BAB I
PENDAHULUAN
A. Estetika sebagai Bagian dari Filsafat
Filsafat sebagai bagian dari bahasa Arab falsafah. Dalam bahasa Yunani philosophia (philos=cinta, Sophia= kebijaksanaan) jadi philosophia berarti cinta pada kebijaksanaan. Menurut Plato , filsafat itu muncul ketika manusia mempersoalkan tentang eksistensi diriny dan mengolah pikiran secara mendalam tentang hakikat diri dan alam sekelilingnya.
Sejak zaman Yunanai sa,pai aawl abad ke-18 para filsuf mendudukkan estetika (filsafat keindahan) sebagai bagian dari metafisika, bahkan juga bagian dari etika sebagaimana pandangan filsuf Immanuel Kant (1724-1804) “keindahan identik dengan kebaikan dan kebenaran.” Filsafat keindahan sebagai bagian dari metafisiska dapat dirumuskan sebagai renungan filsafat tentang seni atau filsafat seni dan estetika sebagai filsafat keindahan diperkenalkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762) dalam buku Aesthetica.
Kajian estetika dalam Gie (1976) dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Nilai estetis
b. Pengalaman estetis
c. Perilaku pencipta seni
d. Seni itu sendiri
B. Filsafat Keindahan
Menurut Alexander Gottlieb Baumgarten pada tahun 1735 yang menguraikan bahwa rasa keindahan tidak dapat dipisahkan darri fungsi inderawi dan bukan hanya sebagai filsafat .
Beberapa pendapat para tokoh filsuf tentang rasa kaindahan adalah sebagai berikut.
a. Sokrates (459-399 SM)
Bahwa keindahan adalah sumber dari segala yang terindah adalah idea.
b. Plato (426-348)
Bahwa cinta kasih bersumber dari rasa keindahan.
c. Aristoteles
Keindahan adalah kesatuan, harmonisasi, da keuruhan suatu objek yang menimbulkan rasa kenyamanan dan kesenangan (pleasant).
d. Plotinus
Sumber keindahan abadi yang berasal dari yang Maha Sumber. Teori emanasi (mengalir kembali) dari Plato menjelaskan bahwa segala sesuatu yang berasal dari sang Pencipta akan mengalir kembali (emanasi) kepada Sang Pencipta.
C. Estetika sebagai Filsafat Seni
Filsafat seni adalah suatu cabang filsafat yang membahasa hal ikhwal tetang seni. Konsep pokok yang tercakup dalam seni meliputi bentuk dan isi pengungkapan. Sedangkan cara pengungkapan perasaan, ekspresi diri, ataupun hasi karya seni sebagai jelmaan hati nurani. Ada enam pembahasan filsafat seni yang meliputi: benda seni, pencipta seni, public seni, konteks seni, nilai-nilai seni, dan pengalaman seni (sumardjo,2000:29).
D. Estetika sebagai Filsafat Ilmu Pengetahuan
Dalam abad ke -19 estetka menjadi objek penelitian perkembangan imu karena para pakar mulai mengupas persoalan keindahan dengan metode-metode ilmiah. Istilah yang berkembng kemudian menjadi estetik ilmiah disebut juga estetik modern atau estetik pengetahuan untuk membedakan dengan estetik tradisional yang bersifat filsafati. Estetika yang ditelaah secara empiric dan logis ternyata tidak terlepas dari berbagai disiplin ilmu seperti: ilmu seni, sejarah, sosiologi seni, estetik, psikologis, psikologi seni, dan estetik matematis.
BAB II
PERIODISASI ESTETIKA
Perbedaan sudut pandang menghasilkan versi pengelompokkan atau periodisasi perkembangan estetika yang berbeda-beda. Sumardjo (2000) mengelompokkan perkembangan estetikayang terjadi di Barat menjadi delapan kelompok, yaitu:estetika Klasik Graceo-Roman, estetika abad pertengahan, estetika Renaisans, estetika pencerahan, estetikaromantik, estetika Positivisme Natural, estetika abad ke-20, estetika kontemporer, Modern,dan Postmodern.
A. Periode Klasik
a. Sokrates (469-399 SSNM)
Pada periode klasik ini estetika belum dikenal. Dalam dialog antara Sokrates dan Hippia dikaji hakikat dan perbedaan istilah keindahan dan cantik terkait dengan objek-objek keindahan, yaitu manusia, kuda, dara, gitar, lukisan, dan belanga. Dan pada suatu kesimpulan bahwa keidahan bersifat relative, sesuai dengan sifat dan cirri dari benda tersebut.
Selanjutnya Sokrates berpendapat bahwa ada konsep umum tentang keindahan yang menjadikan suatu benda indah. Suatu objek indah walaupun berbeda-beda nilainya, namun secara keseluruhan adalah sesuatu yag menyenangkan . kesimpulan ini akhirnya menjdi landasan dari teori keindahan dan seni (Anwar, 1985. 11-16).
b. Plato (428-348)
Bahwa keindahan terkandung dalam dunia ide-ide yang bersifat transidental sehingga ridak secara langsung terjangkau oleh pikiran manusia. Plato mengemukakkan kaitan antara keidahan dengan cinta. Menurutnya, sumber keindahan adalah cinta. Bukan cinta dalam pengertian umum, namun ‘cinta platonis’ dalam pengertian mengosongkan diri hingga subek benar-benar dapat mencintai benda yang indah.
c. Aristoteles (384-322)
Keindahan tidak terkait dengan unsure-unsru yang bersifat transedental. Ia menegaskan bahwa karya seni tidak lahir dari ‘kekosongan’, melainkan menggambarkan suatu realitas sebagaimana dipahami dan diinterpretasikan oleh seniman (Ratna, 2007:65).
B. Periode Kritik
Periode ini ditandai dengan fenomena berubahnya filsafat estetika dari objektivisme ke arah subjektivisme. Kritisisme adalah filsafat yang menyelidiki batas-batas rasio, sekaligus mempertentangkannya dengan dogmatis (Bertens dalam ratna, 2007:68). Periode ini dirintis oleh Rene Descartes (1596-1650) dengan ajaran Cartesian.
Tokoh dalam periode kritik
1. Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762)
Dalam bidang seni Baumgarten berpendapat bahwa seni bersifat inderawi dan kebenarannya bersifat relative, ada kebenaran yang secara inderawi benar, namun secara intelektual tidak benar. Ada kebenaran menurut intelektual logis, namun secara estetik tidak benar )Sumardjo, 2000:288).
Sumbangan terbesar baumgarten adalah membedakan antara pengetahuan dengan intelektual sebagai pengetahuan konkrit dengan pengetahua abstrak.
2. Immanuel kant(1724-1804)
Menurut Kant, imajinasi yag mengarahkan piiran manusia pada rasa indah. Pikiran memiliki inderawi rasa dengan empat cirri khas, yakni: (1) tidak memiliki kepentingan (disinterestedness), yaitu dalam menikmati keindahan tidak dicampur keinginan-keinginan lain. (2) universalisme yakni dapat dinikmati oleh semua orang. (3) kemutlakan adanya perasaan keindahan dalam setiap manusia. (4) bertujuam, adanya kemampuan dalam diri manusia untuk mengenali bentuk yang spesifik dala ukurannya, proporsinya, dan penyusunan warna-warni yang saling terkait dan menyatu mengarah pada tuan tertentu sehingga dapat merangsang inderawi untuk menikmati keindahan suatu benda (Djelantik, 1999: 115-123).
3. Schiller (1758-1805)
Seni dihubungkan dengan naluri bermain dan estetika.
4. George Wilhelm friedrich Hegel (1770-1831)
5. Arthur Scopenhauer (1788-1860)
6. George Santayana (1863-1952)
C. Periode Modernisme
Para ahli filsafat pada era ini mengkaji hakikat keindaha, keindahan seni, dan seni tidak lagi denganmenggunaka pola piker metafisik, namun menggunakan pendekatan keiluan oleh karenanya era ini disebut dengan periode positivisme.
Menurut lement Greenberg sebagaimana dikutip oleh Yustiono (1995), modernism lahir dari doronganuntuk menjaa standar nilai stetik yang terancam oleh metode permasalaha seni. Dorongan itu memerlakukan seni sbagai satu-satunyatujua seni.sedangkna niali dari agama, tradisi, politik dan ekonomi bukan jadi urusannya.
Estetika dikeompokkan menjadi tiga unsure yaitu : estetika atas (von oben) adalah penyelidikan estetika dari segi filsafat murni, estetika bawah adalah penyelidikan estetika melalui eksperimen, dan estetika pada masa sekarang. Tokoh-tokohnya: Leo Tolstoy, Gustaf Teheodor Fechner, Edward Bullough, Susan K. Langer, Bell, George dickie, dan Beneditto croce.
D. Periode Posmoderisme
Periode Posmodernisme adalah nama gerakan kebudayaan, secara khusus dalam seni. Istilah Posmodernisme muncul pertama kali dikalangan seniman dan kritikus di New York pada 1960-an dan diambil alih oleh para teoretikuseropa pada tahun 1970-an. Posmodernisme muncul sebagai bentuk yang melengkapi tradisi sastra atau seniyang tertata rapid an menganut hokum-hukum tertentu. Posmodernisme lahir sebagai front perlawanan atas pandangan-pandangan modernisme yang mengklaim adanya kebenaran tunggal yang berperan sebagai pusat sekaligus mendekonstruksi atau mendobrak konstruksi yang telah mapan untuk menghasikan konstruksi baru. Terdapat beberapa peristiwa, pengungkapan dan fakta-fakta yang menandai kemunculan diskursus posmodernitas beserta objek-objek artikulasinya. Diantaranya adalah apa yang disebut dega dekonstruksi, dialogisme dan intertekstualitas, simulasi, hiper-realitas, dan bahasa estetik postmodern beserta tokoh yang mewakili yaitu, Jacques derrida dan Michael Foucault.
BAB III
KONSEP DASAR ESTETIKA
Bab ini memfokuskan pengkajian padsa prinsip-prinsip keindahan dalam kesenian dan konsep seni dalam arti luas dan fundamental. Hal pokok yang mendasar dalam estetika menjadi kajian dalam dalam bab ini untuk dapat dipahami dari berbagai sudut pandang yang bersifat holistik.
Pemahaman tentang konsep seni biasanya dilihat dari aspek persoalan estetika tertentu saja, misalnya hanya dengan pendekatan yang berpusat pda seniman atau karyaseni. Namun eksistensi seni dipahami dan diapresiasi bukan hanya sekedar hadirnya wujud atau benda seni, tetapi juga melibatkan pencipta karya seni, public seni akan mengalami pengalaman estetik dalam nenterap serta mengahayati nilai-nilai seni yang diapresiassikan oleh seniman atau seniwati melalui karyanta.
Definisi seni melibatkan tiga aspek, yakni: seniman?seniwati, karya seni, dan public seni. Pemikiran tentang seni kemudian dielaborasikan dengan pembahasan tentang institusi seni yang dikemukakan oleh Dickie (1979) melipti empat aspek :
1. Aspek seniman atau seniwati, membahas tentang pengertian seniman/ seniwati, ekspresi, dan kreativitas.
2. Aspek hakikat seni, membahas tentang pengertian seni, unsure-unsur karya seni, sifat dasar seni, ragam seni, bentuk, dan isi karya seni.
3. Aspek public seni, membahas tentang komunikasi seni, pengalaman estetik dan seni.
4. Aspek pranata seni atau institusional seni, membahas tentang apreasiasi seni, kewenangan atau peran institusi seni.
A. HAKIKAT SENI
1. Pengertian Seni
Membahas tentang seNi secara utuh mencakup pembahasan tentang pengertian seni, sifat dasar seni, unsure-unsur karya seni dan klasifikasi atau ragam seni.Pengertian seni adalah fenomena yang kompleks. Batasannya ditentukan oleh curator, kritikus, pasar, pranata-pranata, paradigm akademis, kosmologis kultural, perubahan jaman,dan aliran filsafat. Seni memiliki konsep majemuk, dinamis, bergerak bebas, dan mampu mengakomodasi berbagai kecendrungan individual yag khas, tidak lagi patuh pada klasifikasi historis dalam penciptaan karya seni. Konsep seni terus berkembang sejalan dengan perkembangan kebudayaan dan kehidupan masyarakat yang dinamis. Makna seni yang digunakan di Indonesia merupakan adaptasi definisi dari konsep seni Barat. Istilah l’arte ( Italia), I’art (Perancis), el’arte (Spanyol), art (inggris) berasal dari kata ars dalam bahasa Latin yang berarti kemahiran, ketangkasan, dan keahlian. Sedangkan kata artes memiliki arti orang-orang yang memiliki kemahiran atau ketangkasan. Bangsa Yunani kuno menggunakan istilah techne untuk pengertian kemahiran.
Seni atau keindahan adalah sesuatu yang menghasilkan kesenangan, tetapi berbeda dengan sekedar rasa gembira karena mempunyai unsure transedental atau spiritual (Joganatha dalam Bangun, 1997).
Seni oleh Aristoteles juga dipahami sebagai kamhiran membuat sesuatu dalam upaya mencapai tujuan yang ditentukan oleh rasio atau gagasan tertentu. Contohnya (a) seorang pematung Bali dan Jepara yang mahir membuat patung dan ukiran kayu yang berniali seni atau fungsional.
Peran seni dalam kehidupan manusia terus berkembang dan berubah. Seni yang semula menyatu dalam nilai-nilai kepercayaan dan agama kemudian berkembang menjadi kebutuhan pragmatis untuk memenuhi fungsi akar dan kebutuhan ekspresi. Dalam kaitannya dengan fungsi individual dipahami sebagai ungkapan pikiran dan pengalaman jiwa terdalam yang diekspresikan dan dikomunikasikan melalui media yang memiliki nila estetis, etis, dan kemanusiaan.
Dalam konteks fungsi social, seni dipahami sebagai aktivitas yang berakar kuat dalam kehidupan kolektif atau masyarkat. Kegiatan ini tidak hanya memenuhi kebutuha paragmatis dan ekspresi tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan ritual. Seni juga berperan sebagai alat penerangan, propaganda, sarana promosi, hiburan, pendidikan, dan terapi.
2. Unsur-unsur Karya Seni
Nilai seni dapat diapresiasikan melalui unsure-unsur didalamnya. Karya seni terbentuk dari berbagai unsure menjadi satu kesatuan yang utuh berupa wujud konkrit maupun kenyataan yang bersifat abstrak. Contoh wujud dari karya seni adalah (1) karya seni lukis, (2) Krya seni tari, (3) Karya seni music, (4) karya seni sastra.
Gie (1976:67-70) menjelaskan bahwa unsure-unsur yang membangun karya seni sebagai berikut:
Struktur seni merupakan tata hubungan sejumlah unsure-unsur yang memebagun karya seni sebagai berikut:
a. Struktur seni
merupakan tata hubungan sejumlah unsur-unsur seni yang membentuk suatu kesatuan karya seni yang utuh. Unsure-unsur pembentuk struktur bias seperti unsure-unsur rupa, unsur-unsur musik, dan unsur-unsur tari.
1. Tema, merupakan ide pokok dalamkarya seni
2. Medium adalah sarana yang digunakan dalam mewujudkan gagasan menjadi suatu karya seni melalui pemanfaatan material berupa bahan dan alat, serta penguasaan teknik berkarya
3. Gaya atau style dalam karya seni merupakan cirri ekspresi personal yang khas dari si seniman dalam menyajikan karyanya. Gaya adalah ciri bentuk luar yang melekat pada wujud karya seni, sedangkan aliranberkaitan dengan isi karya seni yang merefleksikan pandangan atau prinsip seniman dalam menanggapi sesuatu.
3. Ragam seni atau Klasifikasi Seni
Berdasarkan bentuk dan mediumnya, seni dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok:
SENI:
SENI RUPA:
- SENI MURNI
- SENI TERAPAN
@desain
@kriya
SENI PERTUNJUKKAN
- SENITARI
- SENI MUSIK
- SENI TEATER
- FILM
- PANTOMIM
SENI SASTRA :
- PROSA
- PUISI
MEDIA BARU:
- CYBER ART
- SENI INSTALASI
- HAPPENING ART
b. Nilai Seni
Dalam seni, keindahan atau estetik bersifat kontekstual dengan kebudayaan. Setiap kelompok, setiap zaman memiliki ukuran atau criteria nilai keindahan sendiri. Dalam hal ini penting dipahami bahwa seni dan keindahan bukanlah sebuah benda (artefak), melainkan suatu konsep nilai yang akan berubah seiring dengan perkembangan kebudayaan.
Karya Duchamp bukan keindahan dimensi fisik atau keindahan positif yang menjadi dasar penilaian, melainkan kreativitas konseptual dalam memeilih idiom estetik dan penyajian karya yang tak lazim (unconventional) dari seniman dalam mengkalkulasikan konsep karyanya. Realitas visual ini membuktikan bahwa konsep seni dan keindahan akan berubah dan relative sifatnya sejalan dengan perkembangan social dan budaya masyarakatnya.
1. Pengertian Nilai Seni
Dalam estetika nilai diartikan sebagai keberhargaan (worth) dan kebaikan (goodness). Nilai berarti suatu ide yang paling baik,yang menjunjung tinggi dan menjadi pedoman manusia?masyarakat dalam bertingkah laku, cinta keindahan, keadilan (Koentjaraningrat, 1984).
Nilai seni dipahami dalam pengertian kualitas yang melekat pada karya seni. Nilai-nilai yang dimiliki karya seni merupakan manifestasi dari nilai-niai yang dihayati oleh seniman?seniwati dalam lingkungan sosial budaya masyarakat yang kemudian diekspresikan dalam wujud karya seni dan dikomunikasikan kepada public seni.
2. Ragam Nilai Seni
Dalam perkembangannya karya seni dapat memberikan nilai-nilai lain yang diperlukan manusia, seperti perenungan, pemikiran, ajakan, penyadaran, pencerahan. Jenis nilaidalam seni mencakup: (1) nilai keindahan (aesthetic value), (2) (cognitive value),dan (3) nilai kehidupan (life value), masing-masing mempunyai pengertian sebagai berikut:
a. Nilai keindahan, merupakan salah satu persoalan yang dibedakan menurut luasnya pengertian, yakni (1) keindahan dalam arti luas (keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral dan keindahan intelektual), (2) keindahan dalam arti estetis murni, dan (3) keindahan dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan.
Dalam arti luas keindahan memiliki persoalan filsafati yang memiliki banyak makna ganda untuk menyebut berbagai hal, bersifat longgar mencakup bermacam-macam ciri dan nilai subjektif untuk menyatakan penilaian pribadi terhadap sesuatu yang menyenangkan.
Dalam arti estetis muni adalah kesatuan atau keselarasan dari hubungan-hubungan bentukfisik dari suatu benda?karya seni yang terdapat diantara pencerapan-pencerapan inderawi yang menimbulkan kesenangan dan kepuasan estetik pada manusia yang menikmati dan mengapresiasinya.
Keindahan dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan pada prinsipnya mengkaji tentang hakikat keindahan dan criteria keindahan yang terdapat di alam, dalam karya seni dan benda-benda lainnya.
b. Nilai pengetahuan adalh kualitas sejumlah kognitif yan menyangkut persoalan nilai-nilai social, budaya, etika, psikologi, dan pendidikan yang dipersepsikan sebagai pengalaman estetik. Nilai pengetahuan berkaitan erat dengan kenyataan objektif sebagi pengalaman estetik.
c. Nilai kehidupan adalah nilai moral, religi, kemanusiaan yang merefleksikan cinta kasih, keadilan, kebebasan, perdamaian, dan toleransi yang terungkap secara eksplisit dan implisit melalui penghayatan dan apresiasi seni.
B. Pengalaman Seni
1. Pengertian
Adalah suatu emosi estetik yang khas berupa kesenangan dan kepuasan yang timbul ketika orang mengamati dan memproyeksikan perasaanya pada karya seni. Kegiatan ini merupakan aktivitas psokologis ketika seseorang berhadapan dan menikmati suatu karya seni (Gie, 1976:57).
Pengalaman estetik berlangsung dalam kualitas pengalaman yang tidak sama dengan pengalaman sehari-hari. Pengalaman estetik sejati tidak terjadi secara kebetulan, melainkan saat seseorang melakukan pegamatan inderawi yang melibatkan jiwa dan raga sehingga ia dapat merasakan kedahsyatan alam atau keindahan karya seni. Pengalaman estetik adalah pengalaman utuh yang bersumber yang melibatkan perasaan, pemikiran, penginderaan, dan intuisi manusia. Unsure perasaan merupakan kekuatan utama yang menggerakkan dan mendasari unsur potensi manusia (Sumardjo, 2000).
2. Sikap-sikap Estetik
Ada tiga pandangan tentang teori sikap estetik, yaitu: (a) teori jarak psikis (psychical-distance theory) , (b) teori perhatian tak acuh (disinterred attention theory), (c) teori persepsi.
Ada tiga sasaran utama yang hendak dicapai oleh teori-teori sikap estetik, yaitu: (1) teori-teori ini mengisolasi dan mendeskripsikan factor-faktor psikologis yang membentuk sikap estetik, (2) teori-teori ini mengembangkan suatu konsepsi tentang objek estetik sebagai objek dari estetik, (3) teori-teori ini menjelaskan pengalaman estetik dengan memandangnya sebaagi pengalaman yang didapat dari objek estetik, dibawah ini penjelasan versi teori sikap estetik:
(a) Teori Jarak Psikis
Teori ini dikemukakkan oleh Edward Bullough (1880-1934), pakar estetika abad ke-19 ang menggunakan teori introspeksi, yakni proses pengamatan diri melalui perenungan pengalaman-pengalaman sendiri.
Disckie menyampaikan pendapat bahwa jarak psikis adalah kondisi psikologis yang mengharuskan seseorang keluad dari diri sendiri dan membiarkannya tetap eksis di luar konteks kebutuhan dan tujuan personal dirinya (1979:45). Sebagai contoh, ketika membaca sebuah novel, pembaca hanya perlu memperhatikan nilai-nilai keindahannya saja meskipun novel tersebut mungkin memiliki unsure-sejarah atau social budaya agar perhatian pembaca tidak bercabang.
(b) Teori Kesadaran estetik: Sikap Tak Acuh
Teori ini dikemukakkan oleh Jerome Stolnitz (1960), merupakan perkembangan dari konsep disinteredness (pandangan mengenai ketidak-acuhan) dan konsep jarak psikis. Menurut Stolnitz, kesadaran estetik atau sikap estetik adalah perhatian yang sepenuhnya terfokus pada objek estetik itu saja (Stolnitz dalam Abdulhamid, 1995:91).
( c ) Teori Persepsi Estetik: Melihat Sebagai
Teori ini dikembangkan oleh Virgil Aldrich berdasarkan gambar ambigu: Kelinci-Itik yang dipoluerkan oleh Wittgenstein. Ia tidak sepenuhnya setuju dengan konsep jarak psikis yang disarankan oleh Bullogh.
Fenomena gambar Itik dan juga terlihat sebagai kepala seekor kelinci. Aldrich mengungkapkan bahwa fenomena yang sama dapat terjadi ketika menikmati karya seni (Abdulhamid, 1995:93). Untuk dapat menikmati keindahan dalam karya seni maka seseorang harus secara aktif dan sadar ,menciptakan persepsi estetik melalui panca inderanya.
3. Proses Pengalaman Estetik
Seseorang harus memiliki kesadaran, kepekaan indrawi dan perhatian yang sungguh-sungguh terhadapseni atau non-seni yang diamati dan dinikmati. Menurut Djalantik (1999) pengalaman seni estetik dalam objek seni dapat dicapai melalui beberapa tahap:
a. Proses pengamatan terhadap karya seni dengan pemusatanperhatian dan kesadaran inderawinya. Pada waktu seseorang memperoleh rangsangan dari luar maka muncul semacam getaran yang disebut dengan sensasi inderawi.
b. Proses pencerapan yakni tahap dimana sensasi telah menimbulkan kesan dan bermakna. Proses perubahan dari sensasi menjadi persepsi, terjadi pada diri seseorang yang berpengalaman dan memiliki kemampuan intelektual yang cukup.
c. Proses perenungan yakni kegiatan mepersepsi untuk membangun impresi atau kesan yang mendalam. Impresi yang terkait dengan perasaan disebut emosi, sedang impresi yang terkait dengan pemikiran dan kesadaran disebut interpretasi.
d. Proses penikmatan seni, yakni proses pengolahan factor emosi estetik intelektual untuk dapat merespon/menaggapi sesnsasi dari luar.
e. Proses menanggapi, yakni aktivitas intelek yang menjadikan penikmatan dalam seni memberikan kepuasan intelektual, mental dan spiritual
f. Mengalami suasana estetik yakni proses penikmatan dan apresiasi seni yang dilakukan dengan sikap yang tidak menghambat tercapainya pengalaman estetik.
BAB IV
PENDEKATAN ESTETIKA
A. STRUKTURAL-SEMIOTIK
Strukturalisme sebagai suatu paham memiliki rumusan yang bervariasai, namun terdapat satu kesamaan yang menitikberatkan pada struktur. Prinsip structural memandangn bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari unsure-unsur yang berjalin erat. Unsur tersebut tidak memiliki fungsi atau makna sendiri terlepas dari yang lainnya, melainkan ditentkan oleh hubungan antarunsur dalam keseluruhannya (Hawkes, 1978:17-18).
B. Resepsi Sastra
Resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin) , reception (Inggris) yang berarti penerimaan pembaca atau estetika yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepsi pembaca terhadap karya sastra. Sejak tahun 1970-an resepsi sastra muncul sebagai teori dominan dengan pertimbangan : a) sebagai jalan keluar untuk mengatasi strukturalisme yang dianggap hanya berorientasi pada unsure-unsur,b) timbulnya kesadaran humanism universal;c) kesadaran bahwa nilai-nilai karya sastra dapar dikembangkan hanya melalui kompetensi pembaca; d)kesadaran bahwa keabadian nilai karya seni disebabkan oleh pembaca;e) kesadaran bahwa makna terkandung dalam hubungan ambiguitas antara karya sastra dengan pembaca (ratna,2004:166).
Estetika resepsi sastra adalah estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada bagaimana pembaca memberikan tanggapan terhadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan makna terhadap karya sastra. Metode estetika resepsi mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra sejak munculny sudah mendapat tanggapan dari pembacanya.
Dalampenilaian resepsi dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: (a) resepsi secara sinkronik, dan (b) resepsi secara diakronik. Sinkronik adalah ara penelitian resepsi terhadap sebuah karya sastra dalam satu masa atau periode; yang idteliti adalah tanggapan-tanggapan satu periode atau satu kurun waktu.
Biasanya dalam kurun waktu ada norma-norma yang sama dalamm memahami karya sastra. Sedangkan makna diakronik lebih rumit karena melibatkan pembaca sepanjang sejarah. Penelitian secara diakroniklah yang akan lebih kuat menunjukkan nilai seni sebuah karya sastra sepanjang waktu yang telah dilaluinya (Pradopo,1995:211).
C. Feminisme
1.Sejarah
Feminisme muncul sebagai respon terhadap budaya patriaki yang selama ini memarjinalkan kaum perempuan di semua bidang. Budaya patriaki menempatkan kaum laki-laki sebagai sentral dalam kehidupan bermasyarakat, social, politik, dan budaya. Hirarki yang dibangun berdasarkan perbedaan gender tersebut mengkonstruksikan beberapa stereotype yang dibangun atas perbedaan fisik, dan generalisasi atas jender yang menyatakan bahwa laki-laki memiliki rasio yang lebi baik disbanding kaum perempuan.
Mendekati tahun 1940-an dan tahun 1950-an di Amerika Serikat, kaum wanita mulai mendapatkan kesempatan untuk ambil bagian di bidang pekerjaan sepeti kaum laki-laki. Pada tahun 1960-an isu mengenai feminis merupakan topic yang hanya dipahami oleh kalangan terbatas di Amerika. Sejak dicetuskannya National Organization for Women ( NOW) di Amerika oleh Bety Friedan, kaum perempuan mulai memberikan perhatian penuh terhadap agenda kesetaraan jender
2. Pembacaan Secara Perempuan
Penelitian sastra feminis merupakan salah satu unsure dalam bidang interdisipliner kajian perempuan dan sastra. Studi ini berpusat pada perempuan. Hal ini memiliki makna tertentu dan menjadi perbedaan jender disebabkan kondisi budaya, social,dan ekoomi.
Ferminisme bukan upaya untukmemberontak terhadapa laki-laki, upaya melawan pranata—pranata social seperti institusi rumah tangga dan perkawinan, maupun upaya perempuan untuk mengingkari kodratnya, melainkan merupkan upaya untuk mengakhiri penindasan dan ekspoitasi perempuan.
Adapun focus kajian antar lain:
1). Dalamkajian budaya, pengamatan terhadap bagaimana tokoh perempuan ditampilkan penulis perempuan dan penulis laki-laki dalamteks merupakan kajian yang menimbulkan pemikiran tentang relasi jender.
2) . Kedudukan dan peran tokoh perempuan yang tercermin dalam karya sastra dan hubungannya dengan relasi kuasa yang ada.
3) memperhatikan factor pembaca sastra, khususnya bagaimana tanggapan pembaca terhadapa kesadaran bahwa hak-hakperempuan sama dengan laki-laki.
1. Perkembangan Gerakan Feminis
Dalam perkembangannya kritik feminisa ada gelombang-gelombang tertentu yang menitikberatkan pada masalah-masalah tertentu:
(1) Feminism gelombang pertama lebih menitikberatkan pada peningkatan pendidikan kaum perempuan.
(2) Feminisme gelombang kedua oleh Betty Friedan dan Kate Millet. Peran tubuh dan sesualitas sangat penting dalam konsep ini yang disebut femini s radikal.
(3) Feminism gelombang ketia (Rebecca walker dan Jennifer Drake). Pemikiran feminis inklusif, mereka menerima dan mencari solusi. Dipengaruhi oleh posmodernisme. Isu-isu yang diangkat adalah merupakan sesuatu yang lebih dari kondisis inferioritas dan ketertindasan tetapi juga merupakan cara berada, cara berpikir, berbicara, keterbukaan, pluralitas, diveritas, dan perbedaan (Gadis Arivia,2003).
(4) Fase Posfeminisme (Naomi Wolf dan Ann Brooks). Menekankan pada cara melihat perepuan dan laki-laki yang sama-sama memiliki hak. Maka kesadaran tidak hanya distujukan pada posisi perempuan tetapi juga kepada posisi laki-laki. Dalam fase ini muncul feminism multicultural.
D. Hermeneutik
Adalah teori interporetasi atau filsafati interpretasi tentang makna (Bleicher,1990:1). Secara etimologi, hermeneutic berasal dari kata ‘hermeneuin’ yang berarti menafsirkan atau seni memberikan makna. Hermeneutic yang mengembangkan metode pemahaman makna berdasarkan penafsiran. Hermeneutic sudah ada sebelum semiotic, yaknisebagai seni penafsiran yang diterapkan sebagai filologi, teologi, dan yurisprudensi.
BAB V
KRITIK SENI
A. Kritik Seni
Adalah kumpulan teori sebagai hasil pengkajian yang teliti oleh para pakar estetika dan pakar teori seni. Hal ini mencakup segala sesuatu yang berhubungan dengan persyaratan dan metodologi yang diperlukan dalam kegiatan mengapresiasi dan menilai karya seni.
Tujuan kritik seni adalah evaluasi seni, apresiasi seni, dan pengembangan seni ke taraf yang lebih kreatif dan inovatif. Bagi masyarakat kritik seni berfungsi untuk memperluas wawasan seni. Bagi seniman kritik seni tampil sebagai ‘cambuk’ kreativitas suatu ketika kritik seni berperan memperkenalkan tokoh baru, pada saat laij juga memperkenalkan karakteristik seni baru.
1. Alat Kritik Seni
Seorang seniman harus mempunyai latar belakang keahlian dalam seni utnuk menilai dan mengkritik karya seni, antara kain:
1. Kritikus harus mempunyai cita rasa seni yang terbuka
2. Seorang kritikus seni harus berpengalaman dalam mengamati karya seni secara orisinil, baik di studio, gedung pertunjukkan, dan lain sebagainya.
3. Kritikus harus menempuh jalur formal.
4. Kritikus harus mampu secara imajinatif merekapitulasi factor tekik karya seni, sehingga mengetahui bagaimana proses pembuatan karya yang menjadi objek karya seninya.
5. Seorang kritikus perlu mengetahui benar peristilahan seni, style seni, fungsi seni, opini penting para seniman dan pakarestetika secara periodic.
6. Seorang kritikus harus paham betul perbedaan antara niat artistic dengan hasil atau pencapaian artistic, sehingga dia mampu melihat kesenjangan antarkeduanya.
7. Kritikus harus mampu melawan bias atau simpati terhadap karya seniman yang dikenalnya secara pribadi.
8. Seorang kritikus harus memiliki kesadaran kritis.
9. Kritikus harus professional dalam temperamen judicial, artinya mampu menilai karya seni dengan tidak tergesa-gesa.
2. Tipe Kritik Seni
Adalah suatu landasan kerja, prosedur, atau metode penilaian karya seni dari sudut pandang tertentu. Adapun menurut tipe Feldman yang meliputi:
A. Kritik Jurnalistik
Adalah kritik yang ditulis oleh para pembaca surat kabar dan majalah. Tujuannya memberikan informasi tentang berbagai peristiwa dalam dunia kesenian.
B. Kritik Pedagogik
Kritik yag dikembangkan oleh dosen dan guru kesenian, tujuannya mengembangkan bakat dan potensi artistic-artistik peserta didik, agar memiliki kemampuan mengenali bakat dan potensinya.
C. Kritik Ilmiah
Kritik ini berkembang di universitas atau akademi seni. Kritik ilmiah biasanya melakukan pengkajian nilai seni secara luas, mendalam, dan sistematis, baik dalam menganalisis, maupun dalam melakukan kaji banding kesejarahan dalam pembuatan critical judgement.
D. Kritik Populer
Ditulis oleh penulis yang tidak menuntut keahlian kritis.
3.Penyajian Kritik Seni
Menurut Feldman (1967:469) dalam teori kritik seni dikenal empat tahap meliputi: deskripsi analisis, interpretasi, dan evaluasi.
a. Deskripsi
Adalah suatu pengumpulan data karya seni yang tersaji langsung kepada pengamat. Dalam hal ini kritikus dituntut untuk menyajikan keterangan secara objektif yang bersumber pada fakta yang terdapat dalam karya seni.
b. Analisis
Tahap ini kritikus menguraikan kualiats elemen seni, pencahayaan, penataan figure,. Lokasi, ruang, dan volume. Jika seorang kritikus music memberikan penilaian terhadap penyanyi, maka disamping ia menafsirkan nilai penampilan sang artis, dia juga menganalisis segi tekniknya, misalnya, vocal, jangkauan suara, acting, kefasihan, dan kualitas bunyi yang diciptakan.
c. Interpretasi
Adalah proses mengemukakan arti atau makna karya seni dari hasil deskripsi dan analisis yang cermat. Kegiatan ini tidak bermaksud menemukan nilai verbal yang setara dengan pengalaman yang diberikan karya seni. Juga bukan dimaksudkan sebagai proses penilaian. Penilaian nanti akan dikemukakan dalam pembahasan sendiri.
d. Evaluasi
Adalah menetapkan rangking sebuah karya dalam hubungannya dengan karya lain yang sejenis, untuk menentukan kdar artistic dan faedah estetiknya. Dalam hal ini dikenal dengan studi komparatif historis.
4. Jenis Penilaian Kritik Seni
a. Pendekatan formalistic
Pada dasarnya, kritik seni formalis mengasumsikan bahwa kehidupan seni memiliki dunianya sendiri. Artinya, terlepas sama sekali dari realitas kehidupan keseharian yang kita alami. Clive Bell, tokoh kritikus formalis, mempertentangkan metode kritisisme formalis dengan teori seni imiasi yang menekankan pentingnya hubungan seni dengan pengalaman manusia di luar seni.
b. Pendekatan Ekspresivistik
Kritik seni ekspresivisme menentukan kadar keberhaislan seni atas kemampuannya membangkitkan emosi secara efektif, intensif, dan penuh gairah. Intensitas pengalaman mengandung makna, bahwa karya seni yang baik dapat menggetarkan perasaan yang jauh lebih kuat dari pada perasaan keseharian pada saat kita melihat realitas yang sama. Konsep ini berusaha untuk menghidupkan kembali vitailitas dan spontanitas dalamkarya seni.
c. Pendekatan Instrumentalistik
para seniman tidak dari kemampuan untuk mengolah material seni ataupun pada masalah internal karya seni. Eberhasilan karya seni tidak didasarkan pada criteria keinstensifan dan kejelasan ekspresi untuk mengkomunikasikan perasaan dan gagasan, melainkan berurusan dengan akibat dari gagasan yang diekspresikan lewat seni kepada masyarakat.
BAB VI
APRESIASI SASTRA DAN SENI
A. ESTETIKA SASTRA
Seorang pembaca sastra akan mampu memahami apa yang terkandung didalam karya sastra apabila dia sudah mampu membacanya dengan kritis. Proses pembacaan karya sastra yang dibedakan menjadi reading for pleasure, yakni membaca sastra hanya untuk kesenangan, dan critical reading, membaca karya sastra untuk melihat ideology yang terdapat di balik teks sastra tersebut.
Minggu, 17 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar