1. PENGGALI INTAN
Naskah Drama Tahun 1986
Karangan Kirdjomulyo
Siswadi : Orang yang akan menympan dendam akan mencintai dirinya sendiri. Dan seorang yang tidak menanggung keksosongan tak akan member jiwanya atau jiwa orang lain. (hal.52)
2. HANTU
Naskah Drama tahun 1990
Karangan Johan August Slinberg
Juru Masak: Kalian menghisap sari kehidupan kami dan kami mengshisap kalian. Kami mengambil darahnya dan meninggalkan air tapi air yang sudah diberi warna.(Hal 52)
3. LUKISAN MASA
Naskah Drama tahun 1937
Naskah karangan Armijn Pane
Harsini: Kalau akun tidak melukai hatinya, mengatakan dian berani di bibir saja, dia tidak akan berani gembira, tiada akan kembali rasa beraninya yang dahulu. Beranilah dia berusaha, berani memulai kehidupan baru diPalembang,tetapi hilanglah ia dari ,mataku, hilanglah harapan, bencilah ia kepadaku, sangkanya aku mempermain-mainkannya. Tuhan kami perempuan tahu berkorban. Aku mengusirnya karena aku cinta padanya. Tuhan, kembalikan jualah dia kepadaku. ( hal.90)
4. PEMBALASANNYA
Naskah Drama tahun 1940
Karangan Saadah Alim
Mr. Bahar :Merdeka,merdeka, kemerdekaan inilah yang tak ada padaku lagi. Telah kujual, telah kulebur dengan kaki tanganku sekali. Inilah hasl penjualanku, emas berebungkal, kesenangan. (hal. 96).
5. PANDU PARTIWI
Naskah Drama Tahun 1943
Karangan Merayu Sukma
Pandu: Priayiwati adalah masa silam bagiku, saudara, sebagaimana sebagian dari hidupku yang telah kupotong, kulemparkan jauh-jauh. Bukanlah karena aku kepada Priayiwati, jauh dari itu. Hanyalah bayinya baginya tak ada tempat lagi dalam hatiku.( hal.203)
6. SANDHYAKALA NING MAJAPAHIT
Naskah Drama tahun 1932
Karangan Sanusi Pane
Ratih : Perasaan paduka akan tetap serta bertambah subur disinari cinta anjasmara cintanya akan meruntuhkan tembok yang ada di keliling jiwa tuan.(hal.46)
7. CITRA
Naskah Drama tahun 1943
Karangan Usmar Ismail
Harsono: ya, dia yang tidak berasal-usul, pungutan dari bumi pusaka, yang telah kunodai, tetapi hendak kukikis noda itu sekarang dengan nyawaku…dia anak kandung Ibu Pertiwi yang telah diserahkan kepada kita…Dengarlah!
8. BENDE MATARAM
Naskah Drama tahun 1944
Karangan Ketot Soekardi
Menik: Lagi pula aku akan bangga, jika kakang gugur di lapang pertempuran, dihiasi oleh tombak dan lubang peluru, luka-luka dan berlumuran darah, daripada mati kekurangan tidur. Jadi orang lelaki tak berani bertempur, lebih baik jadi perempuan, masuk dapur.
9. ARUS PERJUANGAN
Naskah Drama tahun 1944
Karangan AOH Kartahadimadja
R. Surianata : Enden, maafkan Engakang. Kutahu, jiwamu telah tenggelam di dalam suka duka anak-anak, di dalam suka- duka rakyat-rakyat yang kita sama cintai.(hal 122)
10. CIUT PAS SESAK PAS
Naskah Drama tahun 2003
Karangan Genthong
……..Bom selalu bersama dengan perang, itu saudara sehati, bila ada bom selalu ada perang, bila ada perang selalu ada bom, entah perang itu wujudnya apa. (hal 214)
11. SOBRAT
Naskah Drama tahun 2003
Karangan Arhur S. Nalan
Sobrat : Malam itu setelah tahu kamu kabur ikut Inang gemuk itu ke tanah seberang, mimimu berteriak-teriak memanggil namamu. Ia berlari sampai ke batas kampung ..sampai ujung sungai Ciberes girang . Sampai suaranya parau. sampai suaranya parau. mungkin air matanya habis.Aku deisuruh Nagabihi membujuknya, lalu dibawanya ke warungku. Dia menyalahkanku sambil menunjuk-nunjuk, aku jadi malu. Aku malu pada diriku sendiri. (hal.102)
12. FESTIVAL TOPENG
Naskah Drama tahun 2003
Karangan Budi Ros
tokoh III :Zaman berubah, semua berubah, panggung festival topeng memang penuh magnet. Disana orang mendapat sorotan, tepuk tangan dan pujian. (hal.400).
13. ROH
Naskah drama tahun 2003
Karangan Wisran Hadi
Manda:Bersuaralah dengan suara kami
dengarlah dengan pendengaran kamilihatlah dengan penglihatan kami
berdirilah sekeliling kami. (hal.126)
14. “OZONE”
Naskah drama tahun 1999
karangan Arifin C.Noer
Borok : “Tapi saya kira untuk mati tidak perlu kita terlalu sombong dan ambisius. kenapa kita harus ke matahari? Terlalu jauh. Lagi siapa tahu kita hanya terbakar saja selama hidup dan tidak mati-mati. lebih cilakak lagi kita nanti. (hal.323) .
15. “GEMPA”
Naskah drama tahun 1966
karangan B. Soelarto
Kopral : “Itulah! Bapak menganggap orang lain badut. Padahal orang yang anggap badut itu justru menganggap bahwa yang badut adalah bapak”.(hal. 55)
16. “uman-Umang”
Naskah karya Arifin C.Noer
naskah drama tahun 1999
waska: “Betul-betul anjing kurapan budak setan itu. Nggak sabaran. Mana bisa dia menjadi penjahat besar tanpa memiliki ketahanan menghadapi waktu.” (hal. 120)
Sabtu, 09 Januari 2010
profil sastrawan
Ajip Rosidi
Nama:
Ajip Rosidi
Lahir:
Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938
Isteri:
Hj Patimah
Profesi:
Sastrawan-Budayawan
Pekerjaan/Kegiatan:
Pendiri Pusat Studi Sunda (2003)
Selama 22 tahun (sejak April 1981) pengajar bahasa Indonesia di Osaka Gaikokugo Daigaku (Osaka Gaidai), Osaka, Kyoto Sangyo Daigaku di Kyoto (1982-1996), Tenri Daigaku di Nara (1982-1995), dan di Asahi Cultural Center, Jepang.
Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage
Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1972-1981)
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi)
Direktur Penerbit Dunia Pustaka Jaya
Pemimpin Redaksi Majalah Kebudayaan Budaya Jaya (1968-1979)
Redaktur PN Balai Pustaka (1955-1956)
Pemimpin Redaksi Majalah Suluh Pelajar (1953-1955) pada usia 15 tahun
Buku:
Menulis lebih dari 50 judul buku dalam bahasa Indonesia dan Sunda.
Sosok Sastrawan dan Budayawan Paripurna
Sosok Ajip Rosidi di mata rekan-rekannya sesama pencinta sastra dan kebudayaan merupakan sosok yang lengkap, paripurna. Selain dikenal sebagai sastrawan Sunda, Ajip juga dikenal sebagai sosok yang memperkaya sastra Indonesia dan memperkenalkan kebudayaan Sunda di dunia internasional. Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage itu juga di nilai sebagai sosok yang bisa melepaskan diri dari kecenderungan polarisasi dalam banyak hal. Salah satunya, polarisasi antara kebudayaan modern dan kebudayaan tradisional.
Pulang dari Jepang, setelah tinggal di sana selama 22 tahun, Ajip Rosidi merasa gamang. Kegamangan itu dipicu oleh kekhawatiran adanya "pengultusan" terhadap dirinya. Juga kegamangan akan nasib budaya tradisional yang terus terlindas oleh budaya global.
"Saya merasa ngeri karena saya mendapat kesan bahwa saya hendak dikultuskan sehingga timbul pikiran menciptakan Ajip-Ajip baru. Saya ngeri karena saya khawatir hal itu menimbulkan rasa takabur," katanya.
Suara batin itu diungkapkan Ajip Rosidi di hadapan para pencinta sastra, termasuk para pengagumnya, pada seminar di Universitas Padjadjaran, Bandung, yang khusus membedah kiprahnya di dunia sastra, Rabu (28/5/03).
Hampir semua yang hadir memuji semangat dan dedikasi sastrawan kelahiran Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938, itu. Pengamat sastra Dr Faruk HT, misalnya, secara implisit memosisikan Ajip sebagai "orang langka" dengan kelebihan yang tidak dimiliki HB Jassin, Goenawan Mohamad, dan Soebagio Sastrowardoyo.
Ajip dinilai sebagai sosok yang bisa melepaskan diri dari kecenderungan polarisasi dalam banyak hal. Salah satunya, polarisasi antara kebudayaan modern dan kebudayaan tradisional. Ketika kebudayaan modern dianggap sebagai pilihan yang niscaya, kata Faruk, Ajip malah getol berbicara tentang kebudayaan tradisional.
Redaktur PN Balai Pustaka (1955-1956) itu dikenal sangat taat asas (konsisten) mengembangkan kebudayaan daerah. Terbukti, Hadiah Sastra Rancage-penghargaan untuk karya sastra Sunda, Jawa, dan Bali-masih rutin dikeluarkan setiap tahun sejak pertama kali diluncurkan tahun 1988.
Ajip juga dikenal sebagai "juru bicara" yang fasih menyampaikan tentang Indonesia kepada dunia luar. Hal ini ia buktikan ketika bulan April 1981 ia dipercaya mengajar di Osaka Gaikokugo Daigaku (Osaka Gaidai), Osaka, Jepang, serta memberikan kuliah pada Kyoto Sangyo Daigaku di Kyoto (1982-1996), Tenri Daigaku di Nara (1982-1995), dan di Asahi Cultural Center.
Di Negeri Matahari Terbit itu, seminggu Ajip mengajar selama 18 jam dalam dua hari. Lima hari sisanya ia habiskan untuk membaca dan menulis. Ia mengaku, Jepang memberinya waktu menulis yang lebih banyak ketimbang Jakarta.
Maklum, ia tidak disibukkan mengurus kegiatan-kegiatan lain yang cukup menyita waktu, sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1972-1981), Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Direktur Penerbit Dunia Pustaka Jaya, maupun Pemimpin Redaksi Majalah Kebudayaan Budaya Jaya (1968-1979). Hasilnya, lebih dari 50 judul buku dalam bahasa Indonesia dan Sunda ditulisnya selama di Jepang.
Satu hal yang mengesankan Ajip tentang masyarakat Jepang adalah kesadaran mereka akan pentingnya sastra dalam hidup mereka. Menurut Ajip, sastra tidak hanya menjadi bahan konsumsi para sastrawan atau budayawan, tetapi juga telah menjadi bahan bacaan para dokter atau arsitektur.
Kondisi itu tercipta akibat dukungan kebijakan pemerintah dan budaya yang ada. Ajip mengatakan, masyarakat Jepang sejak usia dini telah diperkenalkan dengan buku. "Anak kecil sejak umur dua hingga tiga tahun sudah diperkenalkan dengan buku."
Kondisi perbukuan di Jepang juga mendukung terciptanya suasana itu. Harga buku di sana ditetapkan sama di semua wilayah. " Harga majalah juga sama," katanya.
Pendidikan juga lebih tertata rapi, tinggal melanjutkan tradisi yang sudah berkembang. Tradisi itu mulai tertancap sejak reformasi Meiji. Reformasi yang ditandai dengan pengiriman orang-orang Jepang ke negara-negara maju untuk belajar banyak hal.
Selain itu, juga dilakukan penerjemahan besar-besaran berbagai macam ilmu, karya budaya, dan karya sastra ke dalam bahasa Jepang. "Jadi, orang Jepang, walaupun tidak bisa bahasa asing, misalnya, mereka mengetahui (dan) menguasai ilmu-ilmu di negara-negara asing," kata Ajip.
Semua itu dilakukan bangsa Jepang dengan penuh semangat dan keseriusan. Seorang profesor asal Amerika Serikat yang mengajar bahasa Inggris di Jepang bercerita kepada Ajip, ada seorang mahasiswanya belajar dengan menghafal kamus bahasa Inggris.
Orang Jepang memang dikenal sebagai bangsa yang amat bangga dengan bahasanya sendiri, tetapi hal itu tidak membuat mereka antibahasa asing. Minat orang Jepang terhadap studi-studi Indonesia juga cukup kuat. Jurusan Bahasa Indonesia (Indoneshia-go Gakuka) sudah ada di Tokyo Gaikokugo Daigaku sejak tahun 1949.
Selama mengajar di Jepang, Ajip tidak pernah kekurangan mahasiswa. Di Osaka Gaidai, ia mengajar rata-rata 30 mahasiswa setiap tahun, 40 mahasiswa di Kyoto Sangyo Daigaku, dan 60 mahasiswa di Tenri Daigaku.
"Saya mengajar bahasa Indonesia, sastra Indonesia, budaya Indonesia, dan Islam di Indonesia," kata Ajip. Beberapa muridnya kini sudah menjadi presiden direktur dan manajer pada perusahaan-perusahaan Jepang di Indonesia.
Namun, Ajip mencatat, tingginya gairah dan minat mereka terhadap bahasa asing bergantung pada kepentingan terhadap negara yang dipelajari itu. Ketika perekonomian Indonesia berkembang, perhatian orang Jepang terhadap bahasa Indonesia meningkat. "Sekarang Indonesia ambruk, perhatian juga berkurang. Ada beberapa universitas yang tadinya punya jurusan bahasa Indonesia, sekarang dan diganti dengan Cina," katanya Ajip.
Kendati telah menghabiskan sebagian hidupnya di negeri orang, Ajip tidak kehilangan pijakan pada kebudayaan daerah Indonesia. Hadiah Sastra Rancage yang lahir sejak tahun 1988 terus berjalan rutin setiap tahun.
"Saya mulai dengan serius, dan saya usahakan dengan serius. Ternyata banyak yang membantu. Orang mau membantu kalau (kegiatan yang dibantunya) dilaksanakan secara profesional," tuturnya mengenai ketaat-asasan Hadiah Sastra Rancage.
Namun, di tengah derasnya arus globalisasi, Ajip menyimpan sebersit kekhawatiran mengenai nasib kebudayaan-kebudayaan daerah. Bagi dia, globalisasi lebih banyak mengorbankan budaya-budaya daerah. Hal ini terjadi karena serbuan budaya global sulit diimbangi kebudayaan daerah.
Budaya global didukung oleh modal kuat serta teknologi tinggi, sedangkan kebudayaan daerah hanya bisa bertahan secara tradisional karena tidak ada yang menyediakan modal. Menurut Ajip, hal itu merupakan suatu pertarungan yang tidak adil.
"Saya kira kita tidak mengharapkan bahwa (pemeliharaan kebudayaan daerah) itu harus dilakukan pemerintah. Pengalaman saya membuktikan bahwa tidak bisa mengharapkan pemerintah," ujar budayawan yang sudah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Suluh Pelajar (1953-1955) pada usia 15 tahun.
Oleh karena itu, banyak sastrawan dan budayawan Indonesia menyambut dengan sukacita kedatangan Ajip ke Tanah Air. Ia pun telah merancang dengan sejumlah agenda menghidupkan kembali kebudayaan daerah agar tidak hanya mampu bertahan, melainkan juga bisa berkembang. Wujud konkretnya, antara lain dengan mendirikan Pusat Studi Sunda bersama para sastrawan dan budayawan Sunda pada hari Sabtu ini. Pusat Studi Sunda ini, salah satu programnya, akan menerbitkan jurnal ilmiah Sundalana.
Selain itu, Ajip masih tetap akan berkutat dengan kegiatan membaca dan menulis. Untuk itu, suami Hj Patimah ini pun berencana tinggal di Magelang, Jawa Tengah. "Saya berlindung kepada Allah, mudah-mudahan dijauhkan dari rasa takabur. Mudah-mudahan saya selalu diberi kesadaran bahwa apa yang saya lakukan hanyalah sebiji sawi."
Paripurna
Sosok Ajip Rosidi di mata rekan-rekannya sesama pencinta sastra dan kebudayaan merupakan sosok yang lengkap. Selain dikenal sebagai sastrawan Sunda, Ajip juga dikenal sebagai sosok yang memperkaya sastra Indonesia dan memperkenalkan kebudayaan Sunda di dunia internasional.
Pandangan para sastrawan tentang Ajip Rosidi ini terangkum dalam dialog yang bertema Meninjau Sosok dan Pemikiran Ajip Rosidi, yang digelar Rabu (28/5/03), di Graha Sanusi Hardjadinata, Universitas Padjadjaran Bandung.
Dalam dialog yang berlangsung sekitar enam jam itu, tampil sebagai pembicara Abdullah Mustappa, Teddy AN Muhtadin, Ganjar Kurnia, Ignas Kleden, Faruk HT, serta Yus Rusyana. Selain itu, hadir pula beberapa sastrawan seperti Ramadhan KH, Sitor Situmorang, tokoh politik Deliar Noer serta puluhan mahasiswa dan pencinta sastra.
"Sunda menjadi menarik di tangan Pak Ajip karena bukan sesuatu yang baku," ujar pengamat sastra dari Universitas Gadjah Mada, Dr Faruk HT. Menurut dia, Ajip Rosidi mengalami polarisasi politik dan kultural sepanjang hidupnya. Faruk menganggap polarisasi politik dan kultural tersebut membuat karya-karya Ajip Rosidi terasa kaya makna, kritis, serta tidak terjebak hanya pada satu budaya dan ideologi.
Dia mencontohkan, ketika Ajip dielu-elukan sebagai orang yang berjasa dan terhormat dalam kehidupan sastra Sunda, Ajip justru menengok sastra Jawa dan sastra daerah lain. "Sulit mencari orang seperti Ajip dalam dunia sastra Indonesia," kata Faruk.
Sementara itu, menurut Direktur Pusat Pengkajian Indonesia Timur (PPIT) atau Center for East Indonesian Affairs (CEIA) Dr Ignas Kleden, Ajip merupakan tokoh penting dalam sastra Indonesia. Ajip, kata Kleden, tidak hanya memainkan peranan luas dalam kesusastraan saja, namun juga meninggalkan banyak jejak langkah dalam perkembangan kebudayaan daerah dan kebudayaan Indonesia.
"Sumbangan sastra dan kebudayaan Sunda kepada sastra dan kebudayaan Indonesia diwujudkan melalui penulisan kembali dalam bahasa Indonesia cerita-cerita sastra daerah," kata Kleden.
Sedangkan peneliti dari Pusat Dinamika Pembangunan Unpad, Dr Ganjar Kurnia, memandang sosok Ajip sebagai orang Sunda modern. Hal itu dapat dilihat dari perhatiannya terhadap sastra Sunda. Ganjar menilai Ajip memiliki perhatian sepenuhnya untuk melestarikan budaya Sunda, namun dia juga tidak melepaskan keindonesiaannya.
"Ajip Rosidi bukan orang yang etnocentris, provinsialis, atau sukuisme dalam arti sempit," kata Ganjar. Dia menambahkan, Ajip juga telah membawa budaya bangsa sampai kepada tingkat internasional. Selain itu, Ajip juga dinilai sebagai orang yang memiliki pengetahuan yang luas mengenai masalah kesundaan sehingga dapat dianggap sebagai "arsip hidup" paling lengkap.
"Dapatkah kita memiliki Ajip-Ajip yang lain di masa mendatang?" kata Faruk, di akhir ceramahnya.
Perkataan Faruk tersebut ternyata ditanggapi dengan kekhawatiran oleh Ajip Rosidi. Menurut Ajip, dia khawatir masyarakat akan mengultuskan dirinya. Padahal, kata Ajip, dia sangat tidak suka dipuji, apalagi dikultuskan. "Saya lebih suka dikritik daripada dipuji," kata Ajip.
Sastra "Rancage" dan Sastra Daerah
Hadiah Sastra "Rancage" sudah berlangsung sejak 1989. Semula Hadiah Sastra tahunan ini khusus untuk pengarang dalam sastra Sunda, namun mulai tahun 1994 diberikan juga kepada pengarang sastra Jawa. Empat tahun kemudian, 1998, Hadiah Sastra "Rancage" juga diperuntukkan bagi pengarang sastra Bali. Sejak itu, setiap tahun Yayasan Kebudayaan "Rancage" yang diketuai Ajip Rosidi selaku pemberi Hadiah Sastra "Rancage" menyediakan dua hadiah untuk setiap daerah tersebut, yakni satu untuk "karya sastra" dan satu lagi untuk kategori mereka yang ber-"jasa".
Seluruh suku bangsa di Indonesia saat ini merasa bahwa hidup matinya sastra daerah menjadi tanggung jawab masing-masing daerah. Padahal sesungguhnya perkembangan sastra daerah menjadi tanggung jawab nasional yang harus dihadapi secara nasional pula.
"Pengembangan sastra dan bahasa daerah seakan-akan diserahkan kepada suku bangsa pemiliknya begitu saja, pemerintah seperti tak mau tahu," ujar sastrawan Ajip Rosidi, di Denpasar. Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage itu berada di Bali dalam rangka menyerahkan Hadiah Sastra Rancage 1999 kepada para sastrawan Sunda, Jawa, dan Bali.
Ajip Rosidi merasa prihatin atas keberadaan sastra dan bahasa daerah di Indonesia sekarang ini. Pemerintah nyaris tak memberi perhatian yang mamadai terhadap kehidupan sastra-sastra daerah tersebut. Padahal menurut konstitusi, hal itu termasuk tanggung jawab pemerintah.
"Masalah yang dihadapi daerah di mana-mana sama, masalah pendidikan dan penerbitan buku-buku," ujar Ajip Rosidi. Pada tahun 1998 lalu, terbit enam judul buku berbahasa Sunda, dua bahasa Jawa, dan tiga bahasa Bali.
Nama:
Ajip Rosidi
Lahir:
Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938
Isteri:
Hj Patimah
Profesi:
Sastrawan-Budayawan
Pekerjaan/Kegiatan:
Pendiri Pusat Studi Sunda (2003)
Selama 22 tahun (sejak April 1981) pengajar bahasa Indonesia di Osaka Gaikokugo Daigaku (Osaka Gaidai), Osaka, Kyoto Sangyo Daigaku di Kyoto (1982-1996), Tenri Daigaku di Nara (1982-1995), dan di Asahi Cultural Center, Jepang.
Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage
Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1972-1981)
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi)
Direktur Penerbit Dunia Pustaka Jaya
Pemimpin Redaksi Majalah Kebudayaan Budaya Jaya (1968-1979)
Redaktur PN Balai Pustaka (1955-1956)
Pemimpin Redaksi Majalah Suluh Pelajar (1953-1955) pada usia 15 tahun
Buku:
Menulis lebih dari 50 judul buku dalam bahasa Indonesia dan Sunda.
Sosok Sastrawan dan Budayawan Paripurna
Sosok Ajip Rosidi di mata rekan-rekannya sesama pencinta sastra dan kebudayaan merupakan sosok yang lengkap, paripurna. Selain dikenal sebagai sastrawan Sunda, Ajip juga dikenal sebagai sosok yang memperkaya sastra Indonesia dan memperkenalkan kebudayaan Sunda di dunia internasional. Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage itu juga di nilai sebagai sosok yang bisa melepaskan diri dari kecenderungan polarisasi dalam banyak hal. Salah satunya, polarisasi antara kebudayaan modern dan kebudayaan tradisional.
Pulang dari Jepang, setelah tinggal di sana selama 22 tahun, Ajip Rosidi merasa gamang. Kegamangan itu dipicu oleh kekhawatiran adanya "pengultusan" terhadap dirinya. Juga kegamangan akan nasib budaya tradisional yang terus terlindas oleh budaya global.
"Saya merasa ngeri karena saya mendapat kesan bahwa saya hendak dikultuskan sehingga timbul pikiran menciptakan Ajip-Ajip baru. Saya ngeri karena saya khawatir hal itu menimbulkan rasa takabur," katanya.
Suara batin itu diungkapkan Ajip Rosidi di hadapan para pencinta sastra, termasuk para pengagumnya, pada seminar di Universitas Padjadjaran, Bandung, yang khusus membedah kiprahnya di dunia sastra, Rabu (28/5/03).
Hampir semua yang hadir memuji semangat dan dedikasi sastrawan kelahiran Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938, itu. Pengamat sastra Dr Faruk HT, misalnya, secara implisit memosisikan Ajip sebagai "orang langka" dengan kelebihan yang tidak dimiliki HB Jassin, Goenawan Mohamad, dan Soebagio Sastrowardoyo.
Ajip dinilai sebagai sosok yang bisa melepaskan diri dari kecenderungan polarisasi dalam banyak hal. Salah satunya, polarisasi antara kebudayaan modern dan kebudayaan tradisional. Ketika kebudayaan modern dianggap sebagai pilihan yang niscaya, kata Faruk, Ajip malah getol berbicara tentang kebudayaan tradisional.
Redaktur PN Balai Pustaka (1955-1956) itu dikenal sangat taat asas (konsisten) mengembangkan kebudayaan daerah. Terbukti, Hadiah Sastra Rancage-penghargaan untuk karya sastra Sunda, Jawa, dan Bali-masih rutin dikeluarkan setiap tahun sejak pertama kali diluncurkan tahun 1988.
Ajip juga dikenal sebagai "juru bicara" yang fasih menyampaikan tentang Indonesia kepada dunia luar. Hal ini ia buktikan ketika bulan April 1981 ia dipercaya mengajar di Osaka Gaikokugo Daigaku (Osaka Gaidai), Osaka, Jepang, serta memberikan kuliah pada Kyoto Sangyo Daigaku di Kyoto (1982-1996), Tenri Daigaku di Nara (1982-1995), dan di Asahi Cultural Center.
Di Negeri Matahari Terbit itu, seminggu Ajip mengajar selama 18 jam dalam dua hari. Lima hari sisanya ia habiskan untuk membaca dan menulis. Ia mengaku, Jepang memberinya waktu menulis yang lebih banyak ketimbang Jakarta.
Maklum, ia tidak disibukkan mengurus kegiatan-kegiatan lain yang cukup menyita waktu, sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1972-1981), Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Direktur Penerbit Dunia Pustaka Jaya, maupun Pemimpin Redaksi Majalah Kebudayaan Budaya Jaya (1968-1979). Hasilnya, lebih dari 50 judul buku dalam bahasa Indonesia dan Sunda ditulisnya selama di Jepang.
Satu hal yang mengesankan Ajip tentang masyarakat Jepang adalah kesadaran mereka akan pentingnya sastra dalam hidup mereka. Menurut Ajip, sastra tidak hanya menjadi bahan konsumsi para sastrawan atau budayawan, tetapi juga telah menjadi bahan bacaan para dokter atau arsitektur.
Kondisi itu tercipta akibat dukungan kebijakan pemerintah dan budaya yang ada. Ajip mengatakan, masyarakat Jepang sejak usia dini telah diperkenalkan dengan buku. "Anak kecil sejak umur dua hingga tiga tahun sudah diperkenalkan dengan buku."
Kondisi perbukuan di Jepang juga mendukung terciptanya suasana itu. Harga buku di sana ditetapkan sama di semua wilayah. " Harga majalah juga sama," katanya.
Pendidikan juga lebih tertata rapi, tinggal melanjutkan tradisi yang sudah berkembang. Tradisi itu mulai tertancap sejak reformasi Meiji. Reformasi yang ditandai dengan pengiriman orang-orang Jepang ke negara-negara maju untuk belajar banyak hal.
Selain itu, juga dilakukan penerjemahan besar-besaran berbagai macam ilmu, karya budaya, dan karya sastra ke dalam bahasa Jepang. "Jadi, orang Jepang, walaupun tidak bisa bahasa asing, misalnya, mereka mengetahui (dan) menguasai ilmu-ilmu di negara-negara asing," kata Ajip.
Semua itu dilakukan bangsa Jepang dengan penuh semangat dan keseriusan. Seorang profesor asal Amerika Serikat yang mengajar bahasa Inggris di Jepang bercerita kepada Ajip, ada seorang mahasiswanya belajar dengan menghafal kamus bahasa Inggris.
Orang Jepang memang dikenal sebagai bangsa yang amat bangga dengan bahasanya sendiri, tetapi hal itu tidak membuat mereka antibahasa asing. Minat orang Jepang terhadap studi-studi Indonesia juga cukup kuat. Jurusan Bahasa Indonesia (Indoneshia-go Gakuka) sudah ada di Tokyo Gaikokugo Daigaku sejak tahun 1949.
Selama mengajar di Jepang, Ajip tidak pernah kekurangan mahasiswa. Di Osaka Gaidai, ia mengajar rata-rata 30 mahasiswa setiap tahun, 40 mahasiswa di Kyoto Sangyo Daigaku, dan 60 mahasiswa di Tenri Daigaku.
"Saya mengajar bahasa Indonesia, sastra Indonesia, budaya Indonesia, dan Islam di Indonesia," kata Ajip. Beberapa muridnya kini sudah menjadi presiden direktur dan manajer pada perusahaan-perusahaan Jepang di Indonesia.
Namun, Ajip mencatat, tingginya gairah dan minat mereka terhadap bahasa asing bergantung pada kepentingan terhadap negara yang dipelajari itu. Ketika perekonomian Indonesia berkembang, perhatian orang Jepang terhadap bahasa Indonesia meningkat. "Sekarang Indonesia ambruk, perhatian juga berkurang. Ada beberapa universitas yang tadinya punya jurusan bahasa Indonesia, sekarang dan diganti dengan Cina," katanya Ajip.
Kendati telah menghabiskan sebagian hidupnya di negeri orang, Ajip tidak kehilangan pijakan pada kebudayaan daerah Indonesia. Hadiah Sastra Rancage yang lahir sejak tahun 1988 terus berjalan rutin setiap tahun.
"Saya mulai dengan serius, dan saya usahakan dengan serius. Ternyata banyak yang membantu. Orang mau membantu kalau (kegiatan yang dibantunya) dilaksanakan secara profesional," tuturnya mengenai ketaat-asasan Hadiah Sastra Rancage.
Namun, di tengah derasnya arus globalisasi, Ajip menyimpan sebersit kekhawatiran mengenai nasib kebudayaan-kebudayaan daerah. Bagi dia, globalisasi lebih banyak mengorbankan budaya-budaya daerah. Hal ini terjadi karena serbuan budaya global sulit diimbangi kebudayaan daerah.
Budaya global didukung oleh modal kuat serta teknologi tinggi, sedangkan kebudayaan daerah hanya bisa bertahan secara tradisional karena tidak ada yang menyediakan modal. Menurut Ajip, hal itu merupakan suatu pertarungan yang tidak adil.
"Saya kira kita tidak mengharapkan bahwa (pemeliharaan kebudayaan daerah) itu harus dilakukan pemerintah. Pengalaman saya membuktikan bahwa tidak bisa mengharapkan pemerintah," ujar budayawan yang sudah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Suluh Pelajar (1953-1955) pada usia 15 tahun.
Oleh karena itu, banyak sastrawan dan budayawan Indonesia menyambut dengan sukacita kedatangan Ajip ke Tanah Air. Ia pun telah merancang dengan sejumlah agenda menghidupkan kembali kebudayaan daerah agar tidak hanya mampu bertahan, melainkan juga bisa berkembang. Wujud konkretnya, antara lain dengan mendirikan Pusat Studi Sunda bersama para sastrawan dan budayawan Sunda pada hari Sabtu ini. Pusat Studi Sunda ini, salah satu programnya, akan menerbitkan jurnal ilmiah Sundalana.
Selain itu, Ajip masih tetap akan berkutat dengan kegiatan membaca dan menulis. Untuk itu, suami Hj Patimah ini pun berencana tinggal di Magelang, Jawa Tengah. "Saya berlindung kepada Allah, mudah-mudahan dijauhkan dari rasa takabur. Mudah-mudahan saya selalu diberi kesadaran bahwa apa yang saya lakukan hanyalah sebiji sawi."
Paripurna
Sosok Ajip Rosidi di mata rekan-rekannya sesama pencinta sastra dan kebudayaan merupakan sosok yang lengkap. Selain dikenal sebagai sastrawan Sunda, Ajip juga dikenal sebagai sosok yang memperkaya sastra Indonesia dan memperkenalkan kebudayaan Sunda di dunia internasional.
Pandangan para sastrawan tentang Ajip Rosidi ini terangkum dalam dialog yang bertema Meninjau Sosok dan Pemikiran Ajip Rosidi, yang digelar Rabu (28/5/03), di Graha Sanusi Hardjadinata, Universitas Padjadjaran Bandung.
Dalam dialog yang berlangsung sekitar enam jam itu, tampil sebagai pembicara Abdullah Mustappa, Teddy AN Muhtadin, Ganjar Kurnia, Ignas Kleden, Faruk HT, serta Yus Rusyana. Selain itu, hadir pula beberapa sastrawan seperti Ramadhan KH, Sitor Situmorang, tokoh politik Deliar Noer serta puluhan mahasiswa dan pencinta sastra.
"Sunda menjadi menarik di tangan Pak Ajip karena bukan sesuatu yang baku," ujar pengamat sastra dari Universitas Gadjah Mada, Dr Faruk HT. Menurut dia, Ajip Rosidi mengalami polarisasi politik dan kultural sepanjang hidupnya. Faruk menganggap polarisasi politik dan kultural tersebut membuat karya-karya Ajip Rosidi terasa kaya makna, kritis, serta tidak terjebak hanya pada satu budaya dan ideologi.
Dia mencontohkan, ketika Ajip dielu-elukan sebagai orang yang berjasa dan terhormat dalam kehidupan sastra Sunda, Ajip justru menengok sastra Jawa dan sastra daerah lain. "Sulit mencari orang seperti Ajip dalam dunia sastra Indonesia," kata Faruk.
Sementara itu, menurut Direktur Pusat Pengkajian Indonesia Timur (PPIT) atau Center for East Indonesian Affairs (CEIA) Dr Ignas Kleden, Ajip merupakan tokoh penting dalam sastra Indonesia. Ajip, kata Kleden, tidak hanya memainkan peranan luas dalam kesusastraan saja, namun juga meninggalkan banyak jejak langkah dalam perkembangan kebudayaan daerah dan kebudayaan Indonesia.
"Sumbangan sastra dan kebudayaan Sunda kepada sastra dan kebudayaan Indonesia diwujudkan melalui penulisan kembali dalam bahasa Indonesia cerita-cerita sastra daerah," kata Kleden.
Sedangkan peneliti dari Pusat Dinamika Pembangunan Unpad, Dr Ganjar Kurnia, memandang sosok Ajip sebagai orang Sunda modern. Hal itu dapat dilihat dari perhatiannya terhadap sastra Sunda. Ganjar menilai Ajip memiliki perhatian sepenuhnya untuk melestarikan budaya Sunda, namun dia juga tidak melepaskan keindonesiaannya.
"Ajip Rosidi bukan orang yang etnocentris, provinsialis, atau sukuisme dalam arti sempit," kata Ganjar. Dia menambahkan, Ajip juga telah membawa budaya bangsa sampai kepada tingkat internasional. Selain itu, Ajip juga dinilai sebagai orang yang memiliki pengetahuan yang luas mengenai masalah kesundaan sehingga dapat dianggap sebagai "arsip hidup" paling lengkap.
"Dapatkah kita memiliki Ajip-Ajip yang lain di masa mendatang?" kata Faruk, di akhir ceramahnya.
Perkataan Faruk tersebut ternyata ditanggapi dengan kekhawatiran oleh Ajip Rosidi. Menurut Ajip, dia khawatir masyarakat akan mengultuskan dirinya. Padahal, kata Ajip, dia sangat tidak suka dipuji, apalagi dikultuskan. "Saya lebih suka dikritik daripada dipuji," kata Ajip.
Sastra "Rancage" dan Sastra Daerah
Hadiah Sastra "Rancage" sudah berlangsung sejak 1989. Semula Hadiah Sastra tahunan ini khusus untuk pengarang dalam sastra Sunda, namun mulai tahun 1994 diberikan juga kepada pengarang sastra Jawa. Empat tahun kemudian, 1998, Hadiah Sastra "Rancage" juga diperuntukkan bagi pengarang sastra Bali. Sejak itu, setiap tahun Yayasan Kebudayaan "Rancage" yang diketuai Ajip Rosidi selaku pemberi Hadiah Sastra "Rancage" menyediakan dua hadiah untuk setiap daerah tersebut, yakni satu untuk "karya sastra" dan satu lagi untuk kategori mereka yang ber-"jasa".
Seluruh suku bangsa di Indonesia saat ini merasa bahwa hidup matinya sastra daerah menjadi tanggung jawab masing-masing daerah. Padahal sesungguhnya perkembangan sastra daerah menjadi tanggung jawab nasional yang harus dihadapi secara nasional pula.
"Pengembangan sastra dan bahasa daerah seakan-akan diserahkan kepada suku bangsa pemiliknya begitu saja, pemerintah seperti tak mau tahu," ujar sastrawan Ajip Rosidi, di Denpasar. Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage itu berada di Bali dalam rangka menyerahkan Hadiah Sastra Rancage 1999 kepada para sastrawan Sunda, Jawa, dan Bali.
Ajip Rosidi merasa prihatin atas keberadaan sastra dan bahasa daerah di Indonesia sekarang ini. Pemerintah nyaris tak memberi perhatian yang mamadai terhadap kehidupan sastra-sastra daerah tersebut. Padahal menurut konstitusi, hal itu termasuk tanggung jawab pemerintah.
"Masalah yang dihadapi daerah di mana-mana sama, masalah pendidikan dan penerbitan buku-buku," ujar Ajip Rosidi. Pada tahun 1998 lalu, terbit enam judul buku berbahasa Sunda, dua bahasa Jawa, dan tiga bahasa Bali.
tugas akhir pk.menulis
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan tiruan atau pemanduan antara kenyataan dengan imajinasi pengarang atau hasil imajinasi pengarang yang bertolak dari suatu kenyataan yang ada (semi, 1990:43). Dalam hal ini termasuk juga penciptaan sebuah novel. Novel juga bias mempengaruhi seseorang untuk bias bertindak atau meniru gaya dari novel yang dibacanya. Dengan alasan itu maka novel juga dimamfaatkan oleh para pengarang untuk memperoleh masa baik dalam hal dunia politik atau yang linnya.
Keadaan geografis, politik, social juga kebudayaan dapat mempengaruhi hasil dari suatu karya sastra. Karya sastra yang dihasilkan dari pegunungan tentu berbeda dengan karya sastra dari lingkungan laut. Demikian juga dengan sastra dari suatu kerajaan berbeda dengan sastra dari suatu daerah liberal. Sastra dari budaya timur berbeda dengan sastra budaya barat. Begitu juga dengan karya sastra dari golongan kiri akan berbeda dengan karya sastra dari golongan kanan.
Sastra dan realitas sosial masyarakat menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena sastra diproduksi dan distrukturasi dari berbagai perubahan realitas tersebut. Realitas pada sastra merupakan suatu cara pandang penciptanya dalam melakukan pengingkaran atau pelurusan atas realitas sosial yang melingkupi kehidupannya. Dengan demikian, sastra merupakan potret sosial yang menyajikan kembali realitas masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan penafsiran dan ideology pengarangnya.
Identitas kepengarangan dari Pramoedya yang khas menjadi identitasnya yakni Pramudya Ananta Toer sering kali juga melatarbelakangi ceritanya dengan paparan sejarah maupun pengalaman hidupnya. Tulisan-tulisan awalnya banyak mengambil latar belakang masa sebelum Perang Dunia Kedua, terutama kehidupan di sekitar kota Blora tempat ia tinggal di masa kecil, serta masa-masa seputar revolusi kemerdekaan.
Pramudya juga menulis cerita dengan latar belakang masa pendudukan Jepang di Indonesia, antara lain melalui roman Perburuan. Karyanya yang terbesar—empat mahakarya yang merupakan tetralogi berjudul Karya Buru (meliputi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca)—ditulis dengan latar belakang tamasya sejarah pergerakan nasional Indonesia 1898-1918. Menengok sejarah kembali ia lakukan untuk romannya yang terbit pertengahan 1990-an, berjudul Arus Balik, dengan latar belakang masuknya Islam ke tanah Jawa..
Realisme dibentuk oleh perubahan sosila dan politik di samping kemajuan industry dan ilmu pengetahuan. Dalam situasi seperti itu, realisme mencerminkan realitas sosial dan gejalanya menjadi model bagi karya seni. Ia memberikan gambaran yang utuh mengenai realitas social yang diteliti pengarang sehingga mampu mengungkapkan prinsi-prinsip yang menggerakkan perubahan social.
Dalam tradisi seni sendiri, kelahiran realisme sosialis sebagai aliran seni agak sulit ditentukan waktunya secara pasti. Akan tetapi, menurut Pramoedya, realisme sosialis diperkirakan muncul sekitar tahun 1905. Dalam hal ini Maxim Gorky adalah pengarang yang sering dianggap sebagai bapak pendiri realisme sosialis.
Lebih lanjut, perkembangan sastra realis ini tidak bisa lepas dari cara pandang manusia terhadap sejarah yang berubah, terutama di Eropa, tempat kelahiran tradisi realisme itu sendiri. Hal ini tampak misalnya dalam tinjauan Lukács atas epik Tolstoy, War and Peace. "Prinsip-prinsip yang ia (Tolstoy) ikuti dalam realismenya secara obyektif menampilkan suatu kesinambungan tradisi realis terbesar, tapi secara subyektif prinsip-prinsip ini ditimbulkan dari masalah-masalah pada masanya serta dari sikapnya terhadap masalah terbesar zamannya, yakni hubungan penindas dan tertindas di pedesaan Rusia".
Dengan begitu, realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni yang mendasarkan pada kontemplasi dialektik antara seniman dan lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempatnya berada. Hakikat dari realisme sosialis ini bisa dikatakan menempatkan seni sebagai wahana "penyadaran" bagi masyarakat untuk menimbulkan kesadaran akan keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing (teralienasi, dalam istilah Marxis) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan.
Akan tetapi, Pramoedya dalam Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia menyenarai, jauh hari ke belakang tradisi sastra realisme sosialis Indonesia telah muncul melalui, antara lain, Sumantri dengan karya novelnya yang berjudul Rasa Merdika. Nama lain yang bisa disebut ialah Semaoen (Hikayat Kadirun) serta Mas Marco Kartodikromo (Student Hijo).
Dari segi kemasyarakatan dapat disimpulkan, bahwa realism lahir sebagai akibat adanya perubahan kelas sosial, bosrjuasi, dan kemelaratan. perubahan strata kelas telah mendorong adanya kelas menengah baru yang awalnya dating dari kelas yang lebih rendah. Kelas menengah baru dan kelas atas mendorong lahirnya borjuasi, dan dalam hal-hal tertentu, borjuasi mendatangkan kemelaratan. Perubahan. Inilah ‘realitas’ yang menjadi salah satu faktor penting tumbuhnya mazhab Realisme dalam sastra. Nampak, dengan demikian, bahwa keberadaan Realisme lebih banyak didorong oleh perubahan dalam masyarakatnya.
Realisme sosialis mereka memang bukan layaknya realisme sosialis yang berkembang kemudian. Keberpihakan mereka terhadap rakyat pekerja yang lemah lebih merupakan suatu komitmen sosial, dan bukan atas dorongan landasan-landasan yang lebih ilmiah seperti halnya realisme sosialis sebagai aliran yang datang lebih kemudian.
Atau dengan kata lain, realisme sosialis mereka bisa dikatakan sebagai realisme sosialis "cikal bakal" yang masih bersifat sosialisme utopis. Sedikit membela mereka, Pramoedya mengistilahkannya sebagai kekeliruan, bukan kesalahan.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana Realisme sosialis dilihat dari segi pertentangan kelas pada novel bumi manusia karya Pramudya Ananta Toer?
2. Bagaimana Realisme Sosialis Dilihat Dari Kedekatan Atau Pembelaan Kaum Borjuis Terhadap Kaum Proletar?
1.2. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penulis memberikan tujuan dari peneliti sebagai berikut:
1. Mendiskripsikan Realisme sosialis dilihat dari segi pertentangan kelas pada novel bumi manusia karya Pramudya Ananta Toer.
2. Mendiskripsikan Realisme Sosialis Dilihat Dari Kedekatan Atau Pembelaan Kaum Borjuis Terhadap Kaum Proletar.
.
KAJIAN PUSTAKA
1. Realisme Sosialis
Realisme sosialis lahir sebagai penerus tradisi seni kritis, yang terutama merupakan bentuk baru dari tradisi realisme yang berkembang di Eropa. Realisme (klasik), dalam catatan Georg Lukács, muncul dalam atmosfer "membuyarnya awan mistisisme, yang pernah mengelilingi fenomena sastra dengan warna dan kehangatan puitik serta menciptakan suatu atmosfer yang akrab dan ’menarik’ di sekitarnya".
Pengarang realis percaya bahwa setiap orang akan mendapat kebahagiaan ketika mengambil pilihan-pilihanyang disediakan oleh dunia. Oleh karena kebahagiaan bukanlah hal yang menarik untuk dibahas dalam fiksi, dalam protagonis dalam novel realistis biasanya malah berkarakter kurang terpencil.
Dalam kalimat tersebut Lukács merujuk pada masa pertengahan abad kesembilan belas serta diterimanya filsafat Marxis. Filsafat sejarah Marxis, masih menurut Lukács, menganalisis manusia secara keseluruhan, dan menggambarkan sejarah evolusi manusia juga secara keseluruhan. Ia berusaha untuk menggali hukum tersembunyi yang mengatur seluruh hubungan manusia. Dengan cara ini, filsafat Marxis memberi jembatan ke arah sastra klasik dan menemukan sastra klasik yang baru: Yunani kuno, Dante, Shakespeare, Goethe, Balzac, atau Tolstoy. "Realisme terbesar yang sesungguhnya dengan demikian menggambarkan manusia dan masyarakat sebagai wujud yang lengkap, dan bukan semata-mata memperlihatkan satu atau beberapa aspeknya".
Dalam definisi Pramoedya, "Realisme sosialis merupakan metode yang meneruskan filsafat materialisme dalam karya sastra serta meneruskan pandangan sosialisme-ilmiah. Dalam menghadapi persoalan masyarakat, realisme sosialis mempergunakan pandangan yang struktural fundamental".
Lebih lanjut, perkembangan sastra realis ini tidak bisa lepas dari cara pandang manusia terhadap sejarah yang berubah. Dengan begitu, realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni yang mendasarkan pada kontemplasi dialektik antara seniman dan lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempatnya berada. Hakikat dari realisme sosialis ini bisa dikatakan menempatkan seni sebagai wahana "penyadaran" bagi masyarakat untuk menimbulkan kesadaran akan keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing (teralienasi, dalam istilah Marxis) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan.
Sebelumnya, sejarah dipandang sebagai suatu gerak yang tetap, mutlak, dan alamiah. Perkembangan selanjutnya dari cara pandang ini adalah munculnya pemahaman baru mengenai sejarah. Sejarah mulai dipandang sebagai perubahan yang justru tergantung kepada diri manusia itu sendiri.
Itulah sebabnya mengapa konsep realisme pada saat ini berada di persilangan antara maknanya yang lama, yang dirumuskan pada abad ke-19 sebagai sebuah ‘gambaran objektif realitas social pada zaman tertentu’, dan konsep-konsep yang lebih beragam, sperti dalam Marxisme, yang memberikan realisme ganda yang lebih spesifik berkaitan dengan penggambaran struktur sosial dan penggambarannya struktur social dan kecendrungannya di masa depan, atau juga makna realism seperti yang kerap muncul di Barat.
fiksi realistis menekankan kemiripan dengan dunia yaitu kemiripan yang menyagkut pada kebenaran faktual. Realisme tampak seperti dunia yang actual. Benturan antara kesederhanaan tujuan dan kesulitan untuk menyadarinyalah yang menyebabkan pengarang menganggap ‘realisme’ menantang dan mengundang.
"Para filsuf hanya memberikan interpretasi berbeda kepada dunia, yang perlu adalah mengubahnya", itu salah satu bunyi Tesa-tesa mengenai Feuerbach Marx. Manusia, dengan pikiran dan perbuatannya, mampu menentukan arah dari gerak sejarah. Sejarah tidak bersifat mandiri atau berada di luar jangkauan manusia. Dalam arah pemikiran seperti itulah realisme sosialis lahir untuk menempatkan kaum lemah (proletar, dalam bahasa Marxis) sebagai manusia-manusia penggerak dan penentu arah sejarah. Dan secara serta-merta aliran ini mengambil jarak atau berseberangan dengan tradisi realisme sebelumnya yang lebih memihak kepada golongan penguasa (atau borjuis), yang kemudian dikenal dengan nama realisme borjuis.
Prinsip-prinsip realisme sosialis dapat dilacak kembali pada teori Marxis mengenai proses perkembangan sejarah, lagi pula pada pandangan Lenin bahwa partai harus memainkan peranan sebagai pemimpin dalam proses tersebut. Pengarang-pengarangpun harus tunduk pada partai tersebut.
PEMBAHASAN
1. Analisis
Menurut Ian Watt sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa diperdaya atau tidak bisa diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk pengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus dipertimbangkan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat. (Damono, 1978:3)
Dalam penyajian analisis data ini peneliti mendiskripsikan realisme sosialis dari
4.1 Realisme Sosialis Dilihat Dari Segi Pertentangan Kelas Pada Novel Bumi Manusia Karya Pramudya Ananta Toer.
Dalam novel bumi manusia karya pramudya ananta toer terdapat realisme sosialis dilihat dari pertentangan kelas antara kelas atas (borjuis) dan kelas bawah (proletar). Hal ini dapat dilihat dalam kutipan-kutipan di bawah ini:
“tentu dada ini menjadi gembung. Aku belum pernah ke eropa. Benar tidaknya ucapan tuan direktur aku tak tahu. Hanya karena menyenangkan aku cendrung mempercayainya. Lagi pula semua guruku kelahiran sana, dididik di sana pula. Rasanya tak layak tak mempercai guru. Orang tuaku telah mempercayakan diriku pada mereka. Oleh masyarakat terpelajar eropa dan indo dianggap terbaik dan tertinggi nilainya di seluruh hindia belanda. Maka aku harus memepercayainya”(11)
Dalam kutipan di atas terdapat pertentang kelas yang menyatakan bahwa orang-orang eropa lebih pintar dari pada orang-orang pribumi pada waktu itu. Orang eropa juga di anggap mempunyai pendidikan yang lebih tinggi di banding orang-orang pribumi. Sehingga pada waktu itu orang-orang eropa menjadi guru sekolah. Dan semua guru pada waktu itu adalah orang-orang eropa. Kutipan lainnya yang menyatakan pertentangan kelas adalah sebagai berikut:
“aku tersinggung aku tahu otak H.B.S. dalam kepala Robert surof ini hanya pandai menghina, mengecilkan, melecehkan dan menjahati orang. Dia anggap tahu kelemahanku: tak ada darah eropa dalam tubuhku. Sungguh-sungguh dia sedang bikin rencana jahat terhadap diriku”(18)
Dalam kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas antara orang eropa dan orang pribumi. Orang-orang pada saat itu bangga ketika dia mempunyai keturunan darah eropa. Karena derajat di mata masyarakat pada waktu itu aka tinggi di banding dengan orang pribumi. Hal serupa juga dapat dilihat dalam kutipan dibawah ini:
“rupa-rupanya kau masih anggap aku sebagai jawa yang belum beradap”()
Kutipan di atas menunjukkan jelas kalau masyarakat jawa yang tergolong masyarakat pribumi pada waktu itu di anggap tidak mempunyai adap, tatakrama atau sopan santun. Ukuran kesopanan pada waktu itu adalah orang-orang eropa yang dianggap lebih sopan daripada orang-orang pribumi. Hal tentang pertentangan kelas juga dapat dillihat dari kutipan sebagai berikut:
“ia masih menjabat tanganku, menunggu aku menyebutkan nama keluargaku. Aku tak punya, maka menybutkan. Ia mengernyit. Aku mengerti: barangkali aku di anggapnya anak yang tidak atau belum diakui ayahnya melalui pengadilan: tanpa nama keluarga adalah indo hina., sama dengan pribumi. Dan aku memang pribumi. Tapi tidak ia tak meuntut nama keluargaku.”(26)
Dari kutipan di atas kita dapat mengetahui betapa terbentangnya pertentangan kelas waktu itu, terutama antara orang eropa dan orang pribumi. Orang eropa menganggap bahwa orang pribumi sama dengan indo hina, orang eropa keturunan pribumi yang tidak di akui oleh orang tuanya yang berdarah eropa. Orang pribumi juga tidak mempunyai nama gelar keluarga sehingga di anggap rendah oleh orang eropa. Kutipan yang lainnya yang menunjukkan pertentangan kelas antara orang eropa dan orang pribumi dapat dilihat dari kutipan di bawah ini:
“buka putera bupati manapun mama,. dan dengan memulai sebutan nama baur itu, kekikukanku, perbedaan antara diriku dengannya, bahkan juga keasingannya, mendadak lenyap” (35)
Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa pada saat itu anak seorang bupati atau anak seorang petinggi lainnya sangat dihormati. Dan hanya anak-anak bupati atau anak-anak petinggi yang bisa sekolah pada saat itu. Pertentangan kelas pada saat itu nampak jelas sekali antara kaum buruh atau golongan kelas bawah (proletar) dan golongan kelas atas (borjuis). Kutipan di bawah ini juga akan membuktikan bahwa terjadi pertentangan kelas pada saat itu yakni:
“…….. orang bekerja tanpa mengeluarkan suara, seperti bisu. Antara sebentar mereka menyeka badan dengan sepotong kain. Masing-masing mengenakan pengikat rambut berwarna putih. Semua berbaju putih dengan lengan tergulung sepuluh centimeter di atas sikut. Tidak semua lelaki. Sebagian perempuan, nampak kain batik di bawah baju putihnya. ….”(43)
Pada kutipan di atas menunjukkan bahwa dalam novel tersebut diceritakan bahwa orang-orang yang bekerja atau orang-orang yang bekerja menjadi buruh waktu itu adalah orang-orang pribumi, hal itu tampak pada kalimat “nampak kain batik di bawah baju putihnya” sedangkan kain batik adalah cirri khas orang jawa yang menandakan bahwa orang jawa pada saat itu memang menjadi pekerja atau buruh dalam perusahaan itu. Hal-hal yang berhubungan dengan pertentangan kelas dalam novel itu dapat di lihat dalam kutipan di bawah ini:
Kutipan di atas menunjukkan tentang perbedaan kelas kalau Robert membenci minke hanya karena minke orang pribumi dan Robert orang eropa.
. Kutipan di atas menunjukkan adanya perbedaan kelas, yakni sebagai berikut:
“para orang tua dan wali murid telah duduk berbanjar. Semua; totok, indo, beberapa orang tionghoa, dan tak pribumi barang seorangpun”(444)
Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas terutama dalam sekolah itu. Yang boleh sekolah disitu hanya orang-orang eropa dan skutunya. Sedangkan kaum pribumi tidak bisa sekolah di sana. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan pertentangan kelas dalam novel tersebut, yakni:
“apa yang kau sahayakan? Nenek moyangmu dulu, raja-raja jawa itu, semua menulis jawa. Malu kau kiranya kau jadi orang jawa? Malu kau tidak jadi belanda?”(461)
Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas. Betapa rendahnya pribumi di mata orang eropa. Mereka menganggap orang pribumi tidak punya sopan santun seperti orang eropa. Dalam kutipan di bawah ini juga menunjukkan adanya pertentangan atau perbedaan kelas yakni:
“…….dia bilang annelias mallemma berada di bwah hukum eropa, nyai tidak. Nyai hanya pribumi. Sekiranya dulu jurrof annelias mallemma tidak diakui tuan mallemma, dia pribumi dan pengdilan putih tidak punya sesuatu urusan”(488)
Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas. Kalau orang pribumi tidak diakui dan tidak mempunyai hokum yang jelas sehingga orang eropa dapat bertindak sewenang-wenang terhadap orang pribumi. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan adanya perbedaan pertentangan kelas, yakni:
“akhir-akhirnya, katanya kemudian dengan suara rendah”persoalannya tetap eropa terhadap pribumi, minke, terhadap diriku. Ingat-ingat ini: eropa yang menelan pribumi sambil menyakiti secara sadis. E-ro-pa …. Hanya kulitnya yang putih” Ia mengumpat, hatinya bulu semata” (489)
Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas antara orang eropa dan orang pribumi. Dimana orang eropa selalu bertindak sewenang-wenang terhadap orang pribumi, dan sering menyakiti orang pribumi.
PENUTUP
Kesimpulan
Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer merupakan novel sebagai periode penyamaian dan kegelisahan di mana minke sebagai actor sekaligus creator adalah manusia berdarah priyayi yang semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas merdeka, di sudut lain membelah jiwa ke-eropa-an yang menjadi symbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban.
Saran
Dalam masalah aliran realis, perlu ditindaklanjuti tentang permasalahan sejarah di negeri ini. Sejarah yang bisa memberikan ruang kepada manusia untuk menjadi merdeka dengan data-data yang factual kini menjadi riskan untuk dikaji. Persoalan sejarah yang menyimpang dari peradaban mempunyai masalah tersendiri untuk bangsa ini sehingga perlu adanya hal-hal yang “terbuka” untuk public agar menjadi acuan dalam karya sastra realis.
DAFTAR PUSTAKA
Toer, Pramoedya Ananta. 2004.Bumi Manusia.Jakarta.
Toer, Pramoedya Ananta. 2004. Realisme Sosial. Jakarta.
Stanton, Robert.Teori fiksi. Yogyakarta:Putaka Pelajar.2007
Pradopo, Rachmat djoko. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1987.
Teeuw,A. Sastra dan Ilmu Sastra.Jakarta:Pustaka Jaya. 1984
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan tiruan atau pemanduan antara kenyataan dengan imajinasi pengarang atau hasil imajinasi pengarang yang bertolak dari suatu kenyataan yang ada (semi, 1990:43). Dalam hal ini termasuk juga penciptaan sebuah novel. Novel juga bias mempengaruhi seseorang untuk bias bertindak atau meniru gaya dari novel yang dibacanya. Dengan alasan itu maka novel juga dimamfaatkan oleh para pengarang untuk memperoleh masa baik dalam hal dunia politik atau yang linnya.
Keadaan geografis, politik, social juga kebudayaan dapat mempengaruhi hasil dari suatu karya sastra. Karya sastra yang dihasilkan dari pegunungan tentu berbeda dengan karya sastra dari lingkungan laut. Demikian juga dengan sastra dari suatu kerajaan berbeda dengan sastra dari suatu daerah liberal. Sastra dari budaya timur berbeda dengan sastra budaya barat. Begitu juga dengan karya sastra dari golongan kiri akan berbeda dengan karya sastra dari golongan kanan.
Sastra dan realitas sosial masyarakat menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena sastra diproduksi dan distrukturasi dari berbagai perubahan realitas tersebut. Realitas pada sastra merupakan suatu cara pandang penciptanya dalam melakukan pengingkaran atau pelurusan atas realitas sosial yang melingkupi kehidupannya. Dengan demikian, sastra merupakan potret sosial yang menyajikan kembali realitas masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan penafsiran dan ideology pengarangnya.
Identitas kepengarangan dari Pramoedya yang khas menjadi identitasnya yakni Pramudya Ananta Toer sering kali juga melatarbelakangi ceritanya dengan paparan sejarah maupun pengalaman hidupnya. Tulisan-tulisan awalnya banyak mengambil latar belakang masa sebelum Perang Dunia Kedua, terutama kehidupan di sekitar kota Blora tempat ia tinggal di masa kecil, serta masa-masa seputar revolusi kemerdekaan.
Pramudya juga menulis cerita dengan latar belakang masa pendudukan Jepang di Indonesia, antara lain melalui roman Perburuan. Karyanya yang terbesar—empat mahakarya yang merupakan tetralogi berjudul Karya Buru (meliputi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca)—ditulis dengan latar belakang tamasya sejarah pergerakan nasional Indonesia 1898-1918. Menengok sejarah kembali ia lakukan untuk romannya yang terbit pertengahan 1990-an, berjudul Arus Balik, dengan latar belakang masuknya Islam ke tanah Jawa..
Realisme dibentuk oleh perubahan sosila dan politik di samping kemajuan industry dan ilmu pengetahuan. Dalam situasi seperti itu, realisme mencerminkan realitas sosial dan gejalanya menjadi model bagi karya seni. Ia memberikan gambaran yang utuh mengenai realitas social yang diteliti pengarang sehingga mampu mengungkapkan prinsi-prinsip yang menggerakkan perubahan social.
Dalam tradisi seni sendiri, kelahiran realisme sosialis sebagai aliran seni agak sulit ditentukan waktunya secara pasti. Akan tetapi, menurut Pramoedya, realisme sosialis diperkirakan muncul sekitar tahun 1905. Dalam hal ini Maxim Gorky adalah pengarang yang sering dianggap sebagai bapak pendiri realisme sosialis.
Lebih lanjut, perkembangan sastra realis ini tidak bisa lepas dari cara pandang manusia terhadap sejarah yang berubah, terutama di Eropa, tempat kelahiran tradisi realisme itu sendiri. Hal ini tampak misalnya dalam tinjauan Lukács atas epik Tolstoy, War and Peace. "Prinsip-prinsip yang ia (Tolstoy) ikuti dalam realismenya secara obyektif menampilkan suatu kesinambungan tradisi realis terbesar, tapi secara subyektif prinsip-prinsip ini ditimbulkan dari masalah-masalah pada masanya serta dari sikapnya terhadap masalah terbesar zamannya, yakni hubungan penindas dan tertindas di pedesaan Rusia".
Dengan begitu, realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni yang mendasarkan pada kontemplasi dialektik antara seniman dan lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempatnya berada. Hakikat dari realisme sosialis ini bisa dikatakan menempatkan seni sebagai wahana "penyadaran" bagi masyarakat untuk menimbulkan kesadaran akan keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing (teralienasi, dalam istilah Marxis) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan.
Akan tetapi, Pramoedya dalam Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia menyenarai, jauh hari ke belakang tradisi sastra realisme sosialis Indonesia telah muncul melalui, antara lain, Sumantri dengan karya novelnya yang berjudul Rasa Merdika. Nama lain yang bisa disebut ialah Semaoen (Hikayat Kadirun) serta Mas Marco Kartodikromo (Student Hijo).
Dari segi kemasyarakatan dapat disimpulkan, bahwa realism lahir sebagai akibat adanya perubahan kelas sosial, bosrjuasi, dan kemelaratan. perubahan strata kelas telah mendorong adanya kelas menengah baru yang awalnya dating dari kelas yang lebih rendah. Kelas menengah baru dan kelas atas mendorong lahirnya borjuasi, dan dalam hal-hal tertentu, borjuasi mendatangkan kemelaratan. Perubahan. Inilah ‘realitas’ yang menjadi salah satu faktor penting tumbuhnya mazhab Realisme dalam sastra. Nampak, dengan demikian, bahwa keberadaan Realisme lebih banyak didorong oleh perubahan dalam masyarakatnya.
Realisme sosialis mereka memang bukan layaknya realisme sosialis yang berkembang kemudian. Keberpihakan mereka terhadap rakyat pekerja yang lemah lebih merupakan suatu komitmen sosial, dan bukan atas dorongan landasan-landasan yang lebih ilmiah seperti halnya realisme sosialis sebagai aliran yang datang lebih kemudian.
Atau dengan kata lain, realisme sosialis mereka bisa dikatakan sebagai realisme sosialis "cikal bakal" yang masih bersifat sosialisme utopis. Sedikit membela mereka, Pramoedya mengistilahkannya sebagai kekeliruan, bukan kesalahan.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana Realisme sosialis dilihat dari segi pertentangan kelas pada novel bumi manusia karya Pramudya Ananta Toer?
2. Bagaimana Realisme Sosialis Dilihat Dari Kedekatan Atau Pembelaan Kaum Borjuis Terhadap Kaum Proletar?
1.2. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penulis memberikan tujuan dari peneliti sebagai berikut:
1. Mendiskripsikan Realisme sosialis dilihat dari segi pertentangan kelas pada novel bumi manusia karya Pramudya Ananta Toer.
2. Mendiskripsikan Realisme Sosialis Dilihat Dari Kedekatan Atau Pembelaan Kaum Borjuis Terhadap Kaum Proletar.
.
KAJIAN PUSTAKA
1. Realisme Sosialis
Realisme sosialis lahir sebagai penerus tradisi seni kritis, yang terutama merupakan bentuk baru dari tradisi realisme yang berkembang di Eropa. Realisme (klasik), dalam catatan Georg Lukács, muncul dalam atmosfer "membuyarnya awan mistisisme, yang pernah mengelilingi fenomena sastra dengan warna dan kehangatan puitik serta menciptakan suatu atmosfer yang akrab dan ’menarik’ di sekitarnya".
Pengarang realis percaya bahwa setiap orang akan mendapat kebahagiaan ketika mengambil pilihan-pilihanyang disediakan oleh dunia. Oleh karena kebahagiaan bukanlah hal yang menarik untuk dibahas dalam fiksi, dalam protagonis dalam novel realistis biasanya malah berkarakter kurang terpencil.
Dalam kalimat tersebut Lukács merujuk pada masa pertengahan abad kesembilan belas serta diterimanya filsafat Marxis. Filsafat sejarah Marxis, masih menurut Lukács, menganalisis manusia secara keseluruhan, dan menggambarkan sejarah evolusi manusia juga secara keseluruhan. Ia berusaha untuk menggali hukum tersembunyi yang mengatur seluruh hubungan manusia. Dengan cara ini, filsafat Marxis memberi jembatan ke arah sastra klasik dan menemukan sastra klasik yang baru: Yunani kuno, Dante, Shakespeare, Goethe, Balzac, atau Tolstoy. "Realisme terbesar yang sesungguhnya dengan demikian menggambarkan manusia dan masyarakat sebagai wujud yang lengkap, dan bukan semata-mata memperlihatkan satu atau beberapa aspeknya".
Dalam definisi Pramoedya, "Realisme sosialis merupakan metode yang meneruskan filsafat materialisme dalam karya sastra serta meneruskan pandangan sosialisme-ilmiah. Dalam menghadapi persoalan masyarakat, realisme sosialis mempergunakan pandangan yang struktural fundamental".
Lebih lanjut, perkembangan sastra realis ini tidak bisa lepas dari cara pandang manusia terhadap sejarah yang berubah. Dengan begitu, realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni yang mendasarkan pada kontemplasi dialektik antara seniman dan lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempatnya berada. Hakikat dari realisme sosialis ini bisa dikatakan menempatkan seni sebagai wahana "penyadaran" bagi masyarakat untuk menimbulkan kesadaran akan keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing (teralienasi, dalam istilah Marxis) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan.
Sebelumnya, sejarah dipandang sebagai suatu gerak yang tetap, mutlak, dan alamiah. Perkembangan selanjutnya dari cara pandang ini adalah munculnya pemahaman baru mengenai sejarah. Sejarah mulai dipandang sebagai perubahan yang justru tergantung kepada diri manusia itu sendiri.
Itulah sebabnya mengapa konsep realisme pada saat ini berada di persilangan antara maknanya yang lama, yang dirumuskan pada abad ke-19 sebagai sebuah ‘gambaran objektif realitas social pada zaman tertentu’, dan konsep-konsep yang lebih beragam, sperti dalam Marxisme, yang memberikan realisme ganda yang lebih spesifik berkaitan dengan penggambaran struktur sosial dan penggambarannya struktur social dan kecendrungannya di masa depan, atau juga makna realism seperti yang kerap muncul di Barat.
fiksi realistis menekankan kemiripan dengan dunia yaitu kemiripan yang menyagkut pada kebenaran faktual. Realisme tampak seperti dunia yang actual. Benturan antara kesederhanaan tujuan dan kesulitan untuk menyadarinyalah yang menyebabkan pengarang menganggap ‘realisme’ menantang dan mengundang.
"Para filsuf hanya memberikan interpretasi berbeda kepada dunia, yang perlu adalah mengubahnya", itu salah satu bunyi Tesa-tesa mengenai Feuerbach Marx. Manusia, dengan pikiran dan perbuatannya, mampu menentukan arah dari gerak sejarah. Sejarah tidak bersifat mandiri atau berada di luar jangkauan manusia. Dalam arah pemikiran seperti itulah realisme sosialis lahir untuk menempatkan kaum lemah (proletar, dalam bahasa Marxis) sebagai manusia-manusia penggerak dan penentu arah sejarah. Dan secara serta-merta aliran ini mengambil jarak atau berseberangan dengan tradisi realisme sebelumnya yang lebih memihak kepada golongan penguasa (atau borjuis), yang kemudian dikenal dengan nama realisme borjuis.
Prinsip-prinsip realisme sosialis dapat dilacak kembali pada teori Marxis mengenai proses perkembangan sejarah, lagi pula pada pandangan Lenin bahwa partai harus memainkan peranan sebagai pemimpin dalam proses tersebut. Pengarang-pengarangpun harus tunduk pada partai tersebut.
PEMBAHASAN
1. Analisis
Menurut Ian Watt sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa diperdaya atau tidak bisa diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk pengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus dipertimbangkan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat. (Damono, 1978:3)
Dalam penyajian analisis data ini peneliti mendiskripsikan realisme sosialis dari
4.1 Realisme Sosialis Dilihat Dari Segi Pertentangan Kelas Pada Novel Bumi Manusia Karya Pramudya Ananta Toer.
Dalam novel bumi manusia karya pramudya ananta toer terdapat realisme sosialis dilihat dari pertentangan kelas antara kelas atas (borjuis) dan kelas bawah (proletar). Hal ini dapat dilihat dalam kutipan-kutipan di bawah ini:
“tentu dada ini menjadi gembung. Aku belum pernah ke eropa. Benar tidaknya ucapan tuan direktur aku tak tahu. Hanya karena menyenangkan aku cendrung mempercayainya. Lagi pula semua guruku kelahiran sana, dididik di sana pula. Rasanya tak layak tak mempercai guru. Orang tuaku telah mempercayakan diriku pada mereka. Oleh masyarakat terpelajar eropa dan indo dianggap terbaik dan tertinggi nilainya di seluruh hindia belanda. Maka aku harus memepercayainya”(11)
Dalam kutipan di atas terdapat pertentang kelas yang menyatakan bahwa orang-orang eropa lebih pintar dari pada orang-orang pribumi pada waktu itu. Orang eropa juga di anggap mempunyai pendidikan yang lebih tinggi di banding orang-orang pribumi. Sehingga pada waktu itu orang-orang eropa menjadi guru sekolah. Dan semua guru pada waktu itu adalah orang-orang eropa. Kutipan lainnya yang menyatakan pertentangan kelas adalah sebagai berikut:
“aku tersinggung aku tahu otak H.B.S. dalam kepala Robert surof ini hanya pandai menghina, mengecilkan, melecehkan dan menjahati orang. Dia anggap tahu kelemahanku: tak ada darah eropa dalam tubuhku. Sungguh-sungguh dia sedang bikin rencana jahat terhadap diriku”(18)
Dalam kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas antara orang eropa dan orang pribumi. Orang-orang pada saat itu bangga ketika dia mempunyai keturunan darah eropa. Karena derajat di mata masyarakat pada waktu itu aka tinggi di banding dengan orang pribumi. Hal serupa juga dapat dilihat dalam kutipan dibawah ini:
“rupa-rupanya kau masih anggap aku sebagai jawa yang belum beradap”()
Kutipan di atas menunjukkan jelas kalau masyarakat jawa yang tergolong masyarakat pribumi pada waktu itu di anggap tidak mempunyai adap, tatakrama atau sopan santun. Ukuran kesopanan pada waktu itu adalah orang-orang eropa yang dianggap lebih sopan daripada orang-orang pribumi. Hal tentang pertentangan kelas juga dapat dillihat dari kutipan sebagai berikut:
“ia masih menjabat tanganku, menunggu aku menyebutkan nama keluargaku. Aku tak punya, maka menybutkan. Ia mengernyit. Aku mengerti: barangkali aku di anggapnya anak yang tidak atau belum diakui ayahnya melalui pengadilan: tanpa nama keluarga adalah indo hina., sama dengan pribumi. Dan aku memang pribumi. Tapi tidak ia tak meuntut nama keluargaku.”(26)
Dari kutipan di atas kita dapat mengetahui betapa terbentangnya pertentangan kelas waktu itu, terutama antara orang eropa dan orang pribumi. Orang eropa menganggap bahwa orang pribumi sama dengan indo hina, orang eropa keturunan pribumi yang tidak di akui oleh orang tuanya yang berdarah eropa. Orang pribumi juga tidak mempunyai nama gelar keluarga sehingga di anggap rendah oleh orang eropa. Kutipan yang lainnya yang menunjukkan pertentangan kelas antara orang eropa dan orang pribumi dapat dilihat dari kutipan di bawah ini:
“buka putera bupati manapun mama,. dan dengan memulai sebutan nama baur itu, kekikukanku, perbedaan antara diriku dengannya, bahkan juga keasingannya, mendadak lenyap” (35)
Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa pada saat itu anak seorang bupati atau anak seorang petinggi lainnya sangat dihormati. Dan hanya anak-anak bupati atau anak-anak petinggi yang bisa sekolah pada saat itu. Pertentangan kelas pada saat itu nampak jelas sekali antara kaum buruh atau golongan kelas bawah (proletar) dan golongan kelas atas (borjuis). Kutipan di bawah ini juga akan membuktikan bahwa terjadi pertentangan kelas pada saat itu yakni:
“…….. orang bekerja tanpa mengeluarkan suara, seperti bisu. Antara sebentar mereka menyeka badan dengan sepotong kain. Masing-masing mengenakan pengikat rambut berwarna putih. Semua berbaju putih dengan lengan tergulung sepuluh centimeter di atas sikut. Tidak semua lelaki. Sebagian perempuan, nampak kain batik di bawah baju putihnya. ….”(43)
Pada kutipan di atas menunjukkan bahwa dalam novel tersebut diceritakan bahwa orang-orang yang bekerja atau orang-orang yang bekerja menjadi buruh waktu itu adalah orang-orang pribumi, hal itu tampak pada kalimat “nampak kain batik di bawah baju putihnya” sedangkan kain batik adalah cirri khas orang jawa yang menandakan bahwa orang jawa pada saat itu memang menjadi pekerja atau buruh dalam perusahaan itu. Hal-hal yang berhubungan dengan pertentangan kelas dalam novel itu dapat di lihat dalam kutipan di bawah ini:
Kutipan di atas menunjukkan tentang perbedaan kelas kalau Robert membenci minke hanya karena minke orang pribumi dan Robert orang eropa.
. Kutipan di atas menunjukkan adanya perbedaan kelas, yakni sebagai berikut:
“para orang tua dan wali murid telah duduk berbanjar. Semua; totok, indo, beberapa orang tionghoa, dan tak pribumi barang seorangpun”(444)
Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas terutama dalam sekolah itu. Yang boleh sekolah disitu hanya orang-orang eropa dan skutunya. Sedangkan kaum pribumi tidak bisa sekolah di sana. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan pertentangan kelas dalam novel tersebut, yakni:
“apa yang kau sahayakan? Nenek moyangmu dulu, raja-raja jawa itu, semua menulis jawa. Malu kau kiranya kau jadi orang jawa? Malu kau tidak jadi belanda?”(461)
Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas. Betapa rendahnya pribumi di mata orang eropa. Mereka menganggap orang pribumi tidak punya sopan santun seperti orang eropa. Dalam kutipan di bawah ini juga menunjukkan adanya pertentangan atau perbedaan kelas yakni:
“…….dia bilang annelias mallemma berada di bwah hukum eropa, nyai tidak. Nyai hanya pribumi. Sekiranya dulu jurrof annelias mallemma tidak diakui tuan mallemma, dia pribumi dan pengdilan putih tidak punya sesuatu urusan”(488)
Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas. Kalau orang pribumi tidak diakui dan tidak mempunyai hokum yang jelas sehingga orang eropa dapat bertindak sewenang-wenang terhadap orang pribumi. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan adanya perbedaan pertentangan kelas, yakni:
“akhir-akhirnya, katanya kemudian dengan suara rendah”persoalannya tetap eropa terhadap pribumi, minke, terhadap diriku. Ingat-ingat ini: eropa yang menelan pribumi sambil menyakiti secara sadis. E-ro-pa …. Hanya kulitnya yang putih” Ia mengumpat, hatinya bulu semata” (489)
Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas antara orang eropa dan orang pribumi. Dimana orang eropa selalu bertindak sewenang-wenang terhadap orang pribumi, dan sering menyakiti orang pribumi.
PENUTUP
Kesimpulan
Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer merupakan novel sebagai periode penyamaian dan kegelisahan di mana minke sebagai actor sekaligus creator adalah manusia berdarah priyayi yang semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas merdeka, di sudut lain membelah jiwa ke-eropa-an yang menjadi symbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban.
Saran
Dalam masalah aliran realis, perlu ditindaklanjuti tentang permasalahan sejarah di negeri ini. Sejarah yang bisa memberikan ruang kepada manusia untuk menjadi merdeka dengan data-data yang factual kini menjadi riskan untuk dikaji. Persoalan sejarah yang menyimpang dari peradaban mempunyai masalah tersendiri untuk bangsa ini sehingga perlu adanya hal-hal yang “terbuka” untuk public agar menjadi acuan dalam karya sastra realis.
DAFTAR PUSTAKA
Toer, Pramoedya Ananta. 2004.Bumi Manusia.Jakarta.
Toer, Pramoedya Ananta. 2004. Realisme Sosial. Jakarta.
Stanton, Robert.Teori fiksi. Yogyakarta:Putaka Pelajar.2007
Pradopo, Rachmat djoko. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1987.
Teeuw,A. Sastra dan Ilmu Sastra.Jakarta:Pustaka Jaya. 1984
Langganan:
Postingan (Atom)