Powered By Blogger

magelang

magelang
jalan-jalan truz

Sabtu, 09 Januari 2010

tugas akhir pk.menulis

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan tiruan atau pemanduan antara kenyataan dengan imajinasi pengarang atau hasil imajinasi pengarang yang bertolak dari suatu kenyataan yang ada (semi, 1990:43). Dalam hal ini termasuk juga penciptaan sebuah novel. Novel juga bias mempengaruhi seseorang untuk bias bertindak atau meniru gaya dari novel yang dibacanya. Dengan alasan itu maka novel juga dimamfaatkan oleh para pengarang untuk memperoleh masa baik dalam hal dunia politik atau yang linnya.
Keadaan geografis, politik, social juga kebudayaan dapat mempengaruhi hasil dari suatu karya sastra. Karya sastra yang dihasilkan dari pegunungan tentu berbeda dengan karya sastra dari lingkungan laut. Demikian juga dengan sastra dari suatu kerajaan berbeda dengan sastra dari suatu daerah liberal. Sastra dari budaya timur berbeda dengan sastra budaya barat. Begitu juga dengan karya sastra dari golongan kiri akan berbeda dengan karya sastra dari golongan kanan.
Sastra dan realitas sosial masyarakat menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena sastra diproduksi dan distrukturasi dari berbagai perubahan realitas tersebut. Realitas pada sastra merupakan suatu cara pandang penciptanya dalam melakukan pengingkaran atau pelurusan atas realitas sosial yang melingkupi kehidupannya. Dengan demikian, sastra merupakan potret sosial yang menyajikan kembali realitas masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan penafsiran dan ideology pengarangnya.
Identitas kepengarangan dari Pramoedya yang khas menjadi identitasnya yakni Pramudya Ananta Toer sering kali juga melatarbelakangi ceritanya dengan paparan sejarah maupun pengalaman hidupnya. Tulisan-tulisan awalnya banyak mengambil latar belakang masa sebelum Perang Dunia Kedua, terutama kehidupan di sekitar kota Blora tempat ia tinggal di masa kecil, serta masa-masa seputar revolusi kemerdekaan.
Pramudya juga menulis cerita dengan latar belakang masa pendudukan Jepang di Indonesia, antara lain melalui roman Perburuan. Karyanya yang terbesar—empat mahakarya yang merupakan tetralogi berjudul Karya Buru (meliputi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca)—ditulis dengan latar belakang tamasya sejarah pergerakan nasional Indonesia 1898-1918. Menengok sejarah kembali ia lakukan untuk romannya yang terbit pertengahan 1990-an, berjudul Arus Balik, dengan latar belakang masuknya Islam ke tanah Jawa..
Realisme dibentuk oleh perubahan sosila dan politik di samping kemajuan industry dan ilmu pengetahuan. Dalam situasi seperti itu, realisme mencerminkan realitas sosial dan gejalanya menjadi model bagi karya seni. Ia memberikan gambaran yang utuh mengenai realitas social yang diteliti pengarang sehingga mampu mengungkapkan prinsi-prinsip yang menggerakkan perubahan social.

Dalam tradisi seni sendiri, kelahiran realisme sosialis sebagai aliran seni agak sulit ditentukan waktunya secara pasti. Akan tetapi, menurut Pramoedya, realisme sosialis diperkirakan muncul sekitar tahun 1905. Dalam hal ini Maxim Gorky adalah pengarang yang sering dianggap sebagai bapak pendiri realisme sosialis.
Lebih lanjut, perkembangan sastra realis ini tidak bisa lepas dari cara pandang manusia terhadap sejarah yang berubah, terutama di Eropa, tempat kelahiran tradisi realisme itu sendiri. Hal ini tampak misalnya dalam tinjauan Lukács atas epik Tolstoy, War and Peace. "Prinsip-prinsip yang ia (Tolstoy) ikuti dalam realismenya secara obyektif menampilkan suatu kesinambungan tradisi realis terbesar, tapi secara subyektif prinsip-prinsip ini ditimbulkan dari masalah-masalah pada masanya serta dari sikapnya terhadap masalah terbesar zamannya, yakni hubungan penindas dan tertindas di pedesaan Rusia".
Dengan begitu, realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni yang mendasarkan pada kontemplasi dialektik antara seniman dan lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempatnya berada. Hakikat dari realisme sosialis ini bisa dikatakan menempatkan seni sebagai wahana "penyadaran" bagi masyarakat untuk menimbulkan kesadaran akan keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing (teralienasi, dalam istilah Marxis) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan.
Akan tetapi, Pramoedya dalam Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia menyenarai, jauh hari ke belakang tradisi sastra realisme sosialis Indonesia telah muncul melalui, antara lain, Sumantri dengan karya novelnya yang berjudul Rasa Merdika. Nama lain yang bisa disebut ialah Semaoen (Hikayat Kadirun) serta Mas Marco Kartodikromo (Student Hijo).
Dari segi kemasyarakatan dapat disimpulkan, bahwa realism lahir sebagai akibat adanya perubahan kelas sosial, bosrjuasi, dan kemelaratan. perubahan strata kelas telah mendorong adanya kelas menengah baru yang awalnya dating dari kelas yang lebih rendah. Kelas menengah baru dan kelas atas mendorong lahirnya borjuasi, dan dalam hal-hal tertentu, borjuasi mendatangkan kemelaratan. Perubahan. Inilah ‘realitas’ yang menjadi salah satu faktor penting tumbuhnya mazhab Realisme dalam sastra. Nampak, dengan demikian, bahwa keberadaan Realisme lebih banyak didorong oleh perubahan dalam masyarakatnya.

Realisme sosialis mereka memang bukan layaknya realisme sosialis yang berkembang kemudian. Keberpihakan mereka terhadap rakyat pekerja yang lemah lebih merupakan suatu komitmen sosial, dan bukan atas dorongan landasan-landasan yang lebih ilmiah seperti halnya realisme sosialis sebagai aliran yang datang lebih kemudian.
Atau dengan kata lain, realisme sosialis mereka bisa dikatakan sebagai realisme sosialis "cikal bakal" yang masih bersifat sosialisme utopis. Sedikit membela mereka, Pramoedya mengistilahkannya sebagai kekeliruan, bukan kesalahan.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana Realisme sosialis dilihat dari segi pertentangan kelas pada novel bumi manusia karya Pramudya Ananta Toer?
2. Bagaimana Realisme Sosialis Dilihat Dari Kedekatan Atau Pembelaan Kaum Borjuis Terhadap Kaum Proletar?

1.2. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penulis memberikan tujuan dari peneliti sebagai berikut:
1. Mendiskripsikan Realisme sosialis dilihat dari segi pertentangan kelas pada novel bumi manusia karya Pramudya Ananta Toer.
2. Mendiskripsikan Realisme Sosialis Dilihat Dari Kedekatan Atau Pembelaan Kaum Borjuis Terhadap Kaum Proletar.
.


KAJIAN PUSTAKA

1. Realisme Sosialis
Realisme sosialis lahir sebagai penerus tradisi seni kritis, yang terutama merupakan bentuk baru dari tradisi realisme yang berkembang di Eropa. Realisme (klasik), dalam catatan Georg Lukács, muncul dalam atmosfer "membuyarnya awan mistisisme, yang pernah mengelilingi fenomena sastra dengan warna dan kehangatan puitik serta menciptakan suatu atmosfer yang akrab dan ’menarik’ di sekitarnya".
Pengarang realis percaya bahwa setiap orang akan mendapat kebahagiaan ketika mengambil pilihan-pilihanyang disediakan oleh dunia. Oleh karena kebahagiaan bukanlah hal yang menarik untuk dibahas dalam fiksi, dalam protagonis dalam novel realistis biasanya malah berkarakter kurang terpencil.
Dalam kalimat tersebut Lukács merujuk pada masa pertengahan abad kesembilan belas serta diterimanya filsafat Marxis. Filsafat sejarah Marxis, masih menurut Lukács, menganalisis manusia secara keseluruhan, dan menggambarkan sejarah evolusi manusia juga secara keseluruhan. Ia berusaha untuk menggali hukum tersembunyi yang mengatur seluruh hubungan manusia. Dengan cara ini, filsafat Marxis memberi jembatan ke arah sastra klasik dan menemukan sastra klasik yang baru: Yunani kuno, Dante, Shakespeare, Goethe, Balzac, atau Tolstoy. "Realisme terbesar yang sesungguhnya dengan demikian menggambarkan manusia dan masyarakat sebagai wujud yang lengkap, dan bukan semata-mata memperlihatkan satu atau beberapa aspeknya".
Dalam definisi Pramoedya, "Realisme sosialis merupakan metode yang meneruskan filsafat materialisme dalam karya sastra serta meneruskan pandangan sosialisme-ilmiah. Dalam menghadapi persoalan masyarakat, realisme sosialis mempergunakan pandangan yang struktural fundamental".
Lebih lanjut, perkembangan sastra realis ini tidak bisa lepas dari cara pandang manusia terhadap sejarah yang berubah. Dengan begitu, realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni yang mendasarkan pada kontemplasi dialektik antara seniman dan lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempatnya berada. Hakikat dari realisme sosialis ini bisa dikatakan menempatkan seni sebagai wahana "penyadaran" bagi masyarakat untuk menimbulkan kesadaran akan keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing (teralienasi, dalam istilah Marxis) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan.
Sebelumnya, sejarah dipandang sebagai suatu gerak yang tetap, mutlak, dan alamiah. Perkembangan selanjutnya dari cara pandang ini adalah munculnya pemahaman baru mengenai sejarah. Sejarah mulai dipandang sebagai perubahan yang justru tergantung kepada diri manusia itu sendiri.
Itulah sebabnya mengapa konsep realisme pada saat ini berada di persilangan antara maknanya yang lama, yang dirumuskan pada abad ke-19 sebagai sebuah ‘gambaran objektif realitas social pada zaman tertentu’, dan konsep-konsep yang lebih beragam, sperti dalam Marxisme, yang memberikan realisme ganda yang lebih spesifik berkaitan dengan penggambaran struktur sosial dan penggambarannya struktur social dan kecendrungannya di masa depan, atau juga makna realism seperti yang kerap muncul di Barat.
fiksi realistis menekankan kemiripan dengan dunia yaitu kemiripan yang menyagkut pada kebenaran faktual. Realisme tampak seperti dunia yang actual. Benturan antara kesederhanaan tujuan dan kesulitan untuk menyadarinyalah yang menyebabkan pengarang menganggap ‘realisme’ menantang dan mengundang.
"Para filsuf hanya memberikan interpretasi berbeda kepada dunia, yang perlu adalah mengubahnya", itu salah satu bunyi Tesa-tesa mengenai Feuerbach Marx. Manusia, dengan pikiran dan perbuatannya, mampu menentukan arah dari gerak sejarah. Sejarah tidak bersifat mandiri atau berada di luar jangkauan manusia. Dalam arah pemikiran seperti itulah realisme sosialis lahir untuk menempatkan kaum lemah (proletar, dalam bahasa Marxis) sebagai manusia-manusia penggerak dan penentu arah sejarah. Dan secara serta-merta aliran ini mengambil jarak atau berseberangan dengan tradisi realisme sebelumnya yang lebih memihak kepada golongan penguasa (atau borjuis), yang kemudian dikenal dengan nama realisme borjuis.

Prinsip-prinsip realisme sosialis dapat dilacak kembali pada teori Marxis mengenai proses perkembangan sejarah, lagi pula pada pandangan Lenin bahwa partai harus memainkan peranan sebagai pemimpin dalam proses tersebut. Pengarang-pengarangpun harus tunduk pada partai tersebut.



PEMBAHASAN
1. Analisis
Menurut Ian Watt sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa diperdaya atau tidak bisa diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk pengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus dipertimbangkan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat. (Damono, 1978:3)
Dalam penyajian analisis data ini peneliti mendiskripsikan realisme sosialis dari
4.1 Realisme Sosialis Dilihat Dari Segi Pertentangan Kelas Pada Novel Bumi Manusia Karya Pramudya Ananta Toer.

Dalam novel bumi manusia karya pramudya ananta toer terdapat realisme sosialis dilihat dari pertentangan kelas antara kelas atas (borjuis) dan kelas bawah (proletar). Hal ini dapat dilihat dalam kutipan-kutipan di bawah ini:

“tentu dada ini menjadi gembung. Aku belum pernah ke eropa. Benar tidaknya ucapan tuan direktur aku tak tahu. Hanya karena menyenangkan aku cendrung mempercayainya. Lagi pula semua guruku kelahiran sana, dididik di sana pula. Rasanya tak layak tak mempercai guru. Orang tuaku telah mempercayakan diriku pada mereka. Oleh masyarakat terpelajar eropa dan indo dianggap terbaik dan tertinggi nilainya di seluruh hindia belanda. Maka aku harus memepercayainya”(11)

Dalam kutipan di atas terdapat pertentang kelas yang menyatakan bahwa orang-orang eropa lebih pintar dari pada orang-orang pribumi pada waktu itu. Orang eropa juga di anggap mempunyai pendidikan yang lebih tinggi di banding orang-orang pribumi. Sehingga pada waktu itu orang-orang eropa menjadi guru sekolah. Dan semua guru pada waktu itu adalah orang-orang eropa. Kutipan lainnya yang menyatakan pertentangan kelas adalah sebagai berikut:

“aku tersinggung aku tahu otak H.B.S. dalam kepala Robert surof ini hanya pandai menghina, mengecilkan, melecehkan dan menjahati orang. Dia anggap tahu kelemahanku: tak ada darah eropa dalam tubuhku. Sungguh-sungguh dia sedang bikin rencana jahat terhadap diriku”(18)

Dalam kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas antara orang eropa dan orang pribumi. Orang-orang pada saat itu bangga ketika dia mempunyai keturunan darah eropa. Karena derajat di mata masyarakat pada waktu itu aka tinggi di banding dengan orang pribumi. Hal serupa juga dapat dilihat dalam kutipan dibawah ini:
“rupa-rupanya kau masih anggap aku sebagai jawa yang belum beradap”()
Kutipan di atas menunjukkan jelas kalau masyarakat jawa yang tergolong masyarakat pribumi pada waktu itu di anggap tidak mempunyai adap, tatakrama atau sopan santun. Ukuran kesopanan pada waktu itu adalah orang-orang eropa yang dianggap lebih sopan daripada orang-orang pribumi. Hal tentang pertentangan kelas juga dapat dillihat dari kutipan sebagai berikut:

“ia masih menjabat tanganku, menunggu aku menyebutkan nama keluargaku. Aku tak punya, maka menybutkan. Ia mengernyit. Aku mengerti: barangkali aku di anggapnya anak yang tidak atau belum diakui ayahnya melalui pengadilan: tanpa nama keluarga adalah indo hina., sama dengan pribumi. Dan aku memang pribumi. Tapi tidak ia tak meuntut nama keluargaku.”(26)

Dari kutipan di atas kita dapat mengetahui betapa terbentangnya pertentangan kelas waktu itu, terutama antara orang eropa dan orang pribumi. Orang eropa menganggap bahwa orang pribumi sama dengan indo hina, orang eropa keturunan pribumi yang tidak di akui oleh orang tuanya yang berdarah eropa. Orang pribumi juga tidak mempunyai nama gelar keluarga sehingga di anggap rendah oleh orang eropa. Kutipan yang lainnya yang menunjukkan pertentangan kelas antara orang eropa dan orang pribumi dapat dilihat dari kutipan di bawah ini:


“buka putera bupati manapun mama,. dan dengan memulai sebutan nama baur itu, kekikukanku, perbedaan antara diriku dengannya, bahkan juga keasingannya, mendadak lenyap” (35)

Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa pada saat itu anak seorang bupati atau anak seorang petinggi lainnya sangat dihormati. Dan hanya anak-anak bupati atau anak-anak petinggi yang bisa sekolah pada saat itu. Pertentangan kelas pada saat itu nampak jelas sekali antara kaum buruh atau golongan kelas bawah (proletar) dan golongan kelas atas (borjuis). Kutipan di bawah ini juga akan membuktikan bahwa terjadi pertentangan kelas pada saat itu yakni:

“…….. orang bekerja tanpa mengeluarkan suara, seperti bisu. Antara sebentar mereka menyeka badan dengan sepotong kain. Masing-masing mengenakan pengikat rambut berwarna putih. Semua berbaju putih dengan lengan tergulung sepuluh centimeter di atas sikut. Tidak semua lelaki. Sebagian perempuan, nampak kain batik di bawah baju putihnya. ….”(43)

Pada kutipan di atas menunjukkan bahwa dalam novel tersebut diceritakan bahwa orang-orang yang bekerja atau orang-orang yang bekerja menjadi buruh waktu itu adalah orang-orang pribumi, hal itu tampak pada kalimat “nampak kain batik di bawah baju putihnya” sedangkan kain batik adalah cirri khas orang jawa yang menandakan bahwa orang jawa pada saat itu memang menjadi pekerja atau buruh dalam perusahaan itu. Hal-hal yang berhubungan dengan pertentangan kelas dalam novel itu dapat di lihat dalam kutipan di bawah ini:

Kutipan di atas menunjukkan tentang perbedaan kelas kalau Robert membenci minke hanya karena minke orang pribumi dan Robert orang eropa.
. Kutipan di atas menunjukkan adanya perbedaan kelas, yakni sebagai berikut:

“para orang tua dan wali murid telah duduk berbanjar. Semua; totok, indo, beberapa orang tionghoa, dan tak pribumi barang seorangpun”(444)

Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas terutama dalam sekolah itu. Yang boleh sekolah disitu hanya orang-orang eropa dan skutunya. Sedangkan kaum pribumi tidak bisa sekolah di sana. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan pertentangan kelas dalam novel tersebut, yakni:

“apa yang kau sahayakan? Nenek moyangmu dulu, raja-raja jawa itu, semua menulis jawa. Malu kau kiranya kau jadi orang jawa? Malu kau tidak jadi belanda?”(461)

Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas. Betapa rendahnya pribumi di mata orang eropa. Mereka menganggap orang pribumi tidak punya sopan santun seperti orang eropa. Dalam kutipan di bawah ini juga menunjukkan adanya pertentangan atau perbedaan kelas yakni:

“…….dia bilang annelias mallemma berada di bwah hukum eropa, nyai tidak. Nyai hanya pribumi. Sekiranya dulu jurrof annelias mallemma tidak diakui tuan mallemma, dia pribumi dan pengdilan putih tidak punya sesuatu urusan”(488)

Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas. Kalau orang pribumi tidak diakui dan tidak mempunyai hokum yang jelas sehingga orang eropa dapat bertindak sewenang-wenang terhadap orang pribumi. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan adanya perbedaan pertentangan kelas, yakni:

“akhir-akhirnya, katanya kemudian dengan suara rendah”persoalannya tetap eropa terhadap pribumi, minke, terhadap diriku. Ingat-ingat ini: eropa yang menelan pribumi sambil menyakiti secara sadis. E-ro-pa …. Hanya kulitnya yang putih” Ia mengumpat, hatinya bulu semata” (489)

Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas antara orang eropa dan orang pribumi. Dimana orang eropa selalu bertindak sewenang-wenang terhadap orang pribumi, dan sering menyakiti orang pribumi.


PENUTUP

Kesimpulan
Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer merupakan novel sebagai periode penyamaian dan kegelisahan di mana minke sebagai actor sekaligus creator adalah manusia berdarah priyayi yang semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas merdeka, di sudut lain membelah jiwa ke-eropa-an yang menjadi symbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban.

Saran
Dalam masalah aliran realis, perlu ditindaklanjuti tentang permasalahan sejarah di negeri ini. Sejarah yang bisa memberikan ruang kepada manusia untuk menjadi merdeka dengan data-data yang factual kini menjadi riskan untuk dikaji. Persoalan sejarah yang menyimpang dari peradaban mempunyai masalah tersendiri untuk bangsa ini sehingga perlu adanya hal-hal yang “terbuka” untuk public agar menjadi acuan dalam karya sastra realis.




























DAFTAR PUSTAKA

Toer, Pramoedya Ananta. 2004.Bumi Manusia.Jakarta.
Toer, Pramoedya Ananta. 2004. Realisme Sosial. Jakarta.
Stanton, Robert.Teori fiksi. Yogyakarta:Putaka Pelajar.2007
Pradopo, Rachmat djoko. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1987.
Teeuw,A. Sastra dan Ilmu Sastra.Jakarta:Pustaka Jaya. 1984

Tidak ada komentar:

Posting Komentar