Ekonomi syariah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi syariah atau sistim ekonomi koperasi berbeda dari kapitalisme, sosialisme, maupun negara kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam kaca mata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi ibadah.
Sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan ekonomi kapitalis, sosialis maupun komunis. Ekonomi syariah bukan pula berada ditengah-tengah ketiga sistem ekonomi itu. Sangat bertolak belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis yang memberikan hampir semua tanggungjawab kepada warganya serta komunis yang ekstrim, ekonomi Islam menetapkan bentuk perdagangan serta perkhidmatan yang boleh dan tidak boleh di transaksikan. Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha.
Ciri khas ekonomi syariah
Tidak banyak yang dikemukakan dalam Al Qur'an, dan hanya prinsip-prinsip yang mendasar saja. Karena alasan-alasan yang sangat tepat, Al Qur'an dan Sunnah banyak sekali membahas tentang bagaimana seharusnya kaum Muslim berprilaku sebagai produsen, konsumen dan pemilik modal, tetapi hanya sedikit tentang sistem ekonomi. Sebagaimana diungkapkan dalam pembahasan diatas, ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha. Selain itu, ekonomi syariah menekankan empat sifat, antara lain:
1. Kesatuan (unity)
2. Keseimbangan (equilibrium)
3. Kebebasan (free will)
4. Tanggungjawab (responsibility)
Manusia sebagai wakil (khalifah) Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik, karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di bumi[2]. Didalam menjalankan kegiatan ekonominya, Islam sangat mengharamkan kegiatan riba, yang dari segi bahasa berarti "kelebihan"[6]. Dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 275[7] disebutkan bahwa Orang-orang yang makan (mengambil) riba[8] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[9]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...
Catatan
1. a b UIKA Bogor. Swipa.
2. a b Jurnal Ekonomi Rakyat. Swipa.
3. Waspada Online. Swipa.
4. Berita Harian. Swipa.
5. Hofmann Murad (2002). Menengok Kembali Islam Kita. Pustaka Hidayah.
6. Shihab Quraish (1996). Wawasan Al Qur'an. Mizan.
7. Terjemahan Al Qur'an dari Khadim al Haramain asy Syarifain (Pelayan kedua Tanah Suci) Raja Fahd ibn 'Abd al 'Aziz Al Sa'ud
8. Riba itu ada dua macam:nasiah dan fadhi. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhi ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda dan umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah
9. ^ Maksudnya:orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan
Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.
Sejarah
Latar belakang
Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.
Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam.
Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam.
Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah [[haji].
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. [1].Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero), Bank Rakyat Indonesia (Persero)dan Bank swasta nasional: Bank Tabungan Pensiunan Nasional (Tbk).
Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah. [sunting] Prinsip perbankan syariah
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain [2]:
* Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
* Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
* Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
* Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
* Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
[sunting] Produk perbankan syariah
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain: [sunting] Jasa untuk peminjam dana
Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan
* Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh:harga rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
Takaful (asuransi islam)
[sunting] Jasa untuk penyimpan dana
Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah.
Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.
Tantangan Pengelolaan Dana
Laju pertumbuhan perbankan syariah di tingkat global tak diragukan lagi. Aset lembaga keuangan syariah di dunia diperkirakan mencapai 250 miliar dollar AS, tumbuh rata-rata lebih dari 15 persen per tahun. Di Indonesia, volume usaha perbankan syariah selama lima tahun terakhir rata-rata tumbuh 60 persen per tahun. Tahun 2005, perbankan syariah Indonesia membukukan laba Rp 238,6 miliar, meningkat 47 persen dari tahun sebelumnya. Meski begitu, Indonesia yang memiliki potensi pasar sangat luas untuk perbankan syariah, masih tertinggal jauh di belakang Malaysia.
Tahun lalu, perbankan syariah Malaysia mencetak profit lebih dari satu miliar ringgit (272 juta dollar AS). Akhir Maret 2006, aset perbankan syariah di negeri jiran ini hampir mencapai 12 persen dari total aset perbankan nasional. Sedangkan di Indonesia, aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total aset perbankan. Bank Indonesia memprediksi, akselerasi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia baru akan dimulai tahun ini.
Implementasi kebijakan office channeling, dukungan akseleratif pemerintah berupa pengelolaan rekening haji yang akan dipercayakan pada perbankan syariah, serta hadirnya investor-investor baru akan mendorong pertumbuhan bisnis syariah. Konsultan perbankan syariah, Adiwarman Azwar Karim, berpendapat, perkembangan perbankan syariah antara lain akan ditandai penerbitan obligasi berbasis syariah atau sukuk yang dipersiapkan pemerintah.
Sejumlah bank asing di Indonesia, seperti Citibank dan HSBC, bahkan bersiap menyambut penerbitan sukuk dengan membuka unit usaha syariah. Sementara itu sejumlah investor dari negara Teluk juga tengah bersiap membeli bank-bank di Indonesia untuk dikonversi menjadi bank syariah. Kriteria bank yang dipilih umumnya beraset relatif kecil, antara Rp 500 miliar dan Rp 2 triliun. Setelah dikonversi, bank-bank tersebut diupayakan melakukan sindikasi pembiayaan proyek besar, melibatkan lembaga keuangan global. [sunting] Penghimpunan dana
Selain investor asing, penghimpunan dana perbankan syariah dari dalam negeri akan didongkrak penerapan office-channeling yang didasari Peraturan BI Nomor 8/3/PBI/2006. Aturan ini memungkinkan cabang bank umum yang mempunyai unit usaha syariah melayani produk dan layanan syariah, khususnya pembukaan rekening, setor, dan tarik tunai.
Sampai saat ini, office channeling baru digunakan BNI Syariah dan Permata Bank Syariah. Sejumlah 212 kantor cabang Bank Permata di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, dan Surabaya sudah dapat melayani produk dan layanan syariah sejak awal Maret lalu. Sementara tahap awal office channeling BNI Syariah dimulai 21 April 2006 pada 29 kantor cabang utama BNI di wilayah Jabotabek. Ditargetkan 151 kantor cabang utama BNI di seluruh Indonesia akan menyusul.
General Manager BNI Syariah Suhardi beberapa pekan lalu menjelaskan, untuk memudahkan masyarakat mengakses layanan syariah, diluncurkan pula BNI Syariah Card. Kartu ini memungkinkan nasabah syariah menggunakan seluruh delivery channel yang dipunyai BNI, seluruh ATM BNI, ATM Link, ATM Bersama, dan jaringan ATM Cirrus International di seluruh dunia.
Hasil penelitian dan permodelan potensi serta preferensi masyarakat terhadap bank syariah yang dilakukan BI tahun lalu menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap perbankan syariah. Namun, sebagian besar responden mengeluhkan kualitas pelayanan, termasuk keterjangkauan jaringan yang rendah. Kelemahan inilah yang coba diatasi dengan office channeling.
Dana terhimpun juga akan meningkat terkait rencana pemerintah menyimpan biaya ibadah haji pada perbankan syariah. Dengan kuota 200.000 calon jemaah haji, jika masing-masing calon jemaah haji menyimpan Rp 20 juta, akan terhimpun dana Rp 4 triliun yang hanya dititipkan ke bank syariah selama sekitar empat bulan. Dana haji yang terhimpun dalam jumlah besar dalam waktu relatif pendek akan mendorong munculnya instrumen investasi syariah. Dana terhimpun itu bahkan cukup menarik bagi pebisnis keuangan global untuk meluncurkan produk investasi syariah.
Di sisi lain, suku bunga perbankan konvensional diperkirakan akan turun. Menurut Adiwarman, bagi hasil perbankan syariah yang saat ini berkisar 8-10 persen, membuat perbankan syariah cukup kompetitif terhadap bank konvensional. "Dengan selisih sekitar dua persen (dari tingkat bunga bank konvensional), orang masih tahan di bank syariah, tetapi lebih dari itu, iman bisa juga tergoda untuk pindah ke bank konvensional," kata Adiwarman menjelaskan pola perilaku nasabah yang tidak terlalu loyal syariah.
Berdasarkan analisis BI, tren meningkatnya suku bunga pada triwulan ketiga tahun 2005 juga sempat membuat perbankan syariah menghadapi risiko pengalihan dana (dari bank syariah ke bank konvensional). Diperkirakan lebih dari Rp 1 triliun dana nasabah dialihkan pada triwulan ketiga tahun lalu. Namun, kepercayaan deposan pada perbankan syariah terbukti dapat dipulihkan dengan pertumbuhan dana pihak ketiga yang mencapai Rp 2,2 triliun pada akhir tahun. Kenaikan akumulasi dana pihak ketiga perbankan syariah merupakan peluang, sekaligus tantangan, karena tanpa pengelolaan yang tepat justru masalah akan datang.
Perbankan syariah sempat dituding "kurang gaul" dalam lingkungan pembiayaan karena sejumlah nasabah yang dianggap bermasalah pada bank konvensional justru memperoleh pembiayaan dari bank syariah. Akan tetapi, Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia Wahyu Dwi Agung meyakini, dengan sistem informasi biro kredit BI yang memuat data seluruh debitor, tudingan seperti itu tidak akan terjadi lagi.
Posisi rasio pembiayaan yang bermasalah (non-performing financings) pada perbankan syariah tercatat naik dari 2,82 persen pada Desember 2005 menjadi 4,27 persen Maret lalu. Rasio ini dinilai masih terkendali.
Kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses layanan perbankan syariah dan ketersediaan produk investasi syariah tidak akan optimal tanpa promosi dan edukasi yang memadai tentang lembaga keuangan syariah. Amat dibutuhkan pula jaminan produk yang ditawarkan patuh terhadap prinsip syariah.
Peluang dan potensi perbankan syariah yang besar memang menuntut kerja keras untuk kemaslahatan.
Prinsip perbankan syariah
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain:
Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
• Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
[sunting] Produk perbankan syariah
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:
[sunting] Jasa untuk peminjam dana
• Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan. [2]
• Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan[3]
• Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh:harga rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah. [4]
• Takaful (asuransi islam)
[sunting] Jasa untuk penyimpan dana
• Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah. [5]
• Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.
[sunting] Tantangan Pengelolaan Dana
Laju pertumbuhan perbankan syariah di tingkat global tak diragukan lagi. Aset lembaga keuangan syariah di dunia diperkirakan mencapai 250 miliar dollar AS, tumbuh rata-rata lebih dari 15 persen per tahun. Di Indonesia, volume usaha perbankan syariah selama lima tahun terakhir rata-rata tumbuh 60 persen per tahun. Tahun 2005, perbankan syariah Indonesia membukukan laba Rp 238,6 miliar, meningkat 47 persen dari tahun sebelumnya. Meski begitu, Indonesia yang memiliki potensi pasar sangat luas untuk perbankan syariah, masih tertinggal jauh di belakang Malaysia.
Tahun lalu, perbankan syariah Malaysia mencetak profit lebih dari satu miliar ringgit (272 juta dollar AS). Akhir Maret 2006, aset perbankan syariah di negeri jiran ini hampir mencapai 12 persen dari total aset perbankan nasional. Sedangkan di Indonesia, aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total aset perbankan. Bank Indonesia memprediksi, akselerasi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia baru akan dimulai tahun ini.
Implementasi kebijakan office channeling, dukungan akseleratif pemerintah berupa pengelolaan rekening haji yang akan dipercayakan pada perbankan syariah, serta hadirnya investor-investor baru akan mendorong pertumbuhan bisnis syariah. Konsultan perbankan syariah, Adiwarman Azwar Karim, berpendapat, perkembangan perbankan syariah antara lain akan ditandai penerbitan obligasi berbasis syariah atau sukuk yang dipersiapkan pemerintah.
Sejumlah bank asing di Indonesia, seperti Citibank dan HSBC, bahkan bersiap menyambut penerbitan sukuk dengan membuka unit usaha syariah. Sementara itu sejumlah investor dari negara Teluk juga tengah bersiap membeli bank-bank di Indonesia untuk dikonversi menjadi bank syariah. Kriteria bank yang dipilih umumnya beraset relatif kecil, antara Rp 500 miliar dan Rp 2 triliun. Setelah dikonversi, bank-bank tersebut diupayakan melakukan sindikasi pembiayaan proyek besar, melibatkan lembaga keuangan global.
[sunting] Penghimpunan dana
Selain investor asing, penghimpunan dana perbankan syariah dari dalam negeri akan didongkrak penerapan office-channeling yang didasari Peraturan BI Nomor 8/3/PBI/2006. Aturan ini memungkinkan cabang bank umum yang mempunyai unit usaha syariah melayani produk dan layanan syariah, khususnya pembukaan rekening, setor, dan tarik tunai.
Sampai saat ini, office channeling baru digunakan BNI Syariah dan Permata Bank Syariah. Sejumlah 212 kantor cabang Bank Permata di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, dan Surabaya sudah dapat melayani produk dan layanan syariah sejak awal Maret lalu. Sementara tahap awal office channeling BNI Syariah dimulai 21 April 2006 pada 29 kantor cabang utama BNI di wilayah Jabotabek. Ditargetkan 151 kantor cabang utama BNI di seluruh Indonesia akan menyusul.
General Manager BNI Syariah Suhardi beberapa pekan lalu menjelaskan, untuk memudahkan masyarakat mengakses layanan syariah, diluncurkan pula BNI Syariah Card. Kartu ini memungkinkan nasabah syariah menggunakan seluruh delivery channel yang dipunyai BNI, seluruh ATM BNI, ATM Link, ATM Bersama, dan jaringan ATM Cirrus International di seluruh dunia.
Hasil penelitian dan permodelan potensi serta preferensi masyarakat terhadap bank syariah yang dilakukan BI tahun lalu menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap perbankan syariah. Namun, sebagian besar responden mengeluhkan kualitas pelayanan, termasuk keterjangkauan jaringan yang rendah. Kelemahan inilah yang coba diatasi dengan office channeling.
Dana terhimpun juga akan meningkat terkait rencana pemerintah menyimpan biaya ibadah haji pada perbankan syariah. Dengan kuota 200.000 calon jemaah haji, jika masing-masing calon jemaah haji menyimpan Rp 20 juta, akan terhimpun dana Rp 4 triliun yang hanya dititipkan ke bank syariah selama sekitar empat bulan. Dana haji yang terhimpun dalam jumlah besar dalam waktu relatif pendek akan mendorong munculnya instrumen investasi syariah. Dana terhimpun itu bahkan cukup menarik bagi pebisnis keuangan global untuk meluncurkan produk investasi syariah.
Di sisi lain, suku bunga perbankan konvensional diperkirakan akan turun. Menurut Adiwarman, bagi hasil perbankan syariah yang saat ini berkisar 8-10 persen, membuat perbankan syariah cukup kompetitif terhadap bank konvensional. "Dengan selisih sekitar dua persen (dari tingkat bunga bank konvensional), orang masih tahan di bank syariah, tetapi lebih dari itu, iman bisa juga tergoda untuk pindah ke bank konvensional," kata Adiwarman menjelaskan pola perilaku nasabah yang tidak terlalu loyal syariah.
Berdasarkan analisis BI, tren meningkatnya suku bunga pada triwulan ketiga tahun 2005 juga sempat membuat perbankan syariah menghadapi risiko pengalihan dana (dari bank syariah ke bank konvensional). Diperkirakan lebih dari Rp 1 triliun dana nasabah dialihkan pada triwulan ketiga tahun lalu. Namun, kepercayaan deposan pada perbankan syariah terbukti dapat dipulihkan dengan pertumbuhan dana pihak ketiga yang mencapai Rp 2,2 triliun pada akhir tahun. Kenaikan akumulasi dana pihak ketiga perbankan syariah merupakan peluang, sekaligus tantangan, karena tanpa pengelolaan yang tepat justru masalah akan datang.
Perbankan syariah sempat dituding "kurang gaul" dalam lingkungan pembiayaan karena sejumlah nasabah yang dianggap bermasalah pada bank konvensional justru memperoleh pembiayaan dari bank syariah. Akan tetapi, Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia Wahyu Dwi Agung meyakini, dengan sistem informasi biro kredit BI yang memuat data seluruh debitor, tudingan seperti itu tidak akan terjadi lagi.
Posisi rasio pembiayaan yang bermasalah (non-performing financings) pada perbankan syariah tercatat naik dari 2,82 persen pada Desember 2005 menjadi 4,27 persen Maret lalu. Rasio ini dinilai masih terkendali.
Kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses layanan perbankan syariah dan ketersediaan produk investasi syariah tidak akan optimal tanpa promosi dan edukasi yang memadai tentang lembaga keuangan syariah. Amat dibutuhkan pula jaminan produk yang ditawarkan patuh terhadap prinsip syariah.
Peluang dan potensi perbankan syariah yang besar memang menuntut kerja keras untuk kemaslahatan.
[sunting] Penyedia jasa di Indonesia
[sunting] Pranala luar
• (en) Economics and Islam
[sunting] Referensi
1. ^ CRCC:Center for Muslim-Jewish Engagement
2. ^ Bank Muamalat Indonesia-Pembiayaan Mudharabah
3. ^ Bank Muamalat Indonesia-Pembiayaan Musyarakah
4. ^ PKES-Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah
5. ^ Bank Muamalat Indonesia-Shahibul Maal
Artikel bertopik Islam ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah"
Kategori: Ekonomi islam
Kategori tersembunyi: Artikel yang perlu dirapikan | Artikel yang belum dirapikan Februari 2010
Dalam bidang ekonomi syariah, wadiah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat nasabah yang bersangkutan menghendaki. Bank bertanggungjawab atas pengembalian titipan tersebut.
Wadiah sendiri dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Wadiah Yad Dhamanah - wadiah di mana si penerima titipan dapat memanfaatkan barang titipan tersebut dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap saat kala si pemilik menghendakinya.
2. Wadiah Yad Amanah - wadiah di mana si penerima titipan tidak bertanggungjawab atas kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan penerima titipan dalam memelihara titipan tersebut
Musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi) adalah bentuk umum dari usaha bagi hasil dimana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi bisa sama atau tidak. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal. Transaksi Musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama dengan memadukan seluruh sumber daya.
Ketentuannya, antara lain :
1. Pernyataan ijab dan kabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
2. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut :
• Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan.
• Setiap mitra memiliki hak umtuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
• Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktivitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian yang disengaja.
• seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan dana atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
1. Objek akad adalah modal, kerja, keuntungan dan kerugian.
Pengertian secara bahasa
Musyarakah secara bahasa diambil dari bahasa arab yang berarti mencampur. Dalam hal ini mencampur satu modal dengan modal yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kata syirkah dalam bahasa arab berasal dari kata syarika (fi’il madhi), yashruku (fi’il mudhari’) syarikan/syirkatan/syarikatan (masdar/kata dasar); ertinya menjadi sekutu atau syarikat (kamus al Munawar) Menurut erti asli bahasa arab, syirkah bererti mencampurkan dua bahagian atau lebih sehingga tidak boleh dibezakan lagi satu bahagian dengan bahagian lainnya, (An-Nabhani)
[sunting] Pengertian secara fiqih
Adapun menurut makna syara’, syirkah adalah suatu akad antara 2 pihak atau lebih yang sepakat untuk melakukan kerja dengan tujuan memperoleh keuntungan. (An-Nabhani)
[sunting] Bentuk Musyarakah
Hukum Syirkah
Syirkah hukumnya mubah. Ini berdasarkan dalil hadith nabi saw berupa taqrir terhadap syirkah. Pada saat baginda diutuskan oleh Allah sebagai nabi, orang-orang pada masa itu telah bermuamalat dengan cara ber-syirkah dan Nabi Muhammad saw membenarkannya. Sabda baginda sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra: Allah ‘Azza wa jalla telah berfirman; Aku adalah pihak ketiga dari 2 pihak yang bersyirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya khianat, aku keluar dari keduanya. (Hr Abu dawud, alBaihaqi dan adDaruquthni) Imam Bukhari meriwayatkan bahawa Aba Manhal pernah mengatakan , “aku dan rakan kongsiku telah membeli sesuatu dengan cara tunai dan hutang.” Lalu kami didatangi oleh Al Barra’bin azib. Kami lalu bertanya kepadanya. Dia menjawab, “ Aku dan rakan kongsiku, Zaiq bin Arqam, telah mengadakan perkongsian. Kemudian kami bertanya kepada nabi s.a.w tentang tindakan kami. Baginda menjawab: “barang yang (diperoleh) dengan cara tunai silalah kalian ambil. Sedangkan yang (diperoleh) secara hutang, silalah kalian bayar” Hukum melakukan syirkah dengan kafir Zimmi Hukum melakukan syirkah dengan kafir zimmi juga adalah mubah. Imam Muslim pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar yang mengatakan: “Rasulullah saw pernah memperkerjakan penduduk khaibar(penduduk Yahudi) dengan mendapat bahagian dari hasil tuaian buah dan tanaman”
Rukun Syirkah
Rukun syirkah yang asas ada 3 perkara iaitu: a) akad (ijab-kabul) juga disebut sighah b) dua pihak yang berakad (‘aqidani), mesti memiliki kecekapan melakukan pengelolaan harta c) objek aqad(mahal) juga disebut ma’qud alaihi, samada modal atau pekerjaan
Manakala syarat sah perkara yang boleh disyirkahkan adalah adalah objek tersebut boleh dikelola bersama atau boleh diwakilkan.
Pandangan Mazhab Fiqih tentang Syirkah Mazhab Hanafi berpandangan ada empat jenis syirkah yang syari’e iaitu syirkah inan, abdan, mudharabah dan wujuh. ( Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu) Mazhab Maliki hanya 3 jenis syirkah yang sah iaitu syirkah inan, abdan dan mudharabah. Menurut mazhab syafi’e, zahiriah dan Imamiah hanya 2 syirkah yang sah iaitu inan dan mudharabah. Mazhab hanafi dan zaidiah berpandangan ada 5 jenis syirkah yang sah iaitu syirkah inan, abdan, mudharabah, wujuh dan mufawadhah.
Ada pun perkongsian boleh samada berkongsi hak milik (syirkatul amlak) atau/dan perkongsian aqad Syeikh Taqiuddin AnNabhani dalam kitabnya Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam berijtihad terdapat 5 jenis syirkah yang syari’e sama seperti pandangan mazhab hanafi dan zaidiah.
1) Syirkah Inan
Syirkah inan adalah syirkah yang mana 2 pihak atau lebih, setiap pihak menyumbangkan modal dan menjalankan kerja. Contoh bagi syirkah inan: Khalid dan Faizal berkongsi menjalankan perniagaan burger bersama-sama dan masing-masing mengeluarkan modal RM500 setiap seorang. Perkongsian ini diperbolehkan berdasarkan As-Sunnah dan ijma’sahabah. Disyaratkan bahawa modal yang dikongsi adalah berupa wang. Modal dalam bentuk harta benda seperti kereta mestilah diakadkan pada awal transaksi. Perkongsian ini dibangunkan oleh konsep perwakilan(wakalah) dan kepercayaan(amanah). Sebab masing-masing pihak, dengan memberi/berkongsi modal kepada rakan kongsinya bererti telah memberikan kepercayaan dan mewakilkan kepada rakan kongsinya untuk mengelolakan perniagaan. Keuntungan adalah berdasarkan kesepakatan semua pihak yang berkongsi manakala kerugian berdasarkan peratusan modal yang dikeluarkan. Abdurrazzak dalam kitab Al-Jami’ meriwayatkan dari Ali r.a yang mengatakan: “kerugian bergantung kepada modal, sedangkan keuntungan bergantung kepada apa yang mereka sepakati”
2) Syirkah Abdan
Perkongsian abdan adalah perkongsian 2 orang atau lebih yang hanya melibat tenaga(badan) mereka tanpa melibatkan perkongsian modal. Sebagai contoh: Jalal adalah tukang buat rumah dan Rafi adalah juruelektrik yang berkongsi menyiapkan projek sebuah rumah. Perkongsian mereka tidak melibatkan perkongsian kos. Keuntungan adalah berdasarkan persetujuan mereka. Syirkah abdan hukumnya mubah berdasarkan dalil As-sunnah. Ibnu mas’ud pernah berkata” aku berkongsi dengan Ammar bin Yasir dan Saad bin Abi Waqqash mengenai harta rampasan perang badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun” (HR Abu Dawud dan Atsram). Hadith ini diketahui Rasulullah saw dan baginda membenarkannya.
3) Syirkah Mudharabah
Syirkah Mudharabah adalah syirkah dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak menjalankan kerja (amal) sedangkan pihak lain mengeluarkan modal (mal). (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudharabah dipakai oleh ulama Iraq, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qiradh. (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Sebagai contoh: Khairi sebagai pemodal memberikan modalnya sebanyak RM 100 ribu kepada Abu Abas yang bertindak sebagai pengelola modal dalam pasaraya ikan.
Ada 2 bentuk lain sebagai variasi syirkah mudharabah. Pertama, 2 pihak (misalnya A dan B) sama-sama memberikan mengeluarkan modal sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan menjalankan kerja sahaja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal tanpa konstribusi kerja. Kedua-dua bentuk syirkah ini masih tergolong dalam syirkah mudharabah (An-Nabhani, 1990:152). Dalam syirkah mudharabah, hak melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola. Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudharabah berlaku wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerosakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian jika kerugian itu terjadi kerana melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
4) Syirkah Wujuh
Disebut syirkah wujuh kerana didasarkan pada kedudukan, ketokohan atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara 2 pihak (misalnya A dan B) yang sama-sama melakukan kerja (amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang mengeluarkan modal (mal). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudharabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudharabah padanya. (An-Nabhani, 1990:154) Bentuk kedua syirkah wujuh adalah syirkah antara 2 pihak atau lebih yang bersyirkah dalam barangan yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya tanpa sumbangan modal dari masing-masing pihak. Misalnya A dan B tokoh yang dipercayai pedagang. Lalu A dan B bersyirkah wujuh dengan cara membeli barang dari seorang pedagang C secara kredit. A dan B bersepakat masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam syirkah kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan nisbah barang dagangan yang dimiliki. Sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing pengusaha wujuh usaha berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujuh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990:154). Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahawa ketokohan (wujuh) yang dimaksud dalam syirkah wujuh adalah kepercayaan kewangan (tsiqah maliyah), bukan semata-mata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur atau suka memungkiri janji dalam urusan kewangan. Sebaliknya sah syirkah wujuh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan kewangan (tsiqah maliyah) yang tinggi misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan kewangan.
5) Syirkah Mufawadhah
Syirkah mufawadhah adalah syirkah antara 2 pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inan, ‘abdan, mudharabah dan wujuh). Syirkah mufawadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah berdiri sendiri maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya; iaitu ditanggung oleh pemodal sesuai dengan nisbah modal (jika berupa syirkah inan) atau ditanggung pemodal sahaja (jika berupa syirkah mudharabah) atau ditanggung pengusaha usaha berdasarkan peratusan barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujuh). Contoh: A adalah pemodal, menyumbang modal kepada B dan C, dua jurutera awam yang sebelumnya sepakat bahawa masing-masing melakukan kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk menyumbang modal untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan iaitu B dan C sepakat masing-masing bersyirkah dengan memberikan konstribusi kerja sahaja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, bererti di antara mereka bertiga wujud syirkah mudharabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahawa masing-masing memberikan suntikan modal di samping melakukan kerja, bererti terwujud syirkah inan di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya bererti terwujud syirkah wujuh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada yang disebut syirkah mufawadhah.
Mudharabah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal.
Tipe mudharabah
• Mudharabah Mutlaqah: Dimana shahibul maal memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf)
• Mudharabah Muqayyadah: Dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya.
[sunting] Feature Mudharabah
1. Berdasarkan prinsip berbagi hasil dan berbagi risiko
• Keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya
• Kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang telah dilakukan.
2. Pemilik dana tidak diperbolehkan mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari
pkes-pusat komunikasi ekonomi syariah merupakan lembaga nirlaba yang dilahirkan oleh stakeholder industri ekonomi syariah untuk meningkatkan pemahaman kepada masyarakat Indonesia terkait ekonomi syariah.
Program yang dilaksanakan meliputi:
1. Publishing: penerbitan literatur ekonomi syariah.
2. Broadcasting: siaran atau produksi terkait content ekonomi syariah di media TV dan Radio.
3. Education: pelatihan, seminar dan workshop ekonomi syariah.
4. Networking: perluasan jaringan ekonomi syariah.
5. Website: penggunaan website sebagai wadah semua program.
Pertanyaan :
Assalamualaikum wr. wb Saat ini, perkembangan ekonomi syariah semakin pesat. Perkembagan tersebut ditandai dengan banyaknya penggunaan istilah dalam ekonomi syari'ah itu sendiri dimana bagi orang awam belum begitu familiar.Oleh karena itu, saya mohon penjelasan tentang istilah yg dipakai oleh bank syari'ah, yaitu: SPBU, IMA, SWBI dan Giro Wadi'ah. Terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. Marjon Tumangger orvala_zoe@yahoo.com
Jawab :
Sahabat Marjon yang baik, memang betul dengan adanya bank syariah di Indonesia banyak istilah-istilah baru yang muncul yang berkaitan dengan bank syariah. Untuk mengantisipasi masalah itu, PKES dalam waktu dekat akan menerbitkan Kamus Populer Keuangan dan Ekonomi Syariah sebagai langkah kongkrit mengisi kekosongan yang belum ada.
Mengenai beberapa istilah yang sahabat Marjon kemukakan di atas sebenarnya merupakan salah satu instrumen operasional yang dimiliki industri perbankan syariah. Adapun istilah kata SPBU tidak biasa digunakan dalam literatur perbankan syariah. Mungkin maksudnya PUAS, Pasar Uang Antarbank Syariah. Sesuai dengan fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 37/DSN-MUI/X/2002, yang dimaksud dengan PUAS adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarpeserta pasar berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Sedangkan akad yang dapat digunakan dalam Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah adalah mudharabah, musyarakah, qardh, wadi’ah dan sharf.
Sedangkan IMA merupakan singkatan dari Investasi Mudharabah Antarbank. Tanda buktinya berbentuk sertifikat, biasa disebut dengan Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank atau Sertifikat IMA. Sertifikat IMA menjadi alat investasi antar bank syariah. Artinya, satu bank syariah dapat melakukan kegiatan investasi ke bank syariah lainnya dengan penempatan modal-nya melalui instrumen Sertifikat IMA. Acuan akad IMA adalah prinsip mudharabah. Selanjutnya, sesuai dengan ketentuan fatwa DSN-MUI No. 38/DSN-MUI/X/2002, tentang Sertifikat Investasi Muhdarabah Antarbank, Sertifikat IMA dapat dipindahtangankan hanya satu kali setelah dibeli pertama kali. Pelaku transaksi Sertifikat IMA adalah: (i) bank syariah sebagai pemilik atau penerima dana; (ii) bank konvensional hanya sebagai pemilik dana.
SWBI adalah Sertifikat Wadiah Bank Indonesia. SWBI bagi bank syariah difungsikan sebagai alat instrumen investasi, sebagaimana Sertifikat Bank Indonesia, SBI, di bank konvensional. Dalam prakteknya, SWBI adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah. Bank Indonesia selaku bank sentral boleh menerbitkan instrumen moneter berdasarkan prinsip syariah yang dinamakan Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI), yang dapat dimanfaatkan oleh bank syariah untuk mengatasi kelebihan likuiditasnya. Akad yang digunakan untuk instrumen SWBI adalah akad wadiah sebagaimana diatur dalam fatwa DSN no. 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro dan Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan. Dalam SWBI tidak boleh ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank Indonesia. SWBI tidak boleh diperjualbelikan.
Adapun Giro Wadiah adalah simpanan atau titipan pada bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat (wadi’ah demand deposit). Giro wadiah pada bank syariah termasuk dalam kategori produk yang dikembangkan oleh industri perbankan syariah dalam rangka menghimpun dana pihak ketiga (DPK). Selain Giro Wadiah, produk penghimpunan dana yang dapat dikembangkan oleh bank syariah berbentuk tabungan mudharabah dan deposito wadi’ah.
Demikian penjelasan yang dapat kami berikan berkenaan dengan beberapa istilah yang biasa digunakan oleh industri perbankan syariah di Indonesia. Akan lebih lengkapnya jika Sahabat Marjon membaca Kamus Populer Keuangan dan Ekonomi Syariah yang insyaallah segera diterbitkan oleh PKES. Syukron jazilan. [hsn]
Pertanyaan :
Di sekolah saya terdapat koperasi simpan pinjam yang sebelumnya masih terdapat unsur riba. Setelah berkonsultasi dengan Staf PKES dapat disimpulkan yang boleh dilakukan adalah dengan mengambil biaya administrasi kepada anggota. Ada beberapa hal yang masih belum faham, mohon bapak/ibu, Staf PKES, berkenan untuk memberi penjelasan, antara lain; 1.Apakah berdosa jika bendahara masih menyimpan uang yang terdapat unsur ribanya? Jika tidak boleh dapat digunakan atau dimanfaatkan untuk apakah uang tersebut oleh anggota? 2.Apakah biaya administrasi dapat disebut sebagai pendapatan koperasi sehingga uang tersebut dapat dibagikan kepada anggota pada akhir tahun! Tidak hanya digunakan untuk keperluan administrasi saja, bolehkah demikian? 3.Apakah ada buku yang membahas tentang bagi hasil atau buku tentang pengelolaan simpan pinjam yang sesuai syariah? 4.Saya dengar kabar akan ada pelatihan tentang bagi hasil yang diadakan PKES, di media manakah pemberitahuan tersebut diumumkan? Demikian pertanyaan saya, sebelumnya atas perhatian Bapak/Ibu PKES, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga Allah Swt, melipat-gandakan amal baik Bapak-Ibu. [i]Wassalam[/i] (Lia)
Jawab :
Wa’alaikum salam wr. wb.
Ibu Lia yang budiman, pengasuh kontak tanya jawab ekonomi syariah PKES mengucapkan terima kasih atas surat yang Ibu kirimkan ke PKES. Pengasuh berdo’a semoga Ibu Lia selalu ditetapkan hatinya oleh Allah azza wa jalla untuk selalu berpegang teguh pada ajaran Islam dan bermu’amalah secara islami. Amin
Pertanyaan Ibu Lia dapat kami tanggapi sebagai berikut. Pertama, secara garis besar status hukum haram dalam Islam dapat dibagi menjadi dua, yaitu haram li dzatihi dan haram li ghairih. Haram li dzatihi adalah status hukum haram yang diberikan pada satu benda yang keharamannya karena bendanya (dzat) itu sendiri, seperti babi, darah, khamr. Haram li ghairihi adalah status hukum haram yang diberikan pada sesuatu perbuatan dikarenakan oleh sebab lain, seperti melakukan transaksi secara ribawi. Termasuk transaksi ribawi adalah menyimpan uang yang di dalamnya terdapat unsur riba. Dalam hal ini, pekerjaan yang dilakukan oleh bendahara koperasi termasuk dalam kategori perbuatan yang dilarang dalam Islam. Jika sudah terlanjur, dimana operasional koperasi mendapatkan keuntungan dari praktek ribawi tersebut, maka dana yang berasal dari keuntungan itu dapat disalurkan untuk pembangunan kepentingan umum, seperti mem-bangun jalan atau jembatan.
Kedua, pada hakekatnya biaya administrasi diperlukan untuk kegiatan operasional koperasi dan bukan termasuk dalam kategori pendapatan dari koperasi. Artinya, koperasi dapat mengambil biaya administrasi dari anggota yang diarahkan untuk membiayai operasional kegiatan. Oleh karenanya, biaya administrasi diperbolehkan dalam batas toleransi sesuai dengan kebutuhan operasional. Akibatnya, biaya administrasi tidak dapat dibagikan kepada anggota pada akhir tahun.
Ketiga, referensi yang berkaitan dengan bagi hasil dan manajemen operasional koperasi syariah dapat PKES bantu untuk mengusahakan. Saat ini, Kementrian Koperasi dan UKM sedang mempunyai program KJKS (Koperasi Jasa Keuangan Syariah) yang akan dikembangkan di beberapa propinsi. Konsep dan operasional KJKS tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh Baitul Mal wat Tamwil (BMT).
Keempat, salah satu program PKES di awal tahun 2007 akan mengadakan pelatihan lembaga keuangan mikro syariah (koperasi syariah). Pengumuman ini sekaligus undangan bagi masyarakat luas yang ingin mengetahui lebih jauh tentang konsep dan operasional lembaga keuangan mikro syariah.
Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan. Semoga menambah wawasan kita tengan kajian ekonomi syariah. Wallahu ‘alam bis showab
Wassalam
Selasa, 30 Maret 2010
Minggu, 28 Maret 2010
makalah
Hak memperoleh Pendidikan dan Hak Mendidik
Manusia pertama kali mendapatkan pendidikan melalui sebuah keluarga. Dalam keluarga dimana terdapat orangtua yang mampu untuk mendidik seorng anaknya dengan penuh rasa kasih saying. Hak dan kewajiban dalam pendidikan pun dimiliki oleh orang tua dalam mendidik anaknya. Tingkatan dalam memberikan penddidikan kepada anaknya sebatas mengarahkan agar anknya tidak salah dalam memilih jalan. Hal itu terkait kecerdasan emosional dalam bertindak.
Beralih ke jenjang selanjutnya yaitu lingkungan masyarakat. Lingkungan masyarakat mempunyai kewajiban mutlak dalam memberikan suatu pendidikan dalam masa pengenalan calon anggota masyarakat. Lingkungan memberikan fasilitas dan berbagai stimulus untuk mencapai habitus yang lebih luas,seperi mengajak calon anggota masyarakat untuk belajar berorganisasi dai daerahnya masig-masing sebagai proses membaur antara calon anggota dengan calon-calon lainnya dan juga dengan anggota yang sudah lama bergabung.
Habitus yang paling tinggi tingkatannya yaitu Negara. Seorang anak yang usdah menjadi anggota masyarakatnya berkesempatan unuk menjadi bagian dari suatu Negara. Kehidupan suatu Negara
Manusia pertama kali mendapatkan pendidikan melalui sebuah keluarga. Dalam keluarga dimana terdapat orangtua yang mampu untuk mendidik seorng anaknya dengan penuh rasa kasih saying. Hak dan kewajiban dalam pendidikan pun dimiliki oleh orang tua dalam mendidik anaknya. Tingkatan dalam memberikan penddidikan kepada anaknya sebatas mengarahkan agar anknya tidak salah dalam memilih jalan. Hal itu terkait kecerdasan emosional dalam bertindak.
Beralih ke jenjang selanjutnya yaitu lingkungan masyarakat. Lingkungan masyarakat mempunyai kewajiban mutlak dalam memberikan suatu pendidikan dalam masa pengenalan calon anggota masyarakat. Lingkungan memberikan fasilitas dan berbagai stimulus untuk mencapai habitus yang lebih luas,seperi mengajak calon anggota masyarakat untuk belajar berorganisasi dai daerahnya masig-masing sebagai proses membaur antara calon anggota dengan calon-calon lainnya dan juga dengan anggota yang sudah lama bergabung.
Habitus yang paling tinggi tingkatannya yaitu Negara. Seorang anak yang usdah menjadi anggota masyarakatnya berkesempatan unuk menjadi bagian dari suatu Negara. Kehidupan suatu Negara
Senin, 22 Maret 2010
critical discourse
A structuralist approach to media studies has the advantage of opening up many new areas for analysis and criticism. However, questions about structuralist assumptions and methods still remain, and we are seriously lacking in satisfactory answers, many of which remain beyond the scope of this investigation.
But if we persist in the conviction that audiences should be granted the role of subject, that is, a role of "active agent" in television production, one capable of constructing meanings from the language of the media, then it is also necessary to continue under the assumption that language and meaning are in some way social constructs. Although much of the methodology and research goals used in the study of language have resisted this trend, today "society" and "criticism" have become key words in various new approaches to language study and its application to the analysis of media as discourse. Ruth Wodak, writing in Language, Power and Ideology, defines her field, which she calls "critical linguistics," as "an interdisciplinary approach to language study with a critical point of view" for the purpose of studying "language behavior in natural speech situations of social relevance." Wodak also stresses the importance of "diverse theoretical and methodological concepts" and suggests that these can also be used for "analyzing issues of social relevance," while attempting to expose "inequality and injustice." Wodak underscores and encourages "the use of multiple methods" in language research while emphasizing the importance of recognizing the "historical and social aspects."
Emphasis on both the structure and the social context of media texts can provide a solution which enables the media critic to "denaturalize," or expose the "taken-for-grantedness" of ideological messages as they appear in isolated speech and, when combined with newer ethnographic studies and newer methods of discourse analysis, create a broader common ground between structuralists and and those who see the media as manipulators. The critical use of discourse analysis (CDA) in applied linguistics is leading to the development of a different approach to understanding media messages. Robert Kaplan expressed some of these new concepts when he wrote: "The text, whether written or oral, is a multidimensional structure," and "any text is layered, like a sheet of thick plywood consisting of many thin sheets lying at different angles to each other." The basics of a text consist of syntax and lexicon; its grammar, morphology, phonology, and semantics. However, "The understanding... of grammar and lexicon does not constitute the understanding...of text." "Rhetoric intent...," says Kaplan, "coherence and the world view that author and receptor bring to the text are essential." The comprehension of meaning
...lies not in the text itself, but in the complex interaction between the author's intent and his/her performative ability to encode that intent, and the receptor's intent and his/her performative ability not only to decode the author's intent but to mesh his/her own intent with the author's.
Critical discourse analysis has made the study of language into an interdisciplinary tool and can be used by scholars with various backgrounds, including media criticism. Most significantly, it offers the opportunity to adopt a social perspective in the cross-cultural study of media texts. As Gunter Kress points out, CDA has an "overtly political agenda," which "serves to set CDA off...from other kinds of discourse analysis" and text linguistics, "as well as pragmatics and sociolinguistics." While most forms of discourse analysis "aim to provide a better understanding of socio-cultural aspects of texts," CDA "aims to provide accounts of the production, internal structure, and overall organization of texts." One crucial difference is that CDA "aims to provide a critical dimension in its theoretical and descriptive accounts of texts."
More specifically, according to Kress's definition, CDA treats language as a type of social practice among many used for representation and signification (including visual images, music, gestures, etc.). Texts are produced by "socially situated speakers and writers." The relations of participants in producing texts are not always equal: there will be a range from complete solidarity to complete inequality. Meanings come about through interaction between readers and receivers and linguistic features come about as a result of social processes, which are never arbitrary. In most interactions, users of language bring with them different dispositions toward language, which are closely related to social positionings. History must also be taken into account, as ideologically and politically "inflected time." Finally, precise analysis and "descriptions of the materiality of language" are factors which are always characteristic of CDA.
In addition to language structure, ideology also has a role to play in CDA. Kress stresses that "any linguistic form considered in isolation has no specifically determinate meaning as such, nor does it possess any ideological significance or function." Consequently, "the defined and delimited set of statements that constitute a discourse are themselves expressive of and organized by a specific ideology." Language, "can never appear by itself-it always appears as the representative of a system of linguistic terms, which themselves realize discursive and ideological systems." For example,
...in The chairman has advised me that ..., The Chairman occupies first position and has the emphasis conveyed by that, in the equivalent passive clause I have been advised by the Chairman that... that emphasis now attaches to I. Hence a syntactic form signals not simply the prior presence of a specific ideological selection, it also signals or expresses the meaning or content of that ideological choice.
The speaker (or writer) expresses ideological content in texts and so does the linguistic form of the text: "...selection or choice of a linguistic form may not be a live process for the individual speaker...," but "the discourse will be a reproduction of that previously learned," discourse. Texts are selected and organized syntactic forms whose "content-structure" reflect the ideological organization of a particular area of social life.
To illustrate his point, Kress offers as an example the transcript of a news report in which "transactive clauses" are used (in the active voice) to portray causally the role of demonstrators against apartheid at a football match. The demonstration, therefore, which was against a particular injustice, was in fact portrayed by the media as having been somehow caused through the actions of the demonstrators. The report portrayed the demonstrators in a violent way, as "protesters" who "chanted slogans, ...blew whistles," and even tried to " ...disrupt the match, ...invade the pitch." In another incident, "the demonstrators stormed the fence," and even began "tearing the fence down." As Kress points out, "Clearly," in this particular incident, "the mode in which an action is presented, either as transactive or as nontransactive, is not a matter of truth or of reality but rather a matter of the way in which that particular action is integrated into the ideological system of the speaker, and the manner in which such an action is therefore articulated in a specific discourse." [Italics mine]
The actual decision on the part of the journalist or editor to use either a transactive or a nontransactive clause, Kress insists, was definitely a matter of choice and not chance. Kress offers another example to illustrate a common way in which nontransactive clauses are used:
Things began peacefully enough, police hurried to the back fence, violent clashes followed; More clashes...erupted, the confrontation was to last several hours; emotion subsided...
In the example (above) one can see that the adoption of a particular ideological-discursive structure on the part of the journalist expresses the values of an ideological system and of a specific "discourse authority."
The choice of lexical items, as well, is mentioned by Kress. With only minimal inspection, one is able to see that some reports, as Kress puts it, are "guided by the metaphor of a military clash." One side is cast by the journalist as "enemy" and the other as "friend or protector." "So the police guard the ground," (the policing representing the defenders of "good") "which the protesters attempt to invade, storm" (the aggressors, in this case). "In this way," says Kress, "the newscast audience's perceptions or readings [Italics mine] of the text are structured so that they will not only regard the report as 'simply reporting the facts as they were' but will also structure their interpretation [Italics mine] of the relevance of the text overall.
The visual portion of a television text, says Kress, is also important for interpretation. This includes the portrayal of the anti-racist demonstrators as being aggressive through the use of certain camera shots. Kress mentions other examples, taken from newspaper reports, in which government authorities, such as the Prime Minister, are consistently presented in thematic [Italics mine] positions, and the main events, such as talks or backlash, union unrest, etc., are presented as if they are acting on the Prime Minister.
Consequently, according to Kress, "From an ideological point of view this presents the Prime Minister (through a syntactic-textual metaphor, so to speak) as the most significant individual, but nevertheless, as acted on, nonactive himself, responding rather than initiating, with a network of interactive relations." The result is, that "The main actions of people in government are," according to the existence of a syntactic-textual metaphor, "not real actions, but the mediation, facilitation, interrelation between individuals, groups, and abstract categories."
Ideology, society, cognition and discourse analysis
Although Teun Van Dijk places emphasis on ethnic affairs, his study of racism and the press provides a detailed discourse analytical approach to media studies. Van Dijk's focus is also on content from an interdisciplinary point of view. Discourse analysis, when used together with a "multidisciplinary approach to the study of language," provides the critic with a tool for studying communication within "socio-cultural contexts." Specifically, Van Dijk states that the focus on "textual or conversational structures" derives its "framework" from the "cognitive, social, historical, cultural, or political contexts." Van Dijk's approach, however, differs from linguistics in that it is not "limited to the study of ...the surface structures and meanings of (isolated, abstract) sentences.... Once such a structural analysis has been made," according to Van Dijk's method, it is possible to "proceed to establishing relationships with the context... We are ...interested in the actual processes of decoding, interpretation, storage, and representation in memory, and in the role of previous knowledge and beliefs of the readers in this process of understanding."
Ideology also plays a "crucial role" in Van Dijk's analytical method. To Van Dijk, "ideologies" are viewed as "interpretation frameworks" which "organize sets of attitudes" about other elements of modern society. Ideologies, therefore, provide the "cognitive foundation" for the attitudes of various groups in societies, as well as the futherance of their own goals and interests.
Van Djik offers a "schema" of relations between ideology, society, cognition and discourse: Within social structures, social interaction takes place. This social interaction is presented in the form of text/discourse, which is then cognizized according to a cognitive system/memory. This "system/memory" consists of short-term memory, in which "strategic process," or decoding and interpretation takes place. Long-term memory, however, serves as a holder of "socio-cultural knowledge," which consists of knowledge of language, discourse, communication, persons, groups and events-existing in the form of "scripts." "Social (group) attitudes" also reside within long-term memory and provide further decoding guides. Each of these "group attitudes" can represent an array of ideologies which combine to create one's own personal ideology which conforms to one's identity, goals, social position, values and resources.
One can therefore say that Van Dijk's theory is, in some imporatant ways, a development of Fiske's own concept of cognition, which he expressed follows:
... to take an example, a Catholic trade unionist working in a Detroit car plant will inflect working-class social experience quite differently from, say, a Protestant, "nonpolitical," agricultural worker in Wisconsin.
This "process" of framing "beliefs and opinions," say Van Djik, that benefit one particular group, is not final. "Some people may be forced or persuaded, socially or economically" to go against their "best interests...." Therefore, in contrast with many Marxist or other critics who interpret the role of the media in modern societies deterministically, Van Dijk does not suggest that ideologies are "essentially 'false' forms of consciousness, as in the case of many traditional theories of ideology." Still, the possible discrepancy between group ideology and group interests implies that power relations in society can also be reproduced and legitimated at the ideological level, meaning that, to control other people, it is most effective to try to control their group attitudes and especially their even more fundamental, attitude-producing, ideologies. In such circumstances, audiences will behave out of their own "free" will in accordance with the interests of the powerful. Van Dijk's thesis, like Wodak and Kress, implies that the exercise of power in modern, democratic societies is no longer primarily coercive, but persuasive, that is, ideological.
The other essential element of Van Dijk's thesis, especially as it applies to an intercultural approach to media analysis, is "the systematic analysis of implicitness." Journalists and media users are in possession of "mental models...about the world." Consequently, the text is really like "an iceberg of information," and it is really only the "tip" which is "actually expressed in words and sentences. The rest is assumed to be supplied by the knowledge scripts and models of the media users, and therefore usually left unsaid." [Italics mine.] Van Dijk concludes, therefore, that "the analysis of the implicit...is very useful in the study of underlying ideologies."
As this description of Van Dijk's method should make clear, there are many messages communicated through the text and structure of a television news broadcast, and what we see on the surface is really only the "tip of the ice berg." The ritualization and formalization of broadcast styles impart another implicitly understood message-carrying dimension to media studies, a dimension which has only recently been opened to observation and study because of the accessibility of foreign broadcasts through satellite technology. In most modern cultures, the familiar television newscast follows a formalized format, one which may have been in use, with only minor modifications, for decades. After many years of familiarity with a particular style of news broadcasting, broadcasters and audiences tend to overlook the implicitly "hidden" messages which accompany news content. In other words, the coding and decoding of television news has a tendency to become formalized to the point that many of the messages contained within the broadcast style are taken for granted by one culture, but interpreted differently, misinterpreted or not even decoded by another.
Both, audiences and broadcasters, learn to recognize and expect the familiar style typical of "their" television news. Today, however, through the availability of international broadcasts on satellite and cable, it is possible to examine, in the company of a foreign audience (one which expects a different style in television news broadcasting) many of those ritualized and implicitly understood formulas and turn them into visible phenomena.
The implicitness of style in discourse
The concept of implicitness, explicitness and change in language was developed by Edward T. Hall in the 1950s. His thesis is that the "formal," that is, the style which is accepted implicitly by audiences, "is seldom recognized as such."
The formal provides a broad pattern within whose outlines the individual actor can fill in the details for himself. ...Since the formal is seldom recognized as such, the American abroad often has the impression that other people's formal systems are unnecessary, immoral, crazy, backward, or a remnant of some outworn value that America gave up some time ago.
What comes across to foreigners visiting a strange country as incomprehensible, says Hall, is in fact another "formal" system of communication which is accepted implicitly as "natural" within the other cultural system. In the case of the language of television news, it, too, changes and fluctuates within a culture through the process of the "implicit" and the "explicit."
Explicit culture, such things as law, was what people talk about and can be specific about. Implicit culture, such things as feelings..., was what they took for granted or what existed on the fringes of awareness.
Within American and Finnish societies, for example, certain implicit assumptions exist about how a news report should be written and presented. Audiences and broadcasters take certain templates for news reports for granted. Such news reports seem "natural," because they incorporate a ritualized code with a certain history and tradition, including detailed scripts which are understood by audiences to be the "only" way to present the news.
Changes, of course, do come about. When a change is introduced, as is now happening in Finland because of competition from European and American broadcasters and the need for advertisers to have more exposure for their products, the whole structure enters a state of flux, becomes transitional and ultimately changes, but only in conformity with the laws of the given social, economic and cultural circumstances prevalent. "While one (assumption) will dominate, all three are present in any given situation." Edward Hall presents the following scheme:
IMPLICIT
0
/ \_
/ \_
/ \_
EXPLICIT 0-------------> TRANSITIONAL
Finland, therefore, may in the future be obliged to adapt its public service broadcasting monopoly, YLE, to a different discourse style, and one derived in part from Finnish culture, but based on the advertising advantages of the American commercial style of discourse.
Exposing and analyzing implicitness
Each culture has its own way of classifying the contents of the world. This truth was discovered in the linguistic-anthropological studies of Sapir-Whorf. Stuart Hall offers a masterful summary of the consequence of signification, as it was first employed in the work of Sapir-Whorf. As Hall sees it, meaning in a text is constructed by society, and the world is created by human beings for the purpose of that meaning. The linguistic and semantic structures which make up different languages, as symbols are the means by which humans produce meaning.
"Reality," or the way we see reality through the prism of our own culture's means of assigning meaning to the various elements of our world, especially as this applies to television news reports, is a phenomenon which will inevitably be defined differently according to the dictates and needs of different cultures. Different formulas in different societies will be used to decode the different scripts, or codes used in television news production-a process which is dependent upon our culture's history, its evolution and development. The meaning of "reality," therefore, will depend very much on the way a particular society defines it. All elements of that society's history, the totality of its development, including its present economic, cultural, racial, class and political balance, will make it unlikely that any two societies, no matter how similar, will look at one issue in exactly the same way.
The language of television news, as a particular style of discourse, is a complex blend of national, social, economic, and linguistic traditions which work in tandem with audience expectations. These expectations may vary and create a situation in which misunderstandings and misinterpretations may occur. Eco has remarked that differences in the ideological makeup of any audience in terms of ethical, religious, and psychological points of view as well as tastes, values, etc., inevitably lead to some sort of misunderstanding, or gap, especially under those circumstances where one culture comes in contact with the other.
Intercultural sensitivity
Understanding and mis-understanding between cultures is a topic which has invited much attention, a result of a growing interest in translation theory, applied linguistics and language teaching. As Edward T. Hall has warned:
The more precisely our linguistic components are examined, the more abstract and imprecise the old observations become...one can only be precise on one analytic level at a time and then only for a moment.
There is much discussion of "intercultural sensitivity" in the field of foreign language teaching. Milton Bennet has asserted that sensitivity to other cultures is not even natural, and that "cross-cultural contact usually has been accompanied by bloodshed, oppression, or genocide." To remedy the problems of intercultural sensitivity in the foreign language classroom, Bennet has developed a comprehensive program of education and training for both students and teachers in the art of "intercultural communication." Whether Bennet's observations concerning the history and belligerent consequences of intercultural contacts is true or false remains to be investigated. However, his method operates from what he calls "an ethnocentric assumptive base," in which it is assumed that the learner attaches false meanings to observable cultural differences in other individuals. To include, within the field of foreign language teaching, extra-linguistic phenomena, such as cultural mis-understandings and mis-interpretations of others' intentions, is a significant development in language learning theory. This development also recognizes the fact that successful communication in a foreign language precludes a realization and understanding of cultural diversity. Bennet's theoretical outline traces "ethnocentrism" in the foreign-language learner from the level of "denial," in which cultural differences are ignored and denied by the culturally uninitiated, through "defense," in which the ethnocentric student believes his/her culture is superior (and acts accordingly), to "integration," in which cultural differences are understood by the student who is, supposedly, in a position to realistically evaluate the actions of individuals from another culture.
The lacuna model
Bennet's model is especially useful for achieving understanding between cultures within the classroom, which is not, however, within the scope of this study. A lacuna model, therefore, was chosen for the present study because it permits more freedom in developing a comprehensive, analytical description of cross-cultural phenomena which arise from one culture's confrontation with another culture's news media. Also, the lacuna allows a discussion of cross-cultural differences without approving or disapproving of the practices of one culture or the other. As outlined by Schroeder, the lacuna was developed as a means for classifying and examining the linguistic components of languages when used cross-culturally. The lacuna method of cross-cultural analysis begins with the assumption that "Texts are the flesh and blood of a culture." Access to another culture can "only be achieved through exemplary examinations of texts while integrating these texts into a more comprehensive cultural analysis." Lacuna theorists see the problems which develop from a lack of cross-cultural understanding as communications problems. In contrast to Bennet, lacuna theorists assume that the lacuna can be developed in cross-cultural communications, which would make communication between cultures as normal as communication within a culture, if only one could develop more precise codes and supply them to users. The main problem, therefore, is that "a text from a foreign culture is nearly always received through the prism of one's own culture." This "prism" pre-programs the receiver to mis-understand, mis-interpret or not receive the encoded message.
"Lacuna," therefore, refers to perceived or unperceived "gaps" in cross-cultural texts (in which there is a nonequivalent lexis) or other poorly understood cultural items. Lacunae are single specific objects or events and specific processes and situations which "run counter to the usual range of experience of a speaker of another language."
The "fundamental characteristics" of lacunae are as follows:
...lacunae are perceived by the recipient as something incomprehensible, unusual (exotic), strange (unknown), erroneous or inaccurate in a text. ...further characteristics of lacunae can be described as follows: lacunae are perceived by the recipient as superfluous, astonishing (peculiar), unexpected, i.e., unpredictable ...
Lacunae, however, can also be ascertained, systematized and classified. In addition a distinction can be made between cultural lacunae and linguistic lacunae. Linguistic lacunae are involved with the actual translation of texts, but cultural lacunae are classified according to four principle categories:
1) Subjective, or "national psychological" lacunae
2) Lacunae of communicative activity
3) Lacunae related to cultural space
4) Text lacunae
Under (1) subjective, or "national psychological" lacunae, subdivisions are created in which we get the following categories:
a) Character lacunae: Certain "invariable" qualities "in the character of particular cultural communities," including stereotypical conceptions of character ("pragmatic Americans, etc.); different ways of conceiving activities ("Americans are workaholics"); self-definition ("Finns have sisu"-an inner, unstoppable strength and determination).
b)Syllogistic lacunae: Includes "modes" of thinking ("American academics are devoted to facts" whereas "German academics are more interested in theory."
c)Cultural-emotive lacunae: Concerned with the expression of feelings in public. Very often rhythm, pace, pauses, interruptions, etc., are based on the "national temperament."
d)Lacunae of humor: Cultural differences in a sense of humor.
Under (2) lacunae of communicative activity, the following are listed:
a) Mental lacunae: All culturally-specific problem-solving strategies. For example, representatives of different cultures may exhibit differences in the amount of time deemed proper to be used in certain tasks.
b)Behavioral-specific lacunae: Differences in non-verbal behavior when used for conveying information. Includes kinesics (mime, gesture), movements involved in routine habits, and etiquette.
Lacunae relating to cultural space (3) include incongruities, between cultures, in "conceiving and assessing aspects of one's cultural milieu." This includes a particular culture's typical "inventory of knowledge" which forms the "cultural identity" of the average citizen. This includes:
a)Perceptive lacunae: assessments of distance.
b)Ethnographic lacunae: culturally specific tastes in drink, food, clothing, interior decorating, eating out, etc.
c)Lacunae of cultural stock: incompatibilities between cultures in the volume and size of the inventory of knowledge, including a knowledge of one's own history, cultural and social symbols, color symbolism (blue jeans), and other implicit symbols which are "substantially more numerous."
Finally, text lacunae (4) occur as a "specific property of the text as a means of communication in both form and content." In other words, an understanding of genre and technique are expressed within cultures through the text. "Breaches or gaps" in the text can be "intentional or unintentional." Texts can even contain "direct errors" or "inaccuracies," but still have meaning to the culturally initiated recipient.
Satellites and international broadcasting have made it technically much easier to study foreign audience decoding of television news broadcasts and their deeper cultural and political connotations. Language is the main barrier, but Finland presents us with a unique environment. Ten years of English-language instruction in school, combined with intensive exposure to English-language films and television-programming on Finnish television, makes Finns, especially those members of the younger generation, as non-native speakers of English, especially fluent. To paraphrase Gumperz, they can be described as "individuals who speak English well and have no difficulty in producing grammatical English sentences" but may nevertheless have significant difficulties "in what they perceive as meaningful discourse cues..." When working cross-culturally with audiences who live only on the periphery of the American commercial news environment, and with audiences who are also linguistically competent in English, it becomes possible to isolate certain contextualization cues by means of intensive interviews. By borrowing from the lacuna model for the systemization and classification of these audience-perceived defects or gaps in cultural understanding, one is able to reveal cross-cultural differences between implicitly understood discourse styles.
A lacuna study also enables the exploration of the concept of broadcast news as discourse by imposing a new perspective on implicit knowledge, that which is taken for granted about television by audiences. Conceptualization cues which lead to cross-cultural "misunderstandings" can be systematized and those unexplainable phenomena which occur in one culture but not invariably in the other can be recorded. Russian ethnopsycholinguistics pioneered the lacuna method and stressed the social significance of communication. Lacuna advocates emphatically dismiss the common notion that society is an entity made up of isolated individuals pursuing their own individual goals. Language and communication are carriers of society's cultural characteristics and the search for lacunae is a search for the "social composite" which regulates the encoding of intent and its correct decoding. A text is therefore "meaningless until it is read, or listened to, by someone." The lacuna is the act of labeling this composite meaning, because, the "performative abilities of author and receptor are constrained by their respective knowledge of syntax." Syntax, however, is not the only constraint on understanding. Decoding also depends on the recipient's "awareness of key conventions" which are "often historically defined."
Ertelt-Vieth's lacuna model develops the lacuna for use in the revealing of implicit understanding in oral communication. For her study, she used a group of German students in Moscow to present examples of culturally relevant contacts between German and Russian students in which intercultural differences (misinterpretations and other cultural gaps) arise. Interviews were carried out in Moscow with visiting German students who were asked to evaluate contacts with their Russian colleagues. Russian students were then asked to elaborate on the contacts in their own words, mentioning the problems that may have arisen. Her experiment is significant because it considers both linguistic and extra-linguistic factors in intercultural contacts. Above all, her interviews attempt to expose implicitness of understanding, as well as national prejudices, by evaluating such factors which arise to activate prejudices. Vieth's lacuna model, therefore, avoids cultural differences without trying to "solve" them or "appreciate" them.
Television news programs generate messages, and those who generate those messages may not, themselves, be completely conscious of their own rules and categories of message encoding. Awareness of historically defined key conventions is crucial. If television news is a system of encoding reality, then the intentions of those who encode must be understood before proper decoding can occur.
NOTES:
Brett Dellinger, Views of CNN Television News: A Critical Cross-Cultural Analysis of the American Commercial Discourse Style (Vaasa: Universitas Wasaensis, 1995).
Ruth Wodak, ed., Language Power and Ideology: Studies in Political Discourse (London: Benjamins Publishing Company, 1989).
Robert Kaplan, "Concluding Essay: On Applied Linguistics and Discourse Analysis," ed Robert Kaplan, Annual Review of Applied Linguistics, Vol. II, 1990.
Gunter Kress, "Critical Discourse Analysis," Robert Kaplan, ed., Annual Review of Applied Linguistics, II, 1990.
Teun Van Dijk, Racism and the Press, in Robert Miles, ed., Critical Studies in Racism and Migration, (New York: Routledge, 1991).
Astrid Ertelt-Vieth, for example, in Kulturvergleichende Analyse von Verhalten, Sprache und Bedeutungen im Moskauer Alltag, Beitr„ge zu Slavistik XI, Herbert Jelitte, ed., (Frankfurt: Peter Lang, 1991), and I. J. Markovina and J. A. Sorokin from a collection of essays, in Russian, Text as a Manifestation of Culture, 1989.
Edward T. Hall,The Silent Language (New York: Doubleday, 1959).
But if we persist in the conviction that audiences should be granted the role of subject, that is, a role of "active agent" in television production, one capable of constructing meanings from the language of the media, then it is also necessary to continue under the assumption that language and meaning are in some way social constructs. Although much of the methodology and research goals used in the study of language have resisted this trend, today "society" and "criticism" have become key words in various new approaches to language study and its application to the analysis of media as discourse. Ruth Wodak, writing in Language, Power and Ideology, defines her field, which she calls "critical linguistics," as "an interdisciplinary approach to language study with a critical point of view" for the purpose of studying "language behavior in natural speech situations of social relevance." Wodak also stresses the importance of "diverse theoretical and methodological concepts" and suggests that these can also be used for "analyzing issues of social relevance," while attempting to expose "inequality and injustice." Wodak underscores and encourages "the use of multiple methods" in language research while emphasizing the importance of recognizing the "historical and social aspects."
Emphasis on both the structure and the social context of media texts can provide a solution which enables the media critic to "denaturalize," or expose the "taken-for-grantedness" of ideological messages as they appear in isolated speech and, when combined with newer ethnographic studies and newer methods of discourse analysis, create a broader common ground between structuralists and and those who see the media as manipulators. The critical use of discourse analysis (CDA) in applied linguistics is leading to the development of a different approach to understanding media messages. Robert Kaplan expressed some of these new concepts when he wrote: "The text, whether written or oral, is a multidimensional structure," and "any text is layered, like a sheet of thick plywood consisting of many thin sheets lying at different angles to each other." The basics of a text consist of syntax and lexicon; its grammar, morphology, phonology, and semantics. However, "The understanding... of grammar and lexicon does not constitute the understanding...of text." "Rhetoric intent...," says Kaplan, "coherence and the world view that author and receptor bring to the text are essential." The comprehension of meaning
...lies not in the text itself, but in the complex interaction between the author's intent and his/her performative ability to encode that intent, and the receptor's intent and his/her performative ability not only to decode the author's intent but to mesh his/her own intent with the author's.
Critical discourse analysis has made the study of language into an interdisciplinary tool and can be used by scholars with various backgrounds, including media criticism. Most significantly, it offers the opportunity to adopt a social perspective in the cross-cultural study of media texts. As Gunter Kress points out, CDA has an "overtly political agenda," which "serves to set CDA off...from other kinds of discourse analysis" and text linguistics, "as well as pragmatics and sociolinguistics." While most forms of discourse analysis "aim to provide a better understanding of socio-cultural aspects of texts," CDA "aims to provide accounts of the production, internal structure, and overall organization of texts." One crucial difference is that CDA "aims to provide a critical dimension in its theoretical and descriptive accounts of texts."
More specifically, according to Kress's definition, CDA treats language as a type of social practice among many used for representation and signification (including visual images, music, gestures, etc.). Texts are produced by "socially situated speakers and writers." The relations of participants in producing texts are not always equal: there will be a range from complete solidarity to complete inequality. Meanings come about through interaction between readers and receivers and linguistic features come about as a result of social processes, which are never arbitrary. In most interactions, users of language bring with them different dispositions toward language, which are closely related to social positionings. History must also be taken into account, as ideologically and politically "inflected time." Finally, precise analysis and "descriptions of the materiality of language" are factors which are always characteristic of CDA.
In addition to language structure, ideology also has a role to play in CDA. Kress stresses that "any linguistic form considered in isolation has no specifically determinate meaning as such, nor does it possess any ideological significance or function." Consequently, "the defined and delimited set of statements that constitute a discourse are themselves expressive of and organized by a specific ideology." Language, "can never appear by itself-it always appears as the representative of a system of linguistic terms, which themselves realize discursive and ideological systems." For example,
...in The chairman has advised me that ..., The Chairman occupies first position and has the emphasis conveyed by that, in the equivalent passive clause I have been advised by the Chairman that... that emphasis now attaches to I. Hence a syntactic form signals not simply the prior presence of a specific ideological selection, it also signals or expresses the meaning or content of that ideological choice.
The speaker (or writer) expresses ideological content in texts and so does the linguistic form of the text: "...selection or choice of a linguistic form may not be a live process for the individual speaker...," but "the discourse will be a reproduction of that previously learned," discourse. Texts are selected and organized syntactic forms whose "content-structure" reflect the ideological organization of a particular area of social life.
To illustrate his point, Kress offers as an example the transcript of a news report in which "transactive clauses" are used (in the active voice) to portray causally the role of demonstrators against apartheid at a football match. The demonstration, therefore, which was against a particular injustice, was in fact portrayed by the media as having been somehow caused through the actions of the demonstrators. The report portrayed the demonstrators in a violent way, as "protesters" who "chanted slogans, ...blew whistles," and even tried to " ...disrupt the match, ...invade the pitch." In another incident, "the demonstrators stormed the fence," and even began "tearing the fence down." As Kress points out, "Clearly," in this particular incident, "the mode in which an action is presented, either as transactive or as nontransactive, is not a matter of truth or of reality but rather a matter of the way in which that particular action is integrated into the ideological system of the speaker, and the manner in which such an action is therefore articulated in a specific discourse." [Italics mine]
The actual decision on the part of the journalist or editor to use either a transactive or a nontransactive clause, Kress insists, was definitely a matter of choice and not chance. Kress offers another example to illustrate a common way in which nontransactive clauses are used:
Things began peacefully enough, police hurried to the back fence, violent clashes followed; More clashes...erupted, the confrontation was to last several hours; emotion subsided...
In the example (above) one can see that the adoption of a particular ideological-discursive structure on the part of the journalist expresses the values of an ideological system and of a specific "discourse authority."
The choice of lexical items, as well, is mentioned by Kress. With only minimal inspection, one is able to see that some reports, as Kress puts it, are "guided by the metaphor of a military clash." One side is cast by the journalist as "enemy" and the other as "friend or protector." "So the police guard the ground," (the policing representing the defenders of "good") "which the protesters attempt to invade, storm" (the aggressors, in this case). "In this way," says Kress, "the newscast audience's perceptions or readings [Italics mine] of the text are structured so that they will not only regard the report as 'simply reporting the facts as they were' but will also structure their interpretation [Italics mine] of the relevance of the text overall.
The visual portion of a television text, says Kress, is also important for interpretation. This includes the portrayal of the anti-racist demonstrators as being aggressive through the use of certain camera shots. Kress mentions other examples, taken from newspaper reports, in which government authorities, such as the Prime Minister, are consistently presented in thematic [Italics mine] positions, and the main events, such as talks or backlash, union unrest, etc., are presented as if they are acting on the Prime Minister.
Consequently, according to Kress, "From an ideological point of view this presents the Prime Minister (through a syntactic-textual metaphor, so to speak) as the most significant individual, but nevertheless, as acted on, nonactive himself, responding rather than initiating, with a network of interactive relations." The result is, that "The main actions of people in government are," according to the existence of a syntactic-textual metaphor, "not real actions, but the mediation, facilitation, interrelation between individuals, groups, and abstract categories."
Ideology, society, cognition and discourse analysis
Although Teun Van Dijk places emphasis on ethnic affairs, his study of racism and the press provides a detailed discourse analytical approach to media studies. Van Dijk's focus is also on content from an interdisciplinary point of view. Discourse analysis, when used together with a "multidisciplinary approach to the study of language," provides the critic with a tool for studying communication within "socio-cultural contexts." Specifically, Van Dijk states that the focus on "textual or conversational structures" derives its "framework" from the "cognitive, social, historical, cultural, or political contexts." Van Dijk's approach, however, differs from linguistics in that it is not "limited to the study of ...the surface structures and meanings of (isolated, abstract) sentences.... Once such a structural analysis has been made," according to Van Dijk's method, it is possible to "proceed to establishing relationships with the context... We are ...interested in the actual processes of decoding, interpretation, storage, and representation in memory, and in the role of previous knowledge and beliefs of the readers in this process of understanding."
Ideology also plays a "crucial role" in Van Dijk's analytical method. To Van Dijk, "ideologies" are viewed as "interpretation frameworks" which "organize sets of attitudes" about other elements of modern society. Ideologies, therefore, provide the "cognitive foundation" for the attitudes of various groups in societies, as well as the futherance of their own goals and interests.
Van Djik offers a "schema" of relations between ideology, society, cognition and discourse: Within social structures, social interaction takes place. This social interaction is presented in the form of text/discourse, which is then cognizized according to a cognitive system/memory. This "system/memory" consists of short-term memory, in which "strategic process," or decoding and interpretation takes place. Long-term memory, however, serves as a holder of "socio-cultural knowledge," which consists of knowledge of language, discourse, communication, persons, groups and events-existing in the form of "scripts." "Social (group) attitudes" also reside within long-term memory and provide further decoding guides. Each of these "group attitudes" can represent an array of ideologies which combine to create one's own personal ideology which conforms to one's identity, goals, social position, values and resources.
One can therefore say that Van Dijk's theory is, in some imporatant ways, a development of Fiske's own concept of cognition, which he expressed follows:
... to take an example, a Catholic trade unionist working in a Detroit car plant will inflect working-class social experience quite differently from, say, a Protestant, "nonpolitical," agricultural worker in Wisconsin.
This "process" of framing "beliefs and opinions," say Van Djik, that benefit one particular group, is not final. "Some people may be forced or persuaded, socially or economically" to go against their "best interests...." Therefore, in contrast with many Marxist or other critics who interpret the role of the media in modern societies deterministically, Van Dijk does not suggest that ideologies are "essentially 'false' forms of consciousness, as in the case of many traditional theories of ideology." Still, the possible discrepancy between group ideology and group interests implies that power relations in society can also be reproduced and legitimated at the ideological level, meaning that, to control other people, it is most effective to try to control their group attitudes and especially their even more fundamental, attitude-producing, ideologies. In such circumstances, audiences will behave out of their own "free" will in accordance with the interests of the powerful. Van Dijk's thesis, like Wodak and Kress, implies that the exercise of power in modern, democratic societies is no longer primarily coercive, but persuasive, that is, ideological.
The other essential element of Van Dijk's thesis, especially as it applies to an intercultural approach to media analysis, is "the systematic analysis of implicitness." Journalists and media users are in possession of "mental models...about the world." Consequently, the text is really like "an iceberg of information," and it is really only the "tip" which is "actually expressed in words and sentences. The rest is assumed to be supplied by the knowledge scripts and models of the media users, and therefore usually left unsaid." [Italics mine.] Van Dijk concludes, therefore, that "the analysis of the implicit...is very useful in the study of underlying ideologies."
As this description of Van Dijk's method should make clear, there are many messages communicated through the text and structure of a television news broadcast, and what we see on the surface is really only the "tip of the ice berg." The ritualization and formalization of broadcast styles impart another implicitly understood message-carrying dimension to media studies, a dimension which has only recently been opened to observation and study because of the accessibility of foreign broadcasts through satellite technology. In most modern cultures, the familiar television newscast follows a formalized format, one which may have been in use, with only minor modifications, for decades. After many years of familiarity with a particular style of news broadcasting, broadcasters and audiences tend to overlook the implicitly "hidden" messages which accompany news content. In other words, the coding and decoding of television news has a tendency to become formalized to the point that many of the messages contained within the broadcast style are taken for granted by one culture, but interpreted differently, misinterpreted or not even decoded by another.
Both, audiences and broadcasters, learn to recognize and expect the familiar style typical of "their" television news. Today, however, through the availability of international broadcasts on satellite and cable, it is possible to examine, in the company of a foreign audience (one which expects a different style in television news broadcasting) many of those ritualized and implicitly understood formulas and turn them into visible phenomena.
The implicitness of style in discourse
The concept of implicitness, explicitness and change in language was developed by Edward T. Hall in the 1950s. His thesis is that the "formal," that is, the style which is accepted implicitly by audiences, "is seldom recognized as such."
The formal provides a broad pattern within whose outlines the individual actor can fill in the details for himself. ...Since the formal is seldom recognized as such, the American abroad often has the impression that other people's formal systems are unnecessary, immoral, crazy, backward, or a remnant of some outworn value that America gave up some time ago.
What comes across to foreigners visiting a strange country as incomprehensible, says Hall, is in fact another "formal" system of communication which is accepted implicitly as "natural" within the other cultural system. In the case of the language of television news, it, too, changes and fluctuates within a culture through the process of the "implicit" and the "explicit."
Explicit culture, such things as law, was what people talk about and can be specific about. Implicit culture, such things as feelings..., was what they took for granted or what existed on the fringes of awareness.
Within American and Finnish societies, for example, certain implicit assumptions exist about how a news report should be written and presented. Audiences and broadcasters take certain templates for news reports for granted. Such news reports seem "natural," because they incorporate a ritualized code with a certain history and tradition, including detailed scripts which are understood by audiences to be the "only" way to present the news.
Changes, of course, do come about. When a change is introduced, as is now happening in Finland because of competition from European and American broadcasters and the need for advertisers to have more exposure for their products, the whole structure enters a state of flux, becomes transitional and ultimately changes, but only in conformity with the laws of the given social, economic and cultural circumstances prevalent. "While one (assumption) will dominate, all three are present in any given situation." Edward Hall presents the following scheme:
IMPLICIT
0
/ \_
/ \_
/ \_
EXPLICIT 0-------------> TRANSITIONAL
Finland, therefore, may in the future be obliged to adapt its public service broadcasting monopoly, YLE, to a different discourse style, and one derived in part from Finnish culture, but based on the advertising advantages of the American commercial style of discourse.
Exposing and analyzing implicitness
Each culture has its own way of classifying the contents of the world. This truth was discovered in the linguistic-anthropological studies of Sapir-Whorf. Stuart Hall offers a masterful summary of the consequence of signification, as it was first employed in the work of Sapir-Whorf. As Hall sees it, meaning in a text is constructed by society, and the world is created by human beings for the purpose of that meaning. The linguistic and semantic structures which make up different languages, as symbols are the means by which humans produce meaning.
"Reality," or the way we see reality through the prism of our own culture's means of assigning meaning to the various elements of our world, especially as this applies to television news reports, is a phenomenon which will inevitably be defined differently according to the dictates and needs of different cultures. Different formulas in different societies will be used to decode the different scripts, or codes used in television news production-a process which is dependent upon our culture's history, its evolution and development. The meaning of "reality," therefore, will depend very much on the way a particular society defines it. All elements of that society's history, the totality of its development, including its present economic, cultural, racial, class and political balance, will make it unlikely that any two societies, no matter how similar, will look at one issue in exactly the same way.
The language of television news, as a particular style of discourse, is a complex blend of national, social, economic, and linguistic traditions which work in tandem with audience expectations. These expectations may vary and create a situation in which misunderstandings and misinterpretations may occur. Eco has remarked that differences in the ideological makeup of any audience in terms of ethical, religious, and psychological points of view as well as tastes, values, etc., inevitably lead to some sort of misunderstanding, or gap, especially under those circumstances where one culture comes in contact with the other.
Intercultural sensitivity
Understanding and mis-understanding between cultures is a topic which has invited much attention, a result of a growing interest in translation theory, applied linguistics and language teaching. As Edward T. Hall has warned:
The more precisely our linguistic components are examined, the more abstract and imprecise the old observations become...one can only be precise on one analytic level at a time and then only for a moment.
There is much discussion of "intercultural sensitivity" in the field of foreign language teaching. Milton Bennet has asserted that sensitivity to other cultures is not even natural, and that "cross-cultural contact usually has been accompanied by bloodshed, oppression, or genocide." To remedy the problems of intercultural sensitivity in the foreign language classroom, Bennet has developed a comprehensive program of education and training for both students and teachers in the art of "intercultural communication." Whether Bennet's observations concerning the history and belligerent consequences of intercultural contacts is true or false remains to be investigated. However, his method operates from what he calls "an ethnocentric assumptive base," in which it is assumed that the learner attaches false meanings to observable cultural differences in other individuals. To include, within the field of foreign language teaching, extra-linguistic phenomena, such as cultural mis-understandings and mis-interpretations of others' intentions, is a significant development in language learning theory. This development also recognizes the fact that successful communication in a foreign language precludes a realization and understanding of cultural diversity. Bennet's theoretical outline traces "ethnocentrism" in the foreign-language learner from the level of "denial," in which cultural differences are ignored and denied by the culturally uninitiated, through "defense," in which the ethnocentric student believes his/her culture is superior (and acts accordingly), to "integration," in which cultural differences are understood by the student who is, supposedly, in a position to realistically evaluate the actions of individuals from another culture.
The lacuna model
Bennet's model is especially useful for achieving understanding between cultures within the classroom, which is not, however, within the scope of this study. A lacuna model, therefore, was chosen for the present study because it permits more freedom in developing a comprehensive, analytical description of cross-cultural phenomena which arise from one culture's confrontation with another culture's news media. Also, the lacuna allows a discussion of cross-cultural differences without approving or disapproving of the practices of one culture or the other. As outlined by Schroeder, the lacuna was developed as a means for classifying and examining the linguistic components of languages when used cross-culturally. The lacuna method of cross-cultural analysis begins with the assumption that "Texts are the flesh and blood of a culture." Access to another culture can "only be achieved through exemplary examinations of texts while integrating these texts into a more comprehensive cultural analysis." Lacuna theorists see the problems which develop from a lack of cross-cultural understanding as communications problems. In contrast to Bennet, lacuna theorists assume that the lacuna can be developed in cross-cultural communications, which would make communication between cultures as normal as communication within a culture, if only one could develop more precise codes and supply them to users. The main problem, therefore, is that "a text from a foreign culture is nearly always received through the prism of one's own culture." This "prism" pre-programs the receiver to mis-understand, mis-interpret or not receive the encoded message.
"Lacuna," therefore, refers to perceived or unperceived "gaps" in cross-cultural texts (in which there is a nonequivalent lexis) or other poorly understood cultural items. Lacunae are single specific objects or events and specific processes and situations which "run counter to the usual range of experience of a speaker of another language."
The "fundamental characteristics" of lacunae are as follows:
...lacunae are perceived by the recipient as something incomprehensible, unusual (exotic), strange (unknown), erroneous or inaccurate in a text. ...further characteristics of lacunae can be described as follows: lacunae are perceived by the recipient as superfluous, astonishing (peculiar), unexpected, i.e., unpredictable ...
Lacunae, however, can also be ascertained, systematized and classified. In addition a distinction can be made between cultural lacunae and linguistic lacunae. Linguistic lacunae are involved with the actual translation of texts, but cultural lacunae are classified according to four principle categories:
1) Subjective, or "national psychological" lacunae
2) Lacunae of communicative activity
3) Lacunae related to cultural space
4) Text lacunae
Under (1) subjective, or "national psychological" lacunae, subdivisions are created in which we get the following categories:
a) Character lacunae: Certain "invariable" qualities "in the character of particular cultural communities," including stereotypical conceptions of character ("pragmatic Americans, etc.); different ways of conceiving activities ("Americans are workaholics"); self-definition ("Finns have sisu"-an inner, unstoppable strength and determination).
b)Syllogistic lacunae: Includes "modes" of thinking ("American academics are devoted to facts" whereas "German academics are more interested in theory."
c)Cultural-emotive lacunae: Concerned with the expression of feelings in public. Very often rhythm, pace, pauses, interruptions, etc., are based on the "national temperament."
d)Lacunae of humor: Cultural differences in a sense of humor.
Under (2) lacunae of communicative activity, the following are listed:
a) Mental lacunae: All culturally-specific problem-solving strategies. For example, representatives of different cultures may exhibit differences in the amount of time deemed proper to be used in certain tasks.
b)Behavioral-specific lacunae: Differences in non-verbal behavior when used for conveying information. Includes kinesics (mime, gesture), movements involved in routine habits, and etiquette.
Lacunae relating to cultural space (3) include incongruities, between cultures, in "conceiving and assessing aspects of one's cultural milieu." This includes a particular culture's typical "inventory of knowledge" which forms the "cultural identity" of the average citizen. This includes:
a)Perceptive lacunae: assessments of distance.
b)Ethnographic lacunae: culturally specific tastes in drink, food, clothing, interior decorating, eating out, etc.
c)Lacunae of cultural stock: incompatibilities between cultures in the volume and size of the inventory of knowledge, including a knowledge of one's own history, cultural and social symbols, color symbolism (blue jeans), and other implicit symbols which are "substantially more numerous."
Finally, text lacunae (4) occur as a "specific property of the text as a means of communication in both form and content." In other words, an understanding of genre and technique are expressed within cultures through the text. "Breaches or gaps" in the text can be "intentional or unintentional." Texts can even contain "direct errors" or "inaccuracies," but still have meaning to the culturally initiated recipient.
Satellites and international broadcasting have made it technically much easier to study foreign audience decoding of television news broadcasts and their deeper cultural and political connotations. Language is the main barrier, but Finland presents us with a unique environment. Ten years of English-language instruction in school, combined with intensive exposure to English-language films and television-programming on Finnish television, makes Finns, especially those members of the younger generation, as non-native speakers of English, especially fluent. To paraphrase Gumperz, they can be described as "individuals who speak English well and have no difficulty in producing grammatical English sentences" but may nevertheless have significant difficulties "in what they perceive as meaningful discourse cues..." When working cross-culturally with audiences who live only on the periphery of the American commercial news environment, and with audiences who are also linguistically competent in English, it becomes possible to isolate certain contextualization cues by means of intensive interviews. By borrowing from the lacuna model for the systemization and classification of these audience-perceived defects or gaps in cultural understanding, one is able to reveal cross-cultural differences between implicitly understood discourse styles.
A lacuna study also enables the exploration of the concept of broadcast news as discourse by imposing a new perspective on implicit knowledge, that which is taken for granted about television by audiences. Conceptualization cues which lead to cross-cultural "misunderstandings" can be systematized and those unexplainable phenomena which occur in one culture but not invariably in the other can be recorded. Russian ethnopsycholinguistics pioneered the lacuna method and stressed the social significance of communication. Lacuna advocates emphatically dismiss the common notion that society is an entity made up of isolated individuals pursuing their own individual goals. Language and communication are carriers of society's cultural characteristics and the search for lacunae is a search for the "social composite" which regulates the encoding of intent and its correct decoding. A text is therefore "meaningless until it is read, or listened to, by someone." The lacuna is the act of labeling this composite meaning, because, the "performative abilities of author and receptor are constrained by their respective knowledge of syntax." Syntax, however, is not the only constraint on understanding. Decoding also depends on the recipient's "awareness of key conventions" which are "often historically defined."
Ertelt-Vieth's lacuna model develops the lacuna for use in the revealing of implicit understanding in oral communication. For her study, she used a group of German students in Moscow to present examples of culturally relevant contacts between German and Russian students in which intercultural differences (misinterpretations and other cultural gaps) arise. Interviews were carried out in Moscow with visiting German students who were asked to evaluate contacts with their Russian colleagues. Russian students were then asked to elaborate on the contacts in their own words, mentioning the problems that may have arisen. Her experiment is significant because it considers both linguistic and extra-linguistic factors in intercultural contacts. Above all, her interviews attempt to expose implicitness of understanding, as well as national prejudices, by evaluating such factors which arise to activate prejudices. Vieth's lacuna model, therefore, avoids cultural differences without trying to "solve" them or "appreciate" them.
Television news programs generate messages, and those who generate those messages may not, themselves, be completely conscious of their own rules and categories of message encoding. Awareness of historically defined key conventions is crucial. If television news is a system of encoding reality, then the intentions of those who encode must be understood before proper decoding can occur.
NOTES:
Brett Dellinger, Views of CNN Television News: A Critical Cross-Cultural Analysis of the American Commercial Discourse Style (Vaasa: Universitas Wasaensis, 1995).
Ruth Wodak, ed., Language Power and Ideology: Studies in Political Discourse (London: Benjamins Publishing Company, 1989).
Robert Kaplan, "Concluding Essay: On Applied Linguistics and Discourse Analysis," ed Robert Kaplan, Annual Review of Applied Linguistics, Vol. II, 1990.
Gunter Kress, "Critical Discourse Analysis," Robert Kaplan, ed., Annual Review of Applied Linguistics, II, 1990.
Teun Van Dijk, Racism and the Press, in Robert Miles, ed., Critical Studies in Racism and Migration, (New York: Routledge, 1991).
Astrid Ertelt-Vieth, for example, in Kulturvergleichende Analyse von Verhalten, Sprache und Bedeutungen im Moskauer Alltag, Beitr„ge zu Slavistik XI, Herbert Jelitte, ed., (Frankfurt: Peter Lang, 1991), and I. J. Markovina and J. A. Sorokin from a collection of essays, in Russian, Text as a Manifestation of Culture, 1989.
Edward T. Hall,The Silent Language (New York: Doubleday, 1959).
resensi buku..
A. IDENTITAS BUKU
B. JUDUL : STANDARISASI PENDIDIKAN NASIONAL
C. PENGARANG : H.A.R. Tilaar
D. PENERBIT : Rineka Cipta
E. CETAKAN : Keenam
F. TAHUN : 2006
G. TEBAL BUKU : 238 halaman
B. RINGKASAN
BAB I
GENEALOGI STANDAR DAN KOMPETENSI
a. Pengertian
Standar dan kompetensi adalah buah dari masyarakat modern. Thomas. L. Friedman dalam bukunya yang terkenal The world is flat (2005) melukiskan hal-hal yang menyebabkan lahirnya dunia modern itu : pencerahan akal, rasionalisme, empirisme, dan eksplorasi alam.
Menurut Fareed Zakaria kemajuan dan akumulasi pengetahuan dalamkebudayaan Barat disertai denagn penerapan sains untuk peningkatan taraf hidup, telah melahirkan apa yang dikenal sebagai kelahiran masyarakat industri. Lahirnya masyarakat industri memberikan konsekuensi yang sangat jauh di dalam perubahan masyarakat Barat itu sendiri.
b. Standar dan Kompetensi Dalam Masyarakat Modern
Standarisasi serta kompetensi yang merasuk kehidupan modern menurut sementara pakar sebenarnya merupakan perlaihan dari era moder-nisme ke permodernisme. Apabila permodernisme dikuasai oleh akal manusia di dalam menguasai alam dalam memperbaiki taraf hidup, maka kehidupan dewasa ini mengarah kepada individualism, hedonism, serta merelatifikasikan berbagai ukuran dengan penciptaan-penciptaan standar yang baru.
Darwinisme sosial di dalam bentuknya yang modern dapat terlibat misalnya di dalam buku Murray dan Hernstein. The Bell curve (1994). Di dalam buku tersebut dituliskan betapa inteligen seseorang merupakan alat utama menentukan kesuksesan seseorang dalam masyarakat era global yang berdasarkan ilmu pengetahuan.
Charles Darwin dalam bukunya The Descenty of Man , bahwa sifat-sifat dari lingkungan kemudian dapat diwarsikan pada generasi yang akan datang. Hasil dari proses ini menghasilkan kemajuan dan kemajuan berkaitan dengan konsep keterarahan. Pendapat ini sesuai dengan pendapat kelompok Karl Marx dan Friedrich Engels yang melibat adanya empat era perkembangan manusia yaitu era tribal, klasik, feudal, dan kapitalis.
Komunisme merupakan suatu era terbaik. Pendapat seperti ini menurut Karl Marx dan Engels merupakan akhir dari pandangan teologis mengatakan bahwa suatu organisme aau masyarakat arah hidupnya telah ditentukan lebih dahulu. Hal ini dikemukakan juga oleh paham Kristen.
Dari uraian di atas menunjukkan berbagai konsekuensi yang dapat muncul dari konsep standarisasi dan kompetensi yang telah lahir dari era modernisas.
BAB II
PERLUKAH STANDARISASI PENDIDIKAN ?
a. Standar Nasional Pendidikan: Suatu Keperluan
Lembaga pendidikan nasional merupaklan suatu institusi public untuk mewujudkan suatu tujuan bersama ialah mencerdaskan kehidupan Negara. Lahirnya PP No. 19 Tahun 2005 sebagai penjabaran dari UU. No. 20 Tahun 2003 mengupayakan standar masional. Ada tigas alas an mengapa standar pendidikan diperlukan ;
1. Indonesia sebagai Negara berkembang
2. Sebagai Negara Kesatuan kita memerlukan suatu penilaian dari kinerja system pendidakan nasional.
3. Anggota masyarakat global.
4. Fungsi standar nasional pendidikan.
5. Fungsi standar adalah pemerataan masalah pendidikan.
6. Fungsi standar nasional pendidikan.
b. Ujian Nasional : Sarana Kontrol Standarisasi Nasional Pendidikan
Ujian nasional atau evaluasi nasional pendidikan tentunya tidak perlu meliputi seluruh standar isi, sebab tentunyaha tersebut memintya banyak biaya dan tenaga.
Evaluasi mengenai standar nasional pertama- tama terletak pada guru kelas. Guru itulah yang mengadakan evaluasi yang berkesinambungan mengenai sampai dimana peserta- didik telah mencapai standar isi atau kurikulum. Fungsi dari guru kelas ini memang menuntut tugas guru yang lebih baik. Dari hasil inilah yang menentukan seorang peserta didik naik kelas atau lulus ujian akhir dari sekolahnya.
Dalam rangka otonomi daerah telah diketahui bahwa pendidikan dasar dan menengah merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Dari penuntasan belajar 6 tahun lalu naik menjadi 9 tahun dan 12 tahun merupakan evaluasi penuh dari guru. Inilah pula yang harus merupakan tuntutan wajib belajar yang berkualitas.
Pada tingkat pendidikan tinggi mempunyai status otonom sehingga seleksi untuk memasukinya tergantung kepada masing-masing perguruan tinggi atau universitas. Salah satu kriteria untuk meningkatkan mutu pendidiakn tingi ialah seleksi masuk, Seperti SIPENMARU yang kita lihat pada proses Ben Gurion University. Dan seperti yang diprakarsai oleh almarhum prof. dr. Andi Hakim Nasution.
Kesimpulan :
1. Standarisasi nasional pendidikan dalam masa transisi merupakan suatu keharusan dalam rangka nmeningkatkan kualitas pendidikan.
2. Standarisasi dan standar nasional pendidikan meriupakan salah satu item dari system pendidiakn nasional.
3. Standarisasi nasional pendidikan merupakan sarana untukl kohesi nasional.
4. Evaluasi dalamrangka pencapaian standar nasional pendidiakn bukan berarti alat birokrasi untuk kekuasaan tetapi untuk kepentingan peseerta- didik.
5. Standar nasional pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan pendidiakn bukan untuk memasung pemberdayaan peserta-didik tetapi untuk memacu inisiatif belajar kreatif.
6. Evaluasi standar nasional pendidikan meminta guru professional yang menguasai proses dan teknik evaluasi.
7. Hasil dari ujian akhir yang diselenggarakan oleh Negara (UN) adalah upaya peta permasalahan pendidikan nasional dalamrangka peyususnan kebijakan nasional.
Dari permasalahan diatas intinya adalah kualitas guru.
BAB III
STANDARISASI, KUALITAS PENDIDIKAN
AMANAT KONSTITUSI
a. Rencana Yang Mantap Dalam Pengembangan Pendidikan Berdasarkan Peta Permasalahan Pendidikan
Sejak disahkannya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mestinya telah disiapkan atau mulai disiapkan suatu grand design pembangunan pendidikan sesuai dengan cita-cita reformasi.
Kita telah memilki UU Sistem Pendidikan Nasional yaitu UU No. 20 Tahun 2003 sebagai pengganti UU No. 2 Thun 1989. Namun demikian masih banyak hal lagi yang perlu diatur oleh UU dan PP seperti kesiapan daerah untuk melaksanakan otonomi pendidikan sesuai dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
b. Pelaksanaan Wajib Belajar Di Daerah
Untuk melaksanakan pendidikan dasar untuk semua tentunya perlu ketentuan-ketentuan tertentu sebagaimana di dalam deklarasi PBB tentang Hak Atas Pembanguna. Kewajiban Negara, dalam melaksanakan wajib belajar diperlukan hal-hal seagai berikut:
1. Tersedianya sarana (appelability).
2. Keterjangkauan (accessability.
3. Penerimaan (acceptability).
4. Kesesuaian (adaptability).
c. Badan standarisasi Nasional Pendidikan (BNSP) : Gurita kekuasaan
Menurut Prof. Dr. Winarno Surakhma, pakar pendidiakn di Indonesia menyatakan bahwa sistem pendidikan belum mencapai arah yang tegas mengenai tuuan pendidikan nasional. Dan makin diperparah dengan adanya gurita kekuasaan pendidikan yakni Badan Standarisasi Nasional Pendidikan.
Pemerintah beranggapan bahwa PP No. 19 Tahun 2005 merupakan penjabaran dari UU No. 20 Tahun 2003 untuk meningkatkan mutu pendidikan. Menurut PP tersebut terdapat delapan standar pendidikan nasional yang digarap oleh BNSP :
1. Standar isi
2. Standar proses
3. Standar pendidik
4. Standar sarana dan prasarana
5. Stndar pengelolaan
6. Standar pembiayaan
7. Standar penilain pendidikan
Peranan guru professional, peranan organisasi professional guru, para pengamat masyarakat luas perlu diikutsertakan di dalam peninjauan kembali PP No. 19 tersebut. Sebab dengan demikian tujuan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat menjadi sirna karena yang dihasilkan adalah manusia-manusiapekerja yang sekadar untuk memenuhi standar kerja dan dunia industri. Apakah hal ini yang menjadi tujuan nasional pendidikan yaitu liberalisasi pendidikan nasional?
C. DAFTAR PUSTAKA
Tilaar, H.A.R. STANDARISASI PENDIDIKAN NASIONAL-Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta, 2006.
B. JUDUL : STANDARISASI PENDIDIKAN NASIONAL
C. PENGARANG : H.A.R. Tilaar
D. PENERBIT : Rineka Cipta
E. CETAKAN : Keenam
F. TAHUN : 2006
G. TEBAL BUKU : 238 halaman
B. RINGKASAN
BAB I
GENEALOGI STANDAR DAN KOMPETENSI
a. Pengertian
Standar dan kompetensi adalah buah dari masyarakat modern. Thomas. L. Friedman dalam bukunya yang terkenal The world is flat (2005) melukiskan hal-hal yang menyebabkan lahirnya dunia modern itu : pencerahan akal, rasionalisme, empirisme, dan eksplorasi alam.
Menurut Fareed Zakaria kemajuan dan akumulasi pengetahuan dalamkebudayaan Barat disertai denagn penerapan sains untuk peningkatan taraf hidup, telah melahirkan apa yang dikenal sebagai kelahiran masyarakat industri. Lahirnya masyarakat industri memberikan konsekuensi yang sangat jauh di dalam perubahan masyarakat Barat itu sendiri.
b. Standar dan Kompetensi Dalam Masyarakat Modern
Standarisasi serta kompetensi yang merasuk kehidupan modern menurut sementara pakar sebenarnya merupakan perlaihan dari era moder-nisme ke permodernisme. Apabila permodernisme dikuasai oleh akal manusia di dalam menguasai alam dalam memperbaiki taraf hidup, maka kehidupan dewasa ini mengarah kepada individualism, hedonism, serta merelatifikasikan berbagai ukuran dengan penciptaan-penciptaan standar yang baru.
Darwinisme sosial di dalam bentuknya yang modern dapat terlibat misalnya di dalam buku Murray dan Hernstein. The Bell curve (1994). Di dalam buku tersebut dituliskan betapa inteligen seseorang merupakan alat utama menentukan kesuksesan seseorang dalam masyarakat era global yang berdasarkan ilmu pengetahuan.
Charles Darwin dalam bukunya The Descenty of Man , bahwa sifat-sifat dari lingkungan kemudian dapat diwarsikan pada generasi yang akan datang. Hasil dari proses ini menghasilkan kemajuan dan kemajuan berkaitan dengan konsep keterarahan. Pendapat ini sesuai dengan pendapat kelompok Karl Marx dan Friedrich Engels yang melibat adanya empat era perkembangan manusia yaitu era tribal, klasik, feudal, dan kapitalis.
Komunisme merupakan suatu era terbaik. Pendapat seperti ini menurut Karl Marx dan Engels merupakan akhir dari pandangan teologis mengatakan bahwa suatu organisme aau masyarakat arah hidupnya telah ditentukan lebih dahulu. Hal ini dikemukakan juga oleh paham Kristen.
Dari uraian di atas menunjukkan berbagai konsekuensi yang dapat muncul dari konsep standarisasi dan kompetensi yang telah lahir dari era modernisas.
BAB II
PERLUKAH STANDARISASI PENDIDIKAN ?
a. Standar Nasional Pendidikan: Suatu Keperluan
Lembaga pendidikan nasional merupaklan suatu institusi public untuk mewujudkan suatu tujuan bersama ialah mencerdaskan kehidupan Negara. Lahirnya PP No. 19 Tahun 2005 sebagai penjabaran dari UU. No. 20 Tahun 2003 mengupayakan standar masional. Ada tigas alas an mengapa standar pendidikan diperlukan ;
1. Indonesia sebagai Negara berkembang
2. Sebagai Negara Kesatuan kita memerlukan suatu penilaian dari kinerja system pendidakan nasional.
3. Anggota masyarakat global.
4. Fungsi standar nasional pendidikan.
5. Fungsi standar adalah pemerataan masalah pendidikan.
6. Fungsi standar nasional pendidikan.
b. Ujian Nasional : Sarana Kontrol Standarisasi Nasional Pendidikan
Ujian nasional atau evaluasi nasional pendidikan tentunya tidak perlu meliputi seluruh standar isi, sebab tentunyaha tersebut memintya banyak biaya dan tenaga.
Evaluasi mengenai standar nasional pertama- tama terletak pada guru kelas. Guru itulah yang mengadakan evaluasi yang berkesinambungan mengenai sampai dimana peserta- didik telah mencapai standar isi atau kurikulum. Fungsi dari guru kelas ini memang menuntut tugas guru yang lebih baik. Dari hasil inilah yang menentukan seorang peserta didik naik kelas atau lulus ujian akhir dari sekolahnya.
Dalam rangka otonomi daerah telah diketahui bahwa pendidikan dasar dan menengah merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Dari penuntasan belajar 6 tahun lalu naik menjadi 9 tahun dan 12 tahun merupakan evaluasi penuh dari guru. Inilah pula yang harus merupakan tuntutan wajib belajar yang berkualitas.
Pada tingkat pendidikan tinggi mempunyai status otonom sehingga seleksi untuk memasukinya tergantung kepada masing-masing perguruan tinggi atau universitas. Salah satu kriteria untuk meningkatkan mutu pendidiakn tingi ialah seleksi masuk, Seperti SIPENMARU yang kita lihat pada proses Ben Gurion University. Dan seperti yang diprakarsai oleh almarhum prof. dr. Andi Hakim Nasution.
Kesimpulan :
1. Standarisasi nasional pendidikan dalam masa transisi merupakan suatu keharusan dalam rangka nmeningkatkan kualitas pendidikan.
2. Standarisasi dan standar nasional pendidikan meriupakan salah satu item dari system pendidiakn nasional.
3. Standarisasi nasional pendidikan merupakan sarana untukl kohesi nasional.
4. Evaluasi dalamrangka pencapaian standar nasional pendidiakn bukan berarti alat birokrasi untuk kekuasaan tetapi untuk kepentingan peseerta- didik.
5. Standar nasional pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan pendidiakn bukan untuk memasung pemberdayaan peserta-didik tetapi untuk memacu inisiatif belajar kreatif.
6. Evaluasi standar nasional pendidikan meminta guru professional yang menguasai proses dan teknik evaluasi.
7. Hasil dari ujian akhir yang diselenggarakan oleh Negara (UN) adalah upaya peta permasalahan pendidikan nasional dalamrangka peyususnan kebijakan nasional.
Dari permasalahan diatas intinya adalah kualitas guru.
BAB III
STANDARISASI, KUALITAS PENDIDIKAN
AMANAT KONSTITUSI
a. Rencana Yang Mantap Dalam Pengembangan Pendidikan Berdasarkan Peta Permasalahan Pendidikan
Sejak disahkannya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mestinya telah disiapkan atau mulai disiapkan suatu grand design pembangunan pendidikan sesuai dengan cita-cita reformasi.
Kita telah memilki UU Sistem Pendidikan Nasional yaitu UU No. 20 Tahun 2003 sebagai pengganti UU No. 2 Thun 1989. Namun demikian masih banyak hal lagi yang perlu diatur oleh UU dan PP seperti kesiapan daerah untuk melaksanakan otonomi pendidikan sesuai dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
b. Pelaksanaan Wajib Belajar Di Daerah
Untuk melaksanakan pendidikan dasar untuk semua tentunya perlu ketentuan-ketentuan tertentu sebagaimana di dalam deklarasi PBB tentang Hak Atas Pembanguna. Kewajiban Negara, dalam melaksanakan wajib belajar diperlukan hal-hal seagai berikut:
1. Tersedianya sarana (appelability).
2. Keterjangkauan (accessability.
3. Penerimaan (acceptability).
4. Kesesuaian (adaptability).
c. Badan standarisasi Nasional Pendidikan (BNSP) : Gurita kekuasaan
Menurut Prof. Dr. Winarno Surakhma, pakar pendidiakn di Indonesia menyatakan bahwa sistem pendidikan belum mencapai arah yang tegas mengenai tuuan pendidikan nasional. Dan makin diperparah dengan adanya gurita kekuasaan pendidikan yakni Badan Standarisasi Nasional Pendidikan.
Pemerintah beranggapan bahwa PP No. 19 Tahun 2005 merupakan penjabaran dari UU No. 20 Tahun 2003 untuk meningkatkan mutu pendidikan. Menurut PP tersebut terdapat delapan standar pendidikan nasional yang digarap oleh BNSP :
1. Standar isi
2. Standar proses
3. Standar pendidik
4. Standar sarana dan prasarana
5. Stndar pengelolaan
6. Standar pembiayaan
7. Standar penilain pendidikan
Peranan guru professional, peranan organisasi professional guru, para pengamat masyarakat luas perlu diikutsertakan di dalam peninjauan kembali PP No. 19 tersebut. Sebab dengan demikian tujuan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat menjadi sirna karena yang dihasilkan adalah manusia-manusiapekerja yang sekadar untuk memenuhi standar kerja dan dunia industri. Apakah hal ini yang menjadi tujuan nasional pendidikan yaitu liberalisasi pendidikan nasional?
C. DAFTAR PUSTAKA
Tilaar, H.A.R. STANDARISASI PENDIDIKAN NASIONAL-Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta, 2006.
proposal Pkmm
PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA
JUDUL PROGRAM:
MULTICULTURALIST EDUCATION
PKM BIDANG PENGABDIAN MASYARAKAT
Diusulkan oleh :
Ketua Kelompok : Rendy Pribadi (2125 071 430)
Anggota : Fanny (211)
Listiani (211)
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
2009
PENGESAHAN USULAN PROGRAM KRETIVITAS MAHASISWA
1. Judul Program : Pendidikan Multikultural
2. Bidang Kegiatan : PKM Pengabdian Masyarakat (PKMM)
3. Ketua Pelaksana
a. Nama : Rendy Pribadi
b. NRM : 2125071430
c. Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia
d. Universitas : Universitas Negeri Jakarta
e. Alamat Rumah : Jl. Kh. Dewantara 138 RT/RW 01/01 Desa Sukaraya Kecamatan Karang Bahagia Cikarang Utara Kab.Bekasi
4. Anggota Pelaksana : 2 Orang
6. Dosen Pendamping
a. Nama Lengkap : Erfi Firmansyah,M.A
b. NIP :
c. Alamat rumah :
7. Biaya Kegiatan Total
a. Sumber DIKTI : Rp. 10.000.000,-
b. Sumber lain : -
8. Jangka Waktu Pelaksanaan : Desember – Maret 2009
Menyetujui,
Ketua Jurusan Ekonomi Administrasi Ketua Pelaksana Kegiatan
Fakultas Ekonomi
Dra. Suhertuti, M.Pd Rendy Pribadi
NIP.131466588 NIM. 2125071430
Pembantu Rektor III Dosen Pendamping
Universitas Negeri Jakarta
Drs. Fakhruddin Arbah, M.Pd Erfi Firmansyah
NIP. 131 583 315 NIP.
A. Judul Program
Multicultural Education
B. Latar Belakang Masalah
Pendidikan multikultural (multicultural education) sesungguhnya bukanlah pendidikan khas Indonesia. Pendidikan multikultural merupakan pendidikan khas Barat. Kanada, Amerika, Jerman, dan Inggris adalah beberapa contoh negara yang mempraktikkan pendidikan multikultural. Ada beberapa nama dan istilah lain yang digunakan untuk menunjuk pendidikan multikultural. Beberapa istilah tersebut adalah: intercultural education, interetnic education, transcultural education, multietnic education, dan cross-cultural education (L.H. Ekstrand dalam Lawrence J. Saha, 1997: 345-6).
Untuk konteks Indonesia, pendidikan multikultural baru sebatas wacana. Sejak tahun 2002 hingga sekarang ini wacana pendidikan multikultural berhembus di Indonesia. Beberapa tulisan di media, seminar, dan simposium cukup gencar mewacanakan pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia. Simposium internasional di Universitas Udayana, Denpasar, Bali, pada tanggal 16-19 Juli 2002 adalah salah satu contoh simposium yang mewacanakan pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia. Seminar kali ini juga memiliki concern yang sama, bahwa wacana pendidikan multikultural perlu terus-menerus dihembuskan, bahkan perlu diujicobakan.
Untuk membahas topik ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pedagogik. Pendekatan ini digunakan untuk membahas bagaimana mengasuh, membesarkan, dan mendidik peserta didik melalui pendidikan multikultural. Dalam kaitan ini, ada dua hal penting yang perlu ditekankan, yaitu masalah didaktik dan metodik. Masalah didaktik perlu mendapat tekanan dalam tulisan ini dengan alasan bahwa didaktik merupakan bagian dari ilmu pendidikan yang membahas tentang cara membuat persiapan pembelajaran dan mengorganisir bahan pembelajaran. Dalam tulisan ini, didaktik akan dikaitkan dengan bahan, materi, dan silabus, atau kurikulum dalam pendidikan multikultural. Masalah metodik juga akan ditekankan di sini, karena metodik merupakan bagian dari ilmu pendidikan yang membahas tentang cara mengajarkan suatu mata pelajaran. Dalam tulisan ini, metodik akan dikaitkan dengan manajemen dan strategi pembelajaran dalam pendidikan multikultural.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka kami dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
“Pengembangan Demokrasi Pancasilais dalam karya… dan Implikasinya Bagi Pendidikan Multikultur di Indonesia”.
D. Tujuan Program
Tujuan program ini secara umum adalah . Sedangkan secara khusus, program ini bertujuan untuk :
1. Memperbaiki distorsi, stereotip, dan kesalahpahaman tentang kelompok etnik dalam buku teks dan media pembelajaran; 2.
2. Memberikan berbagai strategi untuk mengarahkan perbedaan di depan orang, memberikan alat-alat konseptual untuk komunikasi antar budaya;
3. Mengembangkan keterampilan interpersonal;4.
4. Menjelaskan dinamika kultural
E. Luaran yang Diharapkan
F. Kegunaan Program
Program ini dapat berguna bagi pengusaha usaha mikro kecil dan menengah untuk meningkatkan pengetahuan dan kompetensi dalam hal permodalan.
G. Gambaran Umum Masyarakat Sasaran
Dari aspek konsepnya, pendidikan multikultural dipahami sebagai ide yang memandang semua siswa—tanpa memperhatikan gender dan kelas sosial mereka, etnik mereka, ras mereka, dan atau karakteristik-karakteristik kultural lainnya—memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di kelas. Dari aspek gerakannya, pendidikan multikultural didefinisikan sebagai usaha untuk mengubah sekolah-sekolah dan institusi-institusi pendidikan sehingga siswa dari semua kelas sosial, gender, ras, dan kelompok-kelompok kultural memiliki kesempatan yang sama untuk belajar. Perubahan yang dilakukan tidak hanya terbatas pada kurikulum, tetapi juga aspek lain seperti metode, strategi, manajemen pembelajaran, dan lingkungan sekolah. Dari aspek prosesnya, pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai proses untuk mencapai tujuan agar kesetaraan pendidikan dapat dicapai oleh semua siswa. Kesetaraan pendidikan, seperti kemerdekaan dan keadilan tidak mudah dicapai, karena itu proses ini harus berlangsung terus-menerus
H. Metode Pelaksanaan Program
Metode pelaksanaan program Capital Booklet Plus ini dibagi menjadi beberapa tahapan:
Tahap 1
Perencanaan
1. Observasi dan pencariaan sumber-sumber data
2. Kerja sama dengan pihak sekolah-sekolah Negeri
Tahap 2
Pembuatan
1. pencarian karya sastra...
2. Wawancara dengan narasumber
3. Pengkajian karya..berdasarkan..
Tahap 3
Pelaksanaan Program
1. Sosialisasi konsep Multikultual dalam pendidika
2. Pemantapan konsep
Tahap 4
Evaluasi
1. Kelebihan dan kelemahan program.
I. Jadwal Kegiatan Program
No. Kegiatan Januari Februari Maret April Mei
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Observasi X X X
2. Pencarian sumber data permodalan X X X
3. Pembuatan Media X X X X X X
4. Pelaksanaan Program
Sosialisasi dan pembagian Capital Booklet Plus X X
5. Tindak lanjut Program X X
6. Evaluasi Program X X
7. Pembuatan Laporan X X X
J. Nama dan Biodata Ketua serta Anggota Kelompok
1. Ketua Pelaksana Kegiatan
a. Nama Lengkap : Rendy Pribadi
b. NIM : 2125071430
c. TTL : Bekasi, 2 November 1989
d. Fakultas/Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia
e. Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Jakarta
f. Waktu untuk kegiatan PKM : 10 jam/minggu
2. Anggota Pelaksana Kegiatan
a. Nama Lengkap :
b. NIM :
c. TTL :
d. Fakultas/Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia
e. Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Jakarta
f. Waktu untuk kegiatan PKM : 10 jam/minggu
3. Anggota Pelaksana Kegiatan
a. Nama Lengkap :
b. NIM :
c. TTL :
d. Fakultas/Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia
e. Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Jakarta
f. Waktu untuk kegiatan PKM : 10 jam/minggu
K. Nama dan Biodata Dosen Pendamping
1. Nama Lengkap dan Gelar : .
2. Golongan Pangkat dan NIP :
3. Jabatan Fungsional :
4. Jabatan Struktural :
5. Fakultas/Program Studi :
6. Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Jakarta
7. Bidang Keahlian :
8. Waktu untuk Kegiatan PKM : 7 jam/minggu
L. Biaya
No. Keterangan Besar Pengeluaran
1. Narasumber Rp. 1.000.000,00
2. Akomodasi dan Transportasi Rp. 300.000,00
3. Pembelian Referensi (Buku dan Majalah) Rp. 500.000,00
4. Dokumentasi Rp. 150.000,00
5. Pencarian data melalui Internet Rp. 200.000,00
6. ATK Rp. 100.000,00
7. Rental Komputer dan Print out Rp. 200.000,00
8. Pembuatan Booklet (@ 15.000 x 75 buah) Rp. 1.125.000,00
9. Pembuatan CD (@ 15.000 x 75 buah) Rp. 1.125.000,00
10. Biaya Operasional tahap pelaksanaan program Rp. 1.000.000,00
11. Biaya Komunikasi Rp. 300.000,00
Total Rp. 6.000.000,00
JUDUL PROGRAM:
MULTICULTURALIST EDUCATION
PKM BIDANG PENGABDIAN MASYARAKAT
Diusulkan oleh :
Ketua Kelompok : Rendy Pribadi (2125 071 430)
Anggota : Fanny (211)
Listiani (211)
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
2009
PENGESAHAN USULAN PROGRAM KRETIVITAS MAHASISWA
1. Judul Program : Pendidikan Multikultural
2. Bidang Kegiatan : PKM Pengabdian Masyarakat (PKMM)
3. Ketua Pelaksana
a. Nama : Rendy Pribadi
b. NRM : 2125071430
c. Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia
d. Universitas : Universitas Negeri Jakarta
e. Alamat Rumah : Jl. Kh. Dewantara 138 RT/RW 01/01 Desa Sukaraya Kecamatan Karang Bahagia Cikarang Utara Kab.Bekasi
4. Anggota Pelaksana : 2 Orang
6. Dosen Pendamping
a. Nama Lengkap : Erfi Firmansyah,M.A
b. NIP :
c. Alamat rumah :
7. Biaya Kegiatan Total
a. Sumber DIKTI : Rp. 10.000.000,-
b. Sumber lain : -
8. Jangka Waktu Pelaksanaan : Desember – Maret 2009
Menyetujui,
Ketua Jurusan Ekonomi Administrasi Ketua Pelaksana Kegiatan
Fakultas Ekonomi
Dra. Suhertuti, M.Pd Rendy Pribadi
NIP.131466588 NIM. 2125071430
Pembantu Rektor III Dosen Pendamping
Universitas Negeri Jakarta
Drs. Fakhruddin Arbah, M.Pd Erfi Firmansyah
NIP. 131 583 315 NIP.
A. Judul Program
Multicultural Education
B. Latar Belakang Masalah
Pendidikan multikultural (multicultural education) sesungguhnya bukanlah pendidikan khas Indonesia. Pendidikan multikultural merupakan pendidikan khas Barat. Kanada, Amerika, Jerman, dan Inggris adalah beberapa contoh negara yang mempraktikkan pendidikan multikultural. Ada beberapa nama dan istilah lain yang digunakan untuk menunjuk pendidikan multikultural. Beberapa istilah tersebut adalah: intercultural education, interetnic education, transcultural education, multietnic education, dan cross-cultural education (L.H. Ekstrand dalam Lawrence J. Saha, 1997: 345-6).
Untuk konteks Indonesia, pendidikan multikultural baru sebatas wacana. Sejak tahun 2002 hingga sekarang ini wacana pendidikan multikultural berhembus di Indonesia. Beberapa tulisan di media, seminar, dan simposium cukup gencar mewacanakan pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia. Simposium internasional di Universitas Udayana, Denpasar, Bali, pada tanggal 16-19 Juli 2002 adalah salah satu contoh simposium yang mewacanakan pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia. Seminar kali ini juga memiliki concern yang sama, bahwa wacana pendidikan multikultural perlu terus-menerus dihembuskan, bahkan perlu diujicobakan.
Untuk membahas topik ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pedagogik. Pendekatan ini digunakan untuk membahas bagaimana mengasuh, membesarkan, dan mendidik peserta didik melalui pendidikan multikultural. Dalam kaitan ini, ada dua hal penting yang perlu ditekankan, yaitu masalah didaktik dan metodik. Masalah didaktik perlu mendapat tekanan dalam tulisan ini dengan alasan bahwa didaktik merupakan bagian dari ilmu pendidikan yang membahas tentang cara membuat persiapan pembelajaran dan mengorganisir bahan pembelajaran. Dalam tulisan ini, didaktik akan dikaitkan dengan bahan, materi, dan silabus, atau kurikulum dalam pendidikan multikultural. Masalah metodik juga akan ditekankan di sini, karena metodik merupakan bagian dari ilmu pendidikan yang membahas tentang cara mengajarkan suatu mata pelajaran. Dalam tulisan ini, metodik akan dikaitkan dengan manajemen dan strategi pembelajaran dalam pendidikan multikultural.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka kami dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
“Pengembangan Demokrasi Pancasilais dalam karya… dan Implikasinya Bagi Pendidikan Multikultur di Indonesia”.
D. Tujuan Program
Tujuan program ini secara umum adalah . Sedangkan secara khusus, program ini bertujuan untuk :
1. Memperbaiki distorsi, stereotip, dan kesalahpahaman tentang kelompok etnik dalam buku teks dan media pembelajaran; 2.
2. Memberikan berbagai strategi untuk mengarahkan perbedaan di depan orang, memberikan alat-alat konseptual untuk komunikasi antar budaya;
3. Mengembangkan keterampilan interpersonal;4.
4. Menjelaskan dinamika kultural
E. Luaran yang Diharapkan
F. Kegunaan Program
Program ini dapat berguna bagi pengusaha usaha mikro kecil dan menengah untuk meningkatkan pengetahuan dan kompetensi dalam hal permodalan.
G. Gambaran Umum Masyarakat Sasaran
Dari aspek konsepnya, pendidikan multikultural dipahami sebagai ide yang memandang semua siswa—tanpa memperhatikan gender dan kelas sosial mereka, etnik mereka, ras mereka, dan atau karakteristik-karakteristik kultural lainnya—memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di kelas. Dari aspek gerakannya, pendidikan multikultural didefinisikan sebagai usaha untuk mengubah sekolah-sekolah dan institusi-institusi pendidikan sehingga siswa dari semua kelas sosial, gender, ras, dan kelompok-kelompok kultural memiliki kesempatan yang sama untuk belajar. Perubahan yang dilakukan tidak hanya terbatas pada kurikulum, tetapi juga aspek lain seperti metode, strategi, manajemen pembelajaran, dan lingkungan sekolah. Dari aspek prosesnya, pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai proses untuk mencapai tujuan agar kesetaraan pendidikan dapat dicapai oleh semua siswa. Kesetaraan pendidikan, seperti kemerdekaan dan keadilan tidak mudah dicapai, karena itu proses ini harus berlangsung terus-menerus
H. Metode Pelaksanaan Program
Metode pelaksanaan program Capital Booklet Plus ini dibagi menjadi beberapa tahapan:
Tahap 1
Perencanaan
1. Observasi dan pencariaan sumber-sumber data
2. Kerja sama dengan pihak sekolah-sekolah Negeri
Tahap 2
Pembuatan
1. pencarian karya sastra...
2. Wawancara dengan narasumber
3. Pengkajian karya..berdasarkan..
Tahap 3
Pelaksanaan Program
1. Sosialisasi konsep Multikultual dalam pendidika
2. Pemantapan konsep
Tahap 4
Evaluasi
1. Kelebihan dan kelemahan program.
I. Jadwal Kegiatan Program
No. Kegiatan Januari Februari Maret April Mei
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Observasi X X X
2. Pencarian sumber data permodalan X X X
3. Pembuatan Media X X X X X X
4. Pelaksanaan Program
Sosialisasi dan pembagian Capital Booklet Plus X X
5. Tindak lanjut Program X X
6. Evaluasi Program X X
7. Pembuatan Laporan X X X
J. Nama dan Biodata Ketua serta Anggota Kelompok
1. Ketua Pelaksana Kegiatan
a. Nama Lengkap : Rendy Pribadi
b. NIM : 2125071430
c. TTL : Bekasi, 2 November 1989
d. Fakultas/Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia
e. Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Jakarta
f. Waktu untuk kegiatan PKM : 10 jam/minggu
2. Anggota Pelaksana Kegiatan
a. Nama Lengkap :
b. NIM :
c. TTL :
d. Fakultas/Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia
e. Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Jakarta
f. Waktu untuk kegiatan PKM : 10 jam/minggu
3. Anggota Pelaksana Kegiatan
a. Nama Lengkap :
b. NIM :
c. TTL :
d. Fakultas/Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia
e. Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Jakarta
f. Waktu untuk kegiatan PKM : 10 jam/minggu
K. Nama dan Biodata Dosen Pendamping
1. Nama Lengkap dan Gelar : .
2. Golongan Pangkat dan NIP :
3. Jabatan Fungsional :
4. Jabatan Struktural :
5. Fakultas/Program Studi :
6. Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Jakarta
7. Bidang Keahlian :
8. Waktu untuk Kegiatan PKM : 7 jam/minggu
L. Biaya
No. Keterangan Besar Pengeluaran
1. Narasumber Rp. 1.000.000,00
2. Akomodasi dan Transportasi Rp. 300.000,00
3. Pembelian Referensi (Buku dan Majalah) Rp. 500.000,00
4. Dokumentasi Rp. 150.000,00
5. Pencarian data melalui Internet Rp. 200.000,00
6. ATK Rp. 100.000,00
7. Rental Komputer dan Print out Rp. 200.000,00
8. Pembuatan Booklet (@ 15.000 x 75 buah) Rp. 1.125.000,00
9. Pembuatan CD (@ 15.000 x 75 buah) Rp. 1.125.000,00
10. Biaya Operasional tahap pelaksanaan program Rp. 1.000.000,00
11. Biaya Komunikasi Rp. 300.000,00
Total Rp. 6.000.000,00
Langganan:
Postingan (Atom)