam menghadapai segala permainan para dewata. Ada beberapa factor yang mendorong strukturalisme untuk terobsesi oleh mitologi, antara lain, karena mitologi adalah masalah “dalaman” manusia. Tanpa sadar manusia takut, dan di luar kesadaran manusia sendiri, mitologi muncul sebagai manifestasi rasa takut mereka. Strukturalisme, sementara itu, melihat struktur semua objek sebagai “struktur luaran”, dan dibalik “struktur Luaran” itu ada “struktur dalaman”. Sebuah motto penting dalam strukturlaisme, sekali lagi, adalah the difficult in structural Literary critism…is the relationship of structure and meaning (and function). Di bawah baying-bayang pemikiran Ferdinand de Saussure dengan semiotiknya, struktulisme juga terobsesi oleh masalah signifier dan signified.Insting Strukturalisme dan Insting StrukturasiDalam berhadapan dengan kehidupan, strukturlaisme juga menemukan dua komponen, yaitu nsting strukturalis dan insting strukturasi. Dengan dibekali oleh insting Strukturalis, begitu melihar objek makan ia akan langsung mempertanyakan apa gerangan di balik struktur itu. Ketidaksadaran bersama manusia, sementara itu, tanpa disadari manusia sendiri, telah melahirkan mitologi, dan inilah yang dinamakan insting strukturasi. Insting strukturlis kalau perlu juga dapat memepertanyakan, mengapa ketidaksadaran bersama ini telah mendorong insting strukturasi untuk mewujudkan dirinya sebagai cerita rakyat, dan bukan, misalnya, sebagai music, tarian, model pakaian, pepatah-petitih, lukisan di dalam goa, dan sebagainya. Hubungan antara ketidaksadaran bersama di satu pihak dan cerita rakyat di pihak lain pada hakikatnya sama dengan hubungan antara signifier dan signified dalam semiotic. Kendati hubungan antara signifier dan signified dalam semiotic. Kendati hubungan ini arbitrer, menurut Saussure, hubungan itu stabil.Cara Kerja Strukturalisme1. Strukturalisme pada awalnya mengamati lebih dari satu objek, dengan tujuan untuk mendedah apa yang ada di balik kesamaan struktur dalam objek atau lebih.2. Strukturalisme kemudian menyadari, pada dua objek atau lebih dari itu ternyata tidak hanya terdapat kesamaan atau kemiripan, namun ada juga ketidaksamaan dan bahkan kutub-kututb berlawanan.3. Tek sastr akemudian diikat oleh hukum simetri.4. Ketidaksamaan dan kutub-kutub yang berlawanan memunculkan kesadaran akan adanya binary opposition.5. Tidak semua oposisi biner, kesamaan, dan ketidaksamaan hadir dalam dua objek atau lebih6. Oposisi biner akan tampak apabila orang tersebut mendekonstruksi objek tersebut. 7. Untuk melihat “struktur luaran”, dengan insting strukturalis seseorang berusaha untuk mendedah “struktur dalaman” objeknya. Dalam mitologi dan sastra, “struktur dalaman” objeknya.8. Untuk mendedah “struktur dalaman” melalui “struktur luaran,” roland Barthes dalam S/Z studi mengenai Sarrasine, menyarankan penggunaan analisis lexies (unit-unit makna)Strukturalisme dan PascastrukturalismePerbedaan strukturalisme dan Pascastrukturalismea. Strukturalisme meneriman pendapat Ferdinand de Saussure bahwa kendati hubungan antara signifier dan signified arbitrer, hubungan ini stabil. Berdasarkan pendapat ini, strukturalisme menganggap ada koherensi antara “struktur luaran” dan “struktur dalaman”. b. Pascastrukturalisme memebantah anggapan strukturalisme mengenai koherensi antara”struktur luaran” dan “struktur dalaman”. Bukan hanya dalam dua objek atau lebih, dalam satu objek pun, ternyata ada kontradiksi-kontradiksi, ada ketidakmenentuan, dan juga ada berbagai kemungkinan teks. c. Strukturalisme dengan demikian, menunjukkan kesatuan dan koherensi teks, sedangkan pascastrukturalisme menunjukkan disunity (ketidak-satuan) dan diskoherensi teks.d. Strukturalisme berusaha untuk menemukan simetri antara kiri dan kanan.e. Pascastrukturalisme berusaha untuk menemukan kontradiksi/paradox, shift/perubahan/perbedaan dalam tone, teknik narasi,waktu, orang, sikap, konflik, ketidakadaan simetri/penghapusan simetri, dan lain-lain yang menunjukkan disunity dan tidak adanya koherensi.
Komentar :Strukturalisme dan
Komentar :Strukturalisme dan
srintil dan chiyo
SIKAP DAN PANDANGAN HIDUP PEREMPUAN PADA TOKOHSRINTIL DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI DAN TOKOH CHIYO DALAM NOVEL MEMOIRS OF GEISHAKARYA
A. PENGANTARDalam menciptakan karya sastra, pengarang tidak dapat melepaskan diri dari teks-teks sastra yang lain. Menurut Sitanggang (2003:81) kelahiran suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya sastra yang mendahuluinya, yang pernah diserap oleh sastrawan. Pengarang pada dasarnya tidak hanya sebagai produktor, namun pengarang tidak berangkat dari kekosongan. Melalui karya terdahulu, ia menggulumi konvensi sastranya, konvensi estetinya, gagasan yang tertuang dlam karya itu, kemudian mentransformasikannya ke dalam suatu karangan, karyanya sendiri. (Sitanggang, 2003:81).Karya sastra tidak pernah terlepas dari lingkungan yang mengintarinya, yakni pengarang dan masyarakat. Keduanya memiliki kaitan erat dalam membangun karya sastra yang otonom. Tanpa kehadiran pengarang, karya sastra tidak akan tercipta. Begitu juga dengan masyarakat, tanpanya, mustahil karya sastra dapat lahir begitu saja.Kehadiran masyarakat memberikan nilai-nilai sosial budaya dalam karya sastra. Tidak mengherankan, masyarakat memberikan konstribusi yang sangat besar dalam melahirkan kanon sastra. Seldon (dalam Ratna, 2005:160) mengatakan bahwa kanon-kanon kesusastraan besar dihasilkan oleh masyarakat. Lebih jauh dikatakan Kurniawan (kritiksastra.blogpsot.com) ini berarti bahwa masyarakat memiliki andil besar dalam membentuk dan memberi nilai terhadap karya sastra yang dilahirkannya. Pada akhirnya, kehadiran karya sastra merupakan cermin dari masyrakat. Dan akhirnya, seperti apa yang diungkap Damono dan Kresteva, karya sastra tidak pernah hadir tanpa kekosongan budaya.Keberadaan masyrakat inilah yang dapat memberikan suasana yang sama dalam karya sastra. Maka, kajian sastra bandingan memberikan ruang terhadap segala aspek yang terdapat di dalam karya sastra yang dikaji tersebut.Pada tulisan ini akan dibahas berbagai sikap dan pandangan hidup seorang perempuan melalui tokoh Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan Memoirs of Geisha. Novel ini mengangkat tema perempuan di lingkungannya pada masa itu. Novel ini mengandung unsur feminisme yang terkait dengan hal keperempuanan yang selanjutnya akan dibahas sebagai dasar untuk melihat fenomena sikap dan pandangan hidup seorang perempuan yang tertuang dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Memoirs Of Geisha. Tulisan ini mengangkat perempuan dari segala keadaanya baik itu yang menjadi superioritas maupun inferioritasnya. Focus pembahasan yang menyangkut diri perempuan, yakni mengenai cinta, sesualitas dan kekuasaan perempuan. Keperempuanan dalam hal ini menginterpretasikan bagaimana perempuan melawan, bagaimana perempuan menjadi kuat , tetapi juga bagaimana perempuan menempatkan diri sesuai dengan apa yang dimilki dari dalam dirinya yang seutuhnya. Tokoh perempuan dalam Ronggeng Dukuh Paruk dan Memoirs Of Geisha adalah perempuan yang terjebak dalam kekuasaan politik, jeratan hidup, budaya serta tuntutan profesi yang selalu membawa mereka dalam permasalahan-permasalahan yang tak jarang memaksa untuk meneteskan ar mata. Ekonomi menjadi bagian yang mempengaruhi kehidupan manusia. Ini tidak dapat dipungkiri, bahwa hipotesis Marxis tentang kapitatalistik, membawa dampak yang signifikan terhadap nilai filosifi hidup manusia.Ialah Chiyo, tokoh utama dalam Memoirs of a Geisha yang menjadi geisha sebab faktor ekonomi keluarga. Faktor itulah yang kemudian menjadi embrio dalam membentuk psikologis Chiyo. Dan pada akhirnya perasaan sebagai wanita yang terhegemoni sekaligus menghegemoni patriaki, mewarnai kehidupannya. Posisisi dikotomik-dualistik itulah yang menjadi bagian dalam kehidupan Chiyo sebagai geisha.Berangkat dari keluarga kurang mampu, menyebabkan Chiyo menjadi wanita yang memiliki sikap mengalah untuk diperlakukan oleh orang lain. Sikap itulah yang menjadikan dia sebagai seorang perempuan yang terhegemoni oleh patriaki.
Pakaian Kuniko jauh lebih bagus daripada pakaianku, dan dia memakai zori; tetapi sebagai anak kampong, aku mengejarnya ke hutan dengan telanjang kaki sampai aku berhasil menyusulnya di semacam rumah pohon terbuat dari dahan-dahan pohon yang mati.(Golden, 2002:33)
a. Sinopsis Novel Ronggeng Dukuh ParukSrintil adalah ronggeng Dukup PAruk yang kehadirannya sudah lama dinantikan oleh warga setempat. Ronggeng merupakan jati diri Dukuh Paruk, sebuah dusun kecil terpencil yang dilingkupi oleh kebidohan dan kemikinan penduduknya. Dengan cepat Srintil menjadi primadona warga Dukuh Paruk bahkan warga di luar pedukuhan tersebut. Semua laki-laki, dari kaula biasa hingga para pejabat desa dan kabupaten, selalu ingin bersama dengan ronggeng itu, menjamahnya bahkan menikmati tubuh ronggeng itu dengan menidurinya. Srintil yang sesungguhnya mencintai Rasus, kecewa ketika tahu bahwa Rasus pergi meninggalkan dukuh Paruk dan dirinya tanpa berpamitan kepada Srintil. Saat itulah Srintil tahu, bahwa Rasus meinggalkan Srintil karena yakin bahwa cintanya kepada Srintil tidak dapat bersatu karena status Srintil sebagai seorang Ronggeng. Karena hal tersebut Rasus memilih pergi dan hal itu membuat luka yang dalam di hati Srintil, ia menjadi bermuram durja dan memulai ada pergolakan dalam dirinya yang sebagai seorang ronggeng. Malapetaka politik tahu 1965 membuat dukuh mejadi hancur, baik secara fisik maupun mental. Ketidaktahuan dan tidak adanya seorang yang “kuat” dalam desa Dukuh membuat mereka dituduh telah melakukan tindakan provokasi lalu ditahan. Akan tetapi Srintil tidak diperlakukan seperti mereka, Karen ia memiliki wajah cantik.Tahanan politik yang telah dicap kepada dirinya membuat dirinya sadar akan harkatnya sebagai seorang manusia. Setelah bebas, ia berniat memperbaiki citra dirinya dan untuk menjalani hidup normal layaknya perempuan baik-baik pada umumnya, yaitu berkeluarga. Pertemuannya dengan Bajus memberikan keinginan besar untuk menjadi seorang istri. Namun Bajus telah menyakiti hati Srintil hingga ia menjadi depresi dan masuk Rumah Sakit Jiwa lalu Rasus lah yang membawanya. b. Snopsis Novel Memoirs Of GeishaDi mulai dari kisah seorang anak kecil dari Yoroido bernama Chiyo-chan yang dijual ke rumah geisha oleh Tuan Tanaka. Di sana Chiyo menjalani kehidupan sebagai pelayan okiya yang ditindas oleh Hatsumomo, geisha satu-satunya okiya tersebut. Pada akhirnya ia tidak tahan dan mencoba kabur, namun usaha kaburnya ini malah membawanya terancam seumur hidup untuk menjadi pelayan okiya karena Ibu okiya telah menghentikan pendidikannya.
Hingga suatu saat ketika Chiyo menangis meratapi nasibnya di tepi sungai Shirakawa, ia dihibur oleh petinggi Iwamura Elektrik, yang dipanggil Ketua. Terpesona dengan Ketua, Chiyo bertekad untuk berjuang menjadi Geisha top dengan harapan suatu saat ia akan bisa menjadi danna atau isteri simpanan Ketua. Perjuangan berlanjut ketika ia dan kakak Geisha-nya, Mameha, mesti bersaing dengan geisha-geisha lain untuk menjadi Geisha ternama. Musuh utamanya tentu saja geisha yang serumah dengan Chiyo: Hatsumomo yang juga telah mengambil adik: Labu. Labu adalah sahabat Chiyo, namun ketika Chiyo (nama Geishanya adalah Sayuri) diadopsi oleh ibu okiya, persahabatan mereka hancur.
B. ANALISIS1. Sikap Dalam Menerima Keadaan Hidup
Srintil mengalami perjalanan hidup yang sebagian besar mengalami perbudakan atas profesi mereka dengan dijadkan budak seksualitas. Srintil yang sudah terbiasa dengan seruan nakal dan sarat akan hawa nafsu dari laki-laki. Pandangan bakan sikap tidak sopan dari seorang laki-laki juga sudah menjadi santapan Srintil sehari-hari sebagai seorang ronggeng. Hal tersebut ada dala kutipan dibawah ini.
“Eh wong kenes, wong kenes. Aku tahu di dukuh Paruk orang menggosok-gosokkan batu kebadannya bila sedang mandi. Tetapi engkau tak pantas melakukannya. Mandilah dengan sabun mandiku. Tak usah bayar, bila malam nanti kau bukakan pinti bilikmu bagiku. Nah kemarilah.” Berkata demikian tangan Pak Sibar menjulur kearah pinggul Srintil..(Ronggeng Dukuh Paruk:83)
Ekonomi menjadi bagian yang mempengaruhi kehidupan manusia. Ini tidak dapat dipungkiri, bahwa hipotesis Marxis tentang kapitatalistik, membawa dampak yang signifikan terhadap nilai filosifi hidup manusia.Ialah Chiyo, tokoh utama dalam Memoirs of a Geisha yang menjadi geisha sebab faktor ekonomi keluarga. Faktor itulah yang kemudian menjadi embrio dalam membentuk psikologis Chiyo. Dan pada akhirnya perasaan sebagai wanita yang terhegemoni sekaligus menghegemoni patriaki, mewarnai kehidupannya. Posisisi dikotomik-dualistik itulah yang menjadi bagian dalam kehidupan Chiyo sebagai geisha.Berangkat dari keluarga kurang mampu, menyebabkan Chiyo menjadi wanita yang memiliki sikap mengalah untuk diperlakukan oleh orang lain. Sikap itulah yang menjadikan dia sebagai seorang perempuan yang terhegemoni oleh patriaki.
Pakaian Kuniko jauh lebih bagus daripada pakaianku, dan dia memakai zori; tetapi sebagai anak kampong, aku mengejarnya ke hutan dengan telanjang kaki sampai aku berhasil menyusulnya di semacam rumah pohon terbuat dari dahan-dahan pohon yang mati.(Golden, 2002:33)
2. Kepatuhan Kepada Orangtua
Srintil adalah sebuah potret patriarki seorang anak terhadap orangtua atau orang yang usianya lebih tua dari mereka. Kepatuhan yang berlandasakan pada budaya adat, telah membuat mereka tenggelam pada dunia ketidakhormatan sebagai seorang perempuan. Kepatuhan mereka pula lah yang menghantarkan ia sebagai objek seksualitas laki-laki. Takdir Srintil sebagai seorang ronggeng membuat dirinya menjadi objek seksualitas laki-laki . sebagai perempaun bila yang ditakdirkan sebagai ronggeng. Kakek Srintil menyerahkan Srintil kepada dukun ronggeng. Dukun ronggeng yang mengetahui berbagai ritual untuk penyempurnaan menjadi ronggeng, turut enguak keuntungan materi bagi diri mereka. Dukun ronggeng tersebut berdalih, bahw hal itu adalah suatu keharusan bagi Srintil tanpa mempedulikan perasaan Srintil. Hokum adat ini juga lah yang membuat Srintil tak berdaya ketika harus menyerahkan keperawanannya sebagai suatu proses penyempurnaan.
Kebekuan di beranda rumah Kartareja berakhir. Di halaman kelihatan seorang muda datang dengan sepeda berteromol. Dower langsung tahu siapa pemuda itu. Dari suara sepedanya Dower telah memastikan kedatangan Sulam Hati pemuda Pecikalan itu resah karena ia tahu saingan tangguh telah datang. Sebaiknya, Kertareja tersenyum. Dia juga kenal siapa Sulam Adanya; anak seorang lurah kaya dari seberang kampong. Meski sangat muda, Sulam dikenal sebagai penjudi dan berandal. Seorang Kertareja tidak merasa perlu mencari orang-orang alim. Dia hanya memerlukan sebuah ringgit emas sebagai nilai keperawanan Srintl (Ronggeng Dukuh Paruk:71).
. Sikap mengalah Chiyo—akibat faktor ekonomi—membawanya ke dalam sikap pasrah menerima sesuatu yang menimpa dirinya. Sikap itu yang kemudian membawa nuansa lain dalam diri Chiyo. Dia mengalami katakutan ketika harus beradaptasi dengan orang lain. Hal tersebut dapat dilihat dari kekuatirannya ketika dia membayangkan dirinya sebagai anak adopsi Tuan Tanaka.
Sejak saat itu, aku mulai membayangkan bahwa Tuan Tanaka akan mengadopsiku. Kadang-kadang aku lupa betapa tersiksanya aku saat itu.(Golden, 2002:25).
Perasaan tertekan yang dialamai Chiyo semenjak kecil, terus mengendam dalam alam bawah sadarnya. Ketika perasaan itu terus diendapkan, maka perasaan untuk melawan pun akan muncul. Maka, Chiyo pun mulai memiliki sikap perlawanan itu ketika kehidupannya bersama Hatsumomo. Perlawananya itu merupakan benih untuk menentang patriaki
C. KESIMPULANDari pemaparan di atas mengenai perempuan melalui tokoh Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Memoirs Of Geisha dapat di analisis menurut sikap dalam menerima keadaan hidup dan kepatuhan kepada orang tua, Serta pandangan hidup Srintil yang lebih didasarkan oleh system social, status social, dan perbedaan gender, bahwa ia merasa beraa di status social terendah. Pandangan hidup dalam Ronggeng Duku Paruk ini mengenai pandangan sosok perempuan yang mengupayakan keutuhan perempuan sebagai sosok pribadi yang merdeka dan sejajar dengan kaum laki-laki. Pandangan peremuan ini juga tidak melepaskan perempaun yang sebagai kodratnya yaitu merawat, mengasuh, membimbing anak, muali dari hamil, dan membesarkannya.
D. DAFTAR PUSTAKABarthes, Roland. 2007. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa. Alih Bahasa: Ikramullah Mahyuddin. Yogyakarta: Jalasutra.Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.Fananie, Zainudiin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Pres.
A. PENGANTARDalam menciptakan karya sastra, pengarang tidak dapat melepaskan diri dari teks-teks sastra yang lain. Menurut Sitanggang (2003:81) kelahiran suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya sastra yang mendahuluinya, yang pernah diserap oleh sastrawan. Pengarang pada dasarnya tidak hanya sebagai produktor, namun pengarang tidak berangkat dari kekosongan. Melalui karya terdahulu, ia menggulumi konvensi sastranya, konvensi estetinya, gagasan yang tertuang dlam karya itu, kemudian mentransformasikannya ke dalam suatu karangan, karyanya sendiri. (Sitanggang, 2003:81).Karya sastra tidak pernah terlepas dari lingkungan yang mengintarinya, yakni pengarang dan masyarakat. Keduanya memiliki kaitan erat dalam membangun karya sastra yang otonom. Tanpa kehadiran pengarang, karya sastra tidak akan tercipta. Begitu juga dengan masyarakat, tanpanya, mustahil karya sastra dapat lahir begitu saja.Kehadiran masyarakat memberikan nilai-nilai sosial budaya dalam karya sastra. Tidak mengherankan, masyarakat memberikan konstribusi yang sangat besar dalam melahirkan kanon sastra. Seldon (dalam Ratna, 2005:160) mengatakan bahwa kanon-kanon kesusastraan besar dihasilkan oleh masyarakat. Lebih jauh dikatakan Kurniawan (kritiksastra.blogpsot.com) ini berarti bahwa masyarakat memiliki andil besar dalam membentuk dan memberi nilai terhadap karya sastra yang dilahirkannya. Pada akhirnya, kehadiran karya sastra merupakan cermin dari masyrakat. Dan akhirnya, seperti apa yang diungkap Damono dan Kresteva, karya sastra tidak pernah hadir tanpa kekosongan budaya.Keberadaan masyrakat inilah yang dapat memberikan suasana yang sama dalam karya sastra. Maka, kajian sastra bandingan memberikan ruang terhadap segala aspek yang terdapat di dalam karya sastra yang dikaji tersebut.Pada tulisan ini akan dibahas berbagai sikap dan pandangan hidup seorang perempuan melalui tokoh Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan Memoirs of Geisha. Novel ini mengangkat tema perempuan di lingkungannya pada masa itu. Novel ini mengandung unsur feminisme yang terkait dengan hal keperempuanan yang selanjutnya akan dibahas sebagai dasar untuk melihat fenomena sikap dan pandangan hidup seorang perempuan yang tertuang dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Memoirs Of Geisha. Tulisan ini mengangkat perempuan dari segala keadaanya baik itu yang menjadi superioritas maupun inferioritasnya. Focus pembahasan yang menyangkut diri perempuan, yakni mengenai cinta, sesualitas dan kekuasaan perempuan. Keperempuanan dalam hal ini menginterpretasikan bagaimana perempuan melawan, bagaimana perempuan menjadi kuat , tetapi juga bagaimana perempuan menempatkan diri sesuai dengan apa yang dimilki dari dalam dirinya yang seutuhnya. Tokoh perempuan dalam Ronggeng Dukuh Paruk dan Memoirs Of Geisha adalah perempuan yang terjebak dalam kekuasaan politik, jeratan hidup, budaya serta tuntutan profesi yang selalu membawa mereka dalam permasalahan-permasalahan yang tak jarang memaksa untuk meneteskan ar mata. Ekonomi menjadi bagian yang mempengaruhi kehidupan manusia. Ini tidak dapat dipungkiri, bahwa hipotesis Marxis tentang kapitatalistik, membawa dampak yang signifikan terhadap nilai filosifi hidup manusia.Ialah Chiyo, tokoh utama dalam Memoirs of a Geisha yang menjadi geisha sebab faktor ekonomi keluarga. Faktor itulah yang kemudian menjadi embrio dalam membentuk psikologis Chiyo. Dan pada akhirnya perasaan sebagai wanita yang terhegemoni sekaligus menghegemoni patriaki, mewarnai kehidupannya. Posisisi dikotomik-dualistik itulah yang menjadi bagian dalam kehidupan Chiyo sebagai geisha.Berangkat dari keluarga kurang mampu, menyebabkan Chiyo menjadi wanita yang memiliki sikap mengalah untuk diperlakukan oleh orang lain. Sikap itulah yang menjadikan dia sebagai seorang perempuan yang terhegemoni oleh patriaki.
Pakaian Kuniko jauh lebih bagus daripada pakaianku, dan dia memakai zori; tetapi sebagai anak kampong, aku mengejarnya ke hutan dengan telanjang kaki sampai aku berhasil menyusulnya di semacam rumah pohon terbuat dari dahan-dahan pohon yang mati.(Golden, 2002:33)
a. Sinopsis Novel Ronggeng Dukuh ParukSrintil adalah ronggeng Dukup PAruk yang kehadirannya sudah lama dinantikan oleh warga setempat. Ronggeng merupakan jati diri Dukuh Paruk, sebuah dusun kecil terpencil yang dilingkupi oleh kebidohan dan kemikinan penduduknya. Dengan cepat Srintil menjadi primadona warga Dukuh Paruk bahkan warga di luar pedukuhan tersebut. Semua laki-laki, dari kaula biasa hingga para pejabat desa dan kabupaten, selalu ingin bersama dengan ronggeng itu, menjamahnya bahkan menikmati tubuh ronggeng itu dengan menidurinya. Srintil yang sesungguhnya mencintai Rasus, kecewa ketika tahu bahwa Rasus pergi meninggalkan dukuh Paruk dan dirinya tanpa berpamitan kepada Srintil. Saat itulah Srintil tahu, bahwa Rasus meinggalkan Srintil karena yakin bahwa cintanya kepada Srintil tidak dapat bersatu karena status Srintil sebagai seorang Ronggeng. Karena hal tersebut Rasus memilih pergi dan hal itu membuat luka yang dalam di hati Srintil, ia menjadi bermuram durja dan memulai ada pergolakan dalam dirinya yang sebagai seorang ronggeng. Malapetaka politik tahu 1965 membuat dukuh mejadi hancur, baik secara fisik maupun mental. Ketidaktahuan dan tidak adanya seorang yang “kuat” dalam desa Dukuh membuat mereka dituduh telah melakukan tindakan provokasi lalu ditahan. Akan tetapi Srintil tidak diperlakukan seperti mereka, Karen ia memiliki wajah cantik.Tahanan politik yang telah dicap kepada dirinya membuat dirinya sadar akan harkatnya sebagai seorang manusia. Setelah bebas, ia berniat memperbaiki citra dirinya dan untuk menjalani hidup normal layaknya perempuan baik-baik pada umumnya, yaitu berkeluarga. Pertemuannya dengan Bajus memberikan keinginan besar untuk menjadi seorang istri. Namun Bajus telah menyakiti hati Srintil hingga ia menjadi depresi dan masuk Rumah Sakit Jiwa lalu Rasus lah yang membawanya. b. Snopsis Novel Memoirs Of GeishaDi mulai dari kisah seorang anak kecil dari Yoroido bernama Chiyo-chan yang dijual ke rumah geisha oleh Tuan Tanaka. Di sana Chiyo menjalani kehidupan sebagai pelayan okiya yang ditindas oleh Hatsumomo, geisha satu-satunya okiya tersebut. Pada akhirnya ia tidak tahan dan mencoba kabur, namun usaha kaburnya ini malah membawanya terancam seumur hidup untuk menjadi pelayan okiya karena Ibu okiya telah menghentikan pendidikannya.
Hingga suatu saat ketika Chiyo menangis meratapi nasibnya di tepi sungai Shirakawa, ia dihibur oleh petinggi Iwamura Elektrik, yang dipanggil Ketua. Terpesona dengan Ketua, Chiyo bertekad untuk berjuang menjadi Geisha top dengan harapan suatu saat ia akan bisa menjadi danna atau isteri simpanan Ketua. Perjuangan berlanjut ketika ia dan kakak Geisha-nya, Mameha, mesti bersaing dengan geisha-geisha lain untuk menjadi Geisha ternama. Musuh utamanya tentu saja geisha yang serumah dengan Chiyo: Hatsumomo yang juga telah mengambil adik: Labu. Labu adalah sahabat Chiyo, namun ketika Chiyo (nama Geishanya adalah Sayuri) diadopsi oleh ibu okiya, persahabatan mereka hancur.
B. ANALISIS1. Sikap Dalam Menerima Keadaan Hidup
Srintil mengalami perjalanan hidup yang sebagian besar mengalami perbudakan atas profesi mereka dengan dijadkan budak seksualitas. Srintil yang sudah terbiasa dengan seruan nakal dan sarat akan hawa nafsu dari laki-laki. Pandangan bakan sikap tidak sopan dari seorang laki-laki juga sudah menjadi santapan Srintil sehari-hari sebagai seorang ronggeng. Hal tersebut ada dala kutipan dibawah ini.
“Eh wong kenes, wong kenes. Aku tahu di dukuh Paruk orang menggosok-gosokkan batu kebadannya bila sedang mandi. Tetapi engkau tak pantas melakukannya. Mandilah dengan sabun mandiku. Tak usah bayar, bila malam nanti kau bukakan pinti bilikmu bagiku. Nah kemarilah.” Berkata demikian tangan Pak Sibar menjulur kearah pinggul Srintil..(Ronggeng Dukuh Paruk:83)
Ekonomi menjadi bagian yang mempengaruhi kehidupan manusia. Ini tidak dapat dipungkiri, bahwa hipotesis Marxis tentang kapitatalistik, membawa dampak yang signifikan terhadap nilai filosifi hidup manusia.Ialah Chiyo, tokoh utama dalam Memoirs of a Geisha yang menjadi geisha sebab faktor ekonomi keluarga. Faktor itulah yang kemudian menjadi embrio dalam membentuk psikologis Chiyo. Dan pada akhirnya perasaan sebagai wanita yang terhegemoni sekaligus menghegemoni patriaki, mewarnai kehidupannya. Posisisi dikotomik-dualistik itulah yang menjadi bagian dalam kehidupan Chiyo sebagai geisha.Berangkat dari keluarga kurang mampu, menyebabkan Chiyo menjadi wanita yang memiliki sikap mengalah untuk diperlakukan oleh orang lain. Sikap itulah yang menjadikan dia sebagai seorang perempuan yang terhegemoni oleh patriaki.
Pakaian Kuniko jauh lebih bagus daripada pakaianku, dan dia memakai zori; tetapi sebagai anak kampong, aku mengejarnya ke hutan dengan telanjang kaki sampai aku berhasil menyusulnya di semacam rumah pohon terbuat dari dahan-dahan pohon yang mati.(Golden, 2002:33)
2. Kepatuhan Kepada Orangtua
Srintil adalah sebuah potret patriarki seorang anak terhadap orangtua atau orang yang usianya lebih tua dari mereka. Kepatuhan yang berlandasakan pada budaya adat, telah membuat mereka tenggelam pada dunia ketidakhormatan sebagai seorang perempuan. Kepatuhan mereka pula lah yang menghantarkan ia sebagai objek seksualitas laki-laki. Takdir Srintil sebagai seorang ronggeng membuat dirinya menjadi objek seksualitas laki-laki . sebagai perempaun bila yang ditakdirkan sebagai ronggeng. Kakek Srintil menyerahkan Srintil kepada dukun ronggeng. Dukun ronggeng yang mengetahui berbagai ritual untuk penyempurnaan menjadi ronggeng, turut enguak keuntungan materi bagi diri mereka. Dukun ronggeng tersebut berdalih, bahw hal itu adalah suatu keharusan bagi Srintil tanpa mempedulikan perasaan Srintil. Hokum adat ini juga lah yang membuat Srintil tak berdaya ketika harus menyerahkan keperawanannya sebagai suatu proses penyempurnaan.
Kebekuan di beranda rumah Kartareja berakhir. Di halaman kelihatan seorang muda datang dengan sepeda berteromol. Dower langsung tahu siapa pemuda itu. Dari suara sepedanya Dower telah memastikan kedatangan Sulam Hati pemuda Pecikalan itu resah karena ia tahu saingan tangguh telah datang. Sebaiknya, Kertareja tersenyum. Dia juga kenal siapa Sulam Adanya; anak seorang lurah kaya dari seberang kampong. Meski sangat muda, Sulam dikenal sebagai penjudi dan berandal. Seorang Kertareja tidak merasa perlu mencari orang-orang alim. Dia hanya memerlukan sebuah ringgit emas sebagai nilai keperawanan Srintl (Ronggeng Dukuh Paruk:71).
. Sikap mengalah Chiyo—akibat faktor ekonomi—membawanya ke dalam sikap pasrah menerima sesuatu yang menimpa dirinya. Sikap itu yang kemudian membawa nuansa lain dalam diri Chiyo. Dia mengalami katakutan ketika harus beradaptasi dengan orang lain. Hal tersebut dapat dilihat dari kekuatirannya ketika dia membayangkan dirinya sebagai anak adopsi Tuan Tanaka.
Sejak saat itu, aku mulai membayangkan bahwa Tuan Tanaka akan mengadopsiku. Kadang-kadang aku lupa betapa tersiksanya aku saat itu.(Golden, 2002:25).
Perasaan tertekan yang dialamai Chiyo semenjak kecil, terus mengendam dalam alam bawah sadarnya. Ketika perasaan itu terus diendapkan, maka perasaan untuk melawan pun akan muncul. Maka, Chiyo pun mulai memiliki sikap perlawanan itu ketika kehidupannya bersama Hatsumomo. Perlawananya itu merupakan benih untuk menentang patriaki
C. KESIMPULANDari pemaparan di atas mengenai perempuan melalui tokoh Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Memoirs Of Geisha dapat di analisis menurut sikap dalam menerima keadaan hidup dan kepatuhan kepada orang tua, Serta pandangan hidup Srintil yang lebih didasarkan oleh system social, status social, dan perbedaan gender, bahwa ia merasa beraa di status social terendah. Pandangan hidup dalam Ronggeng Duku Paruk ini mengenai pandangan sosok perempuan yang mengupayakan keutuhan perempuan sebagai sosok pribadi yang merdeka dan sejajar dengan kaum laki-laki. Pandangan peremuan ini juga tidak melepaskan perempaun yang sebagai kodratnya yaitu merawat, mengasuh, membimbing anak, muali dari hamil, dan membesarkannya.
D. DAFTAR PUSTAKABarthes, Roland. 2007. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa. Alih Bahasa: Ikramullah Mahyuddin. Yogyakarta: Jalasutra.Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.Fananie, Zainudiin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Pres.
resensi buku1
Dalam kesusastraan, teori ktirik sastra kiri (genetik) biasanya diterapkan pada bidang khusus, yakni karya sastra dalam bentuknya yang masih umum.walaupun demikian meode inilah yang paling mutakhir dalam bidang ilmu-ilmu kemanusiaan, khususnya sosiologi sastra.
Kritik sastra telah mengembangkan suatu metode evaluasi yang baru (sehingga) tidak lagi bersifat lokal seperti negara Perancis dan Inggris, namun penelitian dalam perkembagan kritik sastra mempunyai kecendrungan yang asli dari jaman dahulu sampai sekarang. Tujuh kecendrungan itu adalah (1) kritik sastra Marxisme, (2) kritik sastra Psikoanalisis (3) Kritik Linguistik (4) kritik sastra Eksistensialisme(5) kritik formalisme baru (6) kritik srukturalisme (7) kritik mitos.Diantara kecendrungan itu, kritik Marxisme menjadi yang paling berkembang. Kritik tersebut berkembang luas pada abad ke-19. Hal ini disebabkan teori Marxis yang digunakan untuk berbagai kepentingan, mulai dari cara memberikan penjelasan fenomena sosial dalam sastra, lalu ada yang menggunakannya sebagai “senjata” dalam menghadapi berbagai polemik.Kritik sastra ini bermula dari hipotesis yang mengatakan bahwa hampir semua sifat yang mengalir dalam tubuh manusia budaya yang semua sifat kecenderungannya merupakan sistem pribadi di dalam upaya memberi jawaban bermakna dari situasi tertentu; dan cenderung pula menunjukkan upaya yang bersifat penyeimbangan antara dirinya dengan objek yang berada di dalam lingkungan sosialnya. Cikal –bakal Kritik Sastra KiriDalam hubungan logis, buku ini mencoba untuk memisahkan antara sosiologi isi dan sosiologi struktural. Perbedaan itu meliputi beberapa hal, di antaranya (1) suatu karya sastra dianggap merefleksikan kesadaran kelompok social, dan (2) mereka berbeda dalam hal melihat kepentingan elemen-elemen novel yang bertalian dengan kesadaran kelompok sosialnya. Dalam hal ini sosiologi isi dianggap lebih penting karena digunakan untuk membahas karya-karya sastra biografis, sedangkan kritik sastra kiri (genetik) lebih efektif digunakan untuk membahas hubungan social karya besar yang muncul di dalam dunia kesusastraan itu sendiri. Kritik sastra bermula dari hipotesis yag mengatakan hampir semua sifat kecendrungan manusia budaya sekaligus nerupakan sistem pribadi di dalam upaya memberi jawaban bermakna dari situasi tertentu; dan yang cenderung pula menunjukkan upaya yang bersifat penyeimbangan antara dirinya dengan objek yang berada di dalam lingkungan sosialnya. Adapun dalam buku ini menyebutkan bahwa kritik Marxis hanya menggunakan “Sosiologi sastra” yang mengkaji novel-novel dipublikasikan dan apakah karya-karya itu menyebutkan kelas pekerja? Namun, juga menyeret teks-teks sastra ke dalam bentuk ,gaya, dan makna. Namun ini juga berarti bentuk penyerapan bentuk, gaya,dan makna tersebut sebaai bentuk sejarah tertentu (Ealeto, 2002:4) hal.125Ciri-ciri Konseptual Kritik Sastra KiriUntuk memahami ciri-ciri konseptual pendekatan kritik sastra kiri diperlukan pemahaman latar belakang epistemologis (pemunculan) teori strukturalisme-genetik Goldmann. Dalam hubungan ini, beberapa komentar mengenai hal itu dapat direnungkan, antara lain seperti dikemukakan Eagleton, Umar Junu sebagai berikut.Eagleton mengatakan bahwa pendekatan strukturalisme-genetik menempati posisi antara strukturalisme yang ahistoris dan historis di satu pihak dan posisi antara dektum engels dan Hegelian (dialektika) di pihak yang lainnya. Umar junus juag mengatakan bahwa Goldmann menggunakan konsep dialektika yang bersumber dari Engels dan Hegelian. Lalu adanya pengaruh Marxisme pada pandangan teoretik Goldmann (Junus, 1982:42).
Buku ini membahas ciri-ciri metodisnya yang dilakukan dengan maksud untuk menegaskan strukturalisme-genetik dengan kejelasan ciri konseptualnya. Hal ini dapat dibayangkan untuk aplikasi kalangan besar. Ciri ini berangkat dari sifat pembawaan pada teori pendekatan genetika itu sendiri yang berangkat dari gagasan untuk mengembankan model yang menyebutkan bahwa ada kecendrungan manusia menstrukturasikan diri sebagai cara menjawab situasi sosial.Buku ini lebih menekankan pada teori Goldmann dengan cakupan telaah yang mempengaruhi pandangannya. Dengan latar belakang teori Goldmann maka diketahui tipikalitas, ciri-ciri, serta pandangan-pandangannya tentang karya besar. Kelemahan dari kritik sastra genetik adalah pada upaya penggagasnya untuk melihat unsur intrinsik novel, yang disebutnya dengan struktur bermakna (significant). Hal ini dimaksudkan untuk mengisi kekurangan sosiologi sastra isi yang umumnya hanya merenggut isi novel begitu saja, tanpa usaha untuk menempatka novel sebagai karya seni yang ada gilirannya adalah karya sastra. Buku yang sarat akan isi dari ide Golmann yang mengungkap hubungan antar structural-genetisnya dengan pemikiran Marxis,membuat suatu kemajuan dalam bidang kritik sastra mutakhir, klasik dengan bebas. Hal ini didukung oleh adanya batasan data empiris yang jelas, yakni data empiris yang dianggap sebagai unsure penyumbang kepada struktur dan yang dapat disispkan ke dalam suatu karyabesar. Kedua struktur yang menurut pandangan sosiologi sastra lain dilihat berbeda namun Goldmann memandangnya sama, setidaknya berhubungan secara sistematis. Dari hasil pengamatan, nampaknya buku ini layak dimiliki oleh pemerhati ktirik sastra lalu para mahasiswa dan dosen yang ingin memperkaya khasanah ragam kritik sastra mutakhir pada jaman modern ini.
Rendy PribadiJUSUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIAUNIVERSITAS NEGERI JAKARTA2009
Kritik sastra telah mengembangkan suatu metode evaluasi yang baru (sehingga) tidak lagi bersifat lokal seperti negara Perancis dan Inggris, namun penelitian dalam perkembagan kritik sastra mempunyai kecendrungan yang asli dari jaman dahulu sampai sekarang. Tujuh kecendrungan itu adalah (1) kritik sastra Marxisme, (2) kritik sastra Psikoanalisis (3) Kritik Linguistik (4) kritik sastra Eksistensialisme(5) kritik formalisme baru (6) kritik srukturalisme (7) kritik mitos.Diantara kecendrungan itu, kritik Marxisme menjadi yang paling berkembang. Kritik tersebut berkembang luas pada abad ke-19. Hal ini disebabkan teori Marxis yang digunakan untuk berbagai kepentingan, mulai dari cara memberikan penjelasan fenomena sosial dalam sastra, lalu ada yang menggunakannya sebagai “senjata” dalam menghadapi berbagai polemik.Kritik sastra ini bermula dari hipotesis yang mengatakan bahwa hampir semua sifat yang mengalir dalam tubuh manusia budaya yang semua sifat kecenderungannya merupakan sistem pribadi di dalam upaya memberi jawaban bermakna dari situasi tertentu; dan cenderung pula menunjukkan upaya yang bersifat penyeimbangan antara dirinya dengan objek yang berada di dalam lingkungan sosialnya. Cikal –bakal Kritik Sastra KiriDalam hubungan logis, buku ini mencoba untuk memisahkan antara sosiologi isi dan sosiologi struktural. Perbedaan itu meliputi beberapa hal, di antaranya (1) suatu karya sastra dianggap merefleksikan kesadaran kelompok social, dan (2) mereka berbeda dalam hal melihat kepentingan elemen-elemen novel yang bertalian dengan kesadaran kelompok sosialnya. Dalam hal ini sosiologi isi dianggap lebih penting karena digunakan untuk membahas karya-karya sastra biografis, sedangkan kritik sastra kiri (genetik) lebih efektif digunakan untuk membahas hubungan social karya besar yang muncul di dalam dunia kesusastraan itu sendiri. Kritik sastra bermula dari hipotesis yag mengatakan hampir semua sifat kecendrungan manusia budaya sekaligus nerupakan sistem pribadi di dalam upaya memberi jawaban bermakna dari situasi tertentu; dan yang cenderung pula menunjukkan upaya yang bersifat penyeimbangan antara dirinya dengan objek yang berada di dalam lingkungan sosialnya. Adapun dalam buku ini menyebutkan bahwa kritik Marxis hanya menggunakan “Sosiologi sastra” yang mengkaji novel-novel dipublikasikan dan apakah karya-karya itu menyebutkan kelas pekerja? Namun, juga menyeret teks-teks sastra ke dalam bentuk ,gaya, dan makna. Namun ini juga berarti bentuk penyerapan bentuk, gaya,dan makna tersebut sebaai bentuk sejarah tertentu (Ealeto, 2002:4) hal.125Ciri-ciri Konseptual Kritik Sastra KiriUntuk memahami ciri-ciri konseptual pendekatan kritik sastra kiri diperlukan pemahaman latar belakang epistemologis (pemunculan) teori strukturalisme-genetik Goldmann. Dalam hubungan ini, beberapa komentar mengenai hal itu dapat direnungkan, antara lain seperti dikemukakan Eagleton, Umar Junu sebagai berikut.Eagleton mengatakan bahwa pendekatan strukturalisme-genetik menempati posisi antara strukturalisme yang ahistoris dan historis di satu pihak dan posisi antara dektum engels dan Hegelian (dialektika) di pihak yang lainnya. Umar junus juag mengatakan bahwa Goldmann menggunakan konsep dialektika yang bersumber dari Engels dan Hegelian. Lalu adanya pengaruh Marxisme pada pandangan teoretik Goldmann (Junus, 1982:42).
Buku ini membahas ciri-ciri metodisnya yang dilakukan dengan maksud untuk menegaskan strukturalisme-genetik dengan kejelasan ciri konseptualnya. Hal ini dapat dibayangkan untuk aplikasi kalangan besar. Ciri ini berangkat dari sifat pembawaan pada teori pendekatan genetika itu sendiri yang berangkat dari gagasan untuk mengembankan model yang menyebutkan bahwa ada kecendrungan manusia menstrukturasikan diri sebagai cara menjawab situasi sosial.Buku ini lebih menekankan pada teori Goldmann dengan cakupan telaah yang mempengaruhi pandangannya. Dengan latar belakang teori Goldmann maka diketahui tipikalitas, ciri-ciri, serta pandangan-pandangannya tentang karya besar. Kelemahan dari kritik sastra genetik adalah pada upaya penggagasnya untuk melihat unsur intrinsik novel, yang disebutnya dengan struktur bermakna (significant). Hal ini dimaksudkan untuk mengisi kekurangan sosiologi sastra isi yang umumnya hanya merenggut isi novel begitu saja, tanpa usaha untuk menempatka novel sebagai karya seni yang ada gilirannya adalah karya sastra. Buku yang sarat akan isi dari ide Golmann yang mengungkap hubungan antar structural-genetisnya dengan pemikiran Marxis,membuat suatu kemajuan dalam bidang kritik sastra mutakhir, klasik dengan bebas. Hal ini didukung oleh adanya batasan data empiris yang jelas, yakni data empiris yang dianggap sebagai unsure penyumbang kepada struktur dan yang dapat disispkan ke dalam suatu karyabesar. Kedua struktur yang menurut pandangan sosiologi sastra lain dilihat berbeda namun Goldmann memandangnya sama, setidaknya berhubungan secara sistematis. Dari hasil pengamatan, nampaknya buku ini layak dimiliki oleh pemerhati ktirik sastra lalu para mahasiswa dan dosen yang ingin memperkaya khasanah ragam kritik sastra mutakhir pada jaman modern ini.
Rendy PribadiJUSUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIAUNIVERSITAS NEGERI JAKARTA2009
Langganan:
Postingan (Atom)